Chereads / Bersamamu Kusempurna / Chapter 15 - Perasaan Rahmat (3)

Chapter 15 - Perasaan Rahmat (3)

Oriza sangat memahami keterbatasan Adel soal memasak. Resep yang dipilihkan adalah resep paling mudah yaitu puding coklat. Setelah Adel memisahkan bahan sesuai takaran, semua bahan dimasukan ke dalam panci lalu dijerang sambil terus diaduk hingga mendidih. Setelah itu disalin ke wadah yang sudah disiapkan. Adel tersenyum puas, ternyata memasak tidak sesulit yang dikira.

"Begini aja?" tanya Adel tidak percaya.

"Iya, hanya menunggu agar-agarnya dingin dan keras. Rasanya sudah mantap, tapi kita sebaiknya memberi sedikit polesan dengan krim agar cantik," Oriza mencoba menjelaskan cara membuat krim yang mudah menggunakan tepung krim instan. Adel dapat memahami dengan cepat sebab tidak membutuhkan waktu lama untuk mempersiapkan bahan dan mengerjakannya.

Memberikan krim di atas puding membutuhkan keluwesan tangan. Tangan Adel yang kaku menyebabkan krimmer yang dilumuri berlepotan, tidak semudah dikiranya. Oriza hanya tersenyum melihat Adel cemberut melihat hasil kerja yang jauh dari bagus. Oriza mengambil krim yang tersisa dan mencoba merapikan kerjaan Adel. Hasilnya menjadi sangat berbeda.

"Waahh, Nek. Seperti disulap. Cling! Langsung jadi bagus. Makasih Nek. Kapan kita mengantarnya?" Adel bersorak senang.

"Ini harus dimasukkan ke kulkas dulu. Puding enak dimakan dalam keadaan dingin. Nanti sebelum makan siang kita antar ke kandang. Uda Ardi pasti ada di sana. Katanya ada immunisasi ayam hari ini," ujar Oriza.

"Kita bawa keduanya. Nek?" tanya Adel.

"Tidak. Satu aja dia takkan bisa habiskan. Ini buat semua pegawai di kandang masih belum habis. Yang satu lagi buat dessert makan siang kita," kata Oriza sambil mencuci peralatan yang sudah digunakan dan meletakkan kembali ke tempat semula.

Oriza tidak ingin menimbulkan salah sangka lagi. Ia mengajak Rahmat dan Ferry untuk ikut mengantar puding ke Ardian. Ia menjelaskan puding itu sebagai ungkapan terima kasih Adel kepada Ardian yang telah menolongnya. Rahmat langsung menyetujuinya. Ferry kelihatan ragu-ragu, Ia masih kesal dengan sikap Adel yang berlebihan atas candanya malam tadi.

"Malas ah. Aku di rumah aja. Paling tidak agar Adel bisa lebih leluasa," jawab Ferry menolak ajakan itu.

"Ayolah bang. Sebenarnya kemarin ada yang miskom. Jadi begini, payung itu diniatkan kak Del untuk uda Ardian sebagai ungkapan terima kasih. Tapi udah Za rusak, makanya dia demikian kesal hingga bersikap agak berlebihan. Bukan karena payungnya bang, tapi karena niat gak kesampaian karena kita sudah merusak payung itu," jelas Oriza. Ferry terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja disampaikan kepadanya.

Ferry menarik nafas panjang lalu ia berkata, "Baiklah. Aku ikut. Mudah-mudahan Adel sudah tidak marah padaku."

Oriza telah menginformasikan kepada Adel bahwa ia mengajak Rahmat dan Ferry. Awalnya Adel keberatan jika Ferry juga diajak. Namun Oriza berhasil membujuk Adel agar berdamai dengan hati sendiri untuk tidak memperpanjang rasa kesal. Lagi pula puding buatan sendiri sebagai ungkapan terima kasih lebih baik dari pada payung hadiah kim itu.

Ardian melihat kedatangan Oriza dan teman-temannya. Ia segera turun dari kandang dan menyusul mereka. Oriza dan teman-teman sedang disemprot dengan zat desinfektan untuk mencegah kuman masuk dari luar. Itu prosedur umum yang diberlakukan pada pengunjung akan masuk ke kandang untuk menjamin tidak ada penularan penyakit ayam dari luar yang tanpa disadari terbawa oleh pengunjung.

Adel tersenyum riang begitu melihat Ardian berjalan ke arah mereka. Ia langsung menyerahkan wadah puding yang telah dibungkus dengan plastik kepada Ardian. Ardian menerimanya dengan heran.

"Apa ini?" tanya Ardian.

"Itu puding buatanku, Uda. Khusus ku buat sebagai ungkapan terima kasih karena Uda sudah menolongku kemarin. Jika tidak ada Uda, entahlah," jawab Adel tersenyum dengan memperlihatkan barisan gigi yang rapi.

"Ah, itu biasa aja, Del. Jangan dipandang sebagai suatu yang terlalu istimewa. Adat hidup saling tolong-menolong. Tapi, terima kasih pudingnya, ya. Apalagi ini kamu sendiri yang membuat, pasti rasanya pun jadi istimewa," Ardian memperlihatkan rasa senang menerima pemberian Adel. Adel mengangguk dan sedikit tertunduk, ia tersipu malu.

"Mau ikut mengutip telur atau mau mampir ke bedengku?" tawar Adrian.

"Gak. Kami harus cepat pulang sebab sebentar lagi sudah waktu makan siang. Nanti bapak dan ibu khawatir," kata Oriza menolak tawaran Ardian, "Kami langsung pamit aja ya, Uda."

"Maaf sudah mengganggu pekerjaan Uda. Tapi lain kali, aku masih bisa ke mari kan?" tanya Adel.

"Oh, silahkan. Kapan-kapan aja kalian boleh ke sini," jawab Ardian dan kemudian ia mengantar mereka sampai ke pintu gerbang peternakan. Ia membalas lambaian tangan Adel, lalu kembali melanjutkan pekerjaan setelah meletakkan puding pemberian Adel ke dalam bedeng. Ia akan memakannya setelah makan siang.

Adel tersenyum-senyum senang. Entah apa yang dipikirkannya. Yang jelas ia merasa senang dengan tanggapan Ardian menerima pemberiannya. Ia sudah mendapat beberapa informasi dari Sinta bahwa Ardian adalah lulusan terbaik Fakultas Peternakan di salah satu perguruan tinggi negeri. Ia berencana akan membuka usaha peternakan sendiri dan merasa perlu untuk menerapkan ilmu di peternakan orang tua Sinta menjelang modal terkumpul cukup untuk membuka sebuah peternakan. Memang anak muda yang memiliki semangat tinggi dan tampilan yang bersahaja menarik perhatian Adel.

"Datang lagi ganjennya tuh," celetuk Ferry. Semua memandang Ferry tidak mengerti maksudnya. Ferry mendengus kesal dan mempercepat langkah.

"Apa maksud bang Ferry?" tanya Adel yang merasa kata-kata itu ditujukan padanya. Ferry tidak mempedulikan, ia terus melangkah dengan cepat meninggalkan mereka. Adel mengejar dan menarik tangan ferry agar menghentikan langkah. Ferry berhenti dan berputar menghadap Adel. Ia menatap Adel dengan pandangan yang tidak seperti biasa. Kegusaran terpancar jelas dari mata Ferry.

"Bukankah benar yang ku katakan?" tanya Ferry sambil melepaskan pegangan Adel di tangannya.

"Apa yang benar?" Adel balik bertanya. Ia pun menatap Ferry dengan sengit.

"Kamu selalu keganjenan kalo melihat cowok yang rada bening," tuding Ferry tanpa basa-basi.

"Tuduhan macam apa itu? Tega kali kamu berpikiran seperti itu. Kamu kira aku ini cewek apaan?" Adel berteriak marah.

Rahmat dan Oriza yang telah sampai di dekat Adel dan Ferry. Mereka kebingungan melihat kedua temannya bertengkar. Mereka tidak mengerti mengapa akhir-akhir ini Adel dan Fery sering berselisih. Mereka mencoba melerai dengan menarik masing-masing; Rahmat menarik Ferry, Oriza menarik Adel.

"Ada apa kak Del? Mengapa bertengkar?" tanya Oriza berusaha menyabarkan Adel.

"Dia mengatakan aku keganjenan ama cowok-cowok yang baru ku temui. Padahal aku tidak seperti itu. Dikiranya aku cewek apaan," gerutu Adel dan ia mengalihkan pandangan kepada Ferry. "Apa alasan kamu mengatakan aku seperti itu?"

"Apapun masalah kalian, tolong selesaikan baik-baik. Kami akan tunggu di depan," kata Oriza sengaja memberi waktu kepada mereka berdua.

Ferry tersenyum sinis kepada Adel, "Ketika pertama bertemu Arya, kamu ingat? Kamu bergitu terpesona dengannya hingga tidak mempedulikan perasaan temanmu sendiri. Padahal terlihat jelas ada sesuatu antara Arya dengan Oriza. Trus, sekarang, kamu terlihat berlebihan dengan Ardian. Maaf ngomong, gayamu kecentilan tanpa mempertimbangkan yang lainya."

"Kenapa Arya dibawa-bawa? Aku hanya ingin berteman dengannya. Apa hubungannya dengan Oriza? Oriza aja tidak mempermasalahkan. Kenapa kamu yang sewot. Trus, sekarang ngapa kamu kasar ngomong bilang aku kecentilan segala?" Adel semakin sewot dan suaranya semakin tinggi.

"Pikir aja sendiri!" kata Ferry ketus.

"Aku hanya bersikap sewajarnya. Kamu aja yang aneh. Marah-marah gak jelas, sampai mukul segala lagi. Ada apa dengan dirimu sebenarnya?" suara Adel makin tinggi.

"Ada apa? Kamu aja yang tidak peka!" lirih suara Ferry seperti ragu mengucapkannya.

"Peka dengan apa?" tanya Adel tidak mengerti. Ia berusaha berpikir untuk menelah maksud perkataan Ferry. Ia teringat penilaian Oriza kemarin malam. "Bang Ferry baperan ama aku?"

Ferry gelagapan sesaat, tapi ia segera menemukan ketenangan kembali. "Bukan baperan. Tapi aku memang menyukaimu sejak kita sama-sama latihan. Kamu aja yang gak peka."

"Tapi aku menganggap kita semua teman, Bang. Mengapa sampai baperan seperti itu?" kata Adel.

"Emang perasaan bisa diatur semau kita?" tanya Ferry.

"Sekarang gini. Aku tak mau kita ada baper-baperan. Lebih baik kita semua tetap berteman seperti sebelumnya. Jadi abang gak perlu sakit hati kalau aku bicara sama teman laki-laki mana pun," kata Adel merasa tak enak teringat Rahmat dan Oriza masih menunggu mereka.

Ferry mendengus. Ia terlihat kecewa dengan respon yang Adel berikan. Padahal ia merasa yakin kalau Adel juga memiliki perasaan khusus terhadapnya. Sikap Adel terhadapnya berbeda dengan sikap Adel terhadap Rahmat. Ia dapat melihat perbedaan itu dengan jelas. Jika hari ini Adel tidak mengakui perasaannya, pasti karena ada yang membuatnya terpesona sesaat. Ia sudah mengerti bagaimana karakter Adel yang mudah tergoda dengan alasan ingin memperbanyak teman. Alasan yang dibuat-buat.

"Kita tutup aja percakapan ini. Sekarang kita segera pulang. Kasian Oriza dan bang Rahmat terlalu lama menunggu di depan sana," kata Adel ingin mengakhiri perdebatan ini.

Ferry menarik nafas panjang dan mulai melangkah meninggalkan Adel. Ia tidak ingin lebih menyakiti hati sendiri dengan berlama-lama berada di dekat Adel. Lebih baik ia segera menyusul Rahmat dan Oriza. Ia yakin Adel juga akan segera mengikuti langkahnya. Dan dugaannya benar, Adel menyusul beberapa saat kemudian.

Oriza dan Rahmat menunggu dengan sabar. Mereka membahas persoalan Adel dan Ferry. Ferry memang terlihat menyukai Adel, namun Adel terlalu cuek menanggapinya. Adel lebih suka menganggap Ferry sebagai teman biasa saja. Adel tidak tertarik dengan sebuah hubungan yang serius.

"Kamu berpikir sama dengan Adel ya, Oriz?" tanya Rahmat.

"Maksudnya?" tanya Oriza.

"Iya, kamu lebih suka menganggap semua hanya teman. Hanya teman!" kata-kata yang sengaja diulang Rahmat sebagai penekanan.

Oriza tersenyum, "Iya bang. Itu lebih baik."

Rahmat mengangguk dan berusaha memahami pemikiran para gadis ini. Baik Adel maupun Oriza kelihatannya sama-sama belum tertarik dengan sebuah hubungan yang lebih serius. Mungkin karena usia mereka, atau mungkin karena hal lain. Sekurang-kurangnya Rahmat tau apa yang gadis ini pikirkan. Tampaknya ia harus lebih bersabar dan tidak gegabah menyatakan perasaan.

Ferry dan Adel sudah menyelesaikan perdebatan mereka. Mereka pulang bersama dengan diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Oriza tidak ingin bertanya pada Adel sekarang, walau sebenarnya ia sangat ingin tau apa yang terjadi diantara Adel dan Ferry. Lebih baik ia diam seolah tak ingin tau. Sekurang-kurangnya Oriza dapat memperkirakan apa yang sedang terjadi antara kedua temannya itu.

Hari-hari selanjutnya, Adel dan Ferry selalu bertengkar. Hal sepele saja dapat membuat mereka bertengkar. Hingga liburan berakhir, hubungan keduanya semakin tidak baik. Oriza dan Rahmat selalu berusaha mendamaikan jika perdebatan mereka makin sengit. Hasilnya perang dingin untuk beberapa waktu.