Aku menyelesaikan sekolah dengan nilai terbaik. Aku ingin melajutkan kuliah di luar, ingin ada perubahan suasana. Ibu memiliki pertimbangan lain. Ia tidak ingin aku jauh darinya dan merasa memiliki kewajiban penuh mengawasi serta memastikan aku baik-baik saja. Aku tidak bisa mengabaikan keinginan ibu sebab pertimbangannya selalu benar dan aku harus melupakan keinginan sendiri. Aku diterima di perguruan tinggi negeri di kotaku. Aku memilih jurusan akuntansi bukan kedokteran seperti keinginan masa kecilku.
"Kenapa pilih itu, Yang? Kan jadi dokter bedah itu impianmu sejak dulu," tanya ibu.
"Itu kan dulu, Bu. Za udah pikirkan masak-masak dan pilihan Za jatuh pada akuntansi. Agar Za bisa mengelola duit sendiri dan keluarga," jawabku.
"Kalau dokter bedah. Kan dibutuhkan banyak orang," ujar ibu.
"Benar. Kalau jadi dokter bedah, banyak orang yang butuh Za. Itu artinya Za dimiliki oleh orang ramai, bukan milik diri sendiri atau keluarga. Za tidak mau sampai melupakan keluarga karena kerja. Keluarga segalanya bagi Za. Lagi pula, dokter bedah tidak akan bisa membedah diri sendiri," argumenku, mengharap ibu mengerti dengan pilihanku. Aku yakin ibu tidak akan memaksakan apa pun. Kali ini juga tidak.
Aku bertemu kembali dengan Rahmat. Kami kuliah di tempat yang sama dan jurusan yang sama pula. Aku senang sekali bertemu dengan Rahmat, sekurang-kurangnya merasa ada teman yang akan mendukungku dari gangguan para senior. Rahmat memang mengkhususkanku. Entah apa yang dibisikkannya pada mereka sehingga mereka semua berlaku baik dan manis padaku.
"Apa sih yang Abang bisikkan ke mereka sampai-sampai mereka jadi baik sekali pada Za? Padahal dengan maba lain mereka jutek banget," tanyaku.
"Gak ada. Aku cuma bilang kamu vokalis terbaik di kota ini," jawab Rahmat ringan sambil ngakak.
"Za tidak percaya! Masa' alasan seperti itu bisa membuat sikap mereka begitu kontras," sanggahku.
"Ih, beneran. Trus aku menjanjikan memujukmu untuk tampil menjadi vokalis kami di malam inisiasi besok," kata Rahmat. Masih ngakak.
"Gak, ah. Udah lama gak nyanyi. Lagian waktunya udah mepet," aku menolak ajakannya.
"Satu laguuuu aja," bujuk Rahmat memasang wajah memelas. Aku tertawa melihat ekspresinya yang lucu begitu. Tak tega menolak, aku menyetujuinya. Hitung-hitung buat menyenangkan hati seorang teman.
Orientasi mahasiswa usai, Rahmat mengajakku berkunjung ke tempat mereka latihan nge-band. Aku diperkenalkan dengan teman-teman yang lain. Mereka sangat ramah dan begitu hangat menerimaku. Kami ngobrol seperti sudah kenal lama. Padahal baru beberapa menit lalu aku mengenal mereka.
Aku ikut latihan dengan mereka, menyanyikan beberapa lagu. Aku tidak mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan musik yang mereka bawa. Beberapa kali mengulang lagu-lagu, akhirnya kami sepakat bahwa aku akan menyanyikan lagu Biar Semua Hilang. Menurut mereka aku lebih bagus membawakan lagu itu dari pada lagu lainnya yang bernada lebih tinggi.
Vokalis asli mereka, Armay, memintaku duet dengannya. Aku tidak yakin bisa berduet karena tidak ada lagu duet yang kukuasai. Armay meminjamkanku sebuah CD.
"Ada feat Rossa dengan Pasha disitu. Coba aja dengar, mana tau besok kamu bisa menyanyikan denganku," bujuk Armay.
"Baiklah. Za akan dengerin begitu sampai di rumah. Tapi Za tidak bisa janji. Sekarang Za harus pulang. Pamit ya semua," kataku sambil mengajak Rahmat pulang. Rahmat memandangku heran. Perutku merasa mual dan kakiku sudah terasa berat.
"Lho, kok cepat pulangnya?" tanya Zet sang drummer.
Aku tersenyum menahan gelisah, "Za tadi tidak bilang ke ibu kalau akan pulang telat. Dah ya, assalamu'alaikum."
Aku menarik tangan Rahmat. Aku sangat butuh pertolongan sekarang. Rahmat mengikuti langkahku dan segera mengeluarkan motor dari parkiran. Aku duduk di boncengan dan memintanya segera mengantar ke rumah sakit. Rahmat tidak banyak tanya. Ia segera menuju tempat yang ku minta.
Aku segera mendaftar di resepsionis dan menyerahkan kartu cek rutin agar segera diprioritaskan. Seorang perawat langsung mengantarkanku ke ruang tindakan. Rahmat terus mengikutiku tanpa bertanya. Ia berusaha memaklumi apa yang sedang aku alami sebab ia tau apa yang aku derita. Ia pun minta agar diizinkan ikut menunggu di ruang hemodialisa. Aku mengizinkannya.
"Bagaimana kondisi ginjalmu, Oriz?" tanya Rahmat setelah aku terbaring menunggu proses pencucian selesai.
"Tampaknya tidak ada perbaikan sama sekali. Sekarang Za hampir tiap bulan harus cuci darah. Dokter sudah menyarankan mencari pendonor," jawabku.
"Maaf, apa mengajakmu ikut menyanyi akan jadi masalah?" tanya Rahmat.
"Tidaklah Bang. Kan cuma sekali ini. Itung-itung reunian kita berdua," jawabku ringan.
Rahmat tersenyum dan memandang seperti menyelidik kondisiku, "Kamu yakin itu tidak akan membebanimu, Oriz?"
"Tidak, Bang. Percaya lah," kataku yakin.
"Ingat reunian, jadi ingat Adel dan Ferry. Ferry sudah lempeng di UI. Nah, Adel…, belum ada kabarnya tuh. Kemarin ku japri gak dijawabnya," ujar Rahmat.
"Kak Del katanya mau kuliah keperawatan. Tapi entah dimana. Za pun belum mendapat kabar. Sejak grup band kita bubar, kami sibuk masing-masing. Bahkan sikap kak Del terasa agak aneh. Tapi mungkin perasaan Za aja kali, ya," aku coba menjelaskan pada Rahmat.
"Iya. Dia iri padamu, Oriz," kata Rahmat mengagetkanku.
"Iri kenapa? Kan Za masih sama seperti awal dia kenal, tidak pernah tampil menyolok" tanyaku heran.
"Kamu tidak tampil menyolok aja sudah sangat menyolok bagi semua orang. Kamu smart, humble, mandiri, tabah. Pokoknya semualah. Perfect lah pokoknya," pujian Rahmat membuatku ngakak.
"Tidak ada yang sempurna, Bang. Nyatanya Za tidak atau belum memiliki kesehatan seperti kak Del. Tapi masa' sih kak Del iri?" tanyaku masih tidak percaya.
"Dia ada japri waktu itu, waktu kamu diminta menjadi pelatih grup band sekolah yang baru," jawab Rahmat.
"Haa? Masa itu membuatnya iri. Kan permintaan itu Za tolak. Memang sih, sesekali Za ngikutin mereka latihan dan ada ngasi saran pada grup itu. Kalau kak Del memang menginginkannya, dia kan bisa membantu mereka juga," kataku.
"Namanya juga sudah dikuasai iri. Mana terpikir seperti itu. Lagian bukan karena dia ingin jadi pelatih sebab dia tidak punya kemampuan untuk itu. Dia iri melihat reaksi orang-orang terhadap dirimu, sementara ia mempunyai andil yang sama denganmu di setiap kegiatan," Rahmat menjelaskan dari sudut pandangnya. Aku mengerti sekarang mengapa Adel menjaga jarak denganku. Andai aku menanyakan langsung ketika itu mungkin hubungan kami masih akrab seperti sebelumnya.
"Ternyata Za kurang peka ya, Bang," kataku sedih. Ingat betapa senang aku dengan perhatian Adel dan kekonyolannya selalu membuatku tertawa.
"Dia aja yang tidak bisa menahan rasa iri, Oriz. Ketika dia tau Arya memberimu hadiah kalung itu, aku juga melihat kekecewaan di matanya. Dia marah-marah aja di pesawat waktu itu. Sampai-sampai aku dan Ferry dibuat bingung. Pas aku menanyakan mengapa dia marah-marah, sempat tercetus bahwa dia heran Arya masih mau bertahan dengan orang yang tidak berprinsip. Aku tau maksudnya itu dirimu," Rahmat menjelaskan lagi.
Aku terdiam, tidak mengira Adel bisa salah mengira soal pendirianku, "Ternyata kak Del salah menilai Za. Karena prinsip yang kuatlah maka Za bersikap seperti itu pada Arya dan Arya mengerti."
"Aku juga mengerti dengan prinsipmu, Oriz. Makanya aku bisa mengikhlaskan dirimu buat siapa pun yang menjadi jodohmu kelak. Yah, kadang aku masih berharap kalau jodohmu itu adalah aku," kata Rahmat sambil tertawa, "Jangan dianggap serius, Oriz. Kita tetap berteman sampai kapan pun. We are friends forever."
"Terima kasih atas pengertiannya, Bang, Kita…," omonganku terhenti mendengar bunyi HP ku. Aku melihat layar, ibu yang menghubungiku. Aku memencet tombol terima.
"Wa'alaikumsalam, Bu. Iya, Bu. Za sedang menjalaninya. Ibu tak usah kuatir. Ada bang Rahmat menemani Za," aku menjawab pertanyaan ibu yang merasa kuatir dengan kondisiku. Perasaan ibu terlalu peka sehingga ia bisa merasakan anaknya sedang dalam masalah.
Aku memberikan HP pada Rahmat. Ibu ingin berbicara padanya. Rahmat menerima HP itu dan langsung mendekatkan ke telinga. Setelah mengucapkan salam, Rahmat mendengarkan dengan seksama. Sesekali ia mengangguk.
"Baik, Bu. Nanti Rahmat yang akan antar Oriz pulang," kata Rahmat, "Wa'alaikum salam."
Rahmat menyerahkan kembali HP padaku. Aku bertanya, "Ibu ngomong apa?"
"Ibu cuma bilang makasih, trus menanyakan apa aku bisa menunggu hingga proses cuci darah selesai dan mengantarmu pulang," jawab Rahmat.
"Jadi merepotkan ya, Bang. Kalau bang Rahmat ada keperluan, Za bisa pulang naik taksi kok Bang," kataku.
"Gak merepotkan. Lagi pula biasanya aku pulang malam hari ini, karena jadwal latihan band. Menunggumu beberapa jam disini tidak terasa lama karena kita bisa bercerita banyak hal. Maklum, kita sudah lama tidak ngobrol panjang," kata Rahmat. Kami membicarakan banyak hal sehingga tidak terasa waktu berlalu dan aku sudah terbebas dari selang yang ditanamkan ke tubuhku.
Rahmat mengantarku pulang. Ia tidak mampir ke rumahku karena masih harus kembali ke tempat latihan. Sebelum berpisah ia masih sempat berpesan agar aku langsung beristirahat dan jangan sampai begadang. Ia masih mengira aku seperti dulu, selalu tidur setelah lewat tengah malam. Aku mengangguk, tidak ingin membantah dan mengatakan bahwa aku sudah berubah kalau soal jam tidur. Aku melambaikan tangan padanya setelah mengucapkan terima kasih.
Ibu membukakan pintu untukku. Ia merentangkan tangan ingin ku peluk. Aku memeluk ibu dan ibu menepuk-nepuk pundakku. Aku tertawa senang diperlakukan seperti itu. Tanpa ditanya, aku bercerita apa saja yang terjadi hari ini. Ibu mendengarkan dengan seksama. Sesekali ia bertanya jika ada yang belum jelas.
"Kamu yakin ikutan tampil di malam inisiasi kampus?" tanya ibu.
"Za rasa gak ada salahnya Za menyetujui permintaan bang Rahmat, Bu. Yah, hitung-hitung kembali menyalurkan hobby yang sempat terlupakan," jawabku.
"Bukan itu maksud ibu. Latihan mungkin agak berat bagimu dengan kondisimu yang sekarang ini," ibu mengkhawatirkan kesehatanku.
"Za sudah dalam kondisi fit, bu. Kan baru cuci darah. Acaranya minggu depan. Lagi pula Za cuma menyanyikan satu lagu aja. Latihannya gak berat kok," aku berusaha menyakinkan ibu.
"Yah, kalau kamu yakin, ibu percaya. Tetap jaga staminamu ya, Yang," kata ibu. Aku mengangguk dan permisi ke kamar untuk istirahat. Ibu memintaku makan penganan sore yang sudah diletakkan di atas meja kamarku. Aku mengangguk dan berjanji akan memakannya.
Aku ingin berbuat banyak, sangat banyak. Tapi aku tidak mungkin bisa melakukan semua. Aku harus memilih. Selalu dihadapkan dengan berbagai pilihan. Aku tau ibu meragukan kondisiku bila kembali ikut latihan band. Latihan seperti itu cukup menguras tenaga ku. Walau hatiku senang, gerak fisik yang berlebihan dapat mempengaruhi kerja ginjal. Itulah yang dikhawatirkan. Bernyanyi bukan hanya mengeluarkan suara, aku juga bergerak kesana kemari berlagak seperti di atas panggung.
Aku berusaha kalem selama latihan. Jika tubuh mulai merasa lelah, aku duduk, beristirahat sejenak. Rahmat memaklumi keadaanku. Teman yang lain juga sudah mengetahui tentang kondisiku. Ternyata Rahmat sudah memberitahukan kondisiku sejak awal agar mereka tidak memberi kegiatan yang berlebihan padaku. Awalnya aku sempat kesal dengan Rahmat sebab membocorkan hal itu. Namun akhirnya aku dapat mengerti maksud baiknya. Mereka semua mendukung sekaligus memaklumi keterbatasanku.
Malam inisiasi begitu meriah. Semua mahasiswa baru berkumpul di aula dan setelah diberi wejangan, mereka disuguhi hiburan dari para senior. Mahasiswa baru diberi kesempatan untuk tampil bagi yang memang mau. Ternyata animo mahasiswa baru cukup besar untuk eksis dipanggung. Ada sepuluh ajuan untuk ikut tampil. Panitia mencatat dan diberi kesempatan tampil selang seling dengan pertunjukan dari senior.
Ada yang membaca puisi, ada yang pantomim, bahkan ada yang menari salsa dengan pasangannya. Aku duduk di samping Rahmat menonton semua pertunjukan itu. Katika sampai giliran grup kami, Rahmat mengajakku ke belakang panggung. Aku mengikuti mereka saja. Tampil kali ini rasanya tanpa beban sama sekali, seperti akan latihan saja. Tidak ada target yang hendak dicapai.
"Berikutnya adalah persembahan dari partai gabungan senior dan mahasiswa baru dalam wadah grup band kampus. Kepada rekan-rekan kami yang sudah bersiap di belakang panggung, dipersilahkan naik ke pentas. Ayo kita sambut grup band kampus kita dengan tepuk tangan yang meriah" suara pambawa acara terdengar jelas dan bersemangat. Tepuk tangan penonton pun membahana di aula ini.
Rahmat naik ke atas pentas dan kemudian kami menyusul. Masing-masing mengambil tempat dan musik mulai dimainkan. Aku membungkuk sedikit pada penonton dan memulai dengan mengucapkan salam yang biasa "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
Lagu pertama selesai ku bawakan. Seperti biasa kami mendengar tepuk tangan penonton dan sorak sorai yang memeriahkan suasana. Rahmat mendekatiku dan berbisik, "Satu lagi bisa ya, Oriz? Duet dengan vokalis kami, Ryan."
Aku terdiam sejenak, mempertimbangkannya. Kami memang sudah latihan lagu duet itu kemarin, tapi aku belum terlalu yakin membawakannya. Aku memandang teman yang lain. Semuanya menunggu. Aku tidak tega menolak. Lagi pula kami akan saling melengkapi, saling menutupi jika ada kekurangan.
"Kami akan membawakan satu buah lagu lagi. Kali ini berduet dengan vokalis asli yaitu bang Ryan!" kataku sambil menunjuk ke arah orang yang dimaksud. Ryan sejak tadi berdiri di samping keyboard memegang kecrekan meletakkan alat yang dipegang, digantikan dengan sebuah mick. Ia melambaikan tangan kepada penonton dan musik pun kembali mulai dimainkan.
Kami berduet dengan apik. Suara kami saling menyelaraskan dan enak didengar. Penampilan kami tidak kalah dengan penyanyi profesional. Kami menyanyikan nada dengan baik dan aransemen yang sedikit berbeda dari lagu asli yang kami dengar. Lagu yang kami bawakan menjadi semakin menyentuh hati.
"Waktu bergulir, lambat merantai langkah, perjalanan kita
Berjuta cerita terukir dalam, menjadi sebuah dilema
Mengertikah engkau perasaanku tak terhapuskan
Malam menangis, tetes embun membasahi mata hatiku
Mencoba bertahan di atas puing-puing cinta yang tlah rapuh
Apa yang kugenggam, tak mudah untuk aku lepaskan
Aku terlanjur cinta kepadamu, dan tlah kuberikan sluruh hatiku
Tapi mengapa baru kini kau pertanyakan cintaku
Akupun tak mengerti yang terjadi
apa salah dan kurangku padamu
Kini terlambat sudah untuk dipersalahkan
karena sekali cinta aku tetap cinta."
Kami mengakhiri lagu dengan saling pandang untuk beberapa saat, walau musik telah berhenti, seolah-olah kami memang sedang jatuh cinta. Terdengar cuitan-cuitan nakal dari bawah dan diikuti tepuk tangan yang meriah. Setelah tepuk tangan pecah, baru kami menghadap penonton dan melambaikan tangan lalu turun satu-persatu.
"Sebuah akhir yang manis dan sangat berkesan. Kalian sangat pandai berimprovisasi. Sungguh kerja tim yang kompak," kata Armay sambil menyalamiku, "Terima kasih ya, Oriza. Kehadiranmu membuat grup ini semakin semarak."
"Hebat kamu Oriza. Grup ini jadi hidup, ada kembangnya. Selama ini kami seperti rumput yang hijau tanpa kembang. Hari ini kamu memang membuat kami merasa sempurna. Mudah-mudahan kamu bisa bergabung dengan kami," kata Zet.
Aku menanggapinya dengan tersenyum. Tidak ingin mematahkan semangat mereka saat ini, sebab aku harus menolak keinginan itu. Seminggu latihan membuatku lelah. Tubuhku memang sudah tak sanggup lagi untuk melakukan aktifitas yang terlalu lama, meskipun hanya duduk dan menyanyi.
Rahmat mengantarkan pulang dan ia juga mengucapkan terima kasih padaku sebab mau membantu band mereka. Ia mengatakan bahwa sebelumnya teman-teman tidak bersemangat untuk tampil. Suara vokalis terlalu pas-pasan dan sering sensi kalau diingatkan. Hal itu yang selalu menjadi duri dalam grup mereka. Mereka sudah berusaha mencari vokalis lain, tapi belum juga ketemu.
"Bang, bukankah suara Za dulu juga parah sekali. Za belum bisa mengontrol pita suara yang terganggu elastisitasnya. Tapi dengan sering latihan bersama, akhirnya suara Za jadi seperti sekarang ini. Ini berkat pengertian dan kesabaran kalian semua. Za rasa bang Ryan akan bisa memperbaiki dan mengontrol suara. Malam ini saja ia bernyanyi dengan bagus," aku menyatakan pendapat.
"Kamu itu penurut, Oriz. Kalau dia tidak seperti itu. Dibilangin, langsung marah," keluh Rahmat.
"Mungkin cara mengatakanya yang belum sesuai, Bang. Waktu latihan kemarin, Za ada memintanya tuk lebih mengontrol suara, dia ngikut dan sama sekali tidak marah," kataku.
"Itu karena kamu cewek dan juga baru ditemuinya. Jadi dia agak jaim," sanggah Rahmat.
"Ah, bukan begitu kalau menurut, Za. Mungkin cara Za mengatakannya membuat ia tidak merasa dipojokkan atau dipersalahkan," argumenku lagi.
Rahmat memandangku berusaha mengingat saat aku mengatakan kekurangan Ryan, lalu ia berkata, "Hmmm, bisa jadi. Cara kamu mengatakanya memang berbeda dengan kami. Lain kali aku akan mencoba mengatakan dengan cara itu. Mudah-mudahan itu akan berhasil dan grup ini bisa eksis."
Kami berpisah di depan pintu. Ibu membukakan pintu dan Rahmat menyerahkan ku padanya. Ibu tersenyum melihat cara Rahmat menyerahkan seolah aku menjadi tanggung jawabnya mutlak mulai saat meminta izin membawa ke acara inisiasi hingga dengan selamat mengantarkan pulang.
Sebelum masuk, aku melambaikan tangan pada Rahmat. Rahmat membalas lambaian itu sambil berkata, "Langsung istirahat ya Oriz. Besok kita ketemu di kampus."