Pagi, cahaya matahari menerobos jendela. Perawat masuk membawa peralatan mandi. Aku belum diizinkan turun dari tempat tidur, sehingga tidak bisa mandi sendiri di kamar mandi. Bapak dan bang Bibi keluar dari kamar. Mereka mencari sarapan di luar. Perawat hanya mengelap tubuhku dengan washlap. Selanjutnya mengganti pakaianku. Ibu membantuku menyisir rambut dan menjalin agar rapi.
Jam 08.32 dokter masuk memeriksa kondisiku. Ia menanyakan beberapa hal padaku. Aku mengeluhkan rasa sakit kepala yang masih terasa. Dokter mengatakan itu bisa jadi disebabkan oleh obat bius yang digunakan. Aku sudah bisa minum, namun belum diperkenankan untuk makan.
Ibu mengikuti dokter keluar ruangan. Mungkin ada yang akan ditanyakan ibu dan tidak ingin aku mendengarnya. Aku ditinggalkan sendiri di kamar. Sendirian membuat pikiranku melanglang buana hingga sampai ke negeri antah berantah. Aku melihat seseorang terkapar di sebuah padang rumput yang luas. Orang berbaju putih itu mengapai-gapai seolah mengharap pertolongan. Aku berlari mendekati, ingin menolongnya. Kaki ku terasa berat sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke tempat itu.
Akhirnya aku sampai juga. Aku berdiri di sisi orang itu dan membalikkan tubuhnya. Aku melihat wajahnya. Wajah itu begitu pias dan penuh dengan luka yang berdarah. Aku menyeka luka itu dengan jilbab panjangku. Pelan-pelan wajahnya mulai terlihat jelas. Aku mengenalnya, bahkan sangat mengenalnya, itu Arya.
Aku memanggil-manggil berharap ia membuka mata. Aku begitu cemas memikirkan Arya yang sekarat. Ada rasa tidak rela jika ia meninggalkanku saat ini. Aku mengguncang-guncang tubuhnya, namun ia masih tidak bergeming. Aku semakin panik dan terus memanggil-manggil namanya.
Tepukan di wajah menyadarkan ku. Aku melihat siapa yang menepuk pipiku. Rahmat sudah berdiri di sampingku. Aku heran. Sejak kapan ia disini?
"Kamu mengigau ya, Oriz?" tanya Rahmat. Aku bingung menjawabnya.
"Kapan bang Rahmat datang?" tanyaku.
"Aku berangkat dengan penerbangan paling pagi. Aku tau apa yang kamu hadapi pasti sangat berat. Makanya aku menyusul kemari. Oya, sebentar lagi Ferry juga akan ke sini," jawab Rahmat.
"Bang Ferry?" tanyaku.
"Iya. Kebetulan dia nelponku. Katanya teringat dirimu. Ya, aku kabarkan kondisi terakhirmu. Makanya kami janjian ketemuan hari ini disini," jelas Rahmat.
Aku mengangguk mengerti dan hatiku terharu. Ternyata bang Ferry masih mengingatku setelah dua tahun lebih kami tidak pernah kontak. Aku tidak sabar menunggunya. Akhirnya yang ditunggu datang. Tidak sendiri. Ia datang dengan seorang gadis yang menutup wajah dengan masker.
Aku tidak ingin menduga-duga siapa yang dibawa Ferry. Ia menyalamiku. Gadis itu juga menyalamiku. Tiba-tiba gadis itu memelukku. Aku heran. Ini bukan reaksi orang yang baru kenal. Siapa gadis yang tiba-tiba terisak di dadaku. Aku membiarkannya beberapa saat dan memandang Ferry dengan tatapan bertanya. Ferry membalas tatapanku dan mengangkat bahu tanda ia pun bingung.
Aku mendorong pelan tubuh yang memelukku itu. Aku menatap matanya dan aku menyadari siapa dia, "Kak Del?"
"Iya, ini aku, Nek," katanya lirih disela isak yang masih tersisa.
Aku memeluknya kembali. Ada kerinduan di hatiku untuk dirinya. Selama ini ia sama sekali tidak berkabar denganku. Bahkan nomor HPnya tidak lagi bisa dihubungi. Ia seperti hilang ditelan bumi. Air mataku pun merembes keluar.
"Kemana aja dirimu kak Del? Za coba menghubungi berkali-kali tapi nomornya sudah tidak aktif," kataku merajuk.
"HP ku hilang, Nek. Aku tak ingat nomornya. Mana ada kita ingat nomor sendiri. Jadi beli no baru. Pas sudah dapat nomor lama, malas pula menggantinya karena teman kuliah sudah menyimpan nomor yang baru itu," alasan dari Adel bisa ku mengerti walau masih terasa ada yang mengganjal. Aku tidak peduli dengan sesuatu terasa tidak match tersebut, yang penting kami sekarang sudah bertemu kembali.
"Kak Del kuliah dimana?" tanyaku lagi.
"Sama dengan bang Ferry, hanya beda fakultas. Aku mengambil keperawatan," jawab Adel. Kemudian Adel bercerita tentang kuliahnya. Aku mendengarkan dengan seksama dan sesekali bertanya. Kami saling tukar cerita, walau aku lebih banyak sebagai pendengar. Bicara yang panjang membuat dadaku agak sesak, makanya aku tidak terlalu berkeinginan untuk bercerita.
Ibu masuk ke kamar perawatanku. Semua menyalami ibu dan saling melepaskan kangen. Mereka kembali bercerita pengalaman ketika liburan bersama beberapa tahun lalu. Kisah itu menjadi kisah lucu sebab semua kesialan yang berlalu bila dicerita malah membuat perut rasa digelitik. Bapak dan bang Bibi pun akhirnya bergabung dan sama-sama terlibat dengan kisah masa lalu yang seru, lucu, sedih, dan menyebalkan. Suara ketawa seperti tidak berhenti kudengar. Aku hanya meringis, tidak bisa tertawa keras dan lepas sebab jahitan di tubuhku terasa perih bila banyak bergerak.
"Aku masih ingat dengan Uni Sinta. Bagaimana kabarnya sekarang?" tanya Adel.
"Bang Rahmat ni yang masih sering chat ama dia. Jawab, Bang," kataku.
"Gak sering jugalah. Ada sesekali. Sinta Kuliah di Unand, jurusan peternakan. Itu yang ku tau, selebihnya pembicaraan yang kurang penting," jawab Rahmat. Aku sempat menangkap sekelebatan kilatan matanya yang berbinar saat menyebut nama Sinta. Aku tersenyum.
"Nanti kalau kamu sudah benar-benar sehat, kita liburan di kampungmu lagi ya, Nek," pinta Adel.
"Benar tuh, aku setuju," kata Ferry.
Aku memandang ibu. Ibu tersenyum dan berkata, "Ide yang bagus. Liburan semester depan, jika kondisi Za sudah pulih, kita akan liburan ke kampung bersama-sama. Liburan semester ini sudah terkunci, tidak bisa kemana-mana karena masa pemulihan."
Adel bersorak dan melompat-lompat kegirangan, "Hore, liburan… liburan…" Semua tertawa melihat tingkah Adel.
"Bu, siapa nama pendonor yang baik hati pada Za?" tanyaku pada ibu.
"Ibu sudah menanyakan pada pihak rumah sakit. Katanya yang bersangkutan minta pihak rumah sakit merahasiakan agar keikhlasan tidak berubah sampai kapan pun," jawab ibu.
"Alasan yang aneh. Kalaupun disebut nama dan kita tidak mengenalnya, bagaimana keikhlasan bisa berubah menjadi ketak-ikhlasan," aku benar-benar merasa aneh dengan jawaban itu. Satu-satu nya yang terpikir, pendonor adalah orang yang mengenal diriku. Mana mungkin orang tiba-tiba mau mendonorkan ginjal pada orang tidak dikenal begitu saja.
"Ibu dan bapak juga merasa aneh. Ia juga tidak meminta bayaran atas ginjal yang didonorkan. Katanya karena nazar atas sesuatu. Lebih aneh lagi alasan itu," kata ibu.
"Siapa yang begitu baik mau memberikan satu ginjal buat orang lain? Tanpa imbalan apa-apa lagi," aku masih merasa heran.
"Allah yang menggariskan semuanya, Za. Bisa jadi itu hanya asbab aja. Allah akan memberikan rezeki pada kita dari pintu yang tidak dapat kita duga," kata bang Bibi.
"Iya sih, Bang. Ya Allah, terima kasih atas anugerah yang diberikan pada Za," kataku berusaha menyimpan rasa penasaran. Aku merasa tak enak jika tidak berterima kasih pada orang yang telah menolongku. Aku merasa seperti orang yang tidak tau diri.
Mereka menemaniku sampai pukul sembilan malam. Mereka meninggalkanku agar dapat beristirahat dengan tenang. Rahmat menginap di kosan Ferry. Bapak, ibu dan bang Bibi menginap di apartemen saudara kami yang tidak jauh dari rumah sakit.
Tadi sore aku sempat tertidur sebentar. Sekarang aku tidak ngantuk dan tidak bisa memaksakan diri tidur. Aku masih penasaran dengan penolongku. Disaat sendiri aku bisa menganalisisnya dengan lebih leluasa.
Dugaanku kuat, sang penolong adalah orang yang mengenal diriku. Orang itu tidak ingin identitasnya kami ketahui. Nazar adalah alasan yang dicari-cari. Ginjal harus kuperoleh dengan kondisi fresh. Yang artinya, jika waktu konfirmasi dengan eksekusi hanya satu hari, maka orang itu diambil ginjalnya lebih dulu beberapa waktu sebelum proses pencangkokan dimulai. Itu juga mengisyaratkan bahwa orang itu masih berada di rumah sakit ini sampai beberapa hari ke depan. Aku harus menemukan orang itu.
Besok pagi aku sudah harus belajar jalan. Aku akan mencoba mencari informasi pada perawat jaga, atau akan melongok dari kamar ke kamar bila diperlukan. Aku benar-benar bertekad kali ini. untuk tekadku itu, aku harus memiliki kekuatan. Kekuatan itu salah satunya aku dapat dari istirahat yang cukup. Aku harus bisa segera tidur. Aku berdoa dan memejamkan mata berharap aku segera terlelap. Aku tidak akan membuka mata apa pun yang terjadi sampai aku benar-benar terlelap.
Misi utamaku hari ini adalah mencari pendonor misterius. Aku mencoba bertanya-tanya pada perawat yang mengecekku pagi ini. Aku mendapat jawaban bahwa perawat tersebut hanya ditugaskan pada bagian ini untuk melakukan pengecekan rutin, tanpa memperhatikan kasus-perkasus dari setiap pasien. Jawaban yang tidak berhubungan dengan misiku.
Perawat yang mengantarkan sarapan pagi tidak luput dari pertanyaanku. Lagi-lagi aku memperoleh jawaban yang sama sekali tidak menjawab pertanyan utamaku tentang pendonor tersebut. Aku tidak akan menyerah. Aku akan mencari hingga ketemu.
Dokter sudah mengizinkanku untuk turun dari tempat tidur. Aku diminta untuk latihan ringan, termasuk berjalan dengan pelan. Awalnya memang terasa ragu sebab bekas luka sayatan terasa berdenyut, walau sudah makan obat pereda rasa sakit. Tapi demi misiku, aku harus bisa berjalan sendiri. Aku ingin memeriksa setiap kamar, mana tau dia ada di salah satu kamar pada wad penyakit dalam ini.
Aku mencoba berjalan ke luar kamar, merambat sambil berpegangan pada dinding. Baru beberapa langkah kepala ku pusing. Aku mencoba meraih bangku yang ditempatkan merapat di dinding. Ternyata aku harus melangkah lagi untuk mencapainya. Seseorang menyentuh bahuku dan melingkarkan lenganku ke pundaknya. Aku melirik, ternyata Rahmat yang berdiri di sisiku. Rahmat membantuku duduk di bangku tersebut.
"Kenapa ke luar kamar? Ada yang kamu perlukan?" tanya Rahmat.
"Za disuruh dokter belajar berjalan. Jadi Za coba berjalan ke luar," jawabku sekenanya.
"Kalau baru belajar, kenapa tidak di kamar aja Oriz? Disana lebih banyak benda yang dapat kamu gapai bila merasa tidak kuat untuk berdiri. Atau kamu ingin ke luar melihat-lihat? Biar ku ambilkan kursi roda dan membawamu berkeliling," Rahmat menawarkanku untuk duduk di atas kursi roda. Aku mempertimbangkan usul itu. Mungkin ada baiknya aku menerima tawaran tersebut.
Aku dibantu duduk di atas kursi roda. Rahmat mendorong pelan. Ketika sampai di tempat perawat jaga aku memintanya berhenti. Aku bertanya pada perawat tentang pasien khayalanku yang bernama Stefanus dan di rawat di wad ini.
"Tidak ada nama itu di wad ini, Cantik," kata salah seorang perawat setelah melihat daftar pasien.
"Masa' sih? Dia dengan jelas mengatakan di rawat disini. Dia dioperasi Rabu lalu," aku masih ngotot bertanya.
"Yang dioperasi dua hari lalu hanya nona Oriza, pasien gagal ginjal," kata perawat tersebut. Nampaknya ia tidak mengenal siapa yang disebut.
"Ooo ada yang transplantasi ginjal ya. Berarti ada dua orang yang dioperasi di hari yang sama. Yang mana kamarnya, Sus?" tanyaku. Rahmat menyentuh pundakku. Ia mulai menyadari arah pertanyaanku.
"Yang tercatat disini hanya ada satu pasien operasi dua hari lalu. Tidak ada yang lain. Mungkin yang lainnya berada di wad lain. Sebentar, saya lihat dulu data di komputer ini" kata perawat tersebut. Ia mencari beberapa waktu. Aku menunggunya dengan sabar.
"Maaf, Cantik. Disini tidak ada informasi tentang pasien operasi dihari yang sama," jawaban yang melemahkan semangatku. Aku mengucapkan terima kasih dan mengajak Rahmat kembali ke kamarku lagi.
Sesampai di kamar, bapak dan ibu sudah menunggu. Mereka tersenyum melihatku sudah tidak terbaring lagi. Mereka menanyakan apa yang kurasakan. Apakah aku merasa sakit pada bagian tertentu. Aku menggeleng. Hanya sedikit perih dibekas sayatan, itu saja yang ku rasakan.
Ibu dan bapak pamit sebentar akan konsultasi dengan dokter yang menanganiku. Mereka meminta Rahmat menemaniku sampai urusan mereka selesai. Rahmat meminta izin membawaku ke taman rumah sakit. Bapak memberikan izin. Jika urusan mereka selesai mereka akan mencari kami.
Rahmat membawaku ku taman di belakang rumah sakit. Taman kecil yang cantik. Rahmat duduk di kursi taman dan memandang wajahku. Aku tersenyum melihatnya. Pasti ia ingin menanyakan tentang pertanyaan-pertanyaan konyolku di tempat perawat jaga tadi.
"Kamu mencari informasi tentang orang yang telah menolongmu? Itu yang membuatmu tadi berjalan sendiri ke luar kamar walau hal itu masih riskan kamu lakukan?" tanya Rahmat.
Aku mengangguk, "Za harus tau siapa orangnya, Bang. Za tidak akan tenang kalau sampai tidak tau siapa yang telah menolong memberi kehidupan lagi pada Za. Jika ia tidak menginginkan apa-apa, paling tidak Za bisa mengucapkan terima kasih padanya."
"Pertanyaanmu cukup cerdik. Tapi jika ada permintaan khusus, datanya tidak akan mudah kamu temukan. Nanti aku akan coba menolongmu mencarikan informasi. Tapi berjanjilah tidak akan keluar sendiri dari kamar tanpa ditemani. Paling tidak sampai kondisimu benar-benar baik,"
Aku melihat seekor kupu-kupu berwarna kuning terbang rendah, lalu hinggap di kelopak bunya mawar merah. Warna kuning sayapnya begitu menyolok menarik perhatianku. Kupu-kupu itu mengingatkanku pada Arya. Ia pernah mengibaratkanku seperti kupu-kupu. Ia akan membiarkan kupu-kupu itu terbang bebas dan pada saat sayapnya lelah ia hanya berharap kupu-kupu itu memilihnya sebagai tempat hinggap. Makna kata-kata itu begitu dalam, tak terasa air mataku mengalir pelan.
"Oriz? Kenapa? Ada yang sakit?" tanya Rahmat. Aku menggeleng dan menatapnya sedih. Aku tidak bisa mengungkapkan apa yang kurasakan.
Rahmat menyeka air mataku dengan jari-jarinya. Aku membiarkanya. Aku juga membiarkan air mata itu terus mengalir, bahkan semakin deras. Kini aku yakin dengan perasaanku, aku sangat merindukan Arya saat ini. Mimpi buruk tentangnya malam tadi cukup membuatku merasa gelisah dan mengingat semua perhatian yang kuabaikan membuat aku merasa sangat berdosa.
"Sudah, sudah Oriz. Aku bingung harus berbuat apa kalau kamu menangis seperti ini," Rahmat mencoba membujukku. "Katakan, apa yang mengganggu pikiranmu!"
"Tiba-tiba Za kangen babang Arya, Bang," ujarku disela isak.
"Owalah, ku kira apa. Telepon aja dia," kata Rahmat sambil menyerahkan HP nya.
"Emang ada nama babang Arya disitu?" tanyaku.
"Oh, iya. Aku pernah simpan nomornya. Tapi ketika HP di-reset ulang, hilang semua nomor kontak, termasuk nomornya. Kalau gitu, tunggu disini sebentar, biar kuambil HP mu di kamar," jawab Rahmat, kemudian ia pamit meninggalkanku.
Aku mencari-cari kupu-kupu kuning tadi dengan pandangan. Kupu-kupu itu sudah tidak di tempat semula. Ia pasti sudah terbang mencari bunga lain untuk dihinggapi. Aku masih mencari-cari dimana kupu-kupu itu hinggap. Mataku tertarik pada sebuah jendela kaca besar yang tertutup tirai tipis. Kupu-kupu itu hinggap disana, Aku turun dari kursi roda dan dengan perlahan melangkah mendekati.
Tirai tipis itu bergoyang. Aku terkesiap, merasa ada seseorang dibalik tirai itu sedang memperhatikanku. Mataku tidak lagi tertarik pada kupu-kupu, tapi lebih fokus pada tirai tersebut. Aku terus melangkah mendekati jendela. Rasa penasaran menuntun dan memberi kekuatan padaku. Penasaran, ingin melihat ada apa atau siapa di balik tirai itu.
Aku merapatkan wajah ke kaca jendela dan memandang ke dalam. Walau terlihat samar, tapi aku dapat memastikan itu adalah ruang perawatan. Fasilitasnya lebih lengkap dari kamar perawatanku. Desainnya sangat bagus sangat berbeda dengan kamar lain. Aku tidak melihat seorang pun di dalam kamar. Mungkin perasaanku saja kalau ada orang di dalam kamar ini sedang mengamatiku di balik tirai sesaat tadi.
"Oriz! Kenapa berdiri disana?" tanya Rahmat sambil mendorong kursi mendekatiku. Aku dibantunya duduk.
"Za mengejar kupu-kupu cantik. Tadi dia hinggap di kaca ini. Eh, pas sampai di sini malah hilang lagi," jawabku.
Rahmat menyerahkan HP padaku. Aku mencoba menelepon Arya, terdengar nada sambung. Samar aku mendengar nada dering yang ku kenal. Nada dering itu adalah lagu Romance de Amour, lagu kesukaanku. Aku menajamkan pendengaran. Suara itu berasal dari dalam kamar yang kuintip tadi.
Pikiranku menganalisisnya. Aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Untuk memastikan, aku memutuskan sambungan telpon, lalu kembali menelpon ke nomor Arya. Begitu nomor sambung terdengar, aku menajamkan telinga dan kembali mendengar nada dering itu dari dalam kamar tersebut.
Aku mencoba berdiri agar dapat melihat kembali ke dalam kamar. Rasa penasaranku tidak terbendung. Rahmat heran melihatku yang kembali mendekati jendela.
"Ada apa, Oriz?" tanya Rahmat.
"Za nelpon babang Arya, tapi kenapa bunyi deringnya terdengar dari kamar ini?" kataku heran, sambil menunjuk kamar yang ku maksud.
"Masa' sih? Kebetulan aja kali, tuh. Ntar kamu ngintip-ngintip kata orang kamu mau ngapain," ujar Rahmat kembali mendekatkan kursi roda padaku.
"Za yakin, Bang. Biar Za coba lagi, ya. Abang fokus dengar dering Romance de Amour" kataku tidak bisa mengatasi penasaran.
Aku kembali menekan nomor Arya. Beberapa saat kemudian terdengar nada sambung. Aku memberi kode pada Rahmat agar fokus mendengarkan. Rahmat tidak mendengar suara apa pun dari kamar itu. Ia melambaikan tangan tanda tidak mendengar apa-apa dari dalam kamar. Aku menjauhkan HP dari telinga dan fokus pada suara lainnya, memang tidak terdengar nada dering khusus itu lagi.
"Tu, kan. Kebetulan mungkin. Kebetulan yang dirawat di kamar itu memakai nada dering yang sama. Tadi, nyambung, kan?" tanya Rahmat. Aku mengangguk.
"Yah, bisa jadi memang begitu. Sudahlah. Kita kembali ke kamar aja ya, Bang. Za ingin istirahat," pintaku.
Rahmat membawaku ke kamar. Aku sibuk dengan pikiran sendiri. Aku merasa yakin melihat ada seseorang di balik tirai itu. Begitu aku mendekat, bayangannya sekelebat hilang. Tidak mungkin siang-siang ada hantu.
Bapak dan ibu ternyata sudah di kamar menungguku. Wajah mereka menyiratkan sesuatu yang tidak biasa. Aku dapat merasakannya. Sebelum aku sempat mengeluarkan suara untuk bertanya, ibu sudah langsung menyatakannya.
"Deposit kita dikembalikan. Biaya operasi dan perawatanmu sudah diselesaikan oleh seseorang. Kami tidak tau siapa orang itu," kata ibu sambil memandangku dengan tatapan heran.
"Masa' sih, Bu? Siapa orang yang begitu baik pada Za? Apakah sama orang yang memberi ginjal dengan yang menanggung biaya Za?" tanyaku sama herannya.
"Kami sudah mencoba bertanya, Za. Kami tidak mendapatkan informasi apa-apa tentang dua hal itu," ujar bapak lirih.
"Tadi, ketika kami akan membayarkan sisa biaya operasi, justru uang deposit kemarin dikembalikan oleh bagian administrasi. Berkali-kali kami menanyakan siapa yang menanggung semua biaya itu. Bagian administrasi hanya mengatakan 'no name' aja. Mereka tidak bisa memberi informasi selain itu. Bapak jadi merasa gak enak. Merasa terhutang budi," kata bapak lagi.
"Gini aja, Pak, Bu, anggap aja Allah sudah mengirimkan malaikat penolong kepada kita. Siapa pun orang yang sudah membantu kita, kita doakan saja semoga mereka sekeluarga selalu dalam lindunganNya dan diberi banyak kemudahan dalam hidup," kataku setelah beberapa lama kami larut dalam sebuah tanda tanya besar tentang identitas penolong itu. Dengan berkata demikian kuharap dapat menekan rasa penasaran orang tuaku dan menghindari rasa tidak enak dianggap seperti orang yang tidak mampu.
Rahmat hanya memandang kami dan sama sekali tidak berani mengeluarkan pendapat. Ia takjub dengan berita yang baru saja didengar. Aku menerima bantuan sedemikian besar dari orang-orang yang tidak ingin identitasnya diketahui. Mungkin kebaikan keluarga ini yang menyebabkan Allah mengirim bantuan di saat yang tepat.
Aku memandang Rahmat. Rasa penasaranku jauh lebih besar dari yang dirasakan oleh orang tuaku. Kening Rahmat berkerut, mencoba menterjemahkan pandanganku. Ia tersenyum, mengerti apa yang kupikirkan. Ia mengacungkan jempol dari sisi kantong celananya, tidak ingin dilihat oleh orang tuaku.