Selama seminggu perawatan, kondisiku semakin baik. Setelah dokter bisa memastikan bahwa ginjal bawaan dapat diterima oleh tubuhku dengan baik, aku diizinkan pulang. Aku diminta melakukan kontrol rutin dengan interval waktu. Aku dapat melakukan kontrol rutin di rumah sakit rujukan dengan membawa surat pengantar dan dokumen rekam medis. Itu artinya, aku tidak perlu ke Jakarta untuk kontrol rutin. Pada bulan keenam saja aku diwajibkan memeriksakan diri kembali di rumah sakit ini.
Selama masa perawatan, teman-temanku menemani secara bergantian. Saat ini mereka juga sudah liburan semester. Mereka sengaja menunda kepulangan karena ingin berangkat bersama-sama denganku. Rahmat setiap hari melaporkan perkembangan penyelidikannya. Sampai hari terakhir kami di Jakarta, tidak banyak perkembangan penyelidikannya. Pihak rumah sakit benar-banar menjaga rahasia pasien. Informasi yang diperoleh adalah orang yang mendonorkan ginjal berumur kitaran 23-25 tahun, berjenis kelamin laki-laki. Selain itu, nama orang yang menanggung biaya rumah sakit adalah Suryo Pranowo.
Aku membawa pulang nama itu di benakku. Aku akan mencoba melacak nama tersebut di Google. Ada banyak orang dengan nama itu. Aku mempersempit pencarian dengan menentukan lokasi yaitu Jakarta, tersisa 22 orang. Aku kembali menyeleksi satu persatu nama yang tersisa. Akhirnya tinggal lima orang yang memiliki kans besar sebab secara finansial mereka adalah orang-orang yang sangat mampu.
Suryo Pranowo pertama adalah pemilik beberapa swalayan besar di Jakarta dengan beberapa cabang di daerah. Aku mencoba mencari berita tentang orang itu. Ia seorang pengusaha sukses yang memulai usaha dari bawah. Ia mempunyai keluarga yang lengkap dan diusianya ke tujuh puluh tahun, ia memiliki dua puluh tiga orang cucu. Tidak terlihat motif membantuku sebab tidak berhubungan sama sekali.
Suryo Pranowo kedua, pemilik galeri seni yang cukup terkenal di Jakarta. Orangnya masih muda dan belum berkeluarga. Kurang mungkin ia memiliki motif menolongku karena ingin memperistri diriku. Motif tersebut tidak kuat. Aku dapat langsung menyingkirkan orang ini dari daftar.
Suryo Pranowo ketiga adalah pengusaha retail yang sudah mapan. Ia berusia 43 tahun, memiliki seorang istri dan belum memiliki anak. Jika motifnya ingin mencari istri lagi, ia pasti memilih perempuan yang sehat, bukan seperti diriku. Aku menandai nama ini dengan sebuah tanda tanya besar. Motif tidak kuat, namun masih ada kemungkinannya.
Suryo pranowo keempat adalah seorang kakek kaya raya keturunan ningrat yang hidup seorang diri. Diriwayatkan ia memperoleh kekayaan dari orang tua, namun ia tidak pernah menikah hingga hari tuanya. Sama sekali tidak ada motif untuk menolongku. Aku ingin mencoretnya dari daftar nama, tapi ragu. Bisa jadi memang ia berniat membantu siapa saja, kebetulan saat ia akan melaksanakan niatnya, akulah yang terpilih secara acak. Peluangnya kecil, namun setiap kemungkinan harus diperhitungkan dalam statistik.
Suryo Pranowo kelima, adalah seorang dokter yang memiliki klinik kecil di Jakarta. Klinik kecil menggambarkan seorang dokter biasa saja. Bisa jadi secara finansial tidak terlalu mapan. Kurang mungkin juga ia mau membiayai orang lain yang tidak dikenal. Motif tidak jelas. Aku mencoret nama itu dari daftar.
Aku kembali meneliti ketiga nama yang tersisa. Mencari hubungannya dengan rumah sakit tempatku di rawat kemarin. Ketiganya tidak pernah berobat ke rumah sakit itu! Bagaimana mungkin mereka adalah orang yang kucari, jika mereka tidak pernah ke rumah sakit tersebut. Kepalaku berdenyut, aku memutuskan untuk menghentikan dulu pencarian hari ini. Lebih baik aku beristirahat agar tidak menimbulkan masalah kesehatan lagi. Jam di kamarku sudah menunjukkan tengah malam, sudah dua jam lewat dari waktu yang ku tentukan untuk tidur.
Sudah seminggu aku menyortir nama-nama itu. Aku masih belum menemukan apa yang kucari. Kali ini tampaknya akan mentah lagi dan aku harus mengulang pencarian dari awal. Ternyata mencari dengan cara itu tidak semudah lakon dalam film barat. Aku harus membaca riwayat masing-masing sebelum menyingkirkan jika tidak nampak hubungan sama sekali dengan yang kucari.
Selama seminggu ini pula aku nyaris mengurung diri di kamar. Hal ini membuat ibu khawatir. Pagi ini ibu mengajakku jalan-jalan di sekitar komplek tempat kami tinggal. Hari Minggu pagi biasanya warga komplek keluar jalan pagi, dilanjutkan dengan senam bersama di lapangan.
Aku duduk di kursi taman sambil melihat orang senam. Seorang ibu yang tidak ikut senam menghampiriku. Aku menyalaminya dan ia tersenyum. Ia duduk di sebelahku.
"Gimana kabarmu, Za?" tanya ibu itu.
"Alhamdulillah, baik bu," jawabku ramah.
"Syukurlah. Tidak banyak orang seberuntung kamu. Kamu bisa mendapatkan pendonor tepat pada waktunya. Anak bu Airin juga gagal ginjal. Tetangganya yang dokter mau membantu mengoperasi tanpa mengenakan biaya operasi pada, tapi sampai waktunya pendonor yang tepat tidak ditemukan juga. Itulah akhir perjuangan mereka. Kasian sekali," ibu itu bercerita tanpa diminta, Aku mendengar dengan seksama.
"Dokter Fandy?" tanyaku.
"Iya. Dokter Fandy yang ahli bedah itu. Dia bersedia menolong mengoperasikan, tapi, yah, memang sudah suratannya mungkin," jawab ibu itu.
Aku mengangguk saja mendengarkan keterangannya. Aku mengenal dokter yang dimaksud. Dokter yang ramah dan hidup sederhana. Memang dokter yang baik dan peka terhadap kesulitan tetangga. Dokter? Tiba-tiba aku teringat dengan Suryo Pranowo yang seorang dokter dengan klinik kecilnya. Apakah itu mungkin? Jika dokter Fandy yang sederhana saja bisa membantu biaya operasi, dokter yang memiliki klinik jauh lebih mungkin melakukannya. Aku segera permisi dan menuju rumah, meninggalkan ibu yang masih bergabung dengan warga lainnya.
Aku membuka laptop dan mencari keterangan yang lebih banyak tentang dokter yang bernama Suryo Pranowo tersebut. Aku kembali membaca artikel yang ku temukan kemarin malam. Aku membaca artikel itu hingga tuntas. Dadaku sesak, nafasku memburu seperti habis berlari kencang. Aku berusaha menenangkan diri.
Dokter Suryo Pranowo memiliki klinik kecil di perkampungan kumuh di pinggiran Jakarta. Klinik tersebut ia dirikan untuk membantu warga yang kurang mampu dalam pemenuhan kebutuhan kesehatan. Bukan hanya klinik kecil itu yang dimilikinya. Ia juga memiliki sebuah rumah sakit besar, dan rumah sakit itu adalah tempat dimana aku dioperasi dan dirawat beberapa waktu lalu.
Aku mencari artikel lainnya tentang dokter tersebut. Aku menemukan sebuah artikel tentang keluarganya. Jari-jariku terasa kebas, tidak mampu menggerakkan kursor laptop saking kagetnya melihat foto keluarga sang dokter. Dalam foto itu ada tiga orang, ketiganya aku kenal, dokter Suryo Pranowo, Arya Prasetyo, dokter Erina Dupilana. Itu adalah foto keluarga Arya, orang yang sangat dekat denganku. Aku mengutuk diri yang tidak pernah mau tau dengan Arya dan keluarganya.
Aku meraih HP dan langsung meneleponnya, tidak tersambung. Aku coba berkali-kali namun tetap tidak tersambung. Ada apa? Apakah Arya sudah mengganti nomor telponnya? Atau hanya karena jaringan yang bermasalah. Sejak di Jakarta tempo hari, aku belum ada mencoba menelponnya lagi. Aku menunggu sekitar lima belasan menit. Aku menekan nomor Arya kembali, namun tetap tidak ada nada sambung, bahkan pemberitahuan provider memintaku untuk mengecek nomor tersebut kembali, itu artinya nomor itu sudah tidak digunakan lagi. Aku coba mengirim chat wa ke nomor tersebut, kelihatannya terkirim tapi tidak diterima. Dugaan terkuat, nomor itu memang sudah tidak digunakan lagi. Ada apa ini? Aku amat gelisah. Kenapa tiba-tiba Arya menghilang begitu saja?
Aku kembali ke laptop dan mencoba mencari nomor kontak dokter Suryo orang tuanya. Ada beberapa nomor telpon disana, tapi semuanya tersambung ke rumah sakit, tidak satu pun nomor pribadinya. Orang rumah sakit tidak bisa memberikan nomor pribadi dokter Suryo.
Tanda tanya besar ada dalam benakku. Ada apa semua ini? kenapa semua berubah dengan drastis. Arya menghilang dan keluarganya pun susah dilacak. Aku mondar-mandir bingung memikirkan apa yang harus kulakukan untuk menemukan mereka. HP ku berdering keras. Sangat mengagetkanku. Aku mengharapkan itu telpon dari Arya.
Aku segera melihat layar HP dan tertera nama Rahmat. Aku mendekatkan HP ke telinga dengan tidak bersemangat.
"Assalamu'alaikum, Oriz," sapa Rahmat dari seberang sana.
"Wa'alaikumsalam, Bang," jawabku.
"Hei, suaramu seperti orang kalah perang. Semangat donk, Riz. Apalagi jika kamu mendengar info yang akan ku sampaikan. Kamu harus semangat," kata Rahmat sambil tertawa kecil. Ia sama sekali tidak mengerti kondisiku saat ini.
"Aku sudah dapat informasi siapa yang mendonorkan ginjal untukmu," kata Rahmat lagi.
"Siapa?" tanyaku masih tidak bersemangat sebab semua sudah bermain di benakku. Anaknya yang mendonorkan ginjal, bapaknya yang mengoperasiku.
"Arya! Babang Arya-mu," kata Rahmat setengah berteriak.
Air mataku langsung menderas dan aku tidak bisa menahan isak. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak bisa mendengarkan kelanjutan kata-kata Rahmat. HP ku lepas begitu saja. Aku duduk di lantai sambil menekukkan kedua kakiku. Aku menangis terisak. Ada rasa sesal dalam diriku. Rasa sesal yang amat sangat seolah aku telah melakukan kesalahan besar dan sangat sulit memperbaikinya.
Entah sudah berapa lama menangis, aku mendengar pintu kamar dibuka. Ibu berlari mendekatiku. Ia segera memelukku. Ia mengelus punggung dan berusaha membujukku.
"Tenang Za. Ibu sudah tau. Rahmat tadi menelpon ibu dan menceritakannya. Ayo, diamlah. Ceritakan kelanjutannya. Kenapa kamu malah menangis setelah tau Arya yang mendonorkan ginjal padamu," bujuk ibu.
"Apakah Za termasuk orang yang zalim, Bu?" tanyaku.
"Mengapa kamu berpikir begitu?" tanya ibu heran.
"Za seperti telah melakukan kesalahan besar pada babang Arya. Dia begitu baik pada Za, tapi Za bersikap seolah itu tak ada artinya. Ibarat kata orang kampung kita, Za telah menggantungnya tanpa tali. Itu tindakan yang tidak terpuji," kataku disela isak yang tersisa.
"Tidak. Kamu tidak seperti itu Sayang. Kamu memiliki sikap yang tegas dalam hal hubungan serius antara dua orang lain jenis. Bukan berarti kamu telah memberi harapan kosong padanya," ibu mencoba menjelaskan tentang sikapku sebenarnya. "Ibu yakin, Arya mengerti itu."
"Trus, kenapa dia sekarang tiba-tiba menghilang?" tanyaku lemah.
"Menghilang gimana?" tanya ibu heran.
"Ia sudah tidak bisa Za hubungi. Nomornya sudah tidak aktif. Padahal nomor itu adalah nomor pertama sejak ia memiliki HP dan tidak pernah diganti," kataku sedih. Ibu terdiam dan mencoba mencari penjelasan yang mungkin.
"Ibu tau siapa yang membiayai operasi Za? Orang tuanya, Bu! Dan mereka pun tidak bisa Za hubungi," kataku sambil menatap ibu untuk melihat reaksinya. Ada keterkejutan di mata ibu. Tapi ibu berusaha untuk tetap tenang.
"Dari mana kamu dapat informasi semua itu?" tanya ibu. Aku menunjuk layar laptop yang masih terbuka. Tinggal sentuh saja maka layar tersebut akan membuka informasi itu lagi.
"Bang Rahmat membantu Za mencarikan informasi. Nama pendana itu adalah Suryo Pranowo seorang ahli bedah, dan itu adalah nama orang tua Arya sekali gus pemilik rumah sakit tempat Za di rawat kemarin," aku mencoba menjelaskannya sambil menampilkan informasi di monitor laptop ku. Ibu membaca dengan seksama. Ia manggut-manggut tanda mengerti dengan pemikiranku.
"Tenanglah, kita akan coba mencarinya. Rumah sakitnya masih disana, itu artinya kita bisa mencari alamat rumah beliau. Sekarang kamu tenang dulu ya. Nanti akan kita temukan penjelasan yang logis atas semua kejadian ini," ibu masih membujukku setelah melihat air mataku turun kembali.
"Za jadi merasa bersalah, Bu. Sangat bersalah," kataku pelan dan penuh penyesalan.
"Sekarang, cuci mukamu dulu. Biar lebih segar dan lebih tenang," ibu mengajakku ke kamar mandi. Ia membantuku membasuh muka dan mengeringkan dengan handuk. Aku sama sekali tidak ingin melakukan apa-apa, melangkah pun aku tidak ingin. Ibu menuntun kembali dan mendudukkan aku di pinggir tempat tidur. Kemudian ia membaringkanku, mungkin ia berpikir tidur dapat membuatku tenang.
"Kamu istirahat aja dulu. Kalau bisa tidur, itu lebih baik. Ibu yakin, untuk mencari informasi ini, kamu pasti kurang tidur. Nanti zuhur akan ibu bangunkan," bujuk ibu. Ia merapikan posisi badanku, menyelimuti dengan selimut tipis dan kemudian meninggalkanku sendiri. Sebelum keluar ia masih sempat menyuruhku menutup mata. Aku mengikuti perintahnya. Setelah memastikan mataku memang tertutup, ibu pun menutup pintu dari luar.
Aku teringat ketika aku mengejar kupu-kupu tempo hari. Sekarang aku yakin Arya ada di kamar itu. Firasatku sudah merasakannya saat itu, cuma aku mengabaikan. Itu memang bunyi HP Arya dari panggilan HP ku. Ia pasti menghilangkan suara HP itu sebelum panggilan ketiga kubuat. Ia tidak mematikan HP, hanya membuat senyap suara HP nya saja sebab nada sambung terdengar dari HP ku. Andai kata hari itu aku berkeras ingin masuk ke kamar tersebut, mungkin aku akan bertemu dengannya. Hidup berandai-andai hanya membuatku semakin menyesal. Aku menghilangkan pikiran tersebut.
Aku mencoba mencari alasan. Setelah semua yang dilakukannya padaku, mengapa sekarang ia tiba-tiba menghilang. Apa maksud dari semua ini? sebelumnya, ia masih menghubungiku walau dengan frekuensi yang semakin besar jarak intervalnya. Hingga chat terakhirnya, tidak ada yang berubah. Ia masih menulis simbol I<3U yang menandakan ia masih mencintaiku. Sekarang ia dengan sengaja menghilang, apa alasannya?
Rahmat kembali meneleponku. Aku mengangkatnya. Setelah mengucapkan salam, ia langsung memberondongku dengan banyak pertanyaan. Aku berusaha menjelaskan apa yang sedang terjadi. Aku merasa kehilangan seseorang yang amat berarti dalam hidup selain orang tua dan keluargaku. Aku merasa teramat sedih dan tidak tau harus berbuat apa.
"Oriz, jawab dengan jujur ya. Apa kamu mencintainya?" tanya Rahmat. Aku terdiam. Sungguh ku tidak tau makna sebenar dari kata mencintai itu.
"Za tidak tau bang. Za benar-benar tidak mengerti. Tapi rasa ini, rasa sakit yang tidak dapat Za definisikan. Rasa sakit karena kehilangan sesuatu yang paling berharga. Begitulah rasanya," aku berkata jujur.
"Hmmm…itu artinya kamu mencintainya. Kalau begitu, temukanlah dia. Kini saatnya kamu yang harus mencari dan menemukan. Bukankah selama ini selalu ia yang mencari dirimu?" kata Rahmat memberiku semangat.
"Tapi apa yang harus Za lakukan, Bang?" ujarku sedikit merengek.
"Cari informasi dimana keberadaannya. Lacak keluarganya, Nanti aku akan membantumu," kata Rahmat.
Semangatku timbul kembali. Aku tidak boleh menyerah. Atas izin Allah, aku bisa menemukannya suatu hari kelak. Aku akan berusaha dan terus berdoa agar Allah mempertemukan kami di waktu dan tempat yang tepat. Akhirnya aku tertidur dengan keyakinan di hati bahwa suatu saat aku akan menemukannya kembali.
Arya benar-benar tidak pernah menghubungiku lagi. Kami bersama-sama masih mencari informasi tentang keberadaan Arya dan keluarganya. Bapak juga ikut mencari. Saudaraku yang di Jakarta, informan bapak, memberi tahu bahwa dokter Suryo sementara ini tinggal di Heidelberg sebab istrinya memperdalam ilmu kedokteran, khusus bedah syaraf. Alamat dan nomor kontak tidak diketahui.
Aku yakin suatu saat mereka akan kembali ke negara ini, negara tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Aku hanya harus bersabar menunggu waktu itu. Keyakinan membuatku melangkah tanpa ragu dan ingatan yang terpatri dalam di hati tentang dia selalu memberi kekuatan. Aku senantiasa mendoakan yang terbaik buatnya, dimana pun ia berada.