Waktu terus berlalu dan tidak ada hal istimewa yang terjadi hingga selesai lebaran. Kami mulai disibukkan dengan pelatihan khusus buat beribadah di tanah suci. Semuanya dipersiapkan dengan matang, terutama kesiapan hati untuk menjalankan perintahNya. Aku rajin mengikuti kegiatan manasik yang diadakan oleh kelompok calon jemaah bersama beberapa ustadz yang dipilih. Setelah pamit dengan keluarga, teman dan tetangga kami berangkat pada kloter pertama langsung ke Madinah.
Pengalaman baru kuperoleh selama di negeri ini. Keberagaman tidak lagi dipermasalahkan. Bukan hanya soal kulit, bahasa, dan budaya saja yang berbeda. Tata cara peribadatan yang sedikit berbeda pun bukan merupakan masalah bagi kami untuk terikat dalam suatu ukhuwah yaitu dinnul Islam. Sikap toleransi maksimal muncul pada saat berbaur dengan orang-orang dari berbagai negara. Toleransi itulah yang menyebabkan semua berjalan dengan baik dan persaudaraan semakin kuat ditambah lagi dengan sikap saling menghargai antara satu dengan yang lain.
Delapan hari di Madinah memberiku waktu untuk rutin sholat 40 waktu di mesjid Nabawi, mesjid Rasululah SAW. Hatiku begitu tenang menjalankan ibadah. Bahkan baru kali ini aku benar-benar menunggu waktu sholat. Biasanya kegiatan sedikit melalaikanku dengan kewajiban yang satu ini. Ketika waktu sholat adalah hal yang ku tunggu, maka melakukannya merupakan nikmat yang tidak terlukiskan dengan kata-kata.
Jemaah diantar ke Mekkah. Kami tinggal di maktab-maktab yang telah ditentukan oleh pemerintah khususnya bagian penyelenggara ibadah haji. Maktab adalah penginapan yang diperuntukan bagi Jemaah dengan penempatan kamar-kamar berkapasitas lima sampai tujuh orang. Ketua Regu biasanya akan mengarahkan anggota regu dalam menentukan kamar yang dapat mereka gunakan. Kecenderungan penetapan kamar sesuai gender, laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan. Tapi hal itu tidak mutlak, semua berdasarkan kesepakatan. Aku sekamar dengan keluargaku. Kami berlima di dalam kamar itu.
Kegiatan sehari-hari di maktap hampir sama dengan kegiatan di rumah pada umumnya. Yang berbeda hanya porsi kegiatan tersebut. Kami sekeluarga lebih cenderung menghabiskan waktu di Masjidil Haram menunggu waktu sholat sambil membaca kitab suci atau sekedar berjalan-jalan di sekitar masjid untuk melihat orang-orang yang datang dari berbagai negara.
Kami juga melakukan perjalan ke tempat-tempat bersejarah seperti Jabbal (bukit) Uhud, Jabbal Rahmah, kebun kurma, masjid Quba dan lain-lain. Ketika di Jabbal Rahmah, dimana sejarahnya nabi Adam bertemu dengan Siti Hawa setelah sekian lama terpisah, aku memanjatkan doa khusus. Aku benar-benar meminta pada Allah agar mempertemukanku dengan Arya. Hanya itu doaku. Aku tidak meminta yang lainnya. Aku berdoa dengan seluruh perasaanku dengan tangis yang tidak dapat ku bendung.
***
Bagian yang Hilang
Sungguh cintaku padanya tidak dapat dikalahkan, walaupun mungkin dia bukan takdirku.
Aku Arya Prasetyo, anak tunggal dari orang tuaku. Meskipun aku anak satu-satunya, namun sejak kecil aku sudah dilatih mandiri oleh orang tua. Keluarga kecilku adalah keluarga demokratis yang semua hal dapat didiskusikan dan disepakati. Ketika aku meminta orang tua meminang gadis yang kusukai, orang tuaku dapat mengerti keinginan itu dan mereka memenuhinya. Meskipun akhirnya kami mendapat jawaban yang tidak diharapkan, tapi kami tidak kecil hati, sebab jawaban itu sudah diprediksi oleh orang tuaku sebelumnya.
Oriza adalah satu-satunya gadis yang telah mengisi hatiku. Ia begitu besar dihatiku sehingga tidak ada lagi ruangan buat orang lain di sana. Aku tertarik padanya sejak pertama kali bertemu saat melamar untuk menjadi guru gitar. Ketika itu ia sedang frustasi dengan pita suara yang tiba-tiba bermasalah hingga ia tidak bisa mengeluarkan suara secara normal.
Oriza adalah anak yang lincah dengan kecerdasan di atas rata-rata. Ia dapat menangkap pelajaran dengan cepat, meskipun dalam pelajaran gitar dia tidak memperlihatkan kemajuan yang baik. Jari-jarinya tidak tahan dengan rasa sakit akibat menekan senar. Pada usia yang masih sangat muda, ia menguasai banyak hal sehingga sangat asyik diajak bicara, walau suaranya hilang timbul.
Dorongan hatiku tidak dapat ditahan dengan imajinasi yang terus bermain dan menggoda jiwa, sehingga aku ingin menikahi Oriza meskipun usia kami masih sangat muda. Pada akhirnya aku dapat mengerti jalan pemikirannya yang menolak permintaanku dengan kata-kata bijak. Caranya menjawab dapat diterima dan dipahami sehingga hatiku dan keluargaku terpelihara dari luka. Intinya, dia tidak menolak, hanya waktu saja yang belum tepat.
Jarak memisahkan kami bertahun lamanya. Aku selalu memonitornya. Arfan adalah informanku yang selalu melaporkan apapun yang terjadi pada gadis tercintaku itu. Arfan sahabatku, berteman baik dengan saudara laki-laki Oriza dan bertetangga dengan mereka. Gadis manisku tumbuh baik dengan pergaulan yang baik pula. Kepercayaan dirinya meningkat karena perbaikan pada pita suara yang semula tidak disadari.
Aku bahagia melihat ia bisa tampil bagus diacara kompetisi Band sekolah yang diikuti oleh grup band sekolahnya. Aku sengaja datang untuk memberi dukungan, selain melepas rinduku tentunya. Bukan mudah memendam rindu ini. Terkadang aku begitu ingin memeluknya, namun nilai kepatutan yang diterapkan pada diri sendiri membuatku juga membatasi diri. Semua harus dapat kutahan dan melihatnya bahagia adalah keinginanku setiap waktu.
Ketika Arfan mengabarkan bahwa gadis tersayangku mengalami kerusakan ginjal, aku sempat frustasi berhari-hari, tidak tau harus melakukan apa untuk membantunya. Aku bersikap seolah tidak mengetahui kondisi kesehatannya agar ia tidak merasa sedih atau terbebani. Setiap hari aku meminta pada Allah agar gadis tersayangku diberi kesembuhan.
Saat hubungan telepon tiba-tiba putus usai kompetisi di Jakarta, aku begitu panik. Entah apa yang terjadi padanya, tapi aku merasa sesuatu yang kurang baik. Aku menunggu kabar darinya. Setelah beberapa hari baru ku peroleh informasi bahwa ia di rawat di rumah sakit milik orang tuaku. Kondisi kesehatannya secara detail ku peroleh dari bapak. Aku meminta bapak untuk memeriksa ginjalku apakah bisa jadi pendonor baginya jika sewaktu-waktu diperlukan.
Semua anggota keluarganya tidak bisa diharapkan jadi pendonor sebab golongan darah mereka tidak sama dengannya. Aku bergolongan darah sama dan dengan pemeriksaan seksama dinyatakan aman mendonorkan ginjal padanya. Ibu sempat menolak keinginanku untuk mendonorkan ginjal jika memang diperlukan. Tapi, keinginanku bukan untuk bunuh diri, melainkan untuk memberi kehidupan pada orang yang sangat kucintai. Bagiku, kehidupan dan kebahagiaan gadisku tersayang jauh lebih berharga dari sekedar ginjal yang memang aku miliki.
Arfan menginformasikan bahwa gadis cantikku semakin dekat dengan teman bandnya yang bernama Rahmat. Aku mengenal Rahmat. Ia teman yang baik dan penuh perhatian menurutku. Jika kebersamaan membuat Oriza memilihnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikhlaskan. Bagiku, hanya kebahagiaan gadis manis itu saja yang lebih penting, melebihi kebahagiaan sendiri sebab kebahagiaanku terletak pada kebahagiaannya.
Ketika gadis cantik cintaku dikabarkan kolaps dan sekarat menunggu pendonor, aku langsung bersimpuh di depan ibu agar merestuiku memberikan ginjal padanya. Ibu menangis dan menangis. Namun, sebelum ibu merelakan, aku tidak bisa melangkah lebih jauh. Aku tetap bersimpuh, menangis memohon izin dan kerelaannya.
"Kamu anak ibu satu-satunya, Le. Gadis itu belum tentu dapat menerimamu. Toh kamu pernah ditolaknya," ibu masih kekeh dengan pendiriannya.
"Sendiko ibu. Mohon ibu memahami perasaan anakmu ini. Lagi pula aku masih memiliki satu ginjal lagi. Aku dapat hidup sehat dengan satu ginjal itu, Bu. Mohon izinkan anakmu membuktikan cinta pada gadis yang benar-benar dicintai dari hati yang paling dalam," bujukku.
Lama ibu terdiam. Aku mencoba minta dukungan dari bapak. Bapakku menarik nafas panjang dan berkata, "Bapak dapat memahami perasaanmu, Le. Kamu dapat hidup sehat dengan satu ginjal. Jadi menurut bapak, jika kamu sendiri memang sudah mantap menyerahkan ginjal pada gadis itu, bapak tidak keberatan. Bagaimana, Bu?"
Ibu masih diam untuk beberapa saat. Kemudian dengan berat ibu berkata, "Baiklah. Ibu sadar, anak ibu ini tidak sepenuhnya milik ibu. Anak ibu adalah titipan dan hadiah terindah dari Tuhan. Ibu merelakan kamu memberikan ginjal padanya."
"Terima kasih, Bu," aku memeluk erat ibu, "Sungguh cintaku padanya tidak dapat dikalahkan, walaupun mungkin dia bukan takdirku."
Bagiku yang penting dia tetap hidup dan aku masih bisa melihatnya. Kehidupannya amat bernilai bagiku. Aku melihat ia sudah bisa berjalan dengan ginjal baru, itu saja sudah membuatku bahagia. Aku melihat dari kamar khusus perawatanku. Ia duduk di atas kursi roda yang di dorong oleh Rahmat. Iya tampak bahagia. Ketika ia tiba-tiba menangis tanpa ku tau sebabnya dan Rahmat menyeka air matanya, dadaku terasa ditusuk ribuan jarum. Sakit sekali rasanya, tapi aku berusaha menerima. Ternyata benar yang dikabarkan Arfan bahwa mereka sudah sangat dekat.
Aku menatapnya dari balik gorden tipis dan merasa pandanganku masih terhalangi, aku menyingkapnya sedikit. Ternyata ia melihatku, walau sekilas. Aku mencoba bersembunyi dengan merapat ke dinding. Ketika HP ku berbunyi, aku segera menyadari kalau itu adalah telpon dari nya. Aku mencoba mengambil HP itu dari atas meja tanpa terlihat olehnya. Aku menunggu ia lengah, tidak menatap kamarku dari balik tirai. Momen itu ku dapat setelah ku lihat Rahmat mendekat. Aku langsung bergerak mengambil HP dan kembali merapat ke dinding. Mode silent langsung ku ubah set HP ku. Aku tau, kecerdasan yang selalu membangkitkan keingin-tahuannya membuat posisiku di kamar ini tidak aman sehingga aku pindah ke kamar lain dan semua pekerja di rumah sakit harus merahasiakan.
Aku memutuskan, sudah saatnya merelakan gadis cantikku untuk orang yang dipilih hatinya. Jika ia memilih Rahmat itu artinya, Rahmat adalah orang yang baik. Aku memutuskan untuk benar-benar menghilang darinya. Kebetulan ibu dan bapakku pun pindah ke Heidelberg. Ibu mau memperdalam kemampuan dalam bedah syaraf. Bapak menemani ibu dan pengelolaan rumah sakit diserahkan pada orang kepercayaan. Hanya sesekali bapak pulang ke Jakarta untuk memonitor kemajuan dan kendala di rumah sakit.
Bertahun aku menapaki jalan dan merasa sendiri. Sering kali kerinduan mengusikku. Semakin rindu, aku akan semakin menenggelamkan diri dalam penelitian di kampus hingga akhirnya aku dapat menyelesaikan studi dengan cepat dan dengan proses yang tidak berbelit-belit aku diangkat jadi salah satu tim pengajar disana.
Ketika kudengar akan diadakan seminar di kampus tempat Oriza kuliah sesuai dengan bidang ilmu yang kutekuni, aku berniat untuk mengikutinya. Aku mengajukan diri menjadi narasumber dan mengirim bahan via email. Keberangkatanku sudah dipastikan. Aku kembali menapaki kota yang penuh kenangan ini dengan rindu yang sarat dan tidak mampu kubendung lagi. Hal pertama kulakukan ketika memijakkan kaki di negeri bertuah ini adalah memanggil taksi dan menuju rumahnya. Aku hanya menatap pintu rumah itu beberapa waktu, berharap ia keluar dari di situ. Benar, aku melihatnya keluar bersama dengan Rahmat dan kemudian mereka berboncengan pergi. Melihatnya sekilas saja sudah cukup mengobat rindu. Aku kembali meminta supir taksi kembali mengantarkan ke bandara sebab panitia seminar akan menjemput disana.
Selesai seminar, aku langsung minta diantar ke bandara. Aku merasa sudah cukup melepas rindu dengan sejuta kenangan yang tak terlupakan di kota ini. Melihatnya sehat dan tersenyum bahagia membuatku juga ikut merasa bahagia.
Tahun ini kami sekeluarga lebaran di Jakarta. Kami harus pulang sebab keberangkatan kami ke Mekah sudah ditentukan dari Jakarta dan ikut kloter kedua. Aku beserta ibu dan bapak menunaikan ibadah haji bersama-sama tahun ini. Semua persiapan sudah selesai. Besok kami akan berkumpul sehabis sholat subuh dan bersama-sama dengan bus ke bandara internasional.
Selesai melaksanakan tahajud, aku tidak bisa tidur lagi. Aku membuka laptop ingin melihat kabar dari kampus tempatku mengabdi. Aku membuka email yang biasa ku gunakan, hanya ada beberapa pesan yang masuk dan isinya mengucapkan selamat menunaikan ibadah. Kampus memberi cuti yang cukup padaku untuk menunaikan kegiatan spiritual keagamaan yang ku anut.
Aku teringat alamat email yang lain, yang telah lama tidak pernah ku buka sebab dibuat untuk keperluan seminar ketika itu. Aku membukanya. Hanya ada sebuah surat yang masuk. Aku melihat siapa pengirimnya. Aku terkesiap, kaget. Aku bergegas membuka surat tersebut. Surat itu telah dikirim berbulan-bulan yang lalu. Aku membaca dengan dada yang gemuruh. Semuanya terkembang sudah. Semua begitu terang hingga aku dapat melihat dengan jelas. Gadisku tersayang, aku tidak bermaksud menyiksamu. Sungguh aku begitu tersayat dengan bahasamu yang sederhana namun langsung menembus hatiku.
Aku menjangkau HP dan mencoba menelponnya. Nomor itu tidak aktif. Aku coba menggunakan nomor WA nya, juga tidak ada tanggapan. Bisa jadi nomornya pun sudah berganti seperti yang kulakukan. Ingin rasanya aku memesan tiket untuk terbang ke kota kenangan, namun jadwal keberangkatanku besok membuat bimbang luar biasa. Aku butuh waktu memikirkan mana yang lebih penting. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap ikut pada penerbangan besok di kloter kedua. Urusan gadis manisku, dapat ku tunda empat puluh hari setelah aku menunaikan ibadah.
Ibu heran melihatku tersenyum-senyum sepanjang perjalanan. Aku menggenggam tangan ibu dan berkali-kali mencium tangan itu. Sungguh di luar kebiasaanku sehingga ibu yang penasaran bertanya, "Ada pa toh, Le. Kamu berbeda dari biasanya. Wajahmu seperti orang yang baru jatuh cinta, begitu bersinar dan senyummu begitu sumringah."
"Ibu benar. Aku baru saja jatuh cinta lagi," kataku sambil kembali mencium tangannya. Bapak langsung mencondongkan badan dan melihat heran ke arahku.
"Sama siapa? Kenalkanlah segera kepada kami" kata bapak.
"Bapak dan ibu harus sabar dulu, paling tidak 40 hari ke depan. Nanti juga bapak dan ibu akan tau siapa orangnya," aku tersenyum misterius.
"Bilang dulu siapa gadisnya," kata ibu sambil mengelus tanganku. Aku hanya tersenyum, tidak mau memberitahukan mereka dulu sampai semua memperlihatkan kepastian. Aku tidak ingin membuat mereka kecewa lagi.
Aku begitu bahagia sehingga berkali-kali mengucapkan syukur dalam hati di sepanjang perjalan, aku hanya bersyukur kepada Allah yang telah membukakan pintu itu lebar-lebar hanya tinggal melangkahkan kaki untuk memasukinya saja. 'Ya Allah, jaga dia selalu untuk diriku,' hanya itu doaku sepanjang perjalanan.
Aku menjalani ritual agama dengan sungguh-sungguh sebagai wujud rasa syukur pada sang pencipta. Tak pernah sekali pun aku absen sholat di Masjidil Haram saat berada di Mekah. Aku pun berdoa agar dipertemukan dengan gadis yang paling kusayangi pada waktu dan tempat yang baik.
Di hadapan Ka'bah aku memanjatkan doa dan mengharap belas kasih Pencipta yang telah menciptakan seseorang yang sangat kucintai selain sang Pencipta itu sendiri dan kedua orang tuaku. Kali ini aku ingin berdoa di Hijir Ismail dan memohon kepada petugas untuk mengizinkan sholat disana. lokasi itu tertutup untuk menjaga perebutan tempat. Mengingat lewat tengah malam jemaah tidak sepadat waktu siang, aku berharap diberi izin. Rahmad Allah yang melunakkan hati para petugas berseragam, mereka memberi ku izin dan beberapa orang lainnya. Aku sholat sunat dua ra'kaat dan kemudian memanjatkan doaku sungguh-sungguh.
Aku mendengar bisik halus dari belakangku. Bisik doa yang disertai suara isak tertahan. Suara itu berasal dari seorang perempuan yang sholat tepat di belakangku. Aku berdiri akan meninggalkan tempat tersebut sebab kami hanya diberi izin sebentar untuk sholat sunat disana. Aku beranjak keluar dari lengkungan tiba-tiba aku mendengar panggilan lirih, "Babang?'
***
"Cepat Yang. Bapak ingin menyentuh Hajar Aswad. Kita ke Masjidil Haram sekarang," kata ibu membangunkanku.
Aku bangun dengan mata yang terasa lengket sebab baru dua jam tertidur sesudah pulang dari sholat isya. Aku bersiap walau sisa kantuk masih berbekas di mata. Kami pergi dengan berjalan kaki karena kendaraan susah dicari lewat tengah malam seperti ini. Butuh waktu hampir setengah jam untuk sampai ke mesjid. Jalan bersama dengan suhu adem seperti ini sama sekali tidak melelahkan. Setengah jam sama sekali tidak terasa lama, tau-tau kami sudah sampai di pintu depan mesjid.
Bapak mengajak kami sholat tahajud dahulu sebelum tawaf sunat dan mendekati hajar aswad. Aku mengikuti mereka dan bang Bibi memegang erat tanganku. Ibu berpegangan pada bapak agar tidak terpisah. Walaupun lewat tengah malam. Masih banyak saja orang-orang yang tawaf. Kami mengelilingi Ka'bah sebanyak tujuh kali. Bapak berusaha menggapai tempat hajar aswad dan dengan mendorong tubuhnya sendiri ke atas ia dapat menyentuh batu hitam yang tertempel di dinding Ka'bah. Tindakannya itu diikuti oleh kedua saudaraku. Aku hanya melihat saja dan tidak ingin mengikutinya.
Bapak minta izin penjaga untuk sholat di Hijir Ismail. Kami dipersilahkan masuk dan langsung membentuk dua shaf pendek. Seseorang ikut masuk dari sisi yang lainya dan sholat bersama kami. Kami sholat sunat dua rakaat. Kesempatan langka sholat di tempat ini kupergunakan sebaik-baiknya. Aku benar-benar meminta pada Allah agar mempertemukanku dengan Arya. Aku memintanya dengan sungguh-sungguh dengan air mata yang tidak dapat ku tahan. Semua rasa berkumpul dalam jiwaku saat itu. Aku serahkan semua rasa itu pada Allah untuk digantikan dengan seorang Arya.
Aku mengusap muka dengan kedua tangan tanda permohonanku berakhir. Aku memandang orang lain yang duduk di depanku. Orang itu memalingkan wajah ke kanan dan aku melihat dengan jelas wajah itu di bawah penerangan lampu yang terang benderang. Ketika ia memalingkan wajah ke kiri, aku masih terkesima dan ingin memastikan bahwa itu memang dia. Tidak salah lagi. Allah benar-benar telah mengirimnya langsung tepat di depanku. Ia masih berdoa, aku sabar menunggunya menyelesaikan doa.
Dengan ragu aku memanggilnya. Ia menoleh dan terdiam saat melihat wajahku dengan jelas. Ia bergumam lirih, "Di, itu kamu?"
Semua keluargaku memalingkan wajah melihat Arya yang berdiri mematung. Bapak langsung berinisiatif menariknya keluar dari lengkungan Hijir Ismail sebab kami harus bergantian dengan orang lain. Kami mengikuti langkah bapak dan berhenti di tempat yang agak lapang.
Arya tersadar dari ketersimaannya. Ia segera menyalami bapak dan kedua saudaraku. Kepada ibu, ia hanya menautkan kedua telapak tangan dan membawanya ke dada sendiri begitu juga denganku, ia hanya tersenyum.
Banyak hal yang kami bicarakan. Setelah beberapa tahun tidak bertemu, memang sangat banyak yang terjadi. Berkali-kali bapak memeluk Arya mengucapkan terima kasih atas bantuannya terhadap diriku. Saudara-saudaraku pun bergantian memeluknya tanda ungkapan terima kasih atas apa yang telah dihadiahkannya padaku. Hadiah yang tak ternilai harganya. Sepanjang adegan itu, aku menjadi orang tercengeng di dunia. Air mataku tidak berhenti mengalir. Aku masih mampu menahan isak, tapi aku tidak mampu menahan air itu keluar dari pertahanan kelopak mataku. Senyum dan tangis begitu dekat di wajahku, keduanya muncul bergantian bahkan terkadang berbarengan.
Kami sholat subuh berjemaah dan kemudian bapak mengajak Arya mampir dulu ke maktab. Maktap Arya lebih jauh, berada di daerah Aziziah dan berbeda arah dengan maktap kami di Bakhutmah. Arya menyetujui permintaan bapak dan kami pulang menggunakan bus yang memang diperuntukkan bagi jemaah asal Indonesia, khusus jurusan Bakhutmah.
Bapak mempersilahkan Arya duduk di ruang tamu. Mereka mengerti bahwa ada banyak hal yang ingin kutanyakan dan disampaikan kepada Arya. Mereka meninggalkan kami agar lebih leluasa bercakap-cakap di ruang tamu maktab. Penghuni lain masih belum kembali, biasanya mereka mencari sarapan pagi dulu. Di ruang tamu hanya ada kami berdua dan dipojok dekat lift seorang petugas yang hampir tidak bisa berbahasa Indonesia duduk sendiri di sana.