Aku sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti sidang skripsi. Aku dan Rahmat bersama-sama maju sidang kali ini. Kami saling berlomba menyelesaikan kuliah dan hasilnya kami sama-sama berhasil menyelesaikan di hari yang sama. Aku dan Rahmat berjabat tangan saling mengucapkan selamat. Beberapa orang teman mengucapkan selamat kepada kami dan memberikan bunga sebagai pengukuh ucapan itu.
Rahmat mengajakku ke kantin kampus setelah kami melalui ketegangan menjelang giliran dipanggil tadi. Kerongkongan memang terasa kering sebab selama menunggu kami tidak bisa minum karena tegang. Kantin adalah tempat terdekat untuk memperoleh air minum. Kami melewati aula besar. Di sana sedang ada seminar yang diadakan Fakultas Teknik. Aku melihat spanduk besar dipajang di depan aula. Ada beberapa nama nara sumber disana. Mataku terpaut pada salah satu nama, Prof. Arya Prasetyo, MSc.,Ph.D.
Aku menarik tangan dan menahan Rahmat agar menghentikan langkah. Aku menunjuk ke spanduk yang terpajang. Rahmat melihat apa yang ku tunjuk. Ia membaca isi spanduk secara keseluruhan. Aku tidak sabar.
"Nama narasumbernya itu. Kenapa mirip sekali dengan nama babang?" kataku.
"Maksudmu Profesor Arya itu? Aryamu sudah jadi Profesor? Cepat amat. Bisa jadi namanya aja yang sama," ujar Rahmat. Ia tidak percaya kalau itu adalah Arya yang selama ini kucari. Aku pun merasa itu tidak mungkin sebab Arya begitu muda, hanya beda lima tahun dariku. Aku setuju dengan pemikiran Rahmat.
"Ayolah, kita minum dulu di kantin. Tenggorokanku benar-benar kering," ajak Rahmat. Aku kembali mengikuti langkahnya. Aku pun merasa haus, sudah terbayang segelas jus jeruk di depanku. Kami melangkah buru-buru agar segera sampai di kantin. Tidak hanya haus, kami juga lapar. Rahmat memesan soto nasi dan jus buat kami berdua. Kali ini ia yang meneraktirku.
Aku langsung menghabiskan jus jeruk yang baru saja diantar oleh pelayan kantin. Rahmat sampai melongo melihatku menghabiskan jus itu dalam waktu sangat singkat. Sebelum ia sempat menyedot jusnya, jus di gelasku sudah habis, yang tersisa hanya ketul es batu saja.
"Ternyata rasa hausmu lebih parah. Pesan aja jus lagi kalau kamu masih mau. Tapi jangan seperti tadi minumnya, bisa kesedak kalau seperti itu," kata Rahmat sambil tertawa takjub melihat gelasku yang langsung kosong. Aku tertawa cukup keras. Sadar berada di tempat umum, aku langsung menutup mulut dengan tangan.
"Maaf, Bang. Gelasnya aja yang bocor. Za minta satu gelas lagi ya," kataku sambil memberi kode pada pelayan untuk memberiku segelas jus jeruk lagi.
"Makan dengan pelan juga. Jangan buru-buru. Tidak ada yang sedang mengejar kita," Rahmat mengingatkanku. Aku mengangguk. Ia paling tau kebiasaanku yang selalu makan dan minum dengan buru-buru.
"Tenang, Bang. Za akan makan sebutir demi sebutir nasi setelah diceburkan dalam kuah soto," kataku bercanda.
"Gak perbutir juga kale. Makan seperti biasa aja, tapi jangan tergesa-gesa," Rahmat meralat pernyataannya. "Oya, Oriz. Makasih untuk semua ya. Kalau gak ada kamu mungkin aku belum tamat sekarang. Kamu banyak membantuku menyiapkan skripsi ini."
Aku tersenyum, "Bukan karena Za, Bang. Kebetulan aja kita bisa mengerjakan bersama-sama. Alhamdulillah kita bisa selesai bersama. Kita tinggal nunggu wisuda aja. Apa rencanamu selanjutnya Bang?"
"Mencari kerja yang pasti. Kamu enak, ada perusahaan yang langsung menawarkan posisi yang bagus. Tamat S1 gak sampai 3,5 tahun dengan nilai nyaris sempurna 3,97 itu sungguh luar biasa. Apa kamu sudah menerima tawaran kerja itu?" tanya Rahmat.
"Belum. Bang. Za masih mikir-mikir dulu," jawabku.
"Kenapa? Ada niatan langsung nyambung S2?" tanya Rahmat lagi.
Aku mengangkat bahu, "Za belum punya rencana apa pun."
Beberapa orang mahasiswa masuk ke kantin dengan berisik. Aku memandang mereka ingin tau apa yang membuat mereka demikian gaduh. Mereka tertawa dan saling melempar guyonan. Salah seorang diantara mereka menegurku.
"Eh, kak Oriza, bang Rahmat. Masih ingat denganku?" tanyanya. Aku dan Rahmat menatapnya. Aku mencoba mengingat-ingat. Butuh waktu lama bagiku untuk mengingat siapa dia.
"Aku adik kelas di SMA. Mungkin kakak tidak mengingatku, tapi aku ingat dengan kakak vokalis dengan suara yang khas di grup band sekolah kita saat itu. Namaku Andi," katanya memperkenalkan diri.
Rahmat mengangguk dan menyapa, "Hai Andi. Bang Rahmat terima telepon dulu ya."
Aku tersenyum dan menganggukkan kepala. Sekedar basa basi aku bertanya, "Andi dari fakultas apa?"
"Teknik, kak. Arsitektur. Kami tadi ikutan seminar. Seru sekali. Salah seorang narasumbernya jebolan Jerman, masih muda sudah profesor. Penjelasannya sangat detail, mengalahkan profesor-profesor tua," Andi terus saja berbicara tanpa memperhatikan reaksiku.
Aku tercekat mendengar penjelasannya. Dadaku berdesir mendengar ia menyebut profesor muda dari Jerman. Aku memandang Rahmat. Tampaknya ia tidak memperhatikan omongan barusan sebab masih sibuk menjawab telepon.
"Siapa namanya?" tanyaku dengan bibir bergetar.
"Prof. Arya Prasetyo, Kak," jawab Andi singkat.
Jantungku rasa berhenti sesaat. Nafasku tersengal. Aku berusaha mengatasi keterkejutanku dan bertanya, "Bagaimana ciri-cirinya?"
Andi mengeluarkan HP dari kantong celana. Ia memperlihatkan sebuah foto yang ada di dalam HP tersebut, "Tadi sebelum ia pergi, kami sempat foto bersama dengannya. Ini orangnya, yang berdiri di sebelahku."
Aku terpekik kecil. Rahmat langsung melihat ke arahku. Aku menunjuk poto yang diperlihatkan Andi. Rahmat ikut melihat dengan seksama.
"Arya…," aku berkata lirih.
"Dimana dia sekarang, Dik?" tanya Rahmat setelah mengerti apa yang terjadi.
"Sudah sejak jam sebelas tadi di antar ke Bandara. Katanya penerbangan jam 13.00 ini," kata Andi memandangku, "Ada apa kak? Apa kak Oriza mengenalnya?"
Aku mengangguk cepat, "Dia adalah orang yang selama ini Za cari."
Rahmat bangkit dari duduk dan langsung menarikku. Aku tidak mengerti dan berusaha menahannya. Aku masih belum dapat menguasai diri, bahkan untuk melangkah saja kakiku terasa menggigil.
"Pesawat apa dan penerbangan kemana, Ndi? tanya Rahmat.
Ke Jakarta, Bang. Cuman, tak tau pakai pesawat apa," jawab Andi yang kebingungan melihat kami. "Eh, tunggu dulu. Itu ada teman yang mengantarkannya tadi. Biar kutanyakan padanya sebentar."
Andi kembali ke kelompok temannya yang masih berisik. Tidak lama kemudian ia berbalik menemuiku, katanya, "Dengan pesawat Garuda penerbangan 13.05."
"Terima kasih, Ndi," kata Rahmat, "Ayo Oriz, kita masih bisa mengejarnya. Masih ada dua puluh menit lagi. Begitu sampai bandara kita langsung ke bagian informasi agar bisa memanggilnya dengan panggilan darurat."
Aku juga mengucapkan terima kasih pada Andi dan segera menyusul langkah Rahmat yang tergesa-gesa. Aku berharap pesawat delay sehingga dapat bertemu dengannya.
Rahmat memacu sepeda motor dengan kencang. Aku berpegangan erat pada gagang di sisi tempat duduk motor. Semakin dekat dengan bandara debaran jantungku semakin kencang. Terpaan angin yang keras dan panas di pipiku sama sekali tidak terasa mengganggu, padahal biasanya aku selalu mengeluh dengan udara sepanas ini.
Sampai di parkiran bandara, tepat pukul 13.00, waktu tersisa tinggal lima menit lagi. Aku segera berlari mencari bagian informasi, tanpa menunggu Rahmat yang masih memarkirkan motor. Setelah bertanya pada petugas bandara aku menuju tempat yang dimaksud.
"Selamat siang, Nona. Apa yang bisa saya bantu?" tanya petugas yang ada disana.
"Apakah pesawat Garuda menuju Jakarta jam 13.05 sudah berangkat?" tanyaku sedikit terbata.
"Maaf, Nona. Pesawat itu sudah di runway, sebentar lagi akan take off," jawab petugas tersebut setelah melihat komputer di mejanya.
"Apakah kita masih bisa meminta agar pesawat tunda take off beberapa saat untuk menurunkan salah seorang penumpang?" tanyaku berharap hal itu mungkin dapat dilakukan.
"Tidak bisa. Kecuali ada yang urgen," jawab petugas itu lagi.
"Apa yang urgen itu?" tanyaku cepat.
"Jika kami menerima info bahwa di dalam pesawat ada pengacau keamanan dan bahan berbahaya hal itu pasti dilakukan. Maksud Nona sebenarnya apa?" tanya petugas itu memandangku serius.
"Ada seseorang yang harusnya turun dari pesawat itu karena….," aku berhenti sejenak mencari alasan yang tepat tanpa perlu berbohong, "orang penting dalam hidupnya ditimpa musibah."
"Maaf, Nona. Alasan itu tidak dapat digunakan. Lihat, pesawat sudah dalam ancang-ancang take off dan mulai bergerak," jawab petugas itu sambil menunjuk layar komputernya, "begitu report disini."
Aku terhenyak. Rahmat menahan tubuhku dari belakang. Tubuhku limbung, kehilangan daya. Rahmat menuntunku ke bangku yang tidak jauh dari situ. Aku benar-benar merasa kalah. Aku mengutuk diri sendiri yang kurang peka. Seharusnya waktu melihat spanduk bertuliskan nama itu aku curiga dan segera mencari informasi.
Tubuhku gemetar hebat. Hatiku benar-benar sedih dan tidak dapat dibujuk lagi. Aku menahan isak yang hampir keluar dari sela bibir. Aku masih sadar sedang berada di tempat umum. Air mata mengalir pelan di pipiku. Aku sudah berharap menemukan kepingan hati yang hilang, namun kenyataannya aku belum bisa menemukan walau sekeras apa pun ku berusaha. Rasa akan teraih karena begitu dekat, namun tidak terjangkau karena waktu yang terus bergerak meninggalkanku dalam sepi hati ini.
Seperti di sinetron-sinetron, aku berharap ia batal berangkat dan masih berada di bandara. Aku melihat kesekeliling, berharap ia datang menghampiri. Harapan hanya tinggal harapan, walau terus mencari, namun bayangannya pun tak kunjung kutemui. Rahmat dengan sabar menemaniku.
Aku berjalan gontai menuju parkiran. Rahmat mengikuti langkahku dengan diam. Ia memberiku waktu untuk mengatasi perasaan sendiri. Kehadirannya yang diam itu saja sudah cukup bagiku. Aku merasa ada yang mendukung dan sewaktu-waktu aku jatuh, ia pasti akan menyangga tubuh ini agar tetap berdiri tegak.
Ibu sudah menunggu di depan pintu, ingin mendengar hasil sidang skripsiku. Ia menyambut kami dengan senyum hangat. Senyumnya sedikit berubah setelah melihat wajahku. Aku langsung memeluk dan menumpahkan tangis di bahunya. Ibu memandang Rahmat mengharapkan penjelasan.
Ibu mempersilahkan Rahmat masuk dan menunggu di ruang tamu. Ibu mengantarku ke kamar. Ia tidak bertanya apa-apa., hanya mendudukkanku di tempat tidur. Ibu meninggalkanku sendiri dan menemui Rahmat di ruang tamu. Ibu pasti mengintrogasi Rahmat untuk mengetahui apa yang terjadi. Ia merasa ada yang tidak beres dengan ujian skripsiku sebab yang ia tau kami sejak pagi menunggu giliran untuk sidang skripsi.
Aku melamun. Dua tahun aku kehilangan kontak dengan Arya. Aku mencari informasi kemana-mana. Bahkan aku sampai mencari ke rumah bibi tempat ia tinggal waktu masih di kotaku. Usahaku itu tidak membuahkan hasil karena keluarga bibi Arya sudah lama pindah ke Jawa, tidak ada yang tau alamatnya.
Enam bulan setelah aku selesai dioperasi, ketika harus kontrol ke Jakarta, aku mencoba melacak keberadaan orang tuanya yang sekali gus pemilik rumah sakit tersebut. Aku kecewa sebab yang kuperoleh hanya ketidak-tahuan para pegawai akan alamat tempat tinggal mereka sekarang dan nomor kontak benar-benar dirahasiakan atas perintah mereka. Aku tidak pernah putus asa. Setiap hari aku terus meminta pada sang Pemilik diri agar mempertemukanku dengan Arya.
Saat aku hampir menemukan, Allah masih mengujiku dengan menyembunyikannya dari penglihatanku. Aku tidak mengerti mengapa Allah belum mengizinkan bertemu dengannya. Aku seperti dihadapkan pada jalan buntu, tapi aku yakin, pasti ada hikmah dibalik semua kejadian ini.
Dalam keresahan hatiku, terselip rasa bahagia atas dirinya. Ia dalam keadaan sehat wal'afiat dengan satu ginjal, dan telah menyelesaikan kuliah hingga S3 dan dipercaya menjadi narasumber ilmiah yang secara keilmuan telah diakui kemampuannya. Dirinya terlihat kurus dan jangkung di dalam foto, sedikit berbeda dengan kondisi terakhir kutemui beberapa tahun lalu. Meskipun terlihat kurus, kedewasaan terpancar dari wajahnya. Semua hal itu sudah membuatku bahagia atas dirinya.
Aku teringat sesuatu. Narasumber biasanya dihubungi via email dan nomor HP. Bahan seminar biasanya dikirim menggunakan email. Selama ini setauku ia tidak memiliki akun di media sosial, namun aku tau ia pasti memiliki alamat email. Aku harus menanyakannya pada panitia atau pihak penyelenggara seminar di kampus. Harapanku kembali timbul.
Aku bergegas ke kamar mandi, mencuci muka dan mengganti pakaian ujian hitam putih yang kukenakan dengan pakaian biasa. Semua kulakukan dengan cepat. Panitia seminar pasti masih ada di kampus sebab harus membereskan banyak hal setelah acara selesai. Aku keluar kamar mencari Rahmat di ruang tamu. Aku melihat ibu mengantar Rahmat ke pintu. Ternyata Rahmat sudah pamit pulang.
"Baang…," panggilku menyusulnya ke pintu.
Rahmat dan ibu serentak memalingkan wajah melihat ke arahku. Ibu menyusulku, sementara Rahmat terdiam di tempatnya.
"Jika bang Rahmat tidak keberatan, bisakan antar Za ke kampus sekarang?" tanyaku.
"Mau ngapain ke kampus lagi?" tanya ibu heran.
"Za ada perlu dengan panitia penyelenggara seminar," jawabku. Aku menunggu jawaban Rahmat, "Bisa, Bang?"
Rahmat mengangguk dan ia minta izin membawaku kembali ke kampus. Walau masih diliputi keheranan, ibu memberi izin dan melepas kami dengan ucapan, "Hati-hati di jalan."
"Ngapain menemui panitia seminar Oriz?" tanya Rahmat yang belum mengerti mengapa tiba-tiba aku ingin kembali ke kampus.
"Panitia pasti menyimpan nomor kontak Babang. Entah nomor HP atau alamat emailnya," jawabku.
"Cerdas kamu!" puji Rahmat, "Mudah-mudahan ada nomor HP nya agar bisa langsung dihubungi." Aku mengangguk dan berharap.
Panitia seminar masih berkumpul di aula. Mereka sedang menyiapkan laporan kegiatan. Ternyata kegiatan seminar itu berlangsung selama tiga hari dan siang ini adalah acara penutupan. Aku sama sekali tidak mendapat informasi tentang pelaksanaan seminar tersebut, selain beda fakultas penyelengara, itu juga karena aku benar-benar sibuk mempersiapkan diri menghadapi sidang skripsi.
"Kami hanya ada alamat email saja. Ini emailnya," kata ketua penyelenggara sambil menyerahkan secarik kertas padaku. Aku mengucapkan terima kasih dan menyimpan kertas yang diberikan sebaik-baiknya.
"Dapat nomor HP nya?" tanya Rahmat ketika aku menghampirinya. Ia hanya menunggu di kursi ketika aku berbicara dengan panitia.
"Ada nomor lokal yang digunakannya pas penjemputan di bandara. Tadi langsung coba di telpon, sudah tidak aktif. Mungkin sudah ganti kartu ke nomor asal. Ia masih di Munchen kabarnya. Ngajar disana. Panitia memberi emailnya," jawabku cukup detail. Aku sudah merasa senang walau hanya mendapat nomor emailnya saja. Sekurang-kurangnya sudah ada alamat kontak yang bisa ku hubungi.
"Mudah-mudahan babangmu segera ditemukan, ya," ujar Rahmat sebelum ia meninggalkanku di depan pintu pagar.
"Aamiin. Makasih, Bang. Selama ini Abang selalu memberi Za semangat. Insyaallah tak lama lagi kami dipertemukan Allah pada waktu dan tempat yang tepat" jawabku optimis. Aku juga berharap semoga doa-doaku selama ini diijabah Allah SWT.
Lama kumerenung di kamar. Laptop sudah dibuka sejak tadi. Aku bingung mau mulai menulis apa. Begitu banyak yang ingin kuutarakan, semua sesak-menyesak ingin ditumpahkan. Rasa frustasi yang pernah menguasai diri beberapa waktu, menyeruak ingin segera diungkapkan dalam tulisan. Segala rasa ingin ditumpahan agar dia mengerti bahwa selama ini aku benar-benar tersisa dengan rindu yang mendera.
Sudah hampir satu jam aku hanya memandangi layar tanpa melakukan apa pun. Satu huruf pun belum terketik olehku. Aku masih mempertimbangan apa yang layak ditulis agar tulisan itu dapat dipahaminya. Aku menarik nafas panjang dan mulai menulis sebuah surat