Kamarku, akhir Mei
Untuk babang Arya
Dimana pun berada
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Babang,
Bertahun kita tidak bertemu, tidak saling kontak. Bertahun pula Za memendam rasa rindu yang dibumbui oleh penasaran. Semua rasa tercampur aduk dalam hati Za. Satu pertanyaan memalu hati ini, 'mengapa babang tiba-tiba menghilang?'
Babang,
Rasa terima kasih ini sepanjang nafas yang masih terus ada di tubuh Za. Nyawa Za pun tidak akan cukup membayar kebaikan babang pada Za. Babang yang telah memberi kehidupan baru pada Za. Babang rela membagi sebuah ginjal pada Za. Sejak ginjal itu ada di dalam tubuh Za, sejak itu pula Za merasa Babang adalah bagian dari diri Za sendiri.
Sungguh Za tidak mengerti mengapa Babang menghilang seperti di telan bumi. Za mencari kemana-mana seperti orang yang hilang kewarasan. Za merasa seperti telah melakukan suatu kesalahan besar terhadap Babang. Tapi sungguh Za tidak tau salahnya apa. Jika itu memang benar, tolong katakan apa kesalahan yang telah Za perbuat, agar Za dapat memperbaikinya. Untuk kesalahan yang Za tidak ketahui itu Za mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Babang,
Dalam kebingungan Za mencarimu entah dimana. Setiap hari, hati dan perasaan Za hanya terpatri padamu. Doa Za selalu untukmu. Za selalu meminta pada Allah agar babang dalam lindunganNya dan kita dipertemukan kembali. Za yakin dengan perasaan ini, seperti Za yakin suatu saat kelak Allah akan mempertemukan kita kembali.
Jika Babang telah membaca tulisan Za ini dan pintu maaf di hatimu telah terbuka, besar harapan Za agar babang segera menghubungi Za.
Sekali lagi Za berterima kasih yang sebesar-besarnya atas segala yang telah babang berikan pada Za. Semuanya tanpa terkecuali, terutama 'cintamu' yang pernah mengisi hari-hari Za. Terima kasih Babang. I<3U-2
Wassalam
Oriza
Aku mengirim surat tersebut ke alamat email yang tertera di dalam kertas kecil yang diberikan oleh panitia seminar tadi.
"Bismillah," kataku ketika menekan opsi kirim di laptopku. Semoga ini menjadi tali sambungan antara aku dan Arya. Semoga Allah mempermudah jalanku kali ini.
Telah sebulan, setiap hari aku membuka email berharap mendapat balasan dari Arya. Setiap hari pula aku harus kecewa sebab balasan tak kunjung ku dapat, entah alamat email yang salah, entah email itu sudah tidak aktif lagi. Aku seperti menemukan jalan buntu kembali.
Aku memutuskan melanjutkan kuliah. Tawaran kerja dari sebuah perusahaan besar internasional yang berkantor di daerah ku tolak dengan alasan masih ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Aku menyibukkan diri dengan kegiatan penelitian agar dapat segera menyelesaikan kuliah. Akhirnya aku dapat menyelesaikan S2 dalam waktu 10 bulan. Aku ingin menjadi dosen dan telah mengajukan lamaran. Mudah-mudahan ada jalan agar keinginanku itu bisa terwujud.
Rahmat telah bekerja di sebuah BUMN dan di tempatkan di Padang. Kami masih rutin bertemu sekali sebulan saat ia pulang mengunjungi orang tuanya. Ia mengabarkan padaku bahwa ia akan melamar Sinta dalam waktu dekat. Aku senang mendengarnya. Akhirnya ia telah menemukan tambatan hati. Aku mengucapkan selamat padanya.
Aku sedang berbincang-bincang dengan Rahmat di ruang tamu. Kami membahas soal pesta pernikahan. Tiba-tiba HP ku berbunyi. Adel meneleponku. Aku meminta izin untuk mengangkat telepon dari Adel. Rahmat mengangguk.
"Assalamu'alaikum," Adel mengucapkan salam.
"Wa'alaikumsalam," jawabku, "Pa kabar kak Del?"
"Alhamdulillah, Baik, Nek. Aku mau mengundangmu," kata Adel langsung ke tujuannya.
"Undangan apa?" tanyaku agak keras agar Rahmat mendengarnya. Rahmat melihatku. Ia memberi kode agar aku memasang mode speaker supaya ia dapat ikut mendengarkan.
"Bulan depan aku akan nikah dengan bang Ferry," kata Adel sambil terbatuk-batuk manja.
"Wah, katanya tidak pernah ada apa-apa diantara kalian. Ternyata benar dan segera terwujud ya. Benar-benar akan tidak ada apa-apa diantara kalian, bahkan selembar benang pun. Hahaha… just kidding kak Del. Selamat ya," aku terkekeh sendiri.
"Jangan aneh-aneh ah, Nek. Belum waktunya, sebulan lagi bakalan terwujud keanehan itu," jawab Adel ngakak keras.
"Di mana acaranya?" tanyaku lagi.
"Di Arya Duta. Jangan lupa mengeset waktumu, Nek. Sengaja jauh-jauh hari kukabarkan. Jangan sampai tidak datang. Mulai dari acara berinai, nikah, resepsi, pokoknya kamu harus ada didekatku," kata Adel dengan semangat.
"Insyaallah. Ada Bang Rahmat, nih. Dia ikutan mendengarkan kabar gembiramu," kataku memberi tahu Adel kalau Rahmat mendengarkan apa yang kami bicarakan.
"Hai, Adel. Selamat, ya," ujar Rahmat.
"Hai, Bang. Abang juga harus hadir di pestaku bersama dengan Oriza. Awas, jangan sampai gak datang, lho," kata Adel sedikit mengancam.
"Insyaallah, aku akan datang," jawab Rahmat cepat.
"Kalian kapan?" tanya Adel. Aku memandang Rahmat. Kami tertawa bersama.
"Bang Rahmat baru akan melamar, kak Del," kataku sambil tertawa.
"Wah, selamat ya untuk kalian berdua. Akhirnya….," Adel sengaja menggantung perkataannya.
"Hahaha… bukan Za yang akan dilamarnya. Tapi uni Sinta," kataku terkekeh karena berhasil mengecoh Adel. Dia pasti menyangka aku berhubungan serius dengan Rahmat selama ini. Padahal hubungan kami sejak awal hingga hari ini adalah pertemanan yang akrab.
"Haa?" Adel terpekik kecil, nada ketercengangan yang lucu. Kami sama-sama tertawa.
"Kamu gimana, Nek?" tanya Adel dengan nada seolah-olah mengkhawatirkanku.
"Za masih mencari dan menanti Babang, kak Del," jawabku tegas.
"Sampai kapan, Nek? Jangan-jangan dia malah udah nikah dengan orang lain," ujar Adel gemas.
"Sampai Za menemukannya, walau nanti ketemunya bukan di dunia ini," jawabku yakin.
"Neeeekkk," teriak Adel, "itu bunuh diri namanya!"
Aku tersenyum, "Tidak kak Del. Firasat Za, kami akan bertemu tidak lama lagi."
"Ya Allah. Tak kukira sebegitu dalamnya cintamu pada babang Arya itu. Padahal kamu terlihat biasa-biasa aja," kata Adel takjub, "Aku salut padamu. Mudah-mudahan Allah segera mempertemukan kalian."
"Aamiin," jawabku.
"Aku pamit ya, Nek. Mau fitting pakaian pengantin dulu. Assalamu'alaikum," Adel mengakhiri percakapan.
"Wa'alaikumsalam," jawabku.
Rahmat memandangku. Aku membalas pandanganya.
"Kamu serius dengan perkataanmu, Oriz?"
"Yang mana?" tanyaku.
"Kamu akan terus mencarinya, walau hingga akhir usiamu," kata Rahmat mengulangi penggalan perkataanku.
"Za serius, bang. Jika bertahun-tahun dulu Za membuatnya terus mengharapkan Za, maka rasanya ini setimpal, memberi Za waktu untuk menemukannya," jawabku yakin sekali dengan keputusan ini.
Rahmat menarik nafas panjang, "Aku hanya bisa mendoakan semoga Allah segera mempertemukan kalian."
"Aamiin," ujarku. "Eh, bulan depan itu sudah menjelang bulan puasa ya?"
"Iya. Kenapa Oriz? Biasa aja orang nikah menjelang puasa, agar ada yang bangunin Ferry sahur," jawab Rahmat.
Aku tersenyum, "Iya, Bang. Bukan begitu maksud Za. Insyaalah sebulan setelah lebaran kami sekeluarga akan berangkat ke tanah suci. Jadi waktu nikah kak Del sudah tepat menurut Za."
"Alhamdulillah. Ikutan yang regular atau ONH plus?" tanya Rahmat.
"Reguler, Bang," jawabku singkat.
"Sejak kapan mendaftarnya? Bukankah daftar tunggu sangat panjang, sampai 27 tahun kalau mendaftar sekarang ini?" tanya Rahmat lagi.
"Ibu sudah mendaftarkan kami semua sejak Za kelas V SD. Daftar tunggu 12 tahun," jawabku lagi, "Za akan meminta dengan sangat dan bersungguh-sungguh di sana agar Allah segera mempertemukan Za dengan babang Arya."
Rahmat memandangku dengan perasaan simpati, ia pasti dapat merasakan penderitaanku dalam pencarian bertahun-tahun ini sebab ia selalu menemani dalam pencarian tersebut. Entah berapa banyak air mataku yang ia saksikan langsung turun dan menderas selama ini. Aku tersenyum berusaha kelihatan tegar menghadapi cobaan ini.
Aku ikut sibuk membantu persiapan pernikahan Adel. Sebenarnya hanya sibuk menemani Adel yang gelisah menjelang hari pentingnya. Ia merasa semua belum sempurna dan masih harus dilengkapi. Fitting baju saja bisa berulang kali. Aku memaklumi kerewelannya sebagai dampak dari kegelisahan hati. Sering kali aku berusaha menyabarkan jika ia sudah mengomel panjang akan beberapa hal.
Hari penting Adel itu akhirnya sampai juga dengan segala keribetan. Tugasku hanya menemani Adel. Kali ini Adel tidak banyak ngomong. Ia hanya mondar-mandir seperti setrikaan ketika selesai di rias. Aku membiarkannya. Ia mulai berkeringat, pendingin ruangan tidak cukup menjaga suhu badannya.
"Kak Del, wajahmu mulai berkeringat. Riasanmu nanti bisa luntur kalo keringat makin banyak. Apa gak sebaiknya kak Del duduk aja?" saranku padanya. Ia memandangku dan kemudian duduk menghadap cermin menghapus keringat di beberapa tempat pada wajahnya.
"Kenapa lama sekali ya?" Adel mengeluh menunggu waktu yang terasa berputar sangat lambat.
"Semua sudah berkumpul di depan. Tinggal menunggu pak KUA nya," jawabku menginformasikan kondisi di ruangan tempat pernikahan dilangsungkan.
"KUA ni pulak. Kenapa lambat datangnya," Adel mulai mengomel.
Aku tersenyum, "Memang belum jamnya. Kak Del aja yang terlalu cepat minta dirias tadi. Bentar, Za intip dulu. Mana tau pak KUA nya dah datang."
Para tamu duduk dengan tenang. Acara sudah dimulai. Ferry duduk di depan ayah Adel diperantarai sebuah meja rendah kecil. Tangan mereka berjabatan dan ijab qabul mulai diucapkan. Aku menyimak dengan seksama. Ferry begitu lancar menjawab penyerahan tanggung jawab orang tua Adel kepadanya. Semua saksi menyatakan bahwa aqad tersebut sah dan dapat diterima, yang artinya sekarang Adel dan Ferry sudah dalam ikatan suci sebagai suami istri. Aku merasa sangat bahagia namun pada saat yang bersamaan aku merasa sangat sedih mengingat diriku sendiri. Air mata mengalir pelan di pipiku. Aku segera menghapusnya agar Adel tidak bertanya-tanya.
Aku mendekati Adel yang duduk diam menatap cermin. Aku memintanya berdiri dan memperbaiki beberapa bagian pakaian yang kurang rapih. Aku memeluknya dan berbisik, "Sekarang kak Del sudah sah menjadi istri bang Ferry. Sebentar lagi kak Del akan dipersilahkan keluar. Kita tunggu ibu menjemput kesini."
Adel makin mempererat pelukannya sambil berkata, "Aku sebenarnya takut, Nek. Apakah aku bisa jadi istri yang baik?"
"Sudah tentu bisa," jawabku cepat dan merenggangkan pelukan agar atribut yang digunakan tidak berantakan.
Aku dan ibu Adel menuntun Adel keluar ruangan dan membantunya duduk di samping Ferry. Mereka semua mendengar nasehat pernikahan dan acara ini ditutup dengan membacakan doa. Sesi selanjutnya adalah acara resepsi di Ballroom Hotel Arya Duta. Aku mengikuti seluruh prosesi itu hingga selesai. Adel tidak mengizinkanku pulang sebelum semua benar-benar selesai.
Rahmat juga lebih sering berada di sisi Ferry. Ia menjadi pagar bagus, sama denganku yang jadi pagar ayu acara mereka. Sesekali ku lihat Rahmat dan Ferry berbisik dan kemudian mereka terkekeh bersama. Entah apa yang mereka bicarakan sampai membuat Ferry tertawa geli. Aku tersenyum-senyum saja melihat kebahagiaan mereka. Semoga Adel dan Ferry menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah, bahagia hingga akhir hayat.
Aku pamit berbarengan dengan Rahmat. Adel masih menahanku. Ia masih ingin ditemani hingga sampai ke rumahnya, lebih tepat sampai di kamarnya. Aku yang merasa lelah, tidak tega menolak. Berbeda dengan Rahmat yang langsung menggeleng, menolak permintaan itu.
"Ih, gak mungkin aku menungguin kalian sampai masuk kamar. Aku pamit dulu aja. Takut kebelet nikah besok," ujar Rahmat sambil tertawa. Adel ikut tertawa dan ia tidak menahan Rahmat lagi.
"Iyalah. Tapi kamu temanin aku dulu ya, Nek," pinta Adel sambil memegang tanganku erat. Setelah berpikir sejenak, aku mengangguk menyetujuinya. Adel bersorak kecil.
"Kalau gitu aku pamit dulu ya, Oriz," Rahmat pamit padaku dan meninggalkan kami berdua.
Aku benar-benar menunggu Adel. Setelah acara Resepsi, Ferry pulang dulu ke rumah orang tuanya dan akan diantar selesai sholat isya. Selama itu aku berdua saja di dalam kamar pengantin Adel. Kamar itu dihiasi dengan cantik dan penuh bunga segar. Aroma bunga membuat hatiku tenang. Aku merasa berada di sebuah taman.
"Kenapa kak Del akhirnya memilih bang Ferry sebagai tempat berlabuh?" tanyaku.
"Dulu aku gak tau bagaimana perasaanku terhadapnya. Sejak SMA itu ternyata ia sudah menyukaiku. Aku aja yang gak peka, sehingga kami sering berselisih paham karena ketidak-pekaanku. Ketika ia sudah tidak berada di dekatku, baru aku mengerti bahwa aku selalu membutuhkannya. Ia selalu membantuku dalam banyak hal, terutama dalam belajar. Satu tahun aku lewatkan dengan perasaan rindu padanya. Makanya aku memutuskan kuliah di tempat yang sama dengannya," jawab Adel cukup detail.
Aku mengangguk-angguk mengerti, "Kadang kita terlambat menyadari bahwa kita memang membutuhkan seseorang dalam hidup ini."
"Kamu masih mau mencari dan tetap mengharapkan bang Arya, Nek?" bagaimana kalau ternyata ia telah menikah dengan orang lain?" tanya Adel.
Aku menatapnya dan berpikir sejenak, "Za akan terus mencarinya hingga ketemu. Jika nanti ternyata ia sudah beristri, Za akan merasa bahagia jika ia bahagia dalam hidupnya. Za tidak akan mengganggunya," jawabku.
"Kalau dia sudah beristri, kamu masih mengharapkannya?" tanya Adel lagi.
"Tidak kak Del. Za tidak mengharapkan lebih selain ingin bertemu dan melihatnya bahagia. Hanya itu," jawabku membuat Adel penasaran.
"Kalau tidak mengharapkan dia, mengapa kamu tidak membuka hati pada orang lain?" tanya Adel tidak mengerti jalan pikiranku.
"Za percaya, jodoh sudah dipersiapkan Allah buat Za. Hanya tinggal waktu untuk bertemu aja. Siapa pun orangnya, akan Za terima dengan ikhlas dan jika itu terjadi maka ketika itulah Za terikat dan menyerahkan jiwa raga pada suami Za kelak," aku mencoba menjelaskan sikapku selama ini yang terkesan menutup diri terhadap percintaan.
"Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, Nek. Tapi aku mendoakan yang terbaik buatmu," kata Adel sambil memelukku.
Aku pamit pulang setelah Ferry diantar keluarganya ke rumah Adel. Ternyata Rahmat sudah menunggu di depan rumah Adel. Aku heran melihatnya sebab ia sudah pulang sejak sore tadi.
"Bang Rahmat? Sengaja kesini mau jemput Za?" tanyaku.
Rahmat tersenyum dan mengangguk, "Aku ingin memastikan bahwa kamu pulang dengan selamat, Oriz. Ayo naik."
Aku sangat bersyukur Allah telah memberiku teman sebaik Rahmat yang penuh perhatian dan dapat mengerti diriku dengan baik. Sejak saudara laki-lakiku pindah ke luar kota untuk bekerja, Rahmat lah yang menjadi pengganti mereka. Bahkan orang tuaku sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Aku pun sudah menganggapnya seperti saudaraku sendiri.