Chereads / Bersamamu Kusempurna / Chapter 21 - Pendonor Misterius (2)

Chapter 21 - Pendonor Misterius (2)

Aku langsung ke kamar. Ibu mengingatkanku untuk memakan obat yang sudah diletakkan di atas meja rias. Aku memandang wajah pada pantulan cermin meja rias. Wajahku yang kurus terlihat sedikit pucat setelah lapisan make up tipis yang ku kenakan dihapus. Aku melihat jari-jari tangan yang sedikit membengkak. Aku menutup mata dan menarik nafas panjang. Aktifitasku ternyata cukup berat dan mempengaruhi tumpukan sampah dalam darahku.

Aku melihat HP. Selama acara tadi HP ku senyapkan agar tidak mengganggu konsentrasi. Hanya ada satu chat yang masuk, dari Arya. Aku segera membuka dan menjawabnya. Seperti biasa, mengawali chat ia hanya mengucapkan salam. Setelah aku membalas salam, biasanya ia akan menulis apa yang ingin disampaikan.

'Sudah jadi mahasiswi sekarang ya, Di. Selamat berjuang di kampus semoga bisa menyelesaikan kuliah dengan cepat,' tulis Arya.

'Makasih Babang. Za baru selesai mengikuti inisiasi. Babang tau? Za ikutan nyanyi dengan band kampus,' jawabku.

'Wow! Bisa langsung gabung band kampus? Cerita donk,' pinta Arya.

'Bukan gabung, Bang. Hanya diminta ikut menyanyi aja kali ini. Kebetulan Rahmat gabung di band itu,' tulisku lagi.

'Bagaimana penampilannya? Sukses?' tanya Arya lagi.

Aku menceritakan dengan menulis panjang-panjang. Arya hanya membaca chat-chat dariku tanpa menimpali. Itu memang kebiasannya. Jika ia berada didepanku, saat mendengarkan aku bercerita, ia hanya diam namun memperhatikan dengan seksama.

'Gitu ceritanya, Babang,' tulisku mengakhiri cerita.

'Kamu senang?' tanyanya.

'Senanglah, Bang. Za merasa seperti menjadi diri Za yang lain, yang tidak berpikir terlalu berat dan enjoy,' jawabku.

'Yang penting kamu senang dan bahagia selalu. Sekarang pasti sudah hampir tengah malam ya. Beristirahatlah. Jangan lupa berdoa dan makan obat,' tulisnya. Aku terkejut. Aku tidak pernah memberi tahu soal penyakit yang menyebabkanku tergantung obat. Dari mana Arya tau?

'Obat?' tanyaku.

'Iya. Obat cacing. Agar badanmu tidak terlalu kurus lagi,' tulisnya. Aku lega. Ternyata tidak seperti yang kupikirkan.

'Kwkwkw, Za kira apa,' tulisku.

'Selamat tidur. Wassalamu'alaikum. I<3U.' chat penutupnya.

Aku tersenyum. Arya masih seperti Arya beberapa tahun lalu, tidak pernah berubah salam penutupnya, 'Wa'alaikumsalam.'

Semua berjalan seperti rutinitas biasa, kuliah, mengerjakan tugas, ujian dan memperoleh nilai semester. Sesekali aku melihat Rahmat latihan dengan teman-temannya. Aku dengan tegas menolak bergabung dengan alasan kesehatanku tidak bisa memaklumi kegiatan yang melelahkan. Nilai semester satu ku sangat baik, begitu juga dengan semester dua.

Masuk semester tiga, aku semakin lemah. Kondisi ginjalku hanya tinggal beberapa persen. Aku sering keluar masuk rumah sakit. Aku sering hilang kesadaran secara tiba-tiba. Ibu memintaku untuk mengambil masa langkau kuliah. Tapi aku keberatan. Aku ingin terus sampai langkahku berhenti sendiri.

Pagi ini aku ke kampus seperti biasa. Rahmat menemaniku untuk menemui dosen. Aku harus ujian susulan sebab ketika jadwal ujian minggu kemarin aku sedang di rawat. Dosen Intermediate memberiku soal dan mempersilahkan mengerjakan sendiri di ruang dosen. Aku mengerjakan tiga soal yang diberikan dengan cepat. Untung materi ujian yang diberikan aku kuasai dengan baik jadi tak ada masalah ketika aku menjawabnya.

Rahmat masih menunggu dengan setia di luar ruangan. Aku sangat berterima kasih padanya yang selalu menemani di saat sulit seperti sekarang ini. Aku butuh teman. Kedua saudaraku mendapat pekerjaan di luar kota sehingga tidak bisa menemani. Rahmat lah yang menggantikan mereka mengantar jemput kuliah, bahkan ia juga yang kadang mengantarkan ke rumah sakit dan menemaniku, selain ibu tentunya.

Rahmat memandang wajahku. Akhir-akhir ini aku selalu pucat katanya. Ia mengkhawatirkan kondisiku. Aku tersenyum padanya ingin memperlihatkan bahwa aku baik-baik saja. Melihatku tersenyum, ia ikut tersenyum dan mengajak pulang. Aku mengangguk dan kami bersama-sama ke parkiran.

"Dapat menjawab soalnya, Oriz?" tanya Rahmat setelah motor bergerak.

"Insyaallah, Bang. Ini ujian terakhir yang harus Za selesaikan semester ini. Alhamdulilah Za dapat menyelesaikan semua. Kalau soal nilai, kita lihat nanti aja. Mudah-mudahan tidak ada yang gagal," jawabku.

"Ah, orang sepintar dan serajin kamu, kecil mah kemungkinan gagal ujian," Rahmat tertawa lebar.

"Bang, Za boleh bersandar di punggungmu ya?" pintaku. Badanku kembali melemah dan sedikit gemetar. Selalu begini.

"Kamu tak apa-apa kan, Oriz?" nada cemas terdengar nyata dari suaranya.

"Hmmm," jawabku sebisanya sebab bibirku terasa berat.

Rahmat meminggirkan motornya. Aku mendengar ia memanggil-manggil namaku. Selanjutnya aku sudah tidak tau apa yang terjadi. Kesadaranku hilang.

Mataku terasa amat berat. Tapi pendengaranku sudah berfungsi baik. Aku mendengar suara ibu yang berbicara dengan bapak.

"Dokter bilang tidak ada yang bisa kita lakukan lagi selain langkah terakhir yang bisa diambil, transplantasi ginjal. Ginjalnya nyaris tidak berfungsi. Bagaimana, Mas?" kata ibu dan aku mendengar suara isak diantara kata-kata yang diucapkannya.

"Apa rumah sakit di Jakarta sudah ada mengabarkan soal ginjal yang sesuai untuknya?" tanya bapak.

"Belum ada, Mas. Waktu memeriksakan kemungkinan ginjal Mar untuknya ketika di Jakarta tempo hari, Mar berharap ginjal Mar bisa dipakai. Ternyata tidak sesuai kata dokter. Kalaupun ada stok ginjal, dari mana kita dapat biayanya? Selama ini kita tidak bisa menyisihkan dana untuk keperluan itu karena biaya perawatan yang lumayan besar setiap bulan," keluh ibu. Aku teringat reaksi aneh ibu ketika aku dirawat di Jakarta beberapa tahun lalu. Ketika itu ibu mengetahui bahwa ginjalnya tidak bisa didonorkan padaku.

Aku ingin menghibur mereka. Aku ingin mengatakan bahwa aku ikhlas dengan takdir dan mereka tidak perlu bersedih. Aku mencoba bersuara. Suara erangan yang keluar dari mulutku. Padahal aku tidak bermaksud mengerang. Ibu dan bapak segera mendekatiku. Dari celah mata aku melihat ibu menyeka air mata dan mencoba tersenyum menutupi duka.

"Za, kamu sudah sadar?" tanya ibu.

"Ya," jawabku lemah nyaris tidak terdengar.

"Apa yang sakit, Nak?" tanya bapak.

Aku menggeleng, ingin mengatakan bahwa aku tidak merasakan sakit, aku hanya merasa sangat lemah saja. Tapi suaraku tidak bisa keluar. Lidahku terasa berat. Sebenarnya tubuhku terasa remuk saat ini. Seluruh persendianku sakit, bagian perutku pun sakit luar biasa. Aku tidak ingin mereka tau apa yang kurasakan.

Ibu mengelus kepalaku. Ia duduk dan kemudian memijit-mijit tanganku. Sentuhan ibu terasa menyakitkan kali ini. tapi aku tidak ingin mengatakannya. Aku berusaha menahan rasa yang membuatku tersiksa. Aku harus tetap optimis. Sekurang-kurangnya, jika ini akhir dari hidupku, aku ingin memperlihatkan bahwa aku tidak menderita. Aku bahagia memiliki orang tua yang begitu sayang padaku, memiliki saudara yang selalu menjaga ku, memiliki teman yang selalu mengerti dengan kondisiku.

HP ibu berbunyi. Ibu berhenti memijitku dan ia melihat nama yang tertera di layar HP. Ibu memandang bapak dan beberapa saat ibu seperti orang kebingungan.

"Siapa yang menelpon?" tanya bapak.

"Rumah sakit, Jakarta," jawab ibu.

"Ayo segera diangkat, mana tau ada kabar baik," kata bapak mendesak ibu untuk menekan tombol terima. Ibu mengangguk dan mendekatkan HP itu ke telinganya.

"Assalamu'alaikum," ibu mengucapkan salam, "Iya, saya sendiri."

Ibu mendengarkan dengan seksama. Ibu hanya memberi jawaban-jawaban pendek seperti iya, baik, akan saya bicarakan dulu. Ibu menutup HP tanda percakapan berakhir. Bapak segera menanyakan apa yang dikatakan pihak rumah sakit di Jakarta. Ibu memandang bapak dengan mata berkaca-kaca.

"Rumah sakit sudah menemukan pendonor yang sesuai untuk Za. Jika kita bersedia, kita harus segera konfirmasi kapan bisa membawa Za kesana," ujar ibu.

"Alhamdulillah, ya Allah," bapak bersyukur dan memeluk ibu. Ibu hanya diam mematung. Bapak heran dengan reaksi ibu.

"Kenapa Mar?" tanya bapak.

"Kita tidak punya dana untuk operasi itu. Biayanya dikisaran 400-500 juta. Kemana kita dapat mencari dana segitu dalam waktu dekat?" ibu teramat bimbang.

"Kita akan segera cari. Jangan kuatir, Allah sudah kasi jalan pembuka, maka Allah akan menunjukkan jalan lainnya. Sekarang coba cek jadwal penerbangan. Kita segera berangkat. Kondisi Za tidak memungkinkan penundaan yang lama. Mas akan coba menghubungi beberapa orang," kata bapak begitu bersemangat.

Mereka sibuk dengan HP masing-masing. Ibu memesan tiket pesawat dan bapak menghubungi seluruh keluarganya. Ibu juga menghubungi seluruh keluarganya dan menceritakan permasalahan yang sedang mereka hadapi menyangkut biaya untuk transpalantasi ginjalku. Tampaknya ibu dan bapak mendapat dukungan penuh dari seluruh keluarga. Aku melihat senyum di wajah ibu yang berurai air mata.

Ibu mendekat dan memeluk tubuhku. Aku mengerang pelan hanya untuk memberi tahu bahwa aku tau semuanya. Ibu berkata, "Tetap kuat ya, Za. Insyaallah ini jalan bagi kita untuk kesembuhanmu. Jangan pernah berhenti berdoa. Besok kita berangkat dengan penerbangan siang. Ibu pulang dulu untuk mempersiapkan apa yang harus dibawa. Bapak juga harus pergi mengurus beberapa hal. Nanti Rahmat akan menemanimu disini. Ibu menelponnya tadi."

Aku mengangguk dan memegang erat tangan ibu mengisyaratkan aku akan kuat dan terus berdoa seperti yang diminta. Ya Allah, sungguh aku menerima apapun yang digariskan padaku. Hanya satu pintaku, jangan pernah buat ibu dan bapak menangis karena diriku. Lindungi mereka selalu dan mudahkan segala urusan mereka. Hanya itu pintaku ya Allah.

Setelah ibu dan bapak pergi, aku tinggal sendiri. Entah mengapa tiba-tiba aku ingat Arya. Aku ingin bertemu dengannya, ingin menjelaskan apa yang aku rasakan. Aku benar-benar disergap rindu. Dalam ketidak-berdayaanku, aku hanya bisa berdoa, semoga aku masih bisa mengatakan apa yang ingin ku katakan padanya sebelum semua terlambat.

Rahmat masuk setelah mengetuk pintu. Ia langsung duduk di kursi yang terletak di sisi ranjang. Ia memandangku dengan tatapan sedih. Aku mencoba menggerakkan tangan. Ia melihat tanganku bergerak dan segera melihat ke arah mataku yang masih terpejam. Ia pasti tau aku dalam keadaan sadar. Ia mendekatkan telinganya ke mulutku. Mungkin ia mengira aku akan mengucapkan sesuatu. Aku berusaha untuk bicara.

"HP Za," akhirnya aku bisa mengucapkan walau cuma berbisik.

"HP? Dimana letaknya?" kata Rahmat mencari HP ku. Ia menemukan HP itu dalam tas yang tergeletak di loker. Rahmat memperlihatkan bahwa ia telah menemukan HP kumaksud. Aku mengangguk. Ia kembali mendekatkan telinganya.

"Chat Arya," bisikku.

Rahmat mencari nama Arya di daftar kontak WA dan segera menuliskan salam seperti kebiasaanku. Aku menunggu Arya membalasnya. Rahmat pun mengerti.

"Kamu yang kuat ya, Oriz. Aku yakin kamu pasti bisa," kata Rahmat berusaha menghiburku.

Bunyi HP menandakan Arya telah membalas salam itu. Rahmat membacakannya. Lalu ia mendekatkan telinganya lagi ke mulutku.

"Jika Za pernah bersalah, tolong dimaafkan," bisikku dan Rahmat segera mengetikkannya.

"Hei, ada apa, Di? Kenapa tiba-tiba bicara seperti itu?" Rahmat membacakan balasan dari Arya.

"Tidak ada apa-apa, Babang. Za hanya mau minta maaf karena merasa pernah menjahati Babang."

"Kamu tidak pernah jahat, Di. Hanya miskomunikasi. Aku mengerti dan menghormati pendirianmu."

"Alhamdulilah kalau Babang mengerti. Andai bisa, Za ingin bertemu Babang sekarang."

"Jangan kuatir, kita akan dipertemukan di waktu yang tepat oleh Allah."

"Iya, Babang."

"Tetaplah bahagia selalu dan tetaplah menjadi Di Za yang selalu optimis."

"Iya."

"I<3U."

"Copas dan kirim simbol itu lagi bang, lalu ucapkan salam" bisikku lagi. Rahmat mengerti dan melaksanakannya dengan cepat.

"Wa'alaikum salam, tulisnya Oriz," kata Rahmat begitu balasan chat diterima. Aku mengangguk pelan.

Rahmat memandangku. Kelihatannya ia ingin bertanya, tapi diurungkan. Mungkin ia tidak tega melihat keadaanku yang susah bila berbicara. Aku sudah bisa berbicara sedikit dan membuka mata sesekali.

"Bang Rahmat mau tanya apa?" aku memulainya.

"Maaf ya Oriz, bagaimana perasaanmu terhadap Arya sebenarnya?" tanya Rahmat.

Aku melihat dan menilai pertanyaan Rahmat dengan mengamati wajahnya dari celah mata yang terbuka sedikit. Aku tidak menemukan kecemburuan disana. Aku menarik nafas panjang dengan pelan ingin mengisi rongga paru yang terasa menyempit. Aku mengumpulkan tenaga untuk menjawab pertanyaan itu.

"Za menyayanginya sama seperti Za menyayangi ibu, bapak, mas Didi, bang Bibi dan dirimu Bang. Bedanya, Za sebenarnya selalu merindukannya, walau tidak pernah Za perlihatkan," jawabku. Rahmat tersenyum mengerti.

"Aku tau bagaimana hatimu, Oriz. Sejak lama. Mudah-mudahan kalian memang dijodohkan Allah. Aku mendoakan yang terbaik buatmu. Bagiku, menjadi temanmu saja sudah membuat bahagia," kata Rahmat dengan lancar. Aku senang mendengar jawabannya, sebab aku tak ingin melukai jika ternyata ia masih menyimpan perasaan terhadapku.

Aku mencoba tersenyum walau mungkin yang tampil seperti seringai. Aku menggapai tangannya. Ia menyentuh jariku.

"Ada apa, Oriz?" tanya Rahmat.

"Kuliahmu jangan sampai keteteran, Bang. Kejar ketinggalan semester lalu. Jangan sampai Za tamat duluan, ya," kataku yang tiba-tiba teringat nilai semester lalu Rahmat yang banyak gagal. Alasannya karena terlalu sibuk nge-band.

"Tenang. Paling tidak, kita akan sama-sama tamat," jawabnya sambil tertawa mengingat nilainya yang hancur-hancuran pada semester sebelumnya.

Aku begitu mengantuk hingga tidak tau apa yang terjadi selanjutnya. Aku tertidur dan Rahmat masih menungguku, tapi ia menunggu di luar ruangan hingga ibu datang. Ibu menunggu dan mempersiapkanku untuk keberangkatan. Aku sudah bisa membuka mata dan berbicara seperti biasa. Badanku masih lemas.

Aku didudukkan pada kursi roda dan ibu mendorong masuk ke pesawat. Kami mendapat prioritas sehingga sangat membantu memperlancar perjalanan dan akhirnya kami sampai ke rumah sakit yang dituju tanpa hambatan yang berarti.

Pihak rumah sakit sudah dikonfirmasi sebelumnya dan langsung melakukan pengecekan awal kesiapan tubuhku menerima donasi. Semua sudah dipersiapkan dan operasi dijadwalkan pagi besok. Ibu kelihatan gelisah, ia mondar-mandir seperti setrikaan. Bapak sudah terlelap di sofa.

"Ibu," panggilku.

"Iya, iya, Sayang. Kamu mau minum?" tanya ibu langsung mendekatiku. Aku menggeleng.

"Jika ibu gelisah, maka Za juga akan gelisah. Maukah ibu tidur bersama Za di atas ranjang ini?" tanyaku. Ibu mengangguk dan naik ke atas ranjang. Aku tidur dengan posisi miring, berhadapan dengan ibu dan kami berpelukan.

"Ayo kita tidur, agar besok bisa lebih segar," ajak ibu. Aku mengangguk. Kami tidur dalam dekapan malam yang tenang. Aku pasrah dengan apa yang akan kujalani besok. Aku berharap kedua orang tua juga bisa sepasrah diriku. Pasrah menerima ketentuan Allah.

Operasi berjalan lancar. Kuasa anastesi agak lama atas diriku. Aku baru mulai sadar 12 jam sehabis dioperasi. Kepala ibu terkulai di sisi tempat tidurku. Ibu tertidur di sampingku. Tangannya memegang tanganku. Bapak berada di sisi lain tempat tidur dan sama-sama tertidur. Kepalaku berdenyut hebat. Aku ingin membangunkan ibu, tapi tidak tega. Lebih baik aku menahannya sendiri. Mungkin efek dari obat bius menyebabkan kepalaku terasa sakit. Kerongkonganku terasa kering, tapi aku tau bahwa aku belum diperkenankan untuk minum.

Aku bersyukur. Allah masih memberiku kesempatan untuk menjalani hidup ini kembali. Aku akan mempergunakan waktuku sebaik-baiknya untuk berbakti kepada kedua orang tua, berbuat baik pada semua orang dan semakin taat pada perintahNya. Aku tau, ibu dan bapak pasti menunggu aku sadar. Tega tidak tega aku membangunkan ibu dengan cara menggerakkan tangan yang sejak tadi berada dalam genggamannya. Benar saja, ibu langsung terbangun dan berdiri mendekatkan wajahnya ke wajahku.

"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Yang?" tanya ibu lirih. Aku mengangguk.

"Mas, bangun. Za sudah sadar," kata ibu mengguncang badan bapak. Bapak bangun dan mengucapkan syukur.

Ia mendekat dan mencium keningku, "Ternyata kamu anak yang sangat kuat. Sehat selalu, Nak."

Bang Bibi ikut mendekat dan memegang tanganku. Ia tersenyum haru menatapku. Tanpa kata, tapi tatapan sudah menyiratkan kelegaan melihat adiknya sudah sadar.

"Kapan abang sampai?" tanyaku pelan.

"Siang tadi, saat kamu masih dioperasi. Abang dikasi izin dua hari," jawab Bibi.

Ibu mendekat dan mengarahkan HP nya kepadaku lalu berkata, "Ini mas Didi video call dari Dubai."

"Assalamu'alaikum, Za. Alhamdulilah, operasimu berjalan lancar. Maaf, mas tidak bisa menemani sebab tidak bisa libur," kata mas Didi di seberang sana. Aku tersenyum dan menjawab salamnya. Mas Didi pun ikut tersenyum.

"Semoga cepat pulih kembali ya, Za. Sekarang istirahat lagi ya. Disana pasti sudah lewat tengah malam. Wassalamu'alaikum," kata Didi sambil melambaikan tangan. Aku kembali menjawab salamnya.

"Tidur lagi, Za. Kali ini tidur yang sehat, bukan efek obat bius," kata bang Bibi. Ibu juga mendukung saran itu. Sambil memperbaiki selimut, ibu mengelus rambutku tanpa jilbab. Aku memejamkan mata, memenuhi keinginan mereka. Sisa obat bius itu masih bekerja dan aku mengantuk. Tidak lama kemudian aku sudah kembali terlelap.