"Kamu mau memakainya atau biar abang simpan aja dulu?" tanya bang Bibi.
"Tolong pakaikan di leher Za, Bang," pintaku. Bang Bibi segera memasangkan kalung itu ke leherku.
"Sudah dipasang. Sekarang, tidur lagi ya," bujuk bang Bibi sambil mengelus-elus dahiku. Aku memejamkan mata merasa nyaman dielusnya. Hingga akhirnya aku benar-benar terlelap, tidak lama namun cukup membuat tubuhku merasa lebih baik.
Bang Bibi masih terlelap di sofa ketika teman-temanku masuk ke kamar. Aku telah selesai mandi dan mengenakan pakai rumah sakit yang kebesaran. Jari telunjuk kutekan di depan bibir agar mereka tidak menimbulkan bunyi berisik kemudian menunjuk bang Bibi yang masih tidur. Mereka mengangguk dan mendekati ranjangku dengan hati-hati.
"Bagaimana keadaanmu, Nek?" tanya Adel sambil berbisik.
Aku tersenyum melihat gaya berbisik sambil mendekatkan bibir ke telingaku dan menjawab pelan, "Sudah mendingan, kak Del."
Mereka tersenyum-senyum misterius. Aku heran, apa yang menyebabkan mereka bertingkah aneh pagi ini. Kemudian aku ikut tersenyum menduga-duga sikap mereka, pasti ada hubungan dengan kompetisi yang kami ikuti.
"Apa hasilnya?" tanyaku.
"Lho, kok tau apa yang kami pikirkan?" tanya Ferry tertawa lepas. Bang Bibi bergerak mengubah posisi tidurnya. Serentak kami menaikan telunjuk ke bibir, lalu tertawa tanpa suara bersama.
Mereka bertiga saling pandang. Keningku berkerut. Adel berujar, "Siapa yang mau ngasi tau?"
"Aku aja," kata Rahmat. Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan kata-katanya, "Kita di peringkat tiga!"
"Alhamdulillah," kataku, "Za kira kita paling banter di harapan dua. Ternyata nilai kita bisa lebih baik dari itu."
"Satu lagi," sela Ferry menghentikan kata-katanya sejenak. Aku menunggu. Ia tersenyum dan melanjutkan, "Kita diberi penghargaan khusus, kostum panggung terbaik!"
"Waaah, ini berkat kak Del. Makasih kak Del. Senang dapat penghargaan khusus," kataku sambil merentangkan tangan hendak memeluk Adel. Adel langsung membalas pelukanku.
"Hmmm, tapi Za penasaran. Sebenarnya gimana tampang Za setelah di make over oleh kak del," kataku sambil membayangkan wajah sendiri yang seperti topeng monyet. Aku terkekeh sendiri. "Za membayangkan wajah ini seperti topeng monyet."
"Ish jangan mencela wajahmu. Kamu cantik sekali dengan sedikit dandanan," kata Rahmat cepat.
"Iyakah?" tanyaku. Wajah Rahmat terlihat berubah, dia terlihat malu dengan pujian yang diberikannya.
Adel tertawa melihat Rahmat yang tiba-tiba salah tingkah. Adel menatapku dan berkata, "Yang dikatakan bang Rahmat benar, Nek. Kamu terlihat cantik sekali. Ayu Tingting aja kalah." Kami semua ikut tertawa.
Bang Bibi terusik dari tidurnya. Ia membuka mata dan melihat teman-teman adiknya sudah berkumpul. Bang Bibi mengusap mata dan segera ke kamar mandi buat mencuci muka. Ia segera kembali bergabung dengan teman-temanku dengan keingin-tahuan yang kuat.
"Gimana hasil kompetisinya?" tanya bang Bibi. Semua memandang dengan memasang raut wajah sedih, tanpa dikomando atau disepakati sebelumnya. "Hei, kenapa wajah kalian begitu? Bukankah lima besar pada ajang nasional sudah merupakan prestasi besar?"
"Siapa bilang lima besar Bang? Kami menduduki peringkat tiga besar! Yeeeiii….," kata Adel sambil melonjak kegirangan.
"Alhamdulillah, selamat ya," kata bang Bibi sambil menyalami mereka satu persatu. "Tidak sia-sia perjuangan kalian sampai terpaksa bolos sekolah demi mengikuti kompetisi ini."
Mereka bercerita bagaimana situasi ketika pengumuman pemenang. Mereka semua merasa tegang, apalagi pembaca pengumuman sangat pandai membuat penasaran. Pembacaan urutan pemenang sengaja diulur-ulur makin membuat peserta gregetan. Harapan dua lewat, bukan nama grup mereka yang dipanggil, berarti mereka diperingkat yang lebih tinggi. Debaran jantung semakin keras. Ketika akhirnya nama pemenang peringkat ketiga adalah grup mereka, rasa senang yang hadir sangat luar biasa. Perasaan bahagia seperti itu hadir begitu saja meskipun mereka bukan diperingkat teratas. Ferry yang maju mewakili teman-temannya.
Setelah pembagian tropi, sertifikat dan hadiah lainya, semua dipersilahkan kembali ke tempat semula. Pemenang pertama diminta menampilkan permainan terbaiknya. Mereka melihat langsung persembahan dari peringkat pertama, memang sangat bagus dan kompak dengan atraksi panggung yang memukau.
Pembawa acara menahan personel grup agar tidak turun panggung dulu sebab setelah pembacaan sebuah pengumuman mereka masih diminta mempersembahkan sebuah lagu lagi. Ketua panitia maju dan mengumumkan sebuah anugerah khusus yang tidak biasa yaitu penghargaan bagi peserta yang berkostum paling baik. Ketika nama grup mereka kembali disebut untuk menerima anugerah itu, Adel sempat terdiam. Tidak menyangka sama sekali kalau mereka berhak menerimanya. Ferry mempersilahkan Adel untuk naik ke pentas buat menerima penghargaan tersebut.
Adel maju dengan perasaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Kalau ada kata yang nilainya lebih tinggi dari bahagia, maka kata itu yang akan digunakan untuk mengungkapkan perasaannya. Sayangnya kata itu belum tercipta hingga ia hanya bisa menggunakan ungkapan sangat bahagia.
"Kamu tau, Nek? Saat yang berasamaan aku tersenyum dan menangis. Baru kali itu aku merasakan hal yang berlawanan begitu dekat antara haru dan bahagia," kata Adel memandang langit-langit kamar dengan mata berbinar. Ia membayangkan kembali ketika ia naik ke atas pentas untuk menerima anugerah khusus tersebut.
Aku tersenyum melihat reaksi Adel yang sedang merasakan bahagia pada peringkat teratas seperti yang dikatakannya tadi. Aku juga ikut merasakan kebahagiaan tersebut. Andai aku ada disana bersama mereka mungkin aku akan melonjak-lonjak kegirangan.
Pandangan Adel tertahan di leherku yang tak sengaja tersingkap sedikit sebab jilbab yang ku kenakan tertarik oleh baju yang kedodoran. Ia memegang liontin kecil kalung yang ku kenakan. Mengamati sesaat dan kenudian bertanya, "Aku baru melihat kamu memakai kalung ini. Kemarin dipenginapan sama sekali tidak ada kalung di lehermu. Kalung baru ya, Nek?"
Aku membetulkan posisi jilbab dan menjawab, "Iya. Baru kuterima kemarin selesai kita tampil. Arya yang ngasi."
"Arya? Apa dia datang ke acara kemarin? Kenapa aku tidak melihatnya?" tanya Adel penasaran.
"Tidak. Dia tidak datang. Dia menitipkan pada temannya, eh, entah teman entah kurir. Tapi teman kaya'nya sih," jawabku.
"Wow! Hebat!" kata Adel bersuit pelan.
"Apanya yang hebat?" aku balik bertanya.
"Itu berlian asli, Nek. Aku dapat memastikannya 90%. Dia memberi hadiah padamu dengan benda yang istimewa," kata Adel yakin.
Aku tercengang. Aku sama sekali tidak menyangka kalau itu berlian sebab aku sendiri tidak pernah melihat berlian asli. Lagi pula aku kurang menyukai perhiasan sehingga tidak pernah tau itu batu perhiasan jenis apa. Aku teringat chat kemarin yang mengatakan itu di beli dari kerja sebagai asisten laboratorium.
"Benarkah? Ternyata ia orang yang berlebihan. Katanya itu honor menjadi asisten lab," jawabku masih memikirkan pemberian Arya ini, apa sebaiknya dikembalikan saja?
"Ternyata harapanku sudah tertutup habis. Tidak tersisa setitik celah pun untukku ya, Nek. Kalau gitu, aku harus mengubur mimpiku," kata adel sambil tertawa. Ia memang pernah menyukai Arya pada saat pertama kali bertemu. Ia berusaha mendekati, namun respon Arya biasa saja sama seperti responnya terhadap seorang teman yang teramat biasa, bukan teman spesial.
Aku tertawa mendengar kata-kata penyesalan yang keluar tanpa beban itu. Sekilas aku melihat kilatan tidak senang di mata Ferry, namun ia segera mengalihkan pandangan ketika menyadari aku sedang melihat ke arahnya. Rahmat juga mengalihkan pandangan ke luar jendela. Ia juga pasti merasa kurang senang mendengar percakapanku dengan Adel tentang Arya. Aku berusaha untuk bersikap biasa saja seolah Arya adalah saudaraku sendiri, "Babang yang satu itu memang selalu baik pada Za. Kadang mengalahkan kebaikan bang Bibi."
"Eeehh, jangan membandingkan ya," kata bang Bibi yang mendengar namanya disebut, "Abang lebih baik dari siapa pun. Pokoknya lebih dari Arya. Abang bisa memicik (mencubit) kamu, dia mana bisa melakukannya. Menyentuhmu aja dia tak bisa. Seorang babang yang kasian nasibnya."
Adel tertawa dan memperlihatkan deretan gigi yang rapi. Aku selalu suka melihatnya tertawa. Ia begitu manis bila sedang tertawa, sangat berbeda bila ia sedang jutek. Bibirnya yang paling menonjol terlihat dengan gerakan super cepat seperti kereta ekspres.
"Hmmm, Nek, kamu sakit apa sebenarnya?" tanya Adel tiba-tiba, ia menoleh dan menatapku dengan pandangan yang penuh tanda tanya.
"Za hanya kelelahan kaya'nya kak Del," jawabku ringan.
"Masa' sih? Waktu kami bertanya di resepsionis rumah sakit, ia sempat mengatakan pasien yang tadi malam dari ruangan hemodialisa. Apa maksudnya itu?" tanya Adel, tidak lepas pandangannya menatapku.
"Hemodialisa?" suaraku tercekat dan aku segera memandang bang Bibi.
"Iya, hemodialisa. Aku mendengarnya dengan jelas," kata Adel menegaskan apa yang didengarnya, "Tunggu ku shearching dulu di google."
Aku sangat mengerti apa itu hemodialisa. Tapi aku sama sekali tidak menyangka aku harus menjalaninya malam tadi. Begitu parah kah kondisi ginjal ini hingga aku harus menjalani terapi cuci darah? Aku masih memandang bang Bibi yang terlihat berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menerangkannya.
Adel terpekik kecil sesaat setelah membaca informasi dari google, "Ternyata itu maksudnya cuci darah. Kamu sakit apa sebenarnya, Nek? Hayo terus terang dengan kami. Pantesan beberapa kali aku memergoki kamu minum obat yang katanya cuma suplemen penambah stamina. Kamu berbohong padaku, Nek!"
Aku menarik nafas panjang, "Za tidak bohong kak Del. Obat yang Za makan memang obat penambah darah. Za anemia, jadi harus minum suplemen itu terus untuk membantu menstabilkan jumlah sel darah merah."
"Tapi kok malah cuci darah? Kalau kurang darah harusnya tambah darah, bukan cuci darah," Adel semakin penasaran.
Aku masih mengharap keterangan dari bang Bibi. Ia menggaruk-garuk kepala yang pasti tidak gatal. Aku tau ia susah menerangkan apa yang sedang kuhadapi. Tapi aku masih menunggunya. Sekarang semua mata tertuju pada bang Bibi membuat ia menjadi salah tingkah.
"Aku susah menerangkannya. Mungkin Za bisa lebih baik menjelaskan pada kalian. Tapi yang jelas malam tadi kata dokter, darahnya mengandung garam buangan yang terlalu tinggi sehingga perlu dibersihkan," bang Bibi berusaha menjelaskan.
Aku menarik nafas panjang dan memahami apa yang dikatakan oleh saudaraku itu. Sekarang mereka semua memandangku, menunggu penjelasan dariku. Sudah saatnya mereka tau kondisiku sebenarnya.
"Dokter mengatakan bahwa aku memiliki kecacatan ginjal. Ginjalku yang berfungsi hanya Satu, kemungkinan itu memang kelainan bawaan. Jadi selama ini aku hidup dengan satu ginjal. Yang jadi masalah, ginjal yang satu itu sudah mulai mengalami kerusakan. Ketahuannya hampir setahun yang lalu, ketika baru masuk SMA. Tapi selama satu tahun ini aku tidak merasakan apa-apa pun soal penyakit yang disebutkan dokter. Jadi aku juga tidak menyangka kalau tadi malam aku harus cuci darah," aku berusaha menjelaskan dengan bahasa yang sederhana agar mereka lebih mudah memahaminya.
"Jadi bisa dikatakan gagal ginjal?" tanya Ferry tak percaya sebab selama ini temannya kelihatan baik-baik saja tanpa keluhan.
"Belum sampai gagal ginjal lah. Ginjalnya masih berfungsi, tapi kerjanya mungkin sudah tidak opimal. Makanya kurang mampu menyaring darah dengan baik. Itulah mungkin sebabnya garam di darahku menjadi tinggi dan harus dinormalkan kembali memakai alat khusus yang fungsinya lebih kurang seperti ginjal kita," terangku lagi.
"Berarti kamu sudah tidak bisa banyak kegiatan lagi ya, Nek?" tanya Adel memandangku dengan sedih.
"Kelihatannya begitu. Lagi pula inilah momen puncak kita. Setelah ini kita tidak bisa sering latihan lagi. Bang Ferry dan bang Rahmat harus fokus pada ujian akhir mereka. Otomatis band menjadi prioritas urutan kesekian. Tapi, sungguh Za bahagia dengan capaian kita. Za sendiri tidak pernah menduga, sebab seperti yang kalian tau, Za begitu tak percaya diri karena suara dewasa ini," kataku.
"Padahal aku ingin kita tampil saat perpisahan dengan mereka besok, Nek," kata Adel sedih.
"Huh, jangan pikirkan itu lagi. Yang penting Oriza bisa sembuh," sela Ferry.
"Tenang kak Del. Masih bisa kok kita tampil. Siapa bilang kita tidak bisa tampil. Yang tak bisa itu latihan kontinyu," kataku menyenangkan hati Adel. Padahal aku sendiri ragu, apakah aku masih punya kesempatan untuk itu. Adel memelukku, tiba-tiba ia menangis senggugukan. Aku gelagapan tidak tau harus bagaimana.
"Hei, kenapa nangis kak Del? Za masih sehat kok. Lihat, masih bisa bicara, teriak-teriak nyanyi. Za hanya disuruh beli rinso yang banyak aja," kataku menahan haru yang juga datang tiba-tiba menyergap hati.
"Buat apa rinso?" tanya Adel disela isaknya.
"Buat nyuci, kak Del," jawabku enteng.
Adel melepaskan pelukannya dan menghapus air mata yang masih mengalir dipipi, "Maksudmu nyuci darah pakai rinso?"
"Yah, siapa tau akan lebih cepat bersih pakai itu, kak Del," jawabku mencoba menggodanya.
"Iiih, kamu ini Nek," kata Adel sambil mencubit tanganku pelan karena gemas. "Kalau pakai rinso bukan kotoran aja yang hilang, bisa-bisa semua hilang seperti mimpi-mimpi."
"Yah, kan hanya lagu. Biar semua hilang, bagai mimpi-mimpi…," aku menyanyikan sebait lagu kesukaannya. Adel kembali memelukku erat dan menangis sejadi-jadinya. Kali ini aku kehabisan akal untuk membujuknya. Aku membiarkan ia menangis dan air mata pun mengalir pelan di pipiku. Rahmat, Ferry dan bang Bibi menjauh dari kami. Mungkin mereka pun berusaha menahan haru di hati masing-masing. Reaksi Adel kadang memang berlebihan, tapi memang begitulah karakternya yang ekspresif.
Sesi menangis selesai. Adel sudah kembali tenang. Ferry mengingatkan kalau tiket pesawat sudah dipesan PP dan mereka harus pulang dengan penerbangan sore nanti. Aku yang merasa sudah sehat langsung turun dari tempat tidur dan meminta bang Bibi mengurus administrasi rumah sakit agar bisa segera berkemas.
"Kita belum bisa pulang, Dek. Kamu masih harus diperiksa lagi. Nanti sore bapak dan ibu insyaallah sampai di sini. Biar teman-temanmu dulu yang pulang. Kita menyusul setelah pemeriksaanmu tuntas," kata bang Bibi. Ia menahan gerakan ku agar tidak mengganti pakaian. Aku kembali duduk di atas ranjang.
"Kan bisa periksanya di tempat kita aja, Bang. Gak harus di sini juga kali," kilahku yang benar-benar ingin pulang.
"Mungkin bisa. Tapi ibu dan bapak ingin kamu diperiksa disini juga untuk mendengar apa pendapat dokter lainnya atas rekam medis kamu. Jadi, sabar dulu ya," ujar bang Bibi berusaha membujukku agar tidak bersikeras minta segera keluar dari rumah sakit.
"Ada baiknya kamu nurut, Oriz. Lagian mungkin ibu dan bapak sudah dalam perjalan menuju ke sini. Biar kami pulang dulu. Semua barangmu sudah dikemaskan Adel tadi dan sudah dititip di resepsionis. Nanti bisa diambil disana," Rahmat ikut membujukku.
Aku terdiam dan menarik nafas panjang, "Baiklah, Za nurut kali ini. Tapi tolong bilang ibu dan bapak nanti, Za tidak mau lama disini."
"Palingan cuman nambah dua harian. Sabar aja. Kita tunggu bapak dan ibu. Mana tau dokter disini punya solusi yang lebih baik," ujar bang Bibi.
Teman-temanku pamit untuk bersiap ke bandara. Satu per satu mereka menyalami dan mendoakan kesembuhanku. Aku melepaskan mereka dengan tatapan panjang hingga mereka hilang di balik pintu. Bang Bibi mengantar mereka sampai ke luar rumah sakit sekalian mengambil tasku yang dititip di resepsionis. Aku ditinggal sendiri.
Bosan duduk di tempat tidur aku turun dan berjalan menuju jendela. Pemandangan yang terlihat dari jendela tidak seindah pemandangan alam ketika liburan lalu. Kamar ini entah di lantai berapa, yang jelas berada di ketinggian sebab yang terlihat atap-atap rumah dan gedung-gedung lainnya yang berbentuk kotak-kotak. Aku tidak menyukai view kota seperti ini, apa lagi aku melihat kemacetan di bawah sana. Kendaraan seperti merangkak. Melihatnya saja sudah stress, apalagi jika aku terjebak dalam kemacetan seperti itu, bisa mati di jalan rasanya.
Bang Bibi masuk ke kamar sambil menenteng tas pakaianku. Aku mengambil tas itu dari tangannya kemudian membuka resleting untuk melihat apakah semua sudah tersimpan di dalam. Ternyata Adel sudah menyusun dengan rapi. Tas selempangku pun tersimpan rapi. Aku membuka tas kecil itu dan merogoh saku depan. HP ku terselip rapi di dalam saku itu. HP itu dalam keadaan mati. Aku langsung mengecas dan memposisikan ke tombol on. Tidak lama kemudian, HP itu berbunyi berkali-kali tanda banyak chat yang masuk. Mungkin HP itu mati sejak malam kemarin sebab ketika berusaha menelpon bang Bibi HP sudah dalam keadaan lowbet.
Aku memandang layar HP, semua chat yang masuk berasal dari nomor Arya. Buru-buru aku membukanya. Ternyata ia merasa ada sesuatu yang tidak baik terjadi padaku sebab aku tidak menjawab salam penutup. Kelihatan sekali ia begitu mencemaskanku walau ia tidak tau apa yang sedang aku hadapi. Untuk perhatiannya yang seperti ini, aku sangat terharu.
"Jangan kuatir babang, Za baik-baik saja. Kemarim malam Za tertidur. Maaf, belum menjawab salamnya. Sekarang Za jawab, wa'alaikumsalam,' demikian aku membalas chatnya yang demikian banyak.
Tidak lama kemudian chat dibalas, 'Alhamdulillah aku sempat negative thinking. Tetaplah sehat dan bahagia selalu, I <3 U'
Aku tersenyum melihat simbol di akhir chatnya. Arya masih belum berubah walau sudah berbulan dia tidak menghubungiku. Satu sisi hati ini senang dengan simbol tersebut, namun di sisi lain terselip rasa sedih yang tidak dapat kuungkapkan.
Aku menghidupkan televisi. Aku mencari chanel horor. Hanya itu yang dapat menghiburku sebab ketakutan saat menonton film horor dapat mengalahkan ketakutan lainnya. Bang Bibi sibuk dengan game di HP. Walau kami berdekatan, tapi kami sibuk dengan kesukaan masing-masing. Demikian kami mengisi waktu agar tidak merasa bosan.
"Jam berapa bapak dan ibu sampainya, Bang?" tanyaku setelah kulihat jam menunjukan pukul setengah lima.
"Harusnya sudah sampai ni. Sudah sejam dari prediksi mendarat di bandara," jawab bang Bibi.
"Mungkin terjebak macet ya, Bang. Za sudah tidak sabar," kataku sambil melihat pintu dengan harapan orang tuaku muncul disana. Tiap sebentar aku melirik pintu itu, tidak lagi fokus dengan film yang ku tonton.
Akhirnya ibu muncul juga di pintu itu. Aku melonjak kegirangan. Ku segera turun dari tempat tidur dan menyongsong ibu. Aku memeluk ibu dan langsung berceloteh, "Ibu lama sekali. Za sudah tidak sabar menunggu sejak tadi. Bapak mana, Bu?'
"Wait wait…biar ibu duduk dulu, Dek. Ibu pasti lelah," kata bang Bibi sambil mengambil tas yang ibu bawa.
"Bapak tidak jadi berangkat karena tidak dapat tiket. Karena booking tiketnya sudah mepet waktu. Tadi, sebelum ke kamar ibu sudah buat janji dengan dokter malam ini. Ibu sudah membawa semua rekam medismu dari rumah sakit sebelumnya. Rekam medis itu sudah ibu serahkan ke resepsionis, mudah-mudahan segera dipelajari oleh dokter," kata ibu setelah ia duduk di sofa.
Ibu terlihat lelah. Bisa jadi sejak malam ia belum tidur setelah mendengar kabar dari bang Bibi. Bang Bibi pasti mengabarkan apa yang terjadi dan apa yang disarankan dokter. Bang Bibi saja baru bisa tertidur menjelang subuh, itupun hanya sebentar sebab aku melihat ia bangun untuk sholat, lalu tidur kembali.
"Ibu mau tidur di samping Za sini?" kataku sambil menepuk-nepuk tempat tidurku. "Walau tempat tidurnya kecil, tapi cukup untuk kita berdua di posisi miring."
"Kamu ingin dikeloni ya?" tanya ibu. Aku mengangguk cepat.
Ibu naik ke atas tempat tidur dan merebahkan badannya di sisiku. Aku memiringkan tubuh menghadap ibu. Ibu memeluk dan menepuk-nepuk punggungku. Aku diam dan menutup mataku pelan, berharap ibu juga akan menutup matanya. Tepukan dipunggungku lama-lama berhenti. Aku menunggu beberapa saat, sudah tidak ada pergerakan lagi, berarti ibu pasti sudah tertidur. Aku merenggangkan tubuh dari tubuh ibu pelan, tidak ingin membuatnya terjaga.