Aku turun dari tempat tidur dengan sangat hati-hati. Aku menyelimuti ibu yang benar-benar terlelap. AC ruangan ini cukup dingin. Ku harap selimut itu dapat menghangatkan tubuh letihnya. Aku memandang wajah ibu yang sudah pulas. Wajah yang selalu membuatku tenang dan berani menghadapi apa pun juga.
Aku berjalan menuju sofa tempat bang Bibi duduk. Ia menghentikan mainannya ketika aku mendekat. Tadi aku berusaha mengatakan padanya agar mencari makanan untuk ibu dengan gerakan bibir. Ia tidak mengerti dan menunggu aku mengatakannya dengan jelas. Ia menyorongkan kuping ke arah wajahku. Aku tersenyum, dan mendorong kepalanya kembali. Aku tidak perlu berbisik untuk mengatakannya.
"Bang, apa tidak sebaiknya abang cari makanan untuk ibu. Bisa jadi ibu tak sempat makan tadi siang. Abang kan tau, kalau ibu banyak pikiran, makannya keteteran," aku menjelaskan maksudku. Bang Bibi mengangguk, setuju dengan perkataanku. Ia segera meninggalkan ruangan dan berpesan agar aku menjaga ibu.
Aku memandang wajah ibu yang terlihat tenang dalam tidur. Wajah penuh kelembutan yang terekam kuat dalam benakku. Ibu adalah wanita kuat dan tak pernah menyerah dengan segala kesulitan yang pernah dilaluinya. Ibu selalu mendukung kami dalam semua kondisi. Ibu yang mengajarkan kami banyak hal dalam hidup ini.
Hari ini aku melihat keletihan di wajah tenang itu. Pasti akulah penyebabnya. Sejak dokter mengatakan ada masalah pada ginjalku, aku melihat kemurungan di wajah ibu walau sering ditutupi dengan senyum khas menyejukkan hati orang yang melihatnya. Tapi, bagaimana pun ibu menutupi, aku dapat merasakan betapa ia sangat mengkhawatirkan diriku. Beberapa kali aku memergoki ibu menangis diam-diam, pasti aku penyebabnya. Aku tidak bisa berbuat banyak untuk menghibur. Apa yang bisa kulakukan adalah bersikap seperti biasa seolah aku tidak ada masalah kesehatan.
Jangan tanya hatiku. Jauh di lubuk hatiku, aku sendiri sangat merisaukan penyakit ini. Semua informasi tentang penyakit ini telah kucari dan pahami. Anemia yang kuderita bukan anemia biasa, bisa jadi seumur hidup aku harus menerimanya sebagai pakaian khusus. Kondisi itu diperparah lagi dengan kerusakan ginjal yang menyebabkan darahku lambat laun dipenuhi unsur pencemar yang berdampak pada ketahanan tubuh. Ginjal yang tinggal sebuah itu tidak mampu membersihkan darahku sebab telah mengalami kerusakan.
Kemarin adalah cuci darahku yang pertama. Menurut informasi yang ku dapat, tindakan itu akan berulang. Jika kerusakan terus berlanjut, maka dokter menyarankan untuk cangkok ginjal. Inilah yang paling ku takutkan. Mencari pendonor yang tepat dan sesuai bukanlah hal yang mudah. Selain itu biaya yang dibutuhkan sangatlah besar bagi keluargaku yang sederhana. Rasanya mustahil hal itu dilakukan.
Kadang aku menjadi demikian pesimis. Aku merasa seolah-olah penyakit ini sudah tidak ada harapan untuk disembuhkan. Padahal ketika itu aku sama sekali belum merasakan sakit. Pemikiranku telah terpengaruh dengan keterangan dokter. Apalagi sekarang aku sudah merasakan bagaimana tubuhku gemetar dan merasakan letih yang luar biasa saat aku membutuhkan bantuan pembersihan darah. Pikiran buruk bermain di kepalaku. Aku berusaha menjaga hati dari keputus-asaan dengan tetap berpikiran positif. Jika rasa pesimis itu datang aku mengangkat tangan dan bermohon pada sang pemilik diri semoga aku diberi kekuatan menghadapi segala cobaan yang diberikanNya.
Aku selalu menyembunyikan air mata dari semua orang, terutama dari ibu. Ketika malam aku sendiri dengan kegelisahan yang sering mendera akhir-akhir ini, aku takkan kuasa menahan air mata. Ingin bercerita, namun tidak ada tempat bagiku untuk melakukannya. Aku tidak ingin orang lain tau sehingga mereka ikut sedih memikirkan diri ini. Aku ingin meluahkan pada keluarga, tapi aku tau itu akan membuat mereka makin terpuruk memikirkanku. Akhirnya semua kupendam sendiri dan tangis adalah bantuan yang amat besar sebab sehabis menangis biasanya aku merasa lega, semua beban saat itu sudah keluar bersama air mata. Untuk mencegah mataku bengkak pada pagi hari, aku selalu mengompres dengan kapas yang dibasahi. Alhasil, paginya aku bangun dengan mata yang lebih cemerlang dari hari sebelumnya.
Ibu menggeliat terbangun dari tidur. Aku mendekati ibu dan membawakan segelas air putih. Aku yakin ibu belum minum sejak berangkat. Ibu menerima gelas itu dan meneguk habis air di dalamnya.
"Terima kasih, Yang. Ibu jadi tertidur. Kenapa tidak bangunkan ibu magrib tadi?" tanya ibu lembut.
"Maaf, bu. Za tidak tega membangunkan ibu. Ibu pasti letih sekali sampai nyenyak begitu tidurnya. Ibu bisa menjamakkan sholat," kataku beralasan.
"Gak apa-apa. Ibu mandi dulu, sholat, baru ketemu dokter," kata ibu bergegas turun dari tempat tidur.
"Selesai sholat, makan dulu Bu. Tadi bang Bibi sudah belikan makanan untuk ibu. Kasian kalau tidak dimakan," aku mengingatkan ibu untuk makan. Ibu menoleh, kemudian ia tersenyum sambil mengangguk pelan. Aku senang ibu menyetujui permintaanku untuk makan.
Aku menyusun kemasan makanan yang tadi dibeli oleh bang Bibi di atas meja kecil di dekat sofa. Aku dan bang Bibi duduk tenang menunggu ibu. Setelah selesai sholat, ibu langsung mendekati kami dan ikut duduk di sofa tunggal ruangan ini.
"Untung kita kurus-kurus, jadi cukup duduk disini," kata bang Bibi mencolekku. Ia berada di tengah, antara aku dan ibu. Ia minta kami tukar posisi duduk, sebab di tengah membuatnya merasa tidak leluasa. Kami pun berganti posisi.
"Apa makan kita malam ini?" tanya ibu.
"Tadi Bibi cuma ketemu martabak mesir, Bu. Sudah dingin sebab belinya sore ketika ibu tidur," jawab bang Bibi yang merasa kurang enak hati sebab martabak yang dibeli sudah tidak hangat lagi.
"Tidak apa. Alhamdulillah. Kalau dingin justru bisa lebih cepat menghabiskannya. Ibu harus segara menemui dokter," begitulah cara ibu memperlihatkan rasa bersyukur.
"Atau ibu mau makanan Za ini? masih hangat," aku menawarkan makanan jatah rumah sakit.
Ibu tersenyum dan menggeleng, "Gak ah, pasti lembek dan kurang garam. Untuk Za aja. Habiskan ya."
Kami makan sambil menceritakan kompetisi yang aku ikuti beberapa hari belakangan ini. Ibu mendengarkan dengan serius. Sesekali ia bertanya bila aku terlalu cepat menceritakannya. Aku begitu bersemangat bercerita. Bagian yang ku hindari hanya ketika aku mulai merasakan badan tidak nyaman.
"Jika kamu tidak pingsan, lantas apa yang kamu rasakan, Yang?" tanya ibu.
"Za cuma merasa letih luar biasa aja, Bu," jawabku.
"Tidak merasa sakit?" tanya ibu lagi. Aku menggeleng. Aku tidak menggunakan kata 'sakit' pada kondisi yang kurasakan kemarin, hanya rasa 'tidak nyaman'.
"Bu, kita pulang aja ya. Kan di tempat kita juga ada rumah sakit. Za bisa berobat di sana. Gak usah di sini, Bu," pintaku dengan sedikit rengekan berharap ibu menyetujuinya.
"Nanti setelah ibu bahas rekam medismu dengan dokter disini, baru bisa diputuskan. Mudah-mudahan kondisimu tidak serius, jadi kita bisa pulang secepatnya," kata ibu tegas, namun tetap bernada lembut. Aku hanya manggut-manggut mendengar jawaban itu.
"Nanti Za bisa ikut menemui dokter, Bu?" kali ini aku berharap ibu langsung mengabulkan. Aku ingin tau kondisi sebenarnya, tanpa ada yang ditutupi.
"Gak usah Za. Za istirahat aja. Biar benar-benar fit. Jadi kalau ternyata kita bisa pulang besok, tidak akan ada masalah di perjalanan. Naik pesawat memang sekitar satu sampai dua jam, untuk sampai di bandara dengan kemacetan Jakarta buituh satu sampai dua jam juga. Dengan persiapan dan menunggu bagasi bisa habis waktu sampai empat hingga lima jam," penolakan halus dari ibu yang memang tidak ingin aku mendengar diagnosa lanjutan dari dokter. Mungkin maksudnya agar aku tidak terlalu memikirkan tentang penyakitku. Aku mengangkat bahu untuk memperlihatkan kekecewaan. Ibu hanya mengelus-elus punggungku.
Dua jam lebih ibu keluar menemui dokter. Entah apa yang mereka bicarakan hingga butuh waktu yang begitu lama. Bagiku, menunggu sudah tentu terasa lama sekali. Aku menunggu sambil mondar-mandir hingga bang Bibi protes.
"Jangan kaya' setrikaan napa. Duduk Dek. Mending nonton tipi aja," kata Bibi yang ikut resah melihatku gelisah. Aku mencoba duduk dengan tenang sambil menonton televisi.
Akhirnya ibu datang juga. Aku segera menyusul ke pintu. Ibu tersenyum dan minta maaf.
"Maaf, agak lama ya. Ibu juga melakukan pemeriksaan tadi. Menunggu hasilnya agak lama," kata ibu.
"Ibu periksa apa?" tanyaku heran, "Ibu sakit juga?"
"Nggak," ibu berhenti sejenak, seolah sedang mencari jawaban yang lebih baik, "Hmmm, mumpung disini, sekalian cek kesehatan aja."
Aku merasa ada yang ibu sembunyikan, tapi aku tidak ingin mendesak. Lebih baik aku menanyakan tentang advis dokter saja, "Apa kata dokter, Bu? Apa kita diizinkan pulang besok?"
"Kita pulang lusa. Besok masih observasi pemakaian obat dulu. Kalau obatnya dapat diterima dan tidak berefek negatif, maka lusa kita bisa pulang. Melihat perkembangan hari ini, katanya cukup baik karena tidak ada penolakan dari tubuhmu, Yang," kata ibu menjelaskan dengan singkat.
"Jadi kita harus menunggu sehari lagi? Huuh…sehari terasa lama di sini," aku mengeluh. Ibu tersenyum dan merangkulku.
"Sabar…, besok kita bisa kunjungi kamar-kamar lain," bujuk ibu.
"Untuk apa?" tanyaku heran.
"Untuk melihat bahwa kita masih lebih beruntung dari orang lain," jawab ibu.
"Beruntung?" tanyaku lagi.
"Iya. Masih banyak pasien di luar sana dengan kondisi yang memprihatinkan. Tadi ibu melihat anak dengan kasus hydroceppalus. Kasihan sekali," kata ibu, dan aku mengerti maksudnya. Aku merasa itu kegiatan yang cukup bagus untuk mengisi waktu besok. Aku menyetujuinya.
Dalam pelukan ibu aku terlelap tanpa rasa kuatir sedikit pun. Kami tidur berpelukan di atas ranjang kecil ini. Aku merasa nyaman dalam kehangatan dan malam berlalu tanpa terasa.
Jam delapan pagi perawat masuk mengantarkan obat yang harus kuminum. Selain itu, darahku diambil beberapa cc untuk diperiksa di laboratorium. Aku diminta menghabiskan sarapan yang telah disediakan sebelum meminum obat-obatan tersebut. Semua perintah kulaksanakan dengan cepat agar aku bisa mengajak ibu jalan-jalan seperti yang dijanjikan malam tadi.
"Ayo, Bu. Kita jalan-jalan," ajakku.
Ibu tersenyum dan berkata, "Tunggu kunjungan dokter ya. Sebentar lagi dokter akan kesini memeriksa dulu. Setelah itu kita baru lihat-lihat"
Seorang dokter laki-laki masuk diiringi oleh beberapa orang kakak-kakak yang koas. Dokter mengambil catatan hasil pemeriksaan rutin perawat yang tergantung di sisi bagian kaki tempat tidur. Ia membolak-balik catatan yang hanya dua lembar itu dan kemudian menanyakan beberapa hal padaku.
"Apakah Za sudah boleh pulang, Dok?" aku langsung menanyakannya.
Dokter itu tersenyum ramah dan berkata, "Insyaallah. Besok sudah bisa pulang. Nanti tolong dijaga makannya ya. Kurangi konsumsi garam, hindari makanan fast food, jangan makan cemilan yang mengandung MSG berlebihan. Satu lagi, sesibuk apapun kegiatan, jangan lupa istirahat yang cukup, ya."
"Iya, Dok," jawabku singkat. Aku sudah tau apa yang akan dikatakannya sebelum ia mengatakan. Saran seperti itu sudah pernah kudengar sebelumnya, ketika pertama kali dirawat karena masalah kesehatan ini.
Kunjungan dokter hanya sebentar. Setelah menanyakan beberapa hal pada calon dokter baru yang mengikutinya, mereka keluar ruangan. Sebelum meninggalkanku, dokter tersebut masih sempat mendoakan dan memberi semangat. Dokter yang baik, demikian penilaianku.
Aku turun dari tempat tidur dan mengajak ibu jalan-jalan dengan pakaian rumah sakit yang masih juga kedodoran. Pakaian size ku tidak tersedia di rumah sakit ini karena aku dikatakan terlalu kurus dengan tubuh yang tinggi. Jika diberi size M maka pakaiannya terlalu pendek, diberi size L kelihatan kedodoran. Aku tidak terlalu mempedulikan pakaian tersebut, asal sudah menutupi aurat saja itu sudah baik. Hanya bang Bibi yang protes melihatku keluar dengan pakaian tersebut.
"Kamu seperti layang-layang, Dek. Mending tukar aja dengan pakaian biasa," saran bang Bibi.
"Gak boleh bang. Pakaian ini tanda Za adalah salah seorang pasien. Ini yang membedakan dengan paramedis dan pengunjung. Biar ajalah. Gak apa kan, Bu?' aku menanyakan pendapat ibu,
"Iya, tidak apa. Ayo kita lets go," ibu menarik tanganku dan kami keluar bergandengan.
Kami menyusuri lorong-lorong panjang. Ibu menggandengku rapat. Aku mengikuti langkahnya tanpa bertanya. Ruang-ruang VIP dan kelas yang memiliki fasilitas baik hampir semua pintunya tertutup. Ibu mengajakku ke kamar perawatan biasa khusus bagian anak. Satu kamar diisi banyak tempat tidur. Aku tidak sempat menghitungnya. Anak-anak balita ditemani oleh ibu atau bapak mereka.
Ibu mengajakku ke ranjang anak dengan kasus hydroceppalus yang dilihat kemarin. Seorang anak laki-laki yang kurus terbaring telentang tidak dapat memiringkan tubuh sebab kepala yang terlalu besar. Matanya nyaris tidak nampak, tertekan ke dalam.
Aku mendengarnya menyanyi cicak-cicak di dinding. Lidahnya yang sedikit cadel menyebabkan lagu yang dibawakan terdengar aneh. Aku tersenyum padanya, menyentuh tangan karena ingin menyapa. Ia menghentikan nyanyiannya dan melihat padaku.
"Hai, Adik," kataku menyapanya.
"Kakak," jawabnya sambil membalas peganganku pada tangannya.
"Berapa umurmu, Dik?" tanyaku.
"Tujuh tahun, Kak," ia menjawab singkat.
"Apa kabarmu?' tanyaku.
Ia tertawa, tidak menjawab pertanyaanku. Pertanyaan yang bodoh. Jelas aku bisa melihat bagaimana keadaannya.
"Kakak hanya ingin tau perasaanmu. Kalau kondisimu, kakak bisa lihat," aku menjelaskan maksud pertanyaanku.
"Amiy hanya pegal aja kak. Tidak bisa miying," jawabnya sambil menunjuk badannya.
Aku menunjuk kepalanya ragu-ragu, "Apa disini sakit?'
"Tidak kak. Tidak sakit, hanya berat tidak bisa diangkat" jawabnya lagi.
Aku tau, ketiadaan biaya yang menyebabkan kondisinya semakin memprihatinkan. Penyakitnya sudah diketahui sejak ia baru lahir. Perekonomian keluarga memang tidak memungkinkan ia mendapat penanganan yang tepat, walau pengobatan-pengobatan seadaanya terus dilakukan untuk mengeluarkan cairan di kepala. Pengobatan yang tidak tuntas sejak kecil menyebabkan tulang tengkorak tidak terbentuk dengan sempurna.
Ibu mengajakku ke ruang lain. Kali ini kamar yang kami masuki lebih nyaman. Ada enam anak di ruangan tersebut. Mereka saling bercanda dengan riang. Aku tidak melihat mereka seperti orang yang sedang sakit. Ibu mengatakan bahwa mereka semua mengidap kanker dan harus menjalani terapi khusus. Mereka menyalami kami satu persatu. Aku pun menanyakan nama-nama mereka, apa yang mereka rasakan dan apa yang mereka pikirkan. Jawaban mereka sangat membuatku terharu.
"Saya tidak merasakan sakit, Kak, tapi saya sering pingsan. Kata dokter saya sakit leu leu…apa gitu. Sakit darahnya. Kadang-kadang sebelum pingsan, rasanya agak pusing dan lemes gitu. Tapi, beneran gak sakit kak. Malahan sakit kalau dicucuk-cucuk jarum disini," ia menunjuk lengannya dan beberapa tempat lainnya," disini, disini dan disini."
"Trus sekarang kalian akan digimanain lagi?" aku bertanya dengan bahasa yang mungkin dapat mereka pahami.
"Kemo!" jawab mereka berbarengan.
"Apakah itu sakit?" tanyaku.
Ada yang mengangguk, ada yang ragu menjawabnya.
"Sakit dikitlah, Kak. Kaya' disuntik gitu," jawab yang paling besar.
"Ceppy katanya sedang menunggu pendonor. Mau diganti tulangnya," ujar Reno yang berkepala botak.
"Bukan tulang, tapi isi tulangnya yang mau diganti," jawab Ceppy. Aku mengerti, maksudnya transplantasi sumsum. Ia menderita leukemia. Tubuhnya kurus dan matanya cekung. Melihat kondisi tubuh itu sepertinya ia yang paling lemah diantara yang lainnya, namun bersama teman-teman ia terlihat tetap ceria, masih melompat-lompat di atas tempat tidur.
Anak-anak tersebut bergantian bercerita. Aku mendengar dengan seksama. Kadang-kadang ibu menimpali percakapan kami. Mereka sama sekali tidak canggung dengan orang yang baru ditemui seperti kami. Ada satu hal yang kulihat dalam diri mereka yaitu semangat hidup yang tidak meredup walau mereka tau bahwa mereka menderita penyakit yang susah obatnya. Bahkan seorang teman mereka baru saja meninggal beberapa hari lalu. Mereka menganggapnya sudah tidur dengan tenang, sebab wajah teman mereka memang seperti orang yang terlelap dengan mimpi indah.
Ibu mengajakku kembali ke kamar. Aku harus makan siang dan makan obat sesuai waktu yang disarankan. Aku mengerti apa yang ingin ibu perlihatkan. Ia ingin aku tetap optimis dan bersemangat seperti mereka yang ternyata memiliki penyakit lebih parah dari kondisiku saat ini. Aku juga merasa ibu ingin meyakinkan diri sendiri bahwa ia juga harus seperti mereka yang pasrah dan terus berikhtiar untuk sebuah kesembuhan. Kesembuhan anak gadis semata wayang.
Hasil pemeriksaan darah keluar setelah makan siang. Ibu kembali menghadap dokter yang menangani penyakitku. Aku tidak diizinkan ikut. Aku hanya menunggu di kamar ditemani bang Bibi. Abangku itu agak lebih alim akhir-akhir ini. Maksudku, biasanya ia selalu menggoda hingga aku kesal dan sesekali menangis karena tidak tahan kesal. Hobbynya bila berada di dekatku adalah mencubit pangkal lenganku dengan cubitan kecil yang cukup pedih. Ia menyebutnya dengan sebutan picik dalam bahasa daerah kami yang artinya cubit.
"Bang!" panggilku. Bang Bibi mengangkat wajah dari HP yang dipelototinya sejak tadi.
"Apa?" jawabnya.
"Tiket kita sudah dipesan?" tanyaku.
"Sudah. Kita dapat penerbangan besok pagi. Jadi malam ini kita masih harus tidur disini. Sabar ya, Dek. Lagi pula ibu masih menunggu hasil observasi pemakaian obat. Ibu tak mau kalau ternyata nanti ada efek samping yang justru akan memperparah kondisimu," kata bang Bibi dan kemudian ia meneruskan main game di HP.
Aku mendengus pelan merasa diacuhkan. Bibi terlalu sibuk dengan game. Aku manyun mengambil remot TV dan mencari channel yang aku suka, apalagi selain horor. Hingga malam tidak ada kegiatan kami yang berbeda. Masih santai dengan bosan di dalam kamar perawatan. Keterangan yang diperoleh dari ibu tentang penyakitku sama saja seperti yang disampaikan sebelumnya. Tidak ada informasi yang baru, menambah lengkap rasa jenuh ini.
Sehabis sholat subuh, kami sudah keluar dari rumah sakit. Perjalanan ke bandara memerlukan waktu satu jam lebih dalam kondisi tidak macet, mengharuskan kami berangkat lebih cepat. Semua sudah dibereskan ibu sejak malam. Administrasi pun sudah diselesaikan malam tadi sehingga tidak ada lagi yang menahan langkah kami untuk segera meninggalkan rumah sakit ini.