Ibu memang hebat. Ia sudah mempersiapkan segalanya dengan baik. Sebelum pesawat mendarat ia memberi masker dan membantuku mengenakannya. Aku tidak perlu bertanya tentang keharusan memakai masker tersebut. Aku tau itu artinya negeriku kembali diselimuti asap. Kami sudah beradaptasi dengan musim langka di dunia, tapi ada di negeri kami yaitu musim asap. Syukur asap tidak sampai mengganggu penerbangan sehingga pendaratan pesawat tidak perlu dialihkan ke provinsi tetangga.
Menunggu bagasi cukup memakan waktu. Hampir setengah jam baru kami memperoleh barang bawaan. Aku melangkah lebih dulu dari ibu dan Bibi, berharap segera bertemu dangan bapak. Hampir dua minggu aku tidak bertemu dengannya, aku kangen. Dari kaca pemisah ruangan aku melihat banyak orang di luar. Mungkin rombongan sekolah yang baru pulang study tour. Bagaimana aku bisa segera menemukan bapak diantara sebanyak itu orang yang menunggu.
Aku keluar dari pintu ruang kedatangan dan sungguh aku sangat terkejut. Ternyata orang ramai yang kulihat tadi adalah guru-guru dan teman-temanku. Mereka bertepuk tangan, riuh sekali. Semua orang melihat kami. Aku benar-benar tercengang. Pak Amran segera mendekatiku dan beliau mengulurkan tangan. Aku segera menyalaminya dan juga menyalami guru-guru yang ada di sana.
Air mata ini tak terbendung. Menurutku, ini penyambutan yang berlebihan. Selebriti saja tidak akan disambut seperti ini oleh anak-anak sekolah beserta gurunya. Aku merasa seperti seorang presiden yang sangat disayang oleh rakyat, bukan presiden yang selalu merasa akan disingkirkan rakyatnya. Seseorang memberiku sapu tangan. Aku mengambilnya dan tidak peduli itu sapu tangan siapa, aku langsung menyeka air mata menggunakan sapu tangan itu.
Ternyata Adel sudah berdiri di sampingku. Ia memelukku dan mengucapkan selamat datang. Aku merasa aneh dengan penyambutan ini. Namun aku benar-benar terharu. Saat ini haru dan bahagia bercampur menjadi satu. Ferry dan Rahmat pun berdiri tidak jauh dariku. Mereka membawakan pakaian seragamku. Aku tidak mengerti, untuk apa pakaian seragam itu mereka bawakan. Aku tidak berniat untuk ke sekolah hari ini.
Bapak tiba di depanku dan aku segera memeluknya. Bapak mengatakan bahwa guru-guru dan teman-teman meminta izin untuk membawaku ke sekolah sebab mereka telah mempersiapkan penyambutan atas prestasi kami di tingkat nasional. Sekarang aku mengerti mengapa Rahmat membawakan pakain seragam. Ternyata ibu sudah tau sebelumnya sehingga ia tidak kaget dengan penyambutan ini. Ibu menyuruhku berganti pakaian di kamar mandi bandara. Adel menemaniku.
Aku bergabung dengan teman-teman naik bis di luar bandara. Keluargaku mengikuti dari belakang. Mereka diundang untuk ikut pada acara penyambutan tersebut. Kepala sekolah berinisiatif meliburkan kegiatan balajar pada hari ini. Sejak kemarin mereka telah mempersiapkan acara penyambutan ini. Hingga pagi hari mereka masih mendekor pentas di tengah lapangan sekolah.
Sebagai pembuka acara, kami disambut dengan tarian persembahan yang menjadi tarian khusus menyambut tamu di negeri kami. Penari utama menyuguhkan kami sirih di dalam tepak lengkap dengan atributnya. Kami mengambil daun sirih yang telah diracik dan diikat dengan beberapa rempah sebagai tanda menerima persembahan mereka. Idealnya sirih itu dimakan, namun zaman sekarang mana ada anak-anak suka makan sirih yang rasanya tidak enak itu. Kami hanya menyimpan pemberian tersebut di dalam kantong pakaian seragam.
Kami dipersilahkan duduk dan disambut dengan acara berbalas pantun dari rekan-rekan kelas XI. Selanjutnya Bapak Kepala Sekolah memberi sambutan. Beliau sangat senang dengan prestasi yang kami capai. Agar bidang musik tidak kembali mati suri maka beliau berjanji akan segera mencarikan guru musik. Anak-anak yang berminat di bidang tersebut dapat menggunakan fasilitas di ruang musik dengan pengawasan guru yang ditunjuk. Beliau juga berharap bidang ini dapat berkembang sebab musik dapat membawa pesan yang dalam.
Acara dilanjutkan dengan suguhan kesenian dari setiap kelas, ada tarian, nyanyian, deklamasi, parade pusi dan pantomim. Lengkap rasanya atraksi seni kali ini. Grup band kami juga diminta membawakan lagu yang sama dengan yang kami bawakan ketika kompetisi. Aku memandang ibu untuk meminta persetujuannya. Ibu mengangguk dan mempersilahkanku maju ke pentas.
Meskipun kami tampil dengan pakaian seragam, namun kami berusaha menampilkan sebaik yang kami tampilkan ketika kompetisi kemarin. Lagu melayu yang kami bawakan mendapat sambutan yang meriah. Yang membuatku takjub, ada sekelompok penari menari di bawah pentas ketika kami membawakan lagu itu. Wah, ternyata penampilan disini lebih seru daripada di tempat pertandingan kemarin, sebab ada penari latar yang menambah semarak.
Aku melihat ibu berdiri dari tempat duduk dan bertepuk tangan dengan semangat. Ia mengajungkan kedua jempol padaku. Aku tersenyum senang dan melanjutkan dengan lagu kedua yang lebih bersemangat. Kali ini aku mengurangi gerakanku untuk menjaga stamina sendiri. Lucunya lagi tanpa aku banyak bergerak, pasukan tari kontemporer ikut menari di bawah pentas. Entah nyambung atau tidak, tapi keseruannya luar biasa.
Azan adalah penanda kami harus menghentikan berbagai kegiatan. Lapangan upacara tersebut dikosongkan dan dialas dengan karpet untuk sholat. Kali ini semua siswa dan guru sholat berjemaah di lapangan. Matahari yang tidak nampak sejak pagi mengurangi rasa panas. Semua mengenakan masker karena asap melingkupi kami. Sehabis sholat zuhur, dilanjutkan dengan sholat istisqa untuk meminta hujan sebab asap semakin menebal dalam seminggu belakangan.
Oksigen adalah komoditi langka bagi daerah kami jika sudah begini. Asap yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan gambut sudah menganggu aktifitas masyarakat. Dari tahun ke tahun asap menjadi masalah bagi negeri Lancang Kuning ini, seperti tidak ada solusi untuk menghentikannya. Melawan korporasi sama artinya menyiram bensin ke tubuh sendiri. Masyarakat sudah pasrah dan hanya berharap pertolongan Allah selalu. Bersabar menunggu prahara yang disebabkan tirani ini berlalu.
Doa bersama adalah akhir dari rangkaian kegiatan di sekolah hari ini. Semua siswa dipulangkan lebih cepat dari biasanya. Aku pun ikut pulang bersama keluarga dan rumah adalah tempat yang ku rindukan saat ini, terutama kamar tidurku, markas yang paling nyaman.
Aku membuka WA grup kelas. Disana aku melihat apa saja yang harus dikerjakan selama hampir dua minggu aku tidak mengikuti pelajaran. Aku harus menyelesaikan pekerjaan sekolah yang tertinggal. Aku mulai mengangsur mengerjakan latihan-latihan setiap pelajaran, dimulai dari pelajaran Matematika yang paling kukuasai. Aku hanya beristirahat sebentar ketika masuk waktu sholat.
Hingga selesai sholat Isya, tugas-tugas sekolah baru lima pelajaran yang ku selesaikan. Aku tidak ingin memaksa diri lagi. Selesai makan malam, aku menutup semua buku-buku itu dan bersiap untuk tidur. Aku ingin mengikuti saran dokter dengan menambah waktu tidur, sekurang-kurangnya delapan jam sehari.
Aku memejamkan mata setelah membaca doa dan beberapa ayat pendek. Ternyata untuk tidur cepat tidak semudah yang kukira. Bolak-balik di tempat tidur membuat aku malah menjadi resah dan pikiran entah kemana-mana. Aku menambah bacaan ayat pendek sambil terus memejamkan mata, namun tetap tidak mujarap. Akhirnya aku duduk dan kembali membuka buku pelajaran. Lebih baik aku menyiapkan pekerjaan sekolah yang tertinggal dari pada gelisah tidak bisa terlelap.
Akhirnya semua pekerjaan sekolah itu selesai kukerjakan. Jam sudah menunjukkan pukul 01.45, sudah dini hari. Aku puas telah menyelesaikan seluruh tugas sekolah yang tertinggal. Setelah itu, aku bisa tertidur pulas selama kurang lebih tiga jam. Subuh sudah waktunya bangun dan kegiatan rutinku setelah sholat adalah belajar sampai waktu sarapan dan berangkat ke sekolah.
Di sekolah tidak ada kejadian luar biasa. Semuanya kembali pada rutinitas yang harus dijalani oleh seorang pelajar. Sejak aku tidak sekelas dengan Adel, kami sudah mulai jarang bertemu. Adel sudah memiliki teman yang baru, demikian juga denganku. Aku tidak terlalu peduli apakah aku memiliki teman dekat atau tidak. Yang penting aku menganggap semuanya adalah teman.
Rahmat masih cukup sering mengajakku pulang bersama. Kadang-kadang kami belajar bersama. Rahmat harus mengulang-ulang pelajaran kelas sebelumnya agar ia tidak melupakan pelajaran-pelajaran tersebut untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir. Aku lebih sering membahas matematika dengannya sebab aku memang menguasai pelajaran tersebut. Hubungan kami masih seperti sebelumnya. Tidak ada yang berubah. Rahmat sudah mengerti dengan pendirianku. Ia tidak lagi bermimpi untuk menjadikan aku pacarnya sebab konsep pacaran sebelum pernikahan tidak ada dalam kamusku.
Ujian akhir Rahmat dan Ferry selesai sudah. Ferry mengajak kami berkumpul di ruang musik. Seperti kesepakatan kami sebelumnya, kami akan latihan kembali untuk mempersiapkan diri tampil pada acara perpisahan. Kali ini kami harus gantian menggunakan peralatan musik dengan grup baru regenerasi. Mereka juga ingin menampilkan permainan ketika acara perpisahan minggu depan. Komposisi mereka lebih lengkap dengan hadirnya seorang gitaris. Warna musik mereka berbeda dengan kami. Mereka lebih memilih musik keras seperti rock dan metal.
Acara perpisahan itu tiba. Aku tidak memperhatikan acara pembukaan yang penuh dengan kata sambutan dan sangat membosankan sebab dari tahun ke tahun membahas hal yang sama. Jika bukan karena sudah janji untuk menghadirinya, aku tidak akan duduk pada acara seperti ini. Aku tidak suka acara perpisahan, apapun bentuknya. Ketika tamat SD dan SMP, aku sama sekali tidak mau menghadiri acara seperti ini, walau dipaksa sebab aku memperoleh predikat siswa teladan ketika itu.
Adel memegang tanganku. Ia berbisik, "Kamu tak apa-apa kan, Nek?"
Aku mengangguk dan ikut berbisik, "Jangan kuatir, dalam kondisi prima kak Del."
"Ini menjadi penampilan kita yang terakhir ya, Nek. Setelah ini grup kita benar-benar bubar. Apalagi bang Ferry katanya mau kuliah di Jakarta," bisik Adel lagi.
Sekali lagi aku mengangguk. Aku setuju dengan kata-katanya.
"Sedih juga rasanya ya, Nek," Adel masih berbisik. Aku segan menjawab, takut berisik. Tapi jika tidak ku jawab, Adel akan mendesak ingin ditanggapi.
"Iya, Sedih. Tapi kita harus bisa menerima setiap perubahan yang terjadi dan…," kalimatku terputus melihat guru Sejarah melotot ke arahku. Aku memberi kode pada Adel bahwa ada guru yang menegur. Adel pun tidak lagi bertanya.
Setelah semua kata sambutan selesai, acara diakhiri dengan suguhan kesenian dari para siswa. Kami sebagai pembuka sesi kesenian. Ferry naik ke atas pentas paling duluan, disusul oleh Adel, kemudian Rahmat dan terakhir aku naik dan langsung menuju tempat mikrofon diletakkan. Aku mengucapkan salam dengan keras untuk memperoleh perhatian para penonton.
Adel mulai menekan keyboard dan selanjutnya kami fokus dengan peran masing-masing dalam sebuah grup band. Penampilan kami masih sebagus sebelumnya. Harmonisasi dapat tercapai dengan kerjasama yang baik dan sadar dengan peran masing-masing.
Turun dari panggung, aku langsung menyalami Ferry dan Rahmat. Aku mengucapkan selamat sekali gus berterima kasih pada mereka karena telah memberikan sebuah pengalaman terindah dalam hidupku yaitu menjadi seorang vokalis sebuah grup band yang pernah meraih prestasi tingkat nasional. Hal itu tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Bahkan dulu aku menganggap suaraku aneh dan sebuah kecacatan. Tapi mereka bisa mengubah kecacatan menjadi sesuatu yang sangat berharga.
Ferry tersenyum hangat padaku dan juga mengucapkan terima kasih karena bersamaku ia juga akhirnya bisa memperoleh prestasi yang membanggakan di ajang yang bergengsi, itu juga pengalaman yang tak terlupakan baginya.
"Kamu teman yang menyenangkan. Aku akan mengingatmu walau nanti kita sudah tidak bertemu lagi," kata Ferry sambil memberikan sebuah bungkusan kecil padaku. Aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih.
"Boleh Za membukanya, Bang?" tanyaku.
"Silahkan," jawabnya sambil tersenyum.
Aku membuka bungkusan kecil itu. Sebuah gelang kayu bertulisan 'FARO' nama grup yang akan selalu kami kenang. Aku langsung mengenakan dipergelangan tangan.
"Aku membuatnya empat buah. Ini untukmu bro Rahmat," kata Ferry menyerahkan sebuah bungkusan pada Rahmat, "Ini untukku sendiri dan ini untuk Adel. Mana Adel, kok belum kesini?"
"Kak Del ke toilet tadi, perutnya mules," jawabku.
"Terima kasih bro Ferry. Aku akan mengenakannya terus, untuk mengingat bahwa kita pernah berjuang bersama-sama dan berhasil bersama-sama pula," kata Rahmat menerima pemberian Ferry. Mereka bersalaman dengan cara yang khas, lalu saling berpelukan. Aku merasa terharu melihat mereka berangkulan layaknya orang terdekat. Ferry pamit sebentar untuk mencari Adel. Ia ingin menyerahkan bingkisan kecilnya langsung pada Adel. Ferry tidak dapat menunggu lebih lama sebab ia harus berangkat ke bandara beberapa menit lagi. Ia tidak bisa menunggu acara perpisahan selesai.
Rahmat kembali menyorongkan tangan padaku, aku menyambutnya dan kami bersalaman kembali. Ia juga mengucapkan terima kasih karena aku telah mengajari banyak hal. Aku telah membantunya belajar menghadapi ujian akhir.
"Terima kasih untuk semuanya Oriz. Bersamamu aku belajar menerima dan mengendalikan perasaan sendiri. Bersamamu aku bisa mengikhlaskan apa yang paling kita sukai. Jaga dirimu baik-baik. Sebagai teman, aku selalu mendoakan yang terbaik buatmu," kata Rahmat masih menggengam tanganku. Aku membiarkannya dan tidak berusaha melepaskan tangan seperti yang biasa kulakukan untuk menghindari persentuhan lama dengan orang lain bukan mahram.
"Za juga berterima kasih untuk semuanya. Tetaplah menjadi teman yang baik bagi Za sampai kapan pun. Jika bang Rahmat kuliah disini silahkan datang ke rumah kapan pun Abang ingin jumpa dengan Za," aku membalas ucapan terima kasihnya dengan terima kasih juga.
Rahmat mengeluarkan sesuatu dari tas sekolah. Sebuah kotak berukuran sedang dibungkus dengan kertas bergambar. Ia menyerahkan padaku dan meminta untuk membukanya di rumah. Aku mengangguk dan menyimpan pemberiannya di dalam tas yang ku bawa.
Adel dan Ferry datang berbarengan mendekati kami. Adel menyalami Rahmat dan mengucapkan selamat berpisah, selamat melangkah ke tahap pendidikan selanjutnya, selamat berjuang untuk masa depan, dan semua selamat yang ada di Indonesia. Kami tertawa bersama mendengar ucapan Adel yang terlalu banyak dengan macam-macam selamat.
Ferry langsung pamit dan kembali menyalami kami bergantian. Ia telah dijemput oleh paman yang akan membawanya ke Jakarta hari ini juga. Kami melambaikan tangan melepaskan kepergiannya. Ada rasa berat berpisah, walaupun kami masih bisa berhubungan melalui HP. Oya, ternyata bingkisan Rahmat berisi sebuah bros baju yang sangat cantik, aku suka dan selalu memakainya.
Perubahan demi perubahan terus terjadi. Dua orang teman dekatku sudah menyelesaikan pendidikan dan tidak lagi satu sekolah. Sejak tidak sekelas dan memilih kegiatan ekstra kulikuler yang berbeda, aku sangat jarang bertemu dengan Adel. Jika bertemu pun hubungan kami tidak sehangat dulu. Sebenarnya aku heran dengan perubahan sikap Adel terhadap diriku. Tapi aku tidak mau terlalu ingin tau urusan dan perasaannya.
Satu yang belum berubah dariku, yaitu menjadikan ruang musik sebagai markasku di sekolah. Ruang musik itu sudah mulai dipakai untuk siswa yang mengambil ekstra curiculer dan digunakan setiap hari Jumat. Pak Amran pernah memintaku untuk melatih grup baru tersebut membantu guru musik yang baru saja mengajar di sekolah kami. Beberapa waktu aku memang melaksanakannya, tapi tidak lama.
Ruang musik tetap tempat yang sepi dan tenang. Aku lebih sering duduk melamun dari pada mengaktifkan channel ktv untuk berkaroke sendiri. Aku tidak ingin berpikir. Aku ingin pikiranku kosong sehingga aku dapat beristirahat. Aku berlatih yoga dengan memfokuskan pikiran pada satu titik. Tujuannya hanya agar aku memiliki waktu yang cukup buat beristirahat. Aku berusaha mengubah pola istirahat dengan menjaga jam tidur. Meskipun awalnya susah, namun aku sudah bisa tidur enam sampai delapan jam sehari.
Aku harus menjalani cuci darah sekali tiga bulan. Apa bila tubuhku merasa lelah yang berlebihan dan kakiku mulai bengkak, itu merupakan sinyal bahwa kualitas darahku sudah buruk dan harus menjalani terapi cuci darah. Proses terapi tidak memerlukan waktu lama sampai harus nginap di rumah sakit. Aku cukup datang ke rumah sakit dan berbaring selama tiga sampai empat jam didekat mesin hemodialisa setelah dua selang ditanamkan ke tubuh melalui jarum khusus. Setelah selesai, aku dapat beraktifitas seperti biasa.