Hari pertama di kelas baru dan teman-teman yang sebagian besar baru tidak membuatku canggung. Tidak seperti sebelumnya, aku selalu merasa terasing di tengah teman-teman sekolah. Mereka memperlakukanku seperti seorang selebriti, seperti aku orang terkenal sedunia. Semua menyapa dan ingin kenal lebih dekat denganku. Aku menyambut mereka dengan senang hati dan percaya diriku semakin tinggi.
Adel tidak lagi sekelas denganku. Kami tetap bertemu saat jam istirahat atau pulang sekolah. Ia masih ceria seperti sebelumnya, namun jika menyinggung soal Ferry ia akan menjadi lebih sensitif. Memaklumi hal itu, aku tidak mau mengusik dengan berbagai pertanyaan tentang Ferry jika bersama dengannya.
Kami masih latihan bersama. Walau antara Adel dan Ferry sedang perang dingin, latihan masih berjalan normal seperti biasa. Kami latihan setiap hari selama satu jam setengah setelah sekolah berakhir. Sesekali pak Amran melihat kami latihan dan memberi masukan. Beliau mengizinkan kami mengikuti kompetisi band sekolah/kampus di Jakarta.
Semua persiapan sudah kami lakukan untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pendaftaran secara online sudah dilakukan dan segala urusan administrasi serta tiket telah diselesaikan oleh Ferry. Peralatan dan akomodasi juga telah disiapkan secara matang oleh Rahmat. Aku dan Adel benar-benar mempersiapkan diri secara fisik dan mental. Terutama diriku yang memang memiliki kekurangan dan masih ku sembunyikan dari teman-teman, yaitu tentang kesehatanku.
Bang Bibi diberi tanggung jawab oleh kedua orang tua untuk menemani dan mengawasiku selama di Jakarta. Tanggung jawab utamanya adalah memastikan aku makan obat tepat waktu. Menjelang hari keberangkatan, ibu membawaku ke rumah sakit untuk mengecek kondisi kesehatan. Walau aku berkali-kali menolak, namun ibu memaksa. Aku pasrah dengan keinginan ibu untuk melakukan pengecekan kembali kesehatanku, meskipun baru beberapa hari sebelumnya aku telah menjalani pengecekan rutin.
Haemoglobinku kembali turun, tapi masih dalam batas yang dapat ditolerir. Dokter mengisyaratkan bahwa aku masih boleh beraktifitas dan tidak perlu melakukan transfusi. Advis dokter hanya memintaku benar-benar menjaga asupan makanan dan waktu istirahat yang tidak boleh kurang dari delapan jam sehari.
Ibu wanti-wanti mengingatkanku agar jangan sampai lupa memakan obat. Sejumlah wejangan disampaikan dan tidak ada yang lain kulakukan selain mengangguk dan berjanji mematuhi nasehatnya. Bang Bibi pun tidak luput dari sederetan daftar tanggung jawab selama mengawasiku. Saudaraku itu paling pintar memujuk ibu agar tenang. Ia meyakinkan ibu kalau ia akan mengawasiku penuh selama 24 jam sehari. Janji yang terlalu muluk, tapi ibu tersenyum mendengarnya.
Kami sampai di Jakarta sehari sebelum babak penyisihan. Waktu yang ada kami gunakan untuk latihan, membiasakan dengan beberapa peralatan terbaru. Kami tidak mengalami kesulitan dalam hal itu sebab meskipun ada sedikit perbedaan dengan alat yang akan digunakan, masing-masing mereka menguasai jenis alat yang dipegang, kecuali aku tentunya. Aku hanya memegang sebuah mikrofon saja, tidak memerlukan penyesuaian.
Babak penyisihan adalah babak yang paling melelahkan. Menunggu giliran sangat membosankan dan ketegangan yang ditimbulkan membuat stress meningkat. Dalam situasi seperti itu, selera makanku pun hilang. Setelah beberapa kali dipaksa, akhirnya aku memakan nasi kotak yang disediakan. Bang Bibi kurang sabar menungguku makan, berinisiatif menyuapkan. Aku berusaha menolak, namun ia tetap memaksa. Makananku habis juga dan beberapa butir obat diletakkan di telapak tangan kananku dan segelas air kemasan di tangan kiriku. Aku menelan obat yang diberikan dengan cepat.
Adel datang dan mengabarkan kami akan tampil sekitar lima belas menit lagi. Aku bersiap dan berkumpul dengan yang lainnya. Meskipun sudah pernah mengikuti kompetisi seperti ini, namun kami masih saja dihinggapi rasa gelisah. Waktu lima belas menit terasa sangat lama dengan kegelisahan yang kami rasakan saat ini. Aku mencoba mengajak mereka berbicara, namun tampaknya selera mereka untuk berbicara menjadi hilang sama sekali. Jawaban yang kuterima hanya, hmm, ya, ah, oh dan beberapa kata yang singkat lainnya.
Nomor peserta kami dipanggil dan kami segera masuk ke ruangan yang berisikan lima orang juri. Setelah memperkenalkan diri kami mulai menunjukkan kebolehan kami sebagai satu grup musik. Awalnya aku merasa gugup, namun setelah suara pertamaku keluar, rasa gugup itu hilang dan semangatku menjadi dua kali lipat dari sebelumnya. Aku merasa menemukan diriku sendiri saat sedang bernyanyi. Diriku yang selama ini tersembunyi jauh dari ketidak-percayaan diri.
Tanggapan para juri sangat positif. Komentar mereka memberikan kami harapan untuk maju ke babak selanjutnya dua hari lagi. Pengumuman dapat kami lihat dari situs pada keesokan harinya. Grup kami masuk 20 besar dan selanjutnya 10 besar, akhirnya final menyisakan lima grup. Dari lima grup tersisa hanya kami yang berasal dari tingkat SMA, empat grup lainnya berasal dari beberapa perguruan tinggi terkenal Indonesia.
Untuk persiapan ke babak final kami diberi satu hari tenang yang dapat kami manfaatkan untuk mempersiapkan diri. Kami menggunakan waktu tersebut untuk latihan terakhir sebelum tampil. Latihan kali ini terasa berat bagiku. Beberapa hari dengan jadwal yang padat membuat badanku merasa lelah. Kelelahanku terihat oleh bang Bibi dan ia meminta agar kami tidak latihan terlalu lama. Lebih baik kami gunakan waktu yang tersisa untuk beristirahat agar besok bisa tampil prima. Teman-temanku menyetujuinya.
Kami kembali ke penginapan. Ferry mengajak kami berkumpul di kamar mereka untuk mendiskusikan apa yang masih harus diperbaiki. Dengan lesu aku mengikuti langkah mereka. Aku ingin rebahan, tapi rasanya tak pantas. Adel yang sempat melihatku limbung, menahan tubuh dan menarikku duduk di tampat tidur tunggal dekat jendela.
"Maaf, Za rebahan dulu, boleh ya?" pintaku.
"Iya, silahkan aja," jawab Ferry sambil menyingkirkan beberapa atribut yang terletak di atas ranjang itu.
"Kamu tak apa-apa kan, Nek? Wajahmu agak pucat," kata Adel.
"Hanya merasa lelah aja kak Del. Jangan kuatir," jawabku sambil rebahan.
"Aku melihatmu makan obat yang diberikan bang Bibi kemarin. Kamu sakit, Nek?" tanya Adel meraba keningku.
"Itu suplemen penambah stamina aja, kak Del. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," kilahku.
"Apa sebaiknya kita kembali ke kamar? Nanti saja diskusinya, kalau kamu sudah merasa segar, Nek," saran Adel agar aku lebih leluasa tidur di kamar sendiri.
"Tidak usah. Lanjutkan aja. Za dapat mendengar sambil berbaring," jawabku pelan.
Aku masih mendengar apa-apa yang harus kami perbaiki untuk penampilan di babak final besok. Rasa kantuk makin lama makin menguasai dan akhirnya aku tertidur. Aku sudah tidak mendengar lagi apa yang mereka bicarakan. Mereka pun membiarkanku terlelap sendiri. Aku baru tersentak ketika bang Bibi menyentuh bahuku menyuruh bangun. Aku bangun dan tidak melihat teman lain di kamar ini. Jendela yang tadi terang, sekarang sudah tidak terlihat ada cahaya itu lagi. Hari sudah gelap. Berarti sepanjang siang aku tertidur, untung tadi sempat menjamakkan Asar ketika Zuhur.
"Sudah Magrib, Za. Kembali ke kamarmu dan sholatlah dulu, kemudian turun makan ke bawah ya," kata bang Bibi yang merupakan perintah bagiku.
"Mana yang lain, Bang?" tanyaku heran.
"Mereka di mushalla bawah. Setelah itu mereka menunggu di restorasi," jawab bang Bibi membantuku berdiri, "Kamu tak apa-apa kan Za?"
"Tak apa-apa bang. Tadi memang capek dan ngantuk sekali. Sekarang sudah segeran. Za ke kamar dulu ya," kataku sambil keluar dari kamar mereka. Aku bergegas menuju kamarku dan menunaikan perintahNya.
Teman-temanku sudah berkumpul di sebuah meja makan. Bang Bibi pun sudah duduk di sana sambil memainkan HP. Aku segera menggabungkan diri dengan mereka.
"Maaf ya, tadi Za tertidur," aku meminta maaf karena merasa tidak enak tertidur saat yang lain sedang berdiskusi.
"Tak apa Oriz. Kamu pun tadi terlihat lelah dan pucat. Kami sebenarnya sempat khawatir, takut kamu tiba-tiba sakit. Kan tidak lucu kalau besok kita tampil tanpa vokalis," jawab Rahmat sambil merenggangkan kursi untukku duduk.
"Terima kasih, Bang," ujarku sambil tersenyum menerima perlakuannya merenggangkan kursi, "apa ada info yang masih belum Za dengar?"
"Tadi nomor urut tampil sudah dicabut. Kita tampil terakhir," Ferry berkata sambil menyerahkan nomor peserta padaku. Aku menerimanya.
"Besok kita tampil di ruangan tertutup, disorot lampu dan kamera, tidak seperti sebelumnya di tempat terbuka dan ditonton orang umum. Penonton besok terdiri dari para sponsor, undangan dan pemegang tiket. Disiarkan secara langsung di televisi nasional. Yang penting kita harus tetap optimis dan bersemangat," lanjut Ferry menerangkan padaku. Aku mengangguk mengerti.
Makan malam bersama kami selesaikan dengan cepat. Selanjutnya kami harus beristirahat dengan cukup. Aku dan Adel menuju kamar dan bang Bibi masih sempat menyelipkan obat untuk ku minum sesampai di kamar. Aku menggenggam obat itu, tidak ingin Adel melihatnya. Sesampai di kamar, aku membawa sebotol air mineral ke kamar mandi dan menelan obat disana. Aku menyikat gigi bersiap untuk tidur kembali. Aku masih merasa kepala ku tidak nyaman.
Adel memperhatikanku membawa botol mineral ke dalam kamar mandi. Ia merasa heran. Begitu aku keluar dari kamar mandi, ia langsung bertanya, "Kok bawa air minum ke kamar mandi, Nek?"
"Hihihi…latah kak Del. Sikat gigi dengan air mineral," jawabku santai, kelihatannya ia percaya sebab tidak bertanya lagi.
Latihan terakhir kami keesokan hari di atas panggung tempat acara akan diselenggarakan. Kami diberi kesempatan untuk mempelajari dan menguasai panggung di pagi hari. Siang, tempat itu sudah tertutup bagi para peserta. Kami hanya duduk santai sambil ngobrol di penginapan yang disediakan oleh panitia.
Pukul delapan malam kami sudah berada di belakang panggung. Adel masih merias wajahku sebab tadi sempat luntur karena air wudhu. Selama manggung, Adel adalah juru rias kami. Untuk urusan merias dia memiliki keunggulan. Aku selalu merasa puas dengan hasil riasannya yang masih natural dan tidak menyebabkan aku merasa memakai topeng. Kali ini pun ia bisa menyesuaikan dengan panggung dan riasan agak lebih tebal dari biasanya. Aku tidak menolak dirias agak tebal sebab mengerti dengan perbedaan warna karena lampu sorot.
Setiap grup diharuskan membawa dua buah lagu, masing-masing lagu dibawakan secara terpisah. Itu artinya kami akan tampil dua kali di panggung. Untuk keperluan itu Adel sudah mempersiapkan dua buah kostum buat masing-masing orang. Kami memiliki waktu untuk menukar kostum, demikian pendapat Adel.
Ketika grup kami dipanggil untuk tampil, Ferry melangkah paling depan, disusul oleh Adel, lalu Rahmat dan terakhir aku sebagai pengunci. Kali ini kami membawakan lagu melayu. Aku memulai dengan suara yang melengking tinggi.
"Zapiiiiinn...," aku konsentrasi dengan suara. Nada setinggi itu dapat membuat suaraku baling. Syukurlah aku dapat melewati pembukaan yang cukup sulit itu. Kami tampil dengan apik. Semuanya selaras sehingga harmonisasi tercapai dengan sempurna. Tepuk tangan yang gemuruh memberikanku kekuatan tambahan.
Di belakang panggung, kami segera menuju ruang ganti yang disediakan. Aku dan Adel membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengganti kostum, memperbaiki riasan. Semuanya kami lakukan dengan secepat mungkin. Adel memang cekatan sekali. Aku memasrahkan diri dipermak oleh Adel. Hasilnya tidak mengecewakan.
Ketika peserta pertama tampil, kami sudah selesai di ruang ganti. Kami menonton penampilan mereka di televisi besar yang sengaja diletakkan panitia di ruang tunggu. Semua grup memiliki keunggulan. Kami yakin, juri akan sulit menentukan siapa pemenangnya. Kami akan menampilkan yang terbaik pada sesi kedua ini, lebih baik dari sebelumnya. Kami lebih santai sekarang. Tidak ada target khusus yang ingin kami capai. Masuk lima besar saja sudah membuat kami senang.
Tampil tanpa beban ternyata membuat kami lebih santai dan lebih bersemangat. Lagu yang kami bawakan juga lebih enerjik dan aku merasa bebas dapat melompat kesana kemari. Di petengahan lagu aku mulai merasakan sakit pada bagian pinggangku. Aku berusaha mengabaikan ketidak-nyamanan dan mengurangi keaktifan di atas panggung. Aku merasakan sesuatu yang tidak beres pada tubuhku. Akhirnya aku dapat menyelesaikan lagu dengan baik dan kami saling berpelukan setelah berada di belakang panggung.
Pinggangku terasa berdenyut-denyut dan pegal luar biasa. Aku duduk di sebuah sofa sambil memijit-mijit pinggang bagian belakang untuk mengurangi rasa tidak nyaman tersebut. Rasa itu mempengaruhi kepalaku. Aku mulai pusing dan benda-benda di depanku terlihat mulai bergerak. Aku memijit-mijit pelipisku dan memejamkan mata.
"Are you all right, sis?" tanya seseorang.
Aku membuka sedikit sebelah mataku. Ku lihat seorang laki-laki jangkung berdiri di depanku. Aku tidak mengenalnya. Aku mengangguk tanda tidak ada masalah dengan diriku.
Pemuda itu menyerahkan buket gladiol dan bingkisan kecil yang terbungkus kertas silver. Aku teringat Arya. Aku juga menerima bunga seperti ini beberapa bulan lalu dari Arya. Aku menerimanya sambil tersenyum semanis mungkin yang ku bisa.
"Thank you, Bro," kataku mengucapkan terima kasih atas pemberiannya. Ia tersenyum dan kemudian pamit. Aku hanya mengangguk dan memandang kepergiannya.
Aku kembali memejamkan mata. Tiba-tiba HP ku berbunyi. Aku segera mengeluarkan HP dari dalam tas yang berada tidak jauh dariku. Aku membuka dan melihat laporan chat masuk dari Arya. Sudah lebih dari sebulan ia tidak menghubungiku. Aku segera membuka chat yang dikirimnya.
'Assalamu'alaikum. Penampilanmu bagus, Di. Selamat ya. Aku hanya dapat menontonnya dari jauh,' demikian tulisnya.
'Wa'alaikumsalam, nonton dari mana, bang?' jawabku.
'Munich. Maaf aku tidak bisa menonton langsung. Bunganya sudah kamu terima kan?' tulis Arya lagi. Bunga? Aku langsung teringat gladiol yang diberikan bule tadi. Aku segera mengambilnya dan membuka kartu yang tertempel disana.
'Setiap helaan nafasku, aku selalu mendoakanmu, semoga sukses.' Demikian tulisan yang tertera di kartu itu dan ditandatangani langsung oleh Arya. Hatiku tiba-tiba merasa sedih dengan tulisannya. Begitu besarkah cintanya untukku? Sementara aku semakin merasa tak berdaya untuk mencintainya.
Bingkisan kecil itu, aku segera membuka dengan hati-hati. Aku tidak ingin merusak bungkusnya. Sebuah kalung dengan liontin kecil bulat bermatakan batu berkilau. Aku menggengam kalung itu. Air mata mengalir tanpa dapat ku cegah.
'Terima kasih Babang. Za sudah menerima bunga dan liontin kalungnya sangat cantik,' tulisku dengan isak tertahan.
'Simpan baik-baik ya, Di,' pinta Arya. Aku mengangguk.
'Ngumpulin duit dengan cara apa kali ini?' tanyaku ingin mengubah suasana hati sendiri.
'Jadi asisten lab,' jawabnya singkat.
Aku mengirim emotikon senyum. Ia membalas dengan emotikon yang sama.
Rasa mual menyerangku. Tubuhku bergetar hebat. Aku tidak mengerti apa yang terjadi dengan tubuh ini. Aku berusaha menghubungi bang Bibi. Nomor telah tersambung namun belum diangkat. Aku menekan tombol radial untuk mengulangi panggilan. HP terlepas dari tangan dan aku merasa tak sanggup menjangkaunya lagi. Aku masih ingat kalung pemberian Arya. Aku menggenggam erat-erat tak ingin sampai terlepas dari tanganku.
Aku hanya bisa berharap semoga teman-teman mencariku dan bang Bibi segera menemukanku. Tubuh ini benar-benar tidak berdaya. Aku masih dapat mendengar suara-suara, tapi tidak bisa melihat sebab kelopak mata tak mampu dibuka. Aku mendengar suara Adel memanggil dan suara orang berlari di sekitarku.
"Bawa ke rumah sakit aja Bang!" kata Adel
"Taksi ada di luar. Naik taksi lebih cepat. Biar ku pangil taksi agar dapat lebih dekat," kata Rahmat.
Tak lama kemudian aku dipapah oleh dua orang, lalu dinaikkan ke atas taksi. Aku masih mendengar bang Bibi melarang mereka ikut sebab harus menunggu pengumuman. Bang Bibi duduk di sampingku. Ia meletakkan kepalaku di atas pahanya. Aku berusaha mengeluarkan suara untuk memberi tau bahwa aku masih sadar. Hanya suara erangan yang mampu ku keluarkan. Bang Bibi mengelus punggungku.
"Ke rumah sakit terdekat pak. Tolong cepat ya," kata bang Bibi pada supir taksi. Taksi segera melaju. Kemacetan ibukota membuat bang Bibi berkali-kali mengeluh menandakan ia gelisah dan sangat mencemaskan keadaanku.
Sampai di ruang Gawat Darurat sebuah rumah sakit, aku langsung mendapat penanganan. Perawat langsung mengecek tensi dan dokter jaga bertanya riwayat penyakit pada bang Bibi. Ternyata pelayanan di rumah sakit ibu kota tidak seburuk yang diberitakan. Aku mendengar bang Bibi menjelaskan diagnosa dokter sebelumnya. Dokter jaga langsung menyuruh perawat menelepon dokter lain yang lebih berkompeten dengan penyakitku. Tubuhku masih bergeletar hebat tanpa bisa ku kontrol.
Aku merasakan jarum yang ditusukkan ke tanganku. Mereka mengambil darah untuk pemeriksaan setelah dokter yang dipanggil datang memeriksaku. Aku juga menerima beberapa suntikan. Aku pasrah menerima semua perlakuan medis atas diriku.
Menjelang tengah malam aku sudah mulai tenang. Tubuhku tidak lagi menggeletar. Nafasku pun sudah teratur. Selama penanganan, aku sama sekali tidak bisa tidur. Aku merasakan semua perlakuan medis itu dan yang paling menyakitkan ketika selang-selang ditanamkan ke tubuhku. Entah untuk apa. Lewat tengah malam semua selang dilepas dari tubuhku.
Aku dipindahkan ke ruangan rawat inap. Aku membuka mata perlahan. Bang Bibi duduk di sebelahku. Ia terlihat letih dan tertunduk memandang ujung kakinya. Aku berusaha menyentuh tangannya. Ia menoleh padaku.
"Kamu sudah sadar, Za?" tanya saudaraku itu.
"Za tidak pingsan, Bang. Hanya tidak bisa membuka mata tadi. Bang Bibi istirahatlah. Za sudah baikan," kataku masih lemah. Bang Bibi mengangguk dan ia bangkit menuju sofa dekat jendela.
"Kamu juga harus istirahat, ya. Kalau ada apa-apa panggil aja abang," kata bang Bibi sambil melepaskan sepatu yang dipakainya. Ia membaringkan tubuh beberapa saat untuk meluruskan punggung yang pegal duduk menungguku tadi.
Bang Bibi kembali duduk karena teringat sesuatu. Ia merogoh kantong celana dan mengeluarkan sebuah kalung. Ia kembali mendekatiku dan memperlihatkan kalung itu.
"Ini kalung siapa?" tanya bang Bibi.
"Pemberian Arya. Tadi ada yang memberikan pada Za, entah temannya, entah kurir," jawabku ingin meraihnya.