Baralek Gadang adalah sebuah pesta pernikahan yang mengundang seluruh orang kampung dan sanak famili diperantauan. Banyak mobil-mobil dari luar masuk ke kampung dan kesibukan orang-orang terlihat nyata. Jika hari biasa, desa ini lumayan sepi, hari ini suasananya sangat berbeda. Dari pagi sudah terdengar bunyi musik yang sangat keras, terdengar sampai jauh. Tuan rumah mengundang grup band bayaran dari kota terdekat.
Ba'da Zuhur, bunyi band berhenti diganti dengan bunyi tabuh-tabuhan. Alat perkusi berbagai ukuran dipukul dengan keras. Mempelai laki-laki disambut dengan kemeriahan tetabuhan. Setelah prosesi adat, mempelai duduk bersanding dipelaminan dan tetabuhan dihentikan. Ternyata tetabuhan itu hanya untuk menyambut kedatangan mempelai laki-laki. Sinta terlihat sangat sibuk membantu acara tersebut. Oriza dan teman-teman tidak ingin mengganggunya.
Berbagai macam menu tradisional terhidang di pondok-pondok sekeliling tenda. Selain menu utama nasi dan lauk-pauk, tamu dipersilahkan menyicipi menu-menu tambahan yang beragam. Makanan seperti tidak habis-habisnya. Orang yang datang silih berganti dijamu dengan baik dan langsung dipersilahkan memilih menu yang disukai.
Oriza dan teman-temannya baru saja selesai makan, dari atas panggung terdengar nama mereka dipanggil, "Permintaan khusus dari tuan rumah dan kedua mempelai, kepada Oriza dan konco-konco areknyo naik ke atas panggung untuk menghadiahkan lagu pada kami semua."
Mereka saling berpandangan. Tidak menduga akan diminta naik ke atas pentas untuk menyanyi. Adel menarik tangan Oriza, "Ayo Nek. Siapa takut? Nyanyi aja kok. Itung-itung latihan perdana sebelum ikut kompetisi di Jakarta."
Rahmat dan Ferry mengikuti mereka. Seperti biasa mereka memegang alat yang biasa mereka gunakan. Dari kursi pengunjung terdengar teriakan, "Tak tong toang!"
Oriza tersenyum manis dan memberi salam, "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakutuh. Ninik mamak, sanak saudara, handai taulan semua, terimalah salam takzim kami. Tapi maaf, kami tidak bisa membawakan lagu Tak tong toang, sebab rekan-rekan Za belum mengenal lagu itu. Kami akan bawakan lagu rang kini (zaman sekarang) aja. Mudah-mudahan semua menyukainya, terima kasih,"
Mereka memainkan satu lagu, selanjutnya lagu kedua, tamu masih meminta lagu ketiga dan akhirnya setelah lagu keempat, Oriza memberi lambaian kepada penonton sambil memegang tenggorokann yang mengisyaratkan bahwa ia sudah tidak sanggup mengeluarkan suara lagi. Mereka turun dari panggung dengan tepuk tangan meriah dari para tamu. Merasa seperti grup band terkenal, mereka melambai-lambaikan tangan ketika turun dari panggung.
Azan asar tanda semua aktifitas dihentikan sementara. Oriza dan teman-teman pamit kepada tuan rumah. Mereka menyalami semua tetua yang berbaris di jalan masuk dan keluar tamu. Pak etek Sabri, yang punya hajatan menggiring mereka sampai keluar dari lapang. Ia mengingatkan mereka untuk kembali hadir setelah waktu isya.
"Jangan sampai kalian tidak kesini. Nanti malam ada randai dan kim," kata pak etek Sabri.
"Insyaallah Pak Etek," jawab Oriza sambil menyalaminya. Teman-temannya pun ikut menyalami. Mereka pulang dengan jalan kaki, sebab orang tua Oriza masih bertahan di tempat acara sebagai penerima tamu dan keluarga kedua mempelai. Jarak ke Rumah Gadang keluarga Oriza dengan berjalan kaki sekitar dua puluh menit. Tidak terlalu jauh, namun cukup membuat lelah dengan jalan setapak yang agak mendaki.
"Apa itu kim?" tanya Rahmat.
"Ooo, itu semacam permainan bingo, kita diberi kertas yang berisi deretan angka. Penyanyi di atas panggung akan mengocok bola yang bertulisan angka dan menyebut angka-angka yang keluar dengan cara menyebutnya dalam lagu berbahasa daerah sini. Bagi yang mendapati angka sederet sudah tersilangi dapat mengklaim hadiah yang sudah disiapkan. Biasanya hadiah utama diberi paling akhir. Hadiah utama kali ini kalau tidak salah satu unit motor," Oriza menjelaskan pada teman-temannya.
"Wow. Mantap juga hadiah utamanya," ujar Ferry. "Nanti kita semua harus ikut acara itu. siapa tau kita beruntung."
"Ish, ngareeep," kata Adel sambil tertawa.
Ardian datang menjemput Oriza dan teman-temannya pukul delapan malam. Ia membawa mobil bapak Oriza. Mereka telah bersiap dan segera kembali ke tempat pesta. Rahmat, Ferry dan Adel sangat antusias ingin menyaksikan suguhan tradisional kampung ini yang katanya terkenal secara nasional. Adel memilih duduk di depan pas di samping Ardian. Ia masih ingin ngobrol banyak dengan penyelamat hidupnya itu. Dua kali ia telah ditolong oleh Ardian. Ia takkan melupakan kebaikan itu. Ucapan terima kasih saja tidak cukup untuk mengungkapkan rasa syukur, namun Adel tidak tau harus bagaimana untuk mengungkapkan rasa syukur itu.
Di tempat pesta, mereka mengambil tempat duduk agak ke depan. Pilihan Adel duduk di sebelah Ardian membuat Ferry merasa tidak enak, namun ia sudah mampu menguasai perasaan. Ia berusaha menikmati suguhan acara dengan tenang. Sesekali ia masih melirik ke arah Adel yang berbicara dengan Ardian.
Ardian sudah permisi sejak pertunjukan randai berakhir. Acara berlanjut dengan kim. Kim merupakan puncak dan penutup acara pesta ini. Walaupun bahasa yang digunakan tidak dimengerti oleh teman-teman Oriza, namun Oriza membantu mereka dengan menyebutkan angka yang keluar. Adel sempat bersorak ketika angkanya sudah membentuk segaris. Ia melambai-lambaikan tangan dan lagu berhenti. Adel dipersilahkan maju ke depan. Setelah kartu dicek, panitia menyerahkan sebuah hadiah padanya.
"Dapat hadiah apa, kak Del?" tanya Oriza ingin tau.
Adel langsung membuka kertas pembungkus yang panjang sambil berseru, "Payung!"
Bukan karena nilainya, tapi menerima hadiah seperti itu sangat menyenangkan. Adel makin bersemangat mengikuti putaran selanjutmya. Ia merasa tertantang untuk bisa memperoleh hadiah utama. Oriza hanya tersenyum melihat semangat Adel yang begitu besar untuk meraih apa yang diinginkannya.
Ferry merasa perutnya tidak nyaman. Ia mengajak teman-temannya pulang. Adel tidak setuju sebab ia masih ingin menunggu hadiah utama dikeluarkan. Adel menyuruh Ferry pulang sendiri. Rahmat menawarkan diri untuk menemaninya pulang. Oriza tidak keberatan sebab saudaranya masih ada disini dan mereka dapat pulang bersama nanti.
Akhirnya seluruh rangkaian acara hari ini selesai. Oriza mencari kedua saudaranya. Ia tidak menemukan mereka. Ternyata mereka baru saja pulang. Oriza merasa bodoh sebab tadi lupa mengabarkan kalau ia akan ikut mereka pulang.
"Gimana donk?" tanya Adel. Terlihat ada kekhawatiran dimatanya.
"Gak apa kak Del. Tak jauh kok, kitaran dua puluh menit sampai di rumah," kata Oriza menenangkan Adel, "Mungkin mas Didi dan bang Bibi belum jauh. Ayo kita susul mereka."
Mereka bergegas meninggalkan tempat acara menyusuri jalan kampung yang mulai sunyi. Bulan purnama memberikan sedikit terang sehingga membantu mereka menyusuri jalan tanpa penerangan. Adel memegang tangan Oriza dengan erat. Ia mulai merasa takut. Apa lagi suara-suara malam di luar sini sangat berbeda dengan di kota. Suara jangkrik, suara kepak sayap, entah suara apa lagi yang didengarnya.
'ku ku kuuuuu,' suara yang seram menurut Adel.
"Suara apa itu, Nek?" tanya Adel makin ketakutan.
"Itu suara burung hantu, kak Del," jawab Oriza sambil menepuk-nepuk punggung tangan Adel yang mencengkeram tangannya erat.
Ketika mereka akan melewati sebuah pohon besar, terdengar suara ranting patah. Oriza menghentikan langkah dan berusaha menajamkan pandangan dalam temaram cahaya purnama. Tidak telihat sesuatu yang aneh disana, yang ada hanya kegelapan sebab pohon menghalangi cahaya rembulan. Oriza terus melangkah dengan tenang, walau hatinya sedikit merasa tidak nyaman. Ia merasa ada seseorang atau sesuatu yang mengikuti mereka sejak tadi. Ia mempercepat langkah dan Adel mengikuti dengan cemas. Adel merasa perubahan gerak Oriza, menandakan ada sesuatu yang dipikirkan oleh temannya itu.
Sesuatu yang berwarna putih kelihatan melayang jauh di depan mereka. Adel makin merapatkan tubuh ke Oriza. Benda melayang itu hanya sebentar terlihat, kemudian menghilang. Gemerisik daun yang ditiup angin saat ini sangat menyeramkan, ditambah lagi suara burung hantu yang berulang-ulang.
"Ada hantu gak, Nek?" tanya Adel dan badanya mulai menggigil.
"Ah, gak pernah ada hantu di kampung ini. Kalau sekarang tiba-tiba ada itu aneh namanya," jawab Oriza. Ia juga merasa cemas. Tapi bukan hantu yang ditakutkannya, melainkan binatang buas seperti harimau atau macan kumbang yang kadang-kadang datang ke kampung saat musim durian.
Tiba-tiba dari balik pohon besar itu melompat sesosok makhluk. Adel menjerit dan menutup kedua matanya.
"Po po poccc pocooongg….," teriak Adel melengking. Ia tak sanggup melangkah lagi. Ketakutannya telah menyedot seluruh tenaga yang ada.
Oriza juga terlompat kaget, namun ia tidak berteriak seperti Adel. Ia memandang Adel yang terduduk lalu memandang makhluk yang melompat-lompat mendekati mereka. Otaknya bekerja cepat. Apa atau siapa pun yang bermaksud menakuti mereka, yang pasti itu bukan hantu apa lagi pocong yang bangkit dari kuburan sebab kain putih pembalut tubuhnya sangat putih, nyaris tanpa noda. Meskipun cahaya yang terbatas, namun warna putih sangat menyolok dalam kegelapan ini.
Tanpa pikir panjang Oriza mengangkat payung hadiah yang dipegangnya dan bertubi-tubi memukul ke arah badan pocong. Pukulan Oriza sangat keras sehingga tangkai payung baru itu bengkok. Ia tidak peduli dengan payung hadiah itu, yang penting, jika penyamar di depannya berniat jahat, maka orang itu akan kapok dengan pukulan yang bertubi-tubi.
"Aw..Aw…," teriak pocong itu berusaha menghindari pukulan. Namun ikatan pada tubuhnya membuat ia tidak leluasa bergerak.
"Sudah Orizaaa…," teriak pocong itu.
Oriza segera menghentikan gerakannya. Ia heran penyamar itu tau namanya. Sudah bisa dipastikan orang itu mengenal dirinya. Oriza segera menyibak kain yang menutupi wajah penyamar. Dalam samar, ia masih mengenali wajah siapa di balik kain putih itu.
"Bang Ferry?" tanya Oriza tidak percaya.
"Iya. Sudah memukulnya. Sakit," kata Ferry terdengar seperti orang meringis.
Mendengar teriakan Ferry, Rahmat yang bersembunyi agak jauh dari pohon itu segera menyusul mereka. Ia membantu Ferry berdiri dan membantu membuka kain yang membungkus tubuh temannya itu.
"Konyol sekali. Kenapa menakut-nakuti kami? Tuh, rasakan akibatnya. Sakit kan?" kata Oriza agak kesal.
"Iya, sakit sekali. Rasa bonyok tubuhku. Dengan apa kamu memukulku?" tanya Ferry.
"Nih, payung hadiah kim tadi. Jadi rusak payungnya," kata Oriza sambil mengangkat payung yang dipegangnya. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu, "Kak Del?"
Adel tergeletak pingsan di tanah. Ia benar-benar ketakutan sehingga tidak sanggup menahannya lagi. Mereka berusaha menyadarkan Adel dengan menepuk-nepuk pelan wajahnya. Oriza ingat ada air mineral di dalam tas kecilnya. Ia segera membuka tas dan menjangkau botol air mineral itu. Air mineral tersebut dipercikan ke wajah Adel. Perlahan Adel membuka kelopak mata. Ia melihat teman-teman mengelilinginya.
"Udah pergi pocongnya?" tanya Adel lemah, kemudian matanya terbelalak, "Ternyata…Bang Ferrrryyyyy,"
"Maaf Del. Maaf. Maksudku cuma bercanda. Jangan marah ya," kata Ferry memohon. Ia sudah memikirkan bagaimana reaksi Adel kalau marah. Ia menyesal tidak mendengar pendapat Rahmat kemarin.
Adel bangkit dan memukul-mukul badan Ferry dengan tangan yang dikepalkan. Walau rasanya sakit sekali sebab bekas pukulan Oriza sebelumnya masih terasa, ditambah pukulan baru dari Adel, Ferry terpaksa menahannya. Ia meringis dan sesekali menahan nafas agar dapat menahan rasa sakit itu.
"Sudah, sudah kak Del. Badan bang Ferry mungkin sudah memar akibat pukulan Za, tadi. Lihat nih, payungnya sampai rusak," kata Oriza menahan tangan Adel agar tidak terus memukuli.
"Payung hadiah tadi? Rusak?" suara Adel makin meninggi. Kali ini ia kelihatannya benar-benar marah. Ia menampar wajah Ferry. Semua terkejut melihat reaksi Adel yang berlebihan itu.
Ferry hanya terdiam walau ia tak menyangka Adel tega menampar hanya karena payung yang rusak. Ternyata bagi Adel payung lebih berharga dari wajah dan hatinya.
Oriza juga tak kalah kagetnya. Tapi ia berusaha melerai dan mengubah suasana panas menjadi sedikit adem. Ia memujuk Adel dan mengajak pulang. Mereka segera meninggalkan tempat itu mengingat masih ada binatang buas yang mungkin saja memasuki kampung saat musim durian. Biasanya harimau dan macan kumbang menyukai durian. Kedua hewan itu ikut menunggu saat durian jatuh pada malam hari. Mendengar nama kedua hewan tersebut diucapkan Oriza, mereka segera bergegas pulang.
Sepanjang jalan menuju rumah, mereka hanya diam. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Mereka sampai di rumah dan langsung masuk kamar. Oriza masih mengingat kondisi Ferry yang pasti mengalami lebam di tubuhnya. Ia mencari obat oles pereda sakit dan penyamar lebam. Obat itu diserahkannya pada Rahmat untuk dikenakan pada bagian tubuh Ferry yang lebam. Ada rasa sesal dalam hatinya karena memukuli Ferry sekuat tenaga.
Adel masih kelihatan kesal. Ia duduk di atas kursi kecil dekat meja rias. Bibirnya manyun dan dengan kasar ia mengenggut jilbab dari kepalanya. Jilbab itu terlepas dan dilemparkannya ke sudut ruangan. Bros jilbab yang dikenakannya tadi terpelanting entah kemana, yang terdengar hanya suara metal terbentur sesuatu.
"Kesal kali aku, Nek. Udah membuatku tak sadar diri, payung itu rusak pula. Padahal rencananya payung itu akan ku berikan pada uda Ardi sebagai tanda terima kasih karena sudah menolongku kemarin," kata Adel.
Sekarang Oriza mengerti mengapa Adel begitu marah mendengar payung itu rusak. Tetap saja Oriza menilai Adel berlebihan sampai menampar wajah Ferry hanya karena hal tersebut. Ia ingin mengatakan pendapat tentang sikap Adel yang berlebihan, namun ia merasa sekarang bukan waktu yang tepat.
"Kalau untuk ungkapan terima kasih, kak Del bisa masak kue atau cemilan besok, lalu diantarkan aja ke uda Ardian. Gak usah mempermasalahkan payung itu lagi. Besok biar Za bantu kak Del memasakkannya," kata Oriza.
"Aku tak pandai masak, Nek," ujar Adel lirih, di rumah ia tidak pernah memasak. Semua dikerjakan oleh asisten rumah tangga.
"Besok akan Za ajarkan. Buat kue yang mudah aja. Yang penting niatnya kesampaian. Sekarang mari kita tidur. Sudah terlalu larut," ajak Oriza sambil memejamkan mata. Adel menyusul. Rumah sunyi. Semua sudah tertidur dalam kelelahan.
Pagi ini, berbeda dari biasanya. Sejak selesai sholat Adel ikut membantu Sinta dan Oriza menyiapkan sarapan. Ia begitu canggung dengan peralatan dapur. Beberapa kali Oriza membenarkan tangannya ketika memegang pisau. Sinta tertawa melihat kecanggungan Adel. Apa lagi ketika Adel mengiris bawang merah hingga mengeluarkan air mata sebab tiap sebentar menyeka matanya. Makin diseka, mata terasa makin perih. Adel sama sekali tidak mengertahui bahwa bawang lah penyebab matanya berair. Ia malu dan masih meneruskan pekerjaan, pura-pura tidak ada masalah.
"Sudah, sudah. Tinggalkan bawang itu, Del. Nanti yang ada air matamu gak mau berhenti keluar. Duduk aja disana Del. Ini tinggal menggoreng nasinya aja," kata Sinta yang kasihan melihat Adel repot dengan matanya, "Cuci tanganmu dengan sabun dulu agar aroma bawang hilang."
Adel menurut. Ia mencuci tangan dan duduk sambil memejamkan mata yang masih perih. Oriza memberikan tissue pada Adel. Adel menyeka air mata dan mengeluh.
"Kenapa mataku tiba-tiba jadi perih ya, Nek? Padahal tadi tidak sakit mata," tanya Adel lugu. Oriza dan Sinta tertawa bersama. Ternyata Adel benar-benar tidak tau mengapa matanya berair.
"Kak Del, itu karena bawang merah," jawab Oriza masih tertawa.
"Masa' sih bawang demikian berbisa?" tanya Adel bingung.
"Iya kak Del, minyak yang terkandung di dalam bawang itu menguap dan dapat menyebabkan mata kita perih. Begitu bawang diiris, minyaknya langsung keluar dan menguap dibawa udara yang bebas bergerak kemana-mana. Jika menyentuh mata, mata akan merasa perih," Oriza berusaha menjelaskan.
"Ngapa tak dibilang sejak awal, Uni. Pantesan mataku jadi perih sekali tadi," keluh Adel.
"Sabar, sebentar lagi matamu akan normal lagi," kata Sinta.
"Nanti masaknya yang buat uda Ardian jangan yang pakai bawang ya, Nek. Kapok dah kalo gini," kata Adel sambil manyun.
"Tenang, nanti kita buat puding coklat aja. Gampang kok membuatnya. Dijamin semua pada suka," kata Oriza.
"Semua? aku buat hanya untuk uda Ardian aja lho," ujar Adel. Ia membayangkan jika membuat untuk banyak orang pasti ribet.
"Iya, iya. Buat tuk satu orang atau sepuluh orang sama aja kak Del. Waktu yang dibutuhkan pun lebih kurang aja. Tenang, nanti Za yang bantu," kata Oriza.
Oriza mengetuk pintu kamar Rahmat untuk mengajak mereka sarapan. Ferry membuka pintu dan tersenyum begitu melihat Oriza berdiri di depan pintu. Ia ingin minta maaf sekali lagi soal kekonyolannya kemarin menakut-nakuti mereka, sekali gus mengucapkan terima kasih atas obat oles yang diberikan ternyata cukup manjur sehingga pagi ini ia bangun dengan badan yang tidak terasa sakit.
"Bagaimana keadaanmu pagi ini, bang? Maaf ya, Za reflek sampai memukul bertubi-tubi dan lumayan keras," Oriza lebih dulu minta maaf. Ia benar-benar merasa tidak enak telah membuat Ferry cedera.
"Justru aku yang mau minta maaf karena keusilanku kemarin. Aku juga mau mengucapkan terima kasih karena sudah dikasi obat yang mujarap. Masih ada beberapa lebam tapi tidak sakit," kata Ferry sambil memperlihatkan lebam di lengannya yang sudah samar. Oriza melihatnya dan tersenyum. Syukurlah jika efek pukulan kemarin tidak begitu parah.
Ada yang agak berbeda kali ini. Di meja makan Ferry memilih kursi yang jauh dari Adel. Adel pun tidak mau melihat Ferry dan dari wajahnya masih terpancar kekesalan. Mereka sama-sama belum bisa melupakan peristiwa kemarin. Meskipun Ferry yang memulai, namun kali ini ia tidak mau meminta maaf kepada Adel. Ferry belum bisa terima tamparan yang diberikan Adel hanya karena sebuah payung. Adel juga masih kesal pada Ferry karena merusak payung yang akan diberikan kepada Ardian sebagai pernyataan terima kasih atas pertolongannya. Selain itu, keisengan Ferry telah membuatnya malu, sampai pingsan dihadapan teman-teman.
Adel sarapan dengan cepat dan untuk menghindari Ferry ia segera mengajak Oriza ke dapur. Oriza mengerti maksud Adel. Ia pun mempercepat sarapan dan permisi untuk membantu Adel di dapur. Tatapan heran dari yang lain tidak dipedulikan oleh Adel dan Oriza.