Malam ini mereka diminta beristirahat lebih cepat sebab besok akan dibawa keliling Sumbar untuk menikmati keindahan panorama ranah Minang ini. Sehabis makan malam semua masuk kamar masing-masing. Oriza paling akhir masuk ke kamar setelah selesai membantu Sinta berkemas.
Adel duduk di kursi rias dan sibuk dengan HP. Entah apa yang dilihatnya. Tapi yang jelas ia tidak fokus dan sedang melamun. Oriza tidak ingin mengganggu Adel. Ia masuk kamar dengan pelan takut menimbulkan bunyi berisik, maklum, lantai rumah terbuat dari papan. Oriza merapikan alas tempat tidur lalu ia merebahkan diri di sana. Matanya mulai mengantuk. Ia menguap beberapa kali. Oriza memejamkan mata dan berdoa dalam hati.
"Tidur kamu Nek?" Adel mendekat dan duduk di sebelahnya.
"Belum. Ada apa kak Del?" tanya Oriza. Ia membuka mata kembali.
"Apa bang Arya ada menghubungimu?" tanya Adel.
Kening Oriza berkerut, "Sudah lebih dari seminggu dia belum ada menghubungi Za. Kenapa kak Del? Lagi pula di kampung ini tidak ada sinyal internet."
"Aku sudah beberapa kali Japri dia sejak sebelum sampai disini, tapi ia tidak sekali pun membalasnya. Padahal sebelumnya, walau kadang telat, dia tetap membalas japriku," jelas Adel.
"Mungkin dia benar-benar sibuk kak Del," jawab Oriza sekenanya saja.
"Aku tak suka dicuekin," keluh Adel.
"Dia tidak nyuekin. Pasti dia sedang sibuk sebab dia ada bilang sedang dibagian akhir S1 nya," Oriza tetap berpikiran positif. Tiba-tiba ia teringat dengan sikap Ferry. Oriza bangkit dari tidurnya.
"Ada apa, Nek?" tanya Adel melihat Oriza duduk dan bersandar di kepala tempat tidur.
"Kak Del, apa bang Ferry ada perasaan suka padamu?" tanya Oriza.
"Ah, gak mungkin. Tak ada yang spesial di hubungan kami. Sama aja dengan hubungan dengan bang Rahmat atau dirimu, Nek," jawab Adel.
"Tapi melihat kemarahan bang Ferry yang tidak biasa itu, rasanya dia menyukaimu lebih dari sekedar teman biasa," kata Oriza pelan sambil mencoba manganalisis sikap Ferry kepada Adel akhir-akhir ini. Oriza memang sudah lama merasa Ferry lebih memperhatikan Adel dari yang lainnya. Mata Ferry terlihat berbinar bila memandang gadis ceriwis itu.
"Aku tu malah sering kesel ama dia karena sering ngatur-ngatur. Sebenarnya seharian ini aku kesal sekali denganya. Bayangkan saja, dua kali memukul orang yang sama. Malu aku dibuatnya. Untung tadi ada bang Bibi, jadi aku tak perlu ngomelinnya," kata Adel sambil merengut. "Tidur kita lagi, Nek."
Pagi adalah waktu yang sibuk. Kamar mandi jadi rebutan. Sarapan dengan suara yang riuh sebab masing-masing sibuk mempersiapkan bekal untuk diperjalanan. Mengelilingi sepertiga Sumbar butuh waktu dua belas jam dengan hanya mampir sebentar-sebentar di tempat rekreasi, karenanya bekal penganan perlu dibawa di dalam mobil. Selain untuk memastikan ketersediaan makanan selama di perjalanan, hal itu juga lebih aman dan hemat.
Panorama yang disuguhkan daerah ini memang luar biasa. Hutan masih terjaga dan sungai-sungai kecil berair jernih dengan suara gemericik berirama memberi nuansa pada gambar alam yang terpapar di depan mata. Monyet-monyet bergelantungan dan termangu di pinggir jalan benar-benar memberi kesan natural. Air terjun dengan dinding batu cadas di beberapa tempat menimbulkan decak kagum mereka semua. Benar-benar gambar alam yang sempurna.
Mereka mampir sebentar di danau Singkarak, danau yang luas dan air beriak kecil. Hangat matahari terasa namun tidak menyengat. Angin berhembus pelan. Suasana yang tenang. Tempat singgah wisatawan tidak ramai sebab bukan hari liburan biasa. Jika hari liburan, biasanya daerah ini dipenuhi orang.
Perjalanan dilanjutkan menuju danau kembar. Orang lokal menamakannya danau Diatas dan danau Dibawah. Mobil melewati perkebunan teh yang berpucuk hijau muda merata. Sangat menyejukkan bagi mata memandang. Adel meminta mobil berhenti sebentar. Ia ingin menikmati suasana kebun teh tersebut untuk beberapa saat. Ferry turun dari mobil menemani Adel yang sudah mendaki menaiki area kebun lebih tinggi dari jalan. Adel melompat-lompat seperti anak menjangan kegirangan melihat sesuatu yang menakjubkan. Tidak lama. Mereka pun kembali ke mobil mengingat yang lain masih menunggu disana.
Akhirnya mereka sampai di danau kembar yang berada di daerah tinggi. Angin yang berhembus terasa dingin. Di seberang danau terlihat bukit, kami telah melaluinya tadi sebab jalan menuju danau memutar. Suasana begitu tenang dengan suara daun pinus yang bergeser sesamanya. Riak air danau menerpa batu dan beton tangga yang sengaja di buat terdengar lembut. Irama alam yang tidak pernah terdengar di kota. Hanya kesunyian yang membuat bunyi seperti ini bisa didengar. Begitu halus namun terdengar syahdu menyentuh kalbu dan membuat kami terpaku. Inilah suara alam.
Oriza menurunkan bekal makan siang. Didi dan Bibi menggelar tikar kecil di hamparan rerumputan tidak jauh dari bibir danau. Jam menunjukan pukul sebelas kurang lima belas menit. Terlalu cepat untuk makan siang, namun perut yang sudah merasa lapar menyebabkan mereka makan dengan lahap. Suhu dingin membuat perut lapar dan Adel memakai baju hangat ketika turun dari mobil.
Sebuah perahu cepat merapat ke pinggir danau menawarkan kami untuk mengitari pinggiran danau. Oriza kelihatan ragu. Ia kurang suka berada di atas perairan sebab tidak bisa berenang. Bibi memberi keyakinan padanya kalau berada di atas perahu itu mengasyikan. Baju pelampung berwarna oren diturunkan dari bagasi mobil. Bibi memasangkan ke badan Oriza. Oriza tidak dapat menolak, akhirnya ia setuju ikut dengan mereka mengitari danau dengan perahu cepat. Ibu dan bapak lebih memilih tinggal. Mereka duduk di pinggir danau dan melambaikan tangan.
Angin dingin menerpa wajah dengan cukup keras. Pipi Adel dan Oriza menjadi kemerahan. Bibi tersenyum-senyum sendiri melihat Rahmat dan Ferry terperangah memandang kedua gadis itu. Ketika keduanya menyadari tatapan Bibi, mereka segera mengalihkan mata ke alam sekitar. Pemandangan yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya, begitu indah. Dan yang semakin membuat rasa indah itu meresap ke dalam hati adalah hadirnya makhlus manis di depan mereka yang merupakan pusat keindahan alam mereka saksikan saat ini.
Perahu cepat kembali merapat ke pinggir danau tempat naik tadi. Mereka turun satu persatu dan naik tangga ke atas untuk mencapai dataran yang lebih tinggi, merupakan halaman sebuah masjid kecil yang sangat cantik. Suara azan memanggil mereka untuk bersiap menghadap sang Pencipta.
Perjalanan di lanjutkan menuju Padang, ibukota provinsi Sumatera Barat. Jalan yang berkelok-kelok dan menurun di perbukitan dengan jurang menganga di salah satu sisinya, menyebabkan sopir harus lebih hati-hati. Sore mereka sudah memasuki kota Padang. Mesjid Raya adalah tempat yang mereka kunjungi. Arsitektur yang unik menyebabkan mesjid tersebut layak dikunjungi. Selepas sholat Asar disana, mereka di bawa ke pantai yang sering disebut dengan Muaro oleh masyarakat setempat.
Sepanjang pantai orang-orang berjualan bermacam-macam penganan. Ikan bakar adalah menu favorit Oriza. Menjelang menunggu pesanan selesai dikerjakan, mereka berlari-lari di garis pantai berpacu dengan air yang menepi dari hempasan gelombang. Air berbuih putih seperti mengejar mereka, pada batas tertentu air kembali tertarik menuju lautan. Tidak lama kemudian air serta buih itu dihempaskan kembali ke pantai dan kaki mereka sudah basah dengan air bercampur pasir.
Ketika menu pesanan sudah terhidang, mereka menuju tenda tempat makan dengan semangat. Perut mereka sudah keroncongan. Apa lagi aroma ikan bakar tercium sampai jauh, benar-benar membuat mereka tak sabar untuk menyantapnya. Ikan yang masih baru memang berbeda rasa dengan ikan yang sudah diberi es. Daging ikan begitu lembut dan manis, ditambah bumbu santan yang melumuri ikan sangat lezat. Mereka sangat menikmati makan kali ini, nyaris tanpa suara sebab bunyi debur ombak mengalahkan suara mereka. Mulut mereka terpuaskan dengan rasa masakan khas itu dan perut mereka sudah tidak sanggup menampung makanan lagi. Beberapa waktu mereka duduk terperangah karena kekenyangan.
Matahari semakin condong ke laut. Oriza dan Rahmat berjalan ke ujung batu-batu pemecah gelombang yang menjulur ke arah laut. Ombak yang pecah terhempas di batu menimbulkan bunyi yang gemuruh. Sesekali percikannya mengenai kaki Oriza. Ia berdiri tenang memandang batas cakrawala yang berbentuk garis horizontal memanjang. Pandangan yang jauh memperlihatkan betapa tenangnya laut, namun gemuruh ombak yang pecah di pantai menandakan adanya gejolak laut yang tersembunyi di balik ketenangan tersebut.
Rahmat berdiri di samping Oriza ikut memandang jauh dan berusaha memahami apa yang dilihat oleh temannya. Laut yang tenang namun bergelora di dalam ketenangan itu. Dikejauhan ia melihat perahu nelayan mulai turun untuk menangkap ikan. Warna langit adalah hal yang paling indah disaksikan Rahmat. Langit berwarna kemerahan dan di beberapa tempat semburat lembayung makin mempercantik pemandangan itu.
Rahmat memandang Oriza yang berdiri di sebelahnya. Gadis itu masih memandang batas cakrawala seperti tak berkedip. Semburat warna jingga memantul di wajah manis itu. Sungguh pemandangan yang lebih indah dari warna-warna langit saat senja. Dada Rahmat berdebar kencang. Ia tidak bisa menahan kekagumannya lagi.
"Oriz, kamu sangat cantik. Aku sangat menyukaimu," kata Rahmat lirih. Suaranya tertelan oleh gemuruh ombak yang berdebur secara berkala menghantam batu dan garis pantai.
Oriza tidak bergeming. Tatapannya masih jauh dan senyum tersungging di bibir yang mungil. Rahmat ragu, apakah Oriza mendengar perkataannya tadi. Ia menyentuh pundak Oriza. Oriza menoleh, masih dengan senyum yang begitu mempesona.
"Kamu mendengarnya, Oriz?" tanya Rahmat ragu.
"Iya bang. Za dengar suara alam yang mengalun dengan teratur. Suara ombak dan suara angin," jawab Oriza, "suara yang indah sekali."
Rahmat menyadari bahwa Oriza sama sekali tidak mendengar perkataannya. Desakan hati demikian kuat. Dada Rahmat naik turun dan ia berusaha mengumpulkan keberanian kembali. Oriza kembali menatap jauh ke depan.
"Oriz," kata Rahmat.
"Hmmm…," jawab Oriza, masih belum mengalihkan pandangan. Ia seperti terpaku dengan warna senja itu. Matahari yang turun perlahan seperti akan tenggelam di dalam laut, kini sudah tersisa sedikit lagi. Sebentar lagi gelap akan datang. Lampu-lampu di perahu nelayan sudah mulai hidup, berkelap-kelip di laut lepas.
"Oriz, apa kamu mendengar kataku tadi?" tanya Rahmat.
Oriza memandangnya tidak mengerti. "Dari tadi bang Rahmat cuma bertanya itu. Apa ada yang terlewatkan oleh Za?"
"Hmmm… berarti kamu tidak mendengarnya. Aku tadi mengatakan bahwa aku….," kata Rahmat terhenti saat mendengar suara azan Magrib. Ia memandang Oriza dan tersenyum, "sudah magrib, ayo kita ke masjid."
Pukul sembilan malam mereka sampai di Rumah Gadang kembali. Badan terasa letih dan mereka kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Oriza bersiap-siap untuk mandi. Ia memilih daster panjang untuk dikenakan.
"Sedingin ini suhu, kamu masih mau mandi, Nek?" tanya Adel.
"Iya kak Del. Badan Za terasa gatal kalau gak mandi. Apalagi tadi abis dari daerah pantai. Muka aja rasanya seperti lengket," jawab Oriza.
"Cuci muka aja. Ini kan sudah malam. Nanti malah kena penyakit," kata Adel.
"Gak apa kak Del. Sesekali mandi malam. Dari pada nanti susah tidur karena badan terasa gatal," jawab Oriza sambil berlalu menuju kamar mandi. Adel mengangkat bahu dan ia merasa cukup dengan ganti pakaian saja. Tidak lama, semua terlelap dalam dekapan malam yang tenang.
***
Selesai sarapan pagi, mereka berkumpul di ruang keluarga. Hari ini agendanya beristirahat di rumah. Ngobrol bersama pengisi waktu yang baik sebab dapat mengakrabkan mereka semua. Apalagi ngobrol bersama orang tua yang bijaksana. Walau ada perbedaan pendapat, namun diskusi yang sehat menjadi solusi untuk menyelaraskan persepsi.
Mereka mendiskusikan kelanjutan kegiatan band sekolah. Dua bulan setelah tahun ajaran baru dimulai, grup mereka ditunjuk untuk mewakili daerah mengikuti kompetisi tingkat nasional di Jakarta. Semua bersemangat untuk mengikuti kompetisi itu, bahkan kedua suadara Oriza mau ikut membantu. Hanya Oriza yang tidak terlihat antusias. Ia lebih banyak diam mendengarkan semua rencana teman-temannya. Kebungkaman Oriza menjadi perhatian Rahmat.
"Apa pendapatmu, Oriz? Sejak tadi kamu belum bersuara," tanya Rahmat memandang Oriza heran.
Yang ditanya hanya tersenyum, lalu mengangkat bahu sedikit. Semua yang masih di ruangan itu memandang kepada Oriza. Mereka baru menyadari bahwa sejak pembicaraan tentang grup band sekolah, Oriza belum memberi tanggapan sama sekali.
"Gimana, Nek?" tanya Adel.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Oriza mengeluarkan pendapatnya, "Bang Rahmat dan bang Ferry sudah kelas XII. Jika masih fokus mengurus band ini, Za kuatir akan mengganggu konsentrasi belajar mereka. Mereka harus mempersiapkan diri untuk menyelesaikan sekolah dengan nilai yang bagus sekali gus untuk tes masuk perguruan tinggi. Menurut Za, sekolah lebih penting dari kompetisi tersebut. Untuk ikut kompetisi sekurang-kurangnya kita memerlukan waktu satu minggu di Jakarta. Ini jelas mengganggu kegiatan belajar kita. Iya kalau sekolah mengizinkan, kalau tidak? Nah, itulah yang Za pikirkan tadi."
Mereka saling berpandangan. Pendapat Oriza ada benarnya. Tapi kompetisi ini kesempatan langka, sebab setelah bertahun-tahun vakum, tahun ini kompetisi tersebut diadakan lagi. Ferry ingin melakukan sebuah gebrakan dalam hidupnya dan ia merasa ini salah satu momen yang dapat dimanfaatkan.
"Menurut ku, awal tahun ajaran masih agak longgar bagi kami di kelas akhir. Latihan tidak akan membebani dan tidak pula mengganggu konsentrasi. Kalau soal izin sekolah, nanti akan langsung ditanyakan. Jika sekolah memberi izin, tidak ada salahnya kita tetap mengikuti kompetisi itu. sekurang-kurangnya itu akan menjadi kenangan bagi kita, bahwa selain prestasi sekolah, kita juga bisa berpretasi di bidang lain," kata Ferry menyatakan pendapatnya.
"Mereka mungkin agak terganggu pada awal tahun ajaran, hingga bulan kedua, Nek. Selesai kompetisi mereka dapat menggenjot belajarnya lagi. Aku setuju kita mengikuti kompetisi ini, karena ini merupakan suatu kesempatan bagi kita untuk eksis, walau cuma sebentar," pendapat Adel.
Rahmat memandang Oriza. Latihan bersama adalah waktu yang selalu ditunggu sebab ia akan lebih lama berada di dekat gadis itu. Jika tidak mengikuti kompetisi tersebut, itu artinya mereka bakalan tidak latihan lagi. Rahmat merasa berat jika makin jarang bertemu dengan Oriza.
"Aku lebih suka kita ikut kompetisi itu. Soal belajar akan disesuaikan, lagi pula masih awal tahun ajaran," Rahmat memberi pendapat sekenanya saja. Ia tidak ingin alasan sebenarnya sampai diketahui oleh yang lain.
Oriza memandang kedua saudaranya yang tadi ikut antusias mendukung kegiatan band mereka. Ia ingin mendengar pedapat saudara-saudaranya itu.
"Mas Didi sih, terserah aja. Mana yang bagus aja. Yang penting, apapun kegiatannya, jangan sampai mengganggu pelajaran kalian," kata Didi. Ia mencolek Bibi agar segera memberi pendapat.
"Karena kegiatannya masih awal tahun ajaran, menurut abang, tidak akan terlalu menganggu konsentrasi belajar Ferry dan Rahmat. Lagi pula, untuk mengulang pelajaran sebelumnya, Za dapat membantu mereka. Apalagi kalau matematika, kan Za jagonya," kata Bibi sambil menepuk-nepuk pundak Oriza.
Oriza menarik nafas panjang. Tampaknya yang lain lebih memilih mengikuti kompetisi dan tidak terlalu mengkhawatirkan pelajaran sekolah. Jika mereka yakin mampu, mengapa ia mesti ragu.
"Bang Rahmat dan bang Ferry yakin?" tanya Oriza yang menginginkan penegasan lagi.
"Yakin!" jawaban Rahmat dan Ferry yang nyaris serentak.
"Baiklah, kalau gitu kita akan mengikuti kompetisi tersebut. Mungkin waktu latihan kita agak lebih lama dan lebih sering. Sebab kompetisi ini pasti lebih berat. Za ikut mendukung keputusan ini," putus Oriza akhirnya, walau hati masih ragu.
"Tapi kamu harus tetap memperhatikan waktu istirahat kamu, Za. Jangan terlalu memforsir, nanti bisa fatal akibatnya," Bibi mengingatkan sambil memandang adiknya dengan tatapan sedih.
"Iya bang. Za akan mengingat itu," jawab Oriza memandang abangnya dengan tatapan yang tajam. Ia tak ingin saudaranya itu sampai memberitahukan teman-teman tentang kondisi kesehatannya. Bibi mengerti maksud tatapan itu. Ia tidak berkata-kata lagi.
Mereka masih membahas seputar rencana latihan untuk mengikuti kompetisi yang dimaksud. Ucapan salam membuat mereka menoleh ke pintu depan yang terbuka sejak pagi. Ardian telah berdiri di ambang pintu. Setelah menjawab salam dan mempersilahkan Ardian masuk, mereka menanyakan maksud kedatangan Ardian.
"Pak etek Sabri mengundang kita semua ke acara baralek gadang anak gadisnya yang paling tua. Kemarin ia dan amay datang kesini untuk mengundang, tapi tidak ada orang di rumah. Jadi ia berpesan kepada pak adang untuk menyampaikan undangan tersebut kepada keluarga disini. Kalian semua juga diundang. Ambo disuruh pak adang menyampaikannya kesini," kata Ardian.
"Terima kasih undangannya, Di. Insyaallah besok kami datang," jawab mas Didi. Ia mengajak Ardian bergabung dengan kami, tetapi Ardian menolak sebab masih ada yang harus dikerjakannya.
"Berarti besok kita gak jadi ke danau maninjau, ya," ujar Oriza. "Baralek gadang artinya pesta besar. Bisa sampai lewat tengah malam acaranya. Mungkin ada suguhan randai sekalian." Randai adalah kesenian tradisional daerah setempat yang berupa perpaduan drama, silat, lagu dan musik tradisional.
"Iya. Kita bisa tunda rencana itu lusa," timpal Bibi.
"Ya udah. Sore ini kita putar pelem horor aja," ajak Oriza,
"Janganlah. Nek. Aku takut nonton horor," Adel menolak.
"Kan muternya sore kak Del. Gak bakalan seram-seram amat," bujuk Oriza. Akhirnya Adel menyetujui saran itu setelah yang lain ikut membujuknya.
Adel memang sangat takut menonton film horor. Hampir sepanjang film ia hanya mengintip di sela jari yang menutupi wajahnya. Kadang-kadang ia menutupi wajah dengan bantal kecil yang tidak pernah lepas dari pelukannya selama film diputar. Sesekali ia berteriak karena terkejut bila adegan yang ditonton mengagetkan. Ternyata dibalik keceriwisan Adel sangat percaya adanya makhluk astral. Bahkan ia sangat tidak nyaman jika kami membahas soal santet, seolah santet itu sangat dekat dengan urat lehernya. Beberapa kali ia berdebat sengit ketika kami membahas soal santet. Dalam hal berdebat, Adel tidak pernah mau mengalah. Untung yang lain mengerti karakternya sehingga segera menutup topik santet yang sangat tidak disukai Adel.
Selesai menonton film horor, Adel tak mau jauh dari Oriza. Kemana saja Oriza bergerak, ia mengikutinya. Bahkan masuk kamar mandi pun minta ditemani. Oriza memaklumi hal itu dan tidak keberatan menemani Adel kemana pun malam ini, termasuk menunggu di depan pintu kamar mandi.
Ferry yang melihat ketakutan Adel berlebihan berpikir untuk menggoda. Dibenaknya timbul ide-ide iseng untuk menakut-nakuti Adel dan Oriza. Ia memilih salah satu ide yang paling mungkin dilaksanakan. Untuk itu, ia butuh sekutu yang akan membantu melaksanakan rencana tersebut. satu-satunya sekutu yang mungkin diajak adalah Rahmat.
"Janganlah Fer. Bisa ngamuk Adel nanti kalau tau kita yang menakut-nakutinya," tolak Rahmat. Rahmat merasa tidak enak mendengar omelan Adel yang kadang terkesan agak keras.
"Ayolah, Bro. Sekali ini aja. Agar liburan kita ini ada kesannya. Adel kalo marah cuma sebentar. Palingan ngomel doank," bujuk Ferry. Setelah berpikir beberapa saat, Rahmat setuju membantu Ferry melaksanakan rencana konyol itu.
Mereka membongkar laci lemari di kamar. Mereka menemukan kain putih penutup perabotan bila akan ditinggal lama. Ferry tersenyum senang, "Kita akan menjadi pocong aja. Kainnya ada nih."
Mereka membicarakan rencana tersebut dengan suara pelan, takut ada yang mendengar di luar kamar. Apalagi dinding bangunan ini terbuat dari kayu, suara akan lebih mudah tembus dan didengar di luar kamar bila dibandingkan dinding beton. Mereka bersepakat akan melaksanakan besok sepulang dari acara malam pesta pernikahan.