Hembusan angin yang semilir sudah mulai terasa sejak tadi. Jalan menanjak diantara terassing petak sawah agak menyulitkan mereka menyusuri persawahan melalui pematang. Mereka ingin mencapai sawah yang berada paling atas agar dapat menikmati pemandangan dari sana. Adel dan Ferry yang agak tertinggal dari yang lainnya berusaha mempercepat langkah untuk menyusul.
Adel terpekik keras ketika kakinya terpeleset dan ia berusaha mempertahankan posisi agar tetap berdiri. Sebelah kakinya terperosok ke dalam lumpur sawah. Adel berpegangan pada tubuh Ferry dan berusaha menarik kaki yang terperosok. Kakinya dapat keluar dari lumpur, namun sendal masih tertinggal di dalam lumpur.
"Duh, gimana ni? Jalanan seperti ini tidak mungkin pakai kaki telanjang. Yang ada kakiku bakalan kena duri semak," keluh Adel.
"Biar kucoba menariknya," kata Ferry sambil memasukkan tangan kiri ke dalam lumpur bekas pijakan Adel tadi. Ketika ia teraba tali sandal tersebut, ia langsung menariknya. Akhirnya sandal itu dapat dikeluarkan namun lumpur yang menempel begitu tebal. Ia mengosok-gosokkan sandal itu ke rumput yang ada di pematang hingga lumpur yang menempel berangsur hilang.
"Kenapa kak Del?" teriak Oriza dari sawah yang di atas.
"Terpeleset dan kakiku berlumpur ni," jawab Adel ikut berteriak.
"Ke atas aja kak Del. Disini ada mata air, nanti bisa cuci kaki disini," Oriza memberi tau dan melambaikan tangan agar Adel dan Ferry dapat melihat poisisi ia berdiri.
Adel memegang kedua sendalnya dan kembali berjalan menyusuri pematang sawah. Ferry menyusul dan mengawasi pergerakan Adel agar jangan sampai terpeleset kembali sebab sebagian pematang yang mereka lalui baru diperbaiki sehingga tanah liat basah yang mereka injak agak licin. Sesampai di mata air yang dikatakan oleh Oriza tadi, adel segera membersihkan kaki dari lumpur yang masih menempel. Sendal pun dicuci agar bersih dan terbebas dari sisa lumpur.
Dangau adalah pondok kecil yang dapat memuat empat sampai enam orang. Mereka berkumpul dan duduk bersama. Bibi mengeluarkan kacang kulit dan dua botol minuman bicarbonate yang dibawanya dalam tas ransel. Mereka bercakap-cakap sambil menikmati cemilan yang dibawa. Suasana yang sepi dan hembusan angin sepoy-sepoy membuat ngantuk. Bibi bahkan sudah tertidur sejak tadi.
Adel turun dari dangau ingin berjalan-jalan melihat sisi lainnya. Cahaya matahari sudah mulai menguning. Ia melihat sebuah dangau agak tertutup oleh bukit. Seseorang sedang beristirahat di dangau itu. Ia menajamkan pandangan ingin mengetahui siapa yang berada di atas dangau tersebut. Ardian! Adel yakin kalau itu Ardian. Dengan mempercepat langkah ia menuju dangau itu.
"Assalamu'alaikum Uda," sapa Adel ramah. Ardian membalikkan tubuh dan ia tersenyum begitu melihat Adel sudah berada di dekatnya.
"Wa'alaikum salam, Del. Ayo naik. Duduk di sini," Ardian mengulurkan tangan untuk membantu Adel naik ke dangau. Lantai dangau ini lebih tinggi dari lantai dangau yang tadi. Adel menerima uluran tangan itu dan sekali tarikan Adel sudah berada di atas dangau. Lalu ia duduk sambil menjulurkan kakinya ke bawah.
"Mana temanmu yang lain?" tanya Ardian.
"Ada, di dangau sebelah sana," jawab Adel sambil menunjuk dangau tempat mereka duduk tadi.
Adel merasa kaki kirinya gatal. Ia menekukkan kaki itu dan menarik kaki celana sedikit ke atas. Ia terpekik kecil ketika jari-jari tangan meraba sesuatu yang lunak dan berwarna hitam menempel di betis. Perasaan geli dan takut menyebabkan Adel menggigil, tidak tau harus berbuat apa. Walau geli ia mencoba menarik benda hitam itu, namun benda itu seperti menempel erat di kakinya.
"Ada apa, Del?" tanya Ardian.
Adel menunjuk betisnya. Mata Ardian segera melihat apa yang ditunjuk Adel. Seekor lintah melekat disana. Lintah itu sudah gemuk.
"Bagaimana melepaskannya, Uda. Aku geli sekali," ujar Adel menahan rasa geli. Ia ingin berteriak, tapi malu dengan Ardian.
"Jangan takut. Jangan ditarik lintahnya. Sebentar lagi akan lepas sendiri sebab sudah kekenyangan," Ardian menenangkan Adel.
"Bisa abis darahku nanti uda. Mana aku geli sekali melihat benda lunak seperti ini," kata Adel dengan cemas.
Ardian tersenyum sambil menggeleng, "Kamu tidak akan mati karena seekor lintah. Tunggu sebentar lagi. Tuh, lihat, lintahnya jatuh."
Adel memandang lintah yang telah lepas dari kakinya itu. Ardian segera menyingkirkan lintah tersebut agar Adel tidak semakin merasa geli. Darah segar masih mengalir dari bekas gigitan lintah tersebut. Adel bingung melihat lubang yang lumayan besar di kakinya dan terus mengeluarkan darah. Ardian permisi meninggalkannya sebentar untuk mencari sesuatu guna menghentikan pendarahan tersebut.
Ardian segera kembali membawa beberapa helai daun dan potongan kain memanjang. Daun itu dimemarkan menggunakan kedua telapak tangan lalu menempelkan pada luka bekas gigitan di kaki Adel. Potongan kain seperti pita lebar itu digunakan untuk membalutnya. Ardian melakukan semua itu dengan cepat.
Ferry yang dari tadi mencari Adel, melihat Adel bersama seseorang di dangau itu. Dengan langkah lebar ia menuju dangau tersebut. Ia melihat Ardian sedang memegang kaki Adel. Hatinya panas. Ia tidak suka melihat adegan tersebut. Entah apa yang mereka lakukan sampai-sampai Adel merelakan kakinya dipegang oleh penjaga kandang itu.
Dengan nafas yang makin memburu karena rasa cemburu yang memuncak, Ferry sampai di depan Adel. Tanpa bertanya terlebih dahulu, Ferry langsung melayangkan tinjunya ke dagu Ardian. Ardian berusaha mengelak, namun tetap saja kepalan tangan itu mengenai dagunya, walau ia sempat menangkis dengan tangan. Tangkisan Ardian membuat Ferry merasa ditantang dan ia menarik Ardian turun dari dangau. Keduanya sudah berada di bawah.
Serangan Ferry dielakkan oleh Ardian sebisanya. Ardian tidak ingin meladeninya. Ia merasa Ferry telah salah paham. Namun serangan Ferry yang bertubi-tubi mengharuskan Ardian membela diri jika tidak ingin babak belur sendiri. Lagi pula, ini sudah kali kedua Ferry memukulnya tanpa sebab yang jelas. Ardian sudah tidak ingin mengalah lagi. Percuma ia rutin latihan taekwondo kalau tidak dimanfaatkan untuk membela diri.
Ketika posisi Ferry sedang terbuka pas di depan, Ardian bersiap dan melakukan ap chagi yaitu tendangan dari depan ke arah perut lawan. Tendangan yang keras dan jangkauan kaki Ardian yang cukup panjang tepat mengenai ulu hati Ferry. Ferry terjajar dan dadanya sesak beberapa saat. Kemudian ia bangkit untuk melakukan serangan kembali. Lagi-lagi Ardian dengan posisi yang baik melakukan tendangan pisau dari samping. Sebelum Ferry sempat menyerang kembali Ardian mengkombinasikan yeop dengan deol chagi sehingga mengenai dagu Ferry dengan keras. Ferry terjajar dan lidahnya tergigit hingga mengeluarkan sedikit darah.
Perkelahian berlanjut sampai di sawah. Keduanya sudah berlumuran lumpur. Sawah di dekat dangau sudah rusak. Tanamannya tercabut. Adel yang sudah sadar dengan situasi langsung turun dari dangau dan berusaha menghentikan perkelahian. Ferry masih berusaha menyerang Ardian kembali setelah ia bangkit. Adel menahan tubuh Ferry dan tangan kanannya direntang menolak tubuh Ardian.
"Apa-apaan kalian ini!" teriak Adel. Suaranya yang melengking terdengar menggema dibalikan bukit batu di depan tempat mereka berada.
Ferry mendorong Adel agak ke kiri dan ia kembali berdiri menghadap Ardian. Ardian memandang dengan tajam dan bersiap memasang kuda-kuda kembali. Ia bersiap dengan serangan Ferry. Ferry membalas tatapan Ardian dengan sengit. Adel kembali menempatkan dirinya diantara mereka berdua. Kedua tangan Adel menahan dada keduanya agar tidak lagi bergerak maju. Tapi usaha itu tidak membuahkan hasil. Adel kembali digeser dari tempatnya berdiri dan perkelahian berlajut.
Pekikan Adel yang keras terdengar oleh Oriza dan Rahmat. Mereka segera berlari menuju ke arah suara. Bibi pun ikut menyusul mereka. Menyusuri pematang dengan berlari bukanlah mudah. Oriza agak merentangkan kedua tangannya untuk mengimbangi tubuh agar tidak terjatuh ke dalam sawah. Akhirnya mereka tau mengapa Adel memekik.
Rahmat dan Bibi segera melerai mereka yang sedang baku hantam. Rahmat menahan tubuh Ferry yang berlumpur, begitu juga Bibi menahan tubuh Ardian. Oriza segera mendekati Adel yang kelihatan marah. Adel pasti menahan marah terhadap kedua orang tersebut.
"Ini ada apa?" tanya Bibi setelah Ardian dan Ferry dapat dipisahkan. "Adel, coba ceritakan apa yang terjadi."
Adel menceritakan bagaimana Ardian menolong membalut kakinya yang sedikit berlubang bekas gigitan lintah dan secara mendadak Ferry menyerang Ardian. Ferry menyerang membabi buta. Padahal sangat kelihatan awalnya Ardian berusaha mengelak setiap serangan.
"Bisa kamu menjelaskan kenapa menyerang Ardian tiba-tiba?" tanya Bibi kepada Ferry.
"Aku melihat dia memegang kaki Adel yang sedang terbuka. Ku kira dia sedang melakukan apa, bisa jadi niatnya jahat terhadap Adel. Memang salahku menyerang tanpa bertanya terlebih dahulu," jawab Ferry melunak setelah ia menemukan kembali ketenangan diri.
"Ardi, bagaimana dengan kamu?" tanya Bibi kepada Ardian.
"Ambo tidak ada niat membalas serangannya, Uda. Tapi dia terus saja menyerang. Ambo cuma membela diri," jawab Ardian yakin.
"Ini sepertinya salah sangka. Ardian hanya bermaksud menolong. Tidak ada maksud lain. Begitu juga tadi pagi. Ferry sebaiknya bisa lebih bijak menghadapi situasi seperti ini. bukan begitu, Ferry?' tanya Bibi lagi. Kali ini Bibi bisa mengerti apa sebenarnya yang terjadi dengan Ferry. Pasti karena rasa cemburu yang berlebihan menyebabkan Ferry demikian gegabah. Namun ia merasa tidak bijak membahasnya di sini.
"Iya bang. Memang aku yang salah, terlalu emosian," jawab Ferry, bagaimana pun ia segan dengan Bibi yang usianya jauh lebih tua dari mereka. Ia bangkit dari duduk dan mendekati Ardian. Ia mengulurkan tangan, "Maafkan aku, Bang. Maafkan tindakanku yang gegabah dan mungkin agak kekanak-kanakan."
Ardian menyambut uluran tangan Ferry dan ia ikut berdiri, "Tak masalah Bro. Maafkan juga aku karena tidak bisa lebih sabar tadi."
Ardian memeluk Ferry dan ia berbisik di telinga Ferry, "Tahan cemburumu, Bro. Aku bukan sainganmu."
Ferry membalas pelukan itu dan ia tersenyum, terbersit rasa malu dengan diri sendiri yang tidak bisa menyembunyikan perasaan.
"Ayo kita pulang. Sudah terlalu sore. Lihat tubuh kalian yang berlumpur itu, " ajak Bibi. Mereka mulai meninggalkan tempat itu.
Oriza sebenarnya masih ingin sedikit lebih lama disana. Ia suka melihat langit yang berwarna oranye. Ia sengaja melambatkan langkah dan berjalan paling akhir. Rahmat yang merasa langkah Oriza melambat, ia ikut melambatkan langkahnya pula. Rahmat menunggu Oriza dan mempersilahkan jalan di depan. Berjalan di pematang sawah tidak bisa bersisian. Jadi mereka harus berjalan satu-persatu.
Memandang punggung Oriza begitu dekat saja sudah membuat hati Rahmat senang. Ia tidak bisa lebih dekat lagi. Jika berada di dekat Oriza, keberaniannya entah hilang kemana. Biasanya ia orang yang blak-blakan dalam menyampaikan perasaan. Tapi tidak dengan Oriza. Hati berkata-kata banyak, namun mulut tidak bisa terbuka untuk mengucapkannya. Semua kalimat yang tersimpan dalam hati tertahan di kerongkongan. Seberapa keras pun ia berusaha, hasilnya tetap sama, mulut terkunci untuk mengatakan bahwa ia amat menyukai gadis itu.