Chereads / Bersamamu Kusempurna / Chapter 11 - Kecemburuan Ferry (2)

Chapter 11 - Kecemburuan Ferry (2)

Seseorang berlari melewati Oriza dan segera nyebur ke dalam sungai. Oriza tidak tau siapa orang itu. Tapi ia tau kalau orang itu bermaksud menolong. Beberapa kali kepala orang itu hilang timbul. Oriza menunggu dengan perasaan tidak menentu. Ia merasa tidak berdaya sebab sama sekali tidak bisa berenang.

Tak lama kemudian orang itu sudah menyeret Adel ke pinggir. Adel pingsan. Oriza langsung berlari mengejar mereka. Ia langsung membantu membaringkan Adel di tempat yang agak rata.

"Eh, uda Ardian. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Oriza kebingungan.

Ardian meluruskan posisi Adel berbaring kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Adel sambil membuka mulut dan menekan hidung Adel. Ia pun membuka mulutnya. Oriza mengerti, Ardian akan melakukan tindakan CPR kepada Adel.

Sebelum tindakan itu dilakukan seseorang datang dan mendorong Ardian ke samping. Ternyata Ferry yang datang. Tanpa bertanya lagi, Ferry langsung melayangkan tinju ke wajah Ardian. Ardian terjajar dan dari sudut bibirnya mengalir darah. Oriza terpekik dan menahan tangan Ferry. Ternyata Ferry yang mendengar teriakan Oriza segera berlari ke arah asal suara, diikuti oleh Didi dan Bibi yang sedang berburu musang.

"Sudah. Nyawa kak Del lebih penting!" suara Oriza menggelegar seperti petir. Mereka kaget mendengar suara tersebut sebab belum pernah mendengar suaranya seperti itu.

Oriza kemudian berbalik menuju Adel yang masih diam kaku. Ia mencoba melakukan CPR walau tidak terlalu yakin. Ia menarik nafas panjang, lalu mendekatkan mulutnya ke mulut Adel yang dibuka dengan menahan dagu dan sebelah tangan lagi menutup lubang hidung. Beberapa kali ia menghembus udara ke dalam mulut Adel, lalu menekan pelan dada beberapa kali. Dalam hati Oriza tidak berhenti berdoa untuk keselamatan temannya ini. Setelah diulang beberapa kali Adel terbatuk, dan Oriza langsung memiringkan tubuh temannya. Dari mulut Adel mengalir air yang sempat tertahan ditenggorokan ketika ia terseret arus tadi.

Oriza membantu Adel duduk. Ferry telah berjongkok di sisi Adel ikut membantu Adel duduk. Wajah Adel masih pucat, tapi tidak sepucat ketika baru di bawa oleh Ardian tadi. Ardian berdiri tidak jauh dari mereka mengamati Adel yang masih lemas.

"Kak Del. Gimana perasaanmu? Sudah agak baikan?" tanya Oriza. Adel hanya mengangguk, belum mampu menjawab.

Didi membawakan handuk dan menyerahkan pada Oriza. Oriza segera melingkarkan handuk itu ke tubuh Adel. Telapak tangan Adel digosok-gosoknya agar Adel merasa lebih hangat.

"Kak Del sudah bisa berdiri? Kita pulang dulu agar kak Del bisa beristirahat di rumah. Biar Za bantu memapah kak Del," kata Oriza sambil membantu Adel berdiri. Adel berusaha berdiri dan mengikuti langkah Oriza yang memapah perlahan. Ferry berusaha membantu, namun tangannya ditepis oleh Adel.

Adel membilas kembali tubuh ketika sampai di rumah. Dengan tubuh yang masih sempoyongan dan perasaan takut dalam hati, ia kembali berbaring di atas tempat tidur. Oriza telah membuatkan coklat hangat dan membantu meminumkannya ke mulut Adel. Beberapa tegukan saja, ia sudah menolaknya. Oriza tidak memaksa. Coklat hangat yang masih tersisa dalam gelas diletakkan di atas meja kecil di samping tempat tidur.

Adel masih belum pulih dari rasa syok. Semua masih terekam jelas dibenaknya. Ia merasa ada pusaran air yang membuatnya tidak mampu naik ke permukaan. Ia berusaha menggerakkan kaki melawan arus yang tiba-tiba terasa dan dengan tangan berusaha menepi. Usahanya sia-sia sebab pusaran air terasa makin besar. Tangan Adel hanya bisa menggapai-gapai sementara tubuh tidak mampu dikontrol. Ketika itu yang terpikir adalah sebentar lagi ajalnya akan sampai. Ia tau Oriza tidak akan bisa menolong sebab tidak bisa berenang. Antara sadar dan tidak, samar-samar ia masih mendengar teriakan Oriza minta tolong.

Saat Adel sudah pasrah dengan nasib ia hanya mampu berdoa dalam hati semoga Allah mengampunkan dosa-dosanya, tiba-tiba sebuah tangan kokoh menarik dengan kuat. Ia merasa itu adalah tangan malaikan maut yang sudah bersiap menjemput ajal. Selanjutnya semua gelap dan kesadaran Adel pun hilang.

Ada rasa sesal dalam hatinya yang tidak mengindahkan peringatan Oriza. Ia merasa yakin dengan kemampuan renangnya sebab ia pernah menjuarai lomba renang saat Porda. Apalagi ia mendapati bahwa sungai yang direnangi tidak terlalu dalam. Ternyata lubuk yang dimaksud Oriza memang dalam dan arus yang tidak terlihat dari permukaan sangat kuat sehingga ia tidak mampu melawannya. Inilah akibat dari rasa takabur dalam hati. Kekuatan alam sering kali tidak bisa diprediksi oleh nalar manusia dan mampu meluluh lantakkan kekuatan yang dimiliki. Ternyata Allah masih memberinya kesempatan untuk tetap hidup. Adel benar-benar bersyukur.

Oriza sudah selesai mandi dan berpakaian. Ia mendekati Adel dan duduk di tepi ranjang. Adel kelihatan tidur dan Oriza meraba keningnya. Suhu tubuh Adel masih normal. Beberapa waktu Oriza mengamati wajah Adel. Wajah itu sudah tidak pucat seperti tadi. Pipinya sudah memerah dan nafas teratur. Kekuatiran Oriza sirna. Adel sudah baik-baik saja.

Oriza hendak bangkit, tiba-tiba Adel memeluknya dari belakang. Oriza menghentikan gerakannya. Ia berusaha berbalik, namun tidak bisa karena Adel memeluk erat. Ia membiarkan Adel memeluk dan tidak memberi reaksi apa-apa. Ketika akhirnya pelukan itu merenggang, Oriza membalikkan badan menghadap Adel.

"Terima kasih, Nek. Aku berhutang nyawa padamu," kata Adel lirih.

"Za tidak memberi hutangan kak Del. Lagi pula uda Ardian yang menarik kak Del dari sungai. Yang penting kak Del selamat, hanya itu yang Za minta pada Allah tadi," kata Oriza sambil mengelus-ngelus punggung Adel. Elusan itu membuat Adel merasa tenang dan ketakutannya berangsur hilang.

"Tadi ada kulihat uda Ardian berdiri agak jauh. Kenapa ia tidak mendekat?" tanya Adel.

"Mungkin dia segan ada bang Ferry yang juga berusaha membantu kak Del," jawab Oriza hati-hati. Ia tidak ingin Adel tau kalau Ferry telah memukul Adrdian.

"Aku harus mengucapkan terima kasih padanya. Ayo kita cari dia. Pasti dia sedang di kandang sekarang," Adel bangkit dari tempat tidur dan menarik tangan Oriza.

"Hey, ucapan terima kasihnya bisa dipending. Lebih baik kak Del istirahat dulu aja. Nanti makan siang, Za akan ajak uda Ardian makan bersama kita," Oriza mencoba membujuk Adel untuk kembali ke tempat tidur.

"Aku sudah sehat dan kuat, Nek. Lebih baik jangan menunda niat baik sebab nanti bisa lupa," Adel masih bersikeras ingin menjumpai Ardian. Oriza mengalah dan ikut keluar mencari Ardian.

Ardian sedang memberi makanan ayam di kandang. Ia tidak menyadari kehadiran Oriza dan Adel. Oriza memutuskan untuk menunggu di luar kandang. Ardian sedang melamun. Makanan ayam tertumpah di lantai tanpa disadarinya. Ia terus saja menaburkan makanan ayam tersebut tanpa melihat kemana jatuhnya. Lamunan Ardian buyar ketika Adel menepuk pundaknya. Ia menoleh dengan cepat dan ketika ia melihat Adel, keningnya berkerut.

"Kamu? Apa sudah pulih?" tanya Ardian sambil memandang Adel dari ujung kaki sampai ubun-ubun.

"Sudah Uda. Terima kasih atas pertolongannya. Jika Uda tidak menolongku, mungkin aku tidak akan pernah berjumpa Uda lagi," kata Adel sambil tersenyum. Senyum Adel tiba-tiba berhenti. "Ada apa dengan bibir dan pipi Uda? Kenapa lebam begitu?"

Ardian refleks meraba pipinya. Ia terkekeh, "Ada yang salah sangka dengan Uda."

"Siapa? Bukan karena menolongku tadi, kan?" tanya Adel.

"Bukaaaan, miskomunikasi aja. Tidak usah dipikirkan," jawab Ardian.

Bukan Adel namanya kalau tidak mendapat jawaban atas pertanyaannya. Akhirnya ia mengetahui bahwa Ferry yang telah memukul Ardian karena tidak mengizinkan Ardian melakukan tindakan CPR kepada Adel. Adel minta maaf atas perlakuan Ferry tersebut. Ardian tidak memperpanjangnya, ia berusaha mengerti apapun alasan Ferry.

Adel tidak mengerti kenapa Ferry sampai demikian marah. Andai Oriza tidak mengambil alih pertolongan atas dirinya, mungkin ia bisa gagal nafas. Rasa kesal Adel terhadap Ferry makin menjadi setelah mendengar Ferry sama sekali tidak ada minta maaf atas perbuatannya yang mencederai orang lain dan membahayakan nyawa Adel. Adel mengajak Oriza mencari Ferry.

Ferry sedang ngobrol dengan Rahmat. Ternyata Rahmat sudah pulang dari pasar sehabis menemani Sinta berbelanja. Ia terkejut mendengar Adel terseret arus di sungai.

"Oriz, gimana?" tanya Rahmat. Jelas sekali ada kecemasan dalam nada bicaranya.

"Justru Oriza yang nolongin Adel biar bernafas lagi dengan nafas bantuan itu," jelas Ferry.

"Sekarang, dimana mereka?" tanya Rahmat.

"Tadi ku kira mereka istirahat di kamar. Pas ku ketuk pintumya gak ada jawaban. Ternyata mereka sudah keluar entah kemana," jawab Ferry sambil mengangkat bahu.

"Panjang umur. Tu mereka," Rahmat menunjuk Adel dan Oriza yang sedang menuju mereka.

Ferry menoleh ke arah yang ditunjuk Rahmat. Hatinya lega melihat Adel sudah kembali sehat dan enerjik seperti sebelum kejadian. Adel dan Oriza semakin mendekat, ferry segera menyapa mereka, "Hey, dari mana kalian?"

Adel langsung berdiri tepat di depan Ferry sambil berkacak pinggang. Mata Adel melotot dan mulutnya mulai mengajukan banyak pertanyaan sekali gus. Ferry gelagapan menerima pertanyaan-pertanyaan yang bertubi-tubi dan berkesan memojokkan.

"Jawab Bang," kata Adel dengan intonasi yang tinggi. Dadanya naik turun dengan cepat tanda ia sedang menahan emosi.

"Pertanyaanmu banyak sekali. Yang mana harus ku jawab duluan?" tanya Ferry benar-benar bingung, apalagi dengan kemarahan yang diperlihatkan oleh Adel.

Oriza merasa tak enak berada di tempat orang yang sedang berseteru. Ia memberi isyarat kepada Rahmat agar meninggalkan Adel dan Ferry. Rahmat mengangguk kecil dan mengatakan, "Kami bantu Sinta di dapur dulu ya."

Ferry mengangguk dan mengekori kepergian temannya itu dengan pandangan mata. Jika boleh memilih, ia ingin mengikuti Rahmat ke dapur dari pada menghadapi kemarahan Adel yang tidak dimengertinya.

"Mengapa bang Ferry memukuli uda Ardian? Padahal dia kan mau menolong!" kata Adel setelah mampu mengendalikan emosinya.

"Dia mau menempelkan bibirnya ke bibirmu. Tanpa perantara alas sama sekali. Aku rasa, dalam keadaan sadar kamu tidak akan mengizinkan," Ferry berusaha menjelaskan alasan tindakannya terhadap Ardian.

"Itu dalam keadaan darurat. Gak mungkin dia nyari sapu tangan dulu baru memberikanku nafas bantuan. Yang ada aku mati duluan baru sapu tangannya ketemu. Lagian untuk mencegah gak juga perlu memukul seperti itu. Biasanya abang tidak emosian. Sekarang mengapa jadi emosi begitu," kata Adel masih belum puas dengan keterangan Ferry.

"Siapa bilang aku emosian?" Ferry berusaha mengelak.

"Bukan sekali memukulnya kan? Sampai bibirnya berdarah, sampai pipi pun bengap. Kalau hanya untuk mengingatkan tidak mungkin pemukulan lebih dari sekali. Mana tidak ada minta maaf pula," Adel masih merasa Ferry terlalu berlebihan dalam masalah ini.

"Kalau minta maaf akan membuatmu senang dan berhenti memojokkanku seperti ini, baiklah! Aku akan minta maaf padanya. Tapi satu pertanyaan buatmu. Mengapa kamu seperti terlalu menyalahkan aku dalam hal ini dan seperti menyanjung dia. Apa karena dia telah menolongmu?" tanya Ferry mulai kesal dengan sikap Adel.

"Tuh, kamu yang tanya, kamu yang jawab sendiri. Kalau sadar salah, baguslah minta maaf," kata Adel masih ketus. Ferry membalikkan badan meninggalkan Adel. Jika lebih lama lagi di depan Adel bisa habis kesabarannya.

"Eeehh.. mau kemana?" tanya Adel lagi.

"Katanya disuruh minta maaf," jawab Ferry melengos pergi.

"Dasar! Dibilangin malah…..," Adel ngomel sendiri. Ia memutuskan beristirahat di kamar.

Oriza dan Rahmat yang merasa tidak enak menyaksikan perdebatan temannya sengaja menghindar dengan memasuki dapur. Sinta sedang mengulek bumbu. Bahan-bahan masakan tergeletak di atas meja dapur. Ada yang sudah disiangi, ada yang masih belum disentuh.

"Uni, apa yang bisa Za bantu?" tanya Oriza.

"Wah, kalian nikmati aja liburannya. Gak usah ke dapur. Uni bisa masak sendiri, Za," kata Sinta sambil tersenyum melihat ke arah Rahmat, "Lagi pula tadi bang Rahmat sudah ikutan berbelanja di pasar. Pasti capek dia mengangkat-ngangkat belanjaan tadi."

"Gak apa Uni. Membantu Uni di dapur pun termasuk dalam paket liburan Za. Jangan kuatir. Hari ini kami di rumah aja. Besok baru kami jalan-jalan ke tempat rekreasi," kilah Oriza dan tangannya langsung memegang sayur yang belum disiangi.

"Masak apa nih?" tanya Rahmat.

"Kelihatannya uni Sinta mau masak gulai kapau pakai tembungsu. Kesukaan Za ini," jawab Oriza, "Bang Rahmat dapat memotong-motong sayuran yang macam-macam itu. Potong besar-besar saja. Kalau nangka biar Za yang bersihkan sebab getahnya bisa nempel kemana-mana kalau tidak tau cara membersihkannya."

"Tembungsu itu apa?" tanya Rahmat yang merasa asing dengan kata itu. Ia baru mendengar istilah tersebut.

"Usus yang diisi telur di dalamnya bang," jawab Sinta sambil mengangkat benda yang dimaksud agar terlihat oleh Rahmat. Rahmat tertawa sebab mengenal usus yang dimaksud. Ia pernah memakannya di restoran Padang, hanya beda penyebutan saja.

Acara memasak jadi sangat menyenangkan sebab tidak monoton. Mereka berbalas canda dan Rahmat paling sering menjadi sasaran candaan. Ternyata mereka adalah gadis yang menyenangkan dan mampu menghidupkan suasana. Suasana yang begitu ceria menyebabkan memasak menjadi hal yang mudah dan tidak membebani. Akhirnya semua masakan selesai dan terhidang di atas meja makan.

Oriza cekatan sekali menata meja makan. Masing-masing masakan di tempatkan dalam wadah yang sesuai dan diberi sedikit pemanis di atasnya terbuat dari rajangan sayuran segar yang dibentuk seperti bunga, daun, dan untaian buah. Wadah makanan itu juga disusun sedemikian rupa dengan menyelang-nyelingi lauk dan sayur. Piring-piring makan disusun di tepi meja dalam keadaan tertelungkup di atas molton. Gelas berada tidak jauh dari piring, begitu juga dengan kobokan yang langsung diisi air. Rahmat berdecak kagum dengan penataan meja makan. Ternyata Sinta berkata benar bahwa Oriza mahir menata meja makan.

Waktu makan adalah kesempatan bagi seluruh anggota keluarga berkumpul. Masing-masing menceritakan apa yang mereka alami hari ini. Cerita yang paling seru adalah kisah Adel yang terseret arus di lubuk sungai. Bapak dan ibu yang baru tau beritanya sampai kaget. Ibu bahkan langsung menuju kursi yang di duduki Adel dan meraba keningnya, apakah suhu badan Adel normal. Ternyata Adel sudah baik-baik saja.

"Lain kali hati-hati ya, Sayang," kata ibu pada Adel. Adel mengangguk dan menikmati elusan tangan ibu. Sungguh ibu yang baik dan penuh perhatian sehingga Oriza selalu memuji ibunya ini.

"Apa rencana kalian sore ini?" tanya bapak sambil melayangkan pandangan kepara Oriza, Adel, Rahmat dan Ferry. Teman-teman Oriza itu hanya memandang Oriza menunggu jawabannya.

"Kami akan melihat-lihat sawah, Pak. Duduk-duduk di dangau minikmati angin semilir," jawab Oriza.

"Bang Bibi boleh ikutan ya, Za. Soalnya belum ada rencana sore ini," tanya Bibi, tangannya bergerak cepat mencubit tangan Oriza. Oriza terpekik pelan karena kaget dengan cubitan itu.

"Jangan picik-picik terus bang Bibi. Malu dilihat yang lain," kata Oriza sambil nyengir memandang abangnya itu.

"Biarin. Adik abang gini," jawab Bibi sambil ngakak. Ia memang suka mencubit kecil adiknya selagi ada kesempatan. Itu karena ia gemas dengan adik perempuan semata wayang.

"Mas Didi gak ikutan sekalian?" tanya Oriza.

"Gak. Mas ada yang harus dikerjakan. Menyiapkan laporan dan harus mengirim email kepada seseorang. Kalau butuh bantuan, mas ada di kamar aja," jawab Didi menolak tawaran Oriza.

Sore, Oriza dan teman-temannya jalan kaki menuju perbukitan areal persawahan masyarakat kampung. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di sana. Jalan yang dilalui merupakan jalan setapak yang sudah disemenisasi sehingga mereka tidak kesulitan untuk sampai di tempat tujuan. Semak dan pohon durian terdapat di sisi jalan setapak itu. Buah-buah durian bergantungan di dahan membuat Adel tak henti-hentinya berdecak kagum. Adel memang sangat menyukai durian sehingga ia amat menyesal ketika kekenyangan tidak bisa makan durian lebih banyak kemarin.

Oriza ternyata anak yang ceria, sangat berbeda kalau ia sedang di sekolah. Ia hampir tidak berhenti berceloteh dengan Bibi, ada saja yang ditanyakan, ada saja diceritakan. Kadang-kadang ia berlari mengejar sesuatu, kadang-kadang ia merengek minta digendong punggung pada Bibi. Saudaranya itu amat sayang padanya dan hampir seluruh permintaan Oriza dipenuhi.

Rahmat menemukan sisi lain dari Oriza. Ternyata Oriza anak yang manja dan suka bergerak. Hatinya makin tertarik. Baginya Oriza terlihat sempurna, semua kebaikan melekat pada diri gadis itu. Ketika Oriza minta digendong Bibi, Rahmat serasa akan menawarkan punggungnya pada Oriza. Tapi ia berusaha menahan gejolak hati sebab ada teman-temannya di sini. Ia lebih memilih membatin dan sedikit berkhayal tentang Oriza. Semua gerakan Oriza nyaris tak luput dari pengamatan Rahmat. Terkadang, tanpa sadar Rahmat tersenyum-senyum sendiri

Adel dan Ferry jalan paling belakang. Adel seperti sudah melupakan kekesalannya pada Ferry. Mereka bercakap-cakap sepanjang jalan, terlihat sangat rukun. Kadang Adel ngakak mencandai Ferry. Sesekali Adel minta di foto dengan HP nya pada Ferry. Ferry senang karena Adel sudah tidak mempermasalahkan peristiwa pagi tadi.

Memasuki area persawahan, mereka harus melintasi pematang yang jauh lebih kecil dari jalan setapak yang dilalui tadi. Oriza mengingatkan mereka agar berhati-hati melangkah. Sawah baru ditanami dan lapisan lumpur lunaknya masih tebal. Jika kaki sampai terperosok maka akan terbenam dalam dan susah menarik kembali. Selain itu sawah juga tidak terbebas dari lintah.

Pada bagian tengah persawahan terdapat beberapa dangau tempat petani biasanya beristirahat dan mengawasi sawah dari burung pipit ketika menjelang panen. Menurut Oriza, duduk di dangau pada sore hari sangat menyenangkan sebab angin yang semilir membelai lembut dan aroma lumpur serta padi muda akan memberikan sensasi tersendiri. Warna hijau muda terhampar demikian luas menyejukkan mata memandang. Semua itu merupakan terapi alami tubuh dari kelelahan dan stress akibat tekanan kegiatan rutin yang selama ini dialami orang-orang.