Lambat laun kebersamaan itu melahirkan rasa. Ferry dan Adel semakin dekat. Aku tidak tau bentuk hubungan mereka, tapi bagiku, semua terlihat jelas bahwa mereka saling menyukai, lebih dari pertemanan biasa. Aku tidak ingin tau lebih banyak tentang perasaan mereka, biarlah mereka yang merasakan dan aku tidak ingin mengusiknya.
Aku lebih dekat dengan Rahmat. Hampir setiap pulang sekolah Rahmat mengantarku pulang. Hubungan kami tidak sama dengan hubungan Adel dan Ferry. Aku telah membangun tembok yang tinggi terbuat dari kaca. Meskipun transparan, namun siapa pun tidak dapat memasukinya. Hanya bisa dipandang tapi tidak bisa diraih. Hal ini memang sudah sejak awal kulakukan, bahkan sejak berteman dekat dengan Arya. Apalagi dengan kondisi kesehatanku saat ini yang sangat riskan untuk suatu hubungan serius. Aku tidak ingin meninggalkan kesedihan yang mendalam pada orang-orang yang ku sayangi.
Arya, tiba-tiba aku teringat dirinya. Ia sudah jarang menghubungiku. Entah karena kesibukan, entah karena hati yang kecewa. Aku tidak ingin menanyakannya. Aku benar-benar ingin memberi ruang dan waktu yang cukup agar ia dapat meninjau kembali perasaannya terhadap diriku. Kadang ada rasa rindu, tapi aku begitu sombong mengakuinya. Aku tidak akan menghubunginya terlebih dahulu.
Selepas ujian semester, kami sibuk latihan. Setiap ada waktu luang kami gunakan untuk latihan guna mempersiapkan diri mengikuti kompetisi musik se-provinsi yang disponsori oleh perusahaan-perusahaan besar di daerah ini.
"Ayo tetapkan lagu yang akan kita bawakan," kata Ferry.
"Kamu yang nyanyi Oriz, kamu yang pilih lagu mana yang sesuai kita bawakan nanti," kata Rahmat langsung padaku. Aku bingung, sungguh sebenarnya aku belum yakin dengan kemampuanku.
"Bang Rahmat yang mendengarkan Za nyanyi, juga kak Del dan Bang Ferry. Tentu kalian lebih peka ketika mendengar Za benyanyi dan tau lagu mana yang Za bawakan dengan baik," aku kembali melemparkan pilihan itu pada mereka.
"Menurutku, lagu Bendera itu bagus. Sesuai dengan situasi sekarang ini. Kita dapat menumbuhkan kembali rasa cinta pada negeri ini yang sempat memudar akhir-akhir ini," saran Adel. Keningku berkerut, memikirkan pendapatnya.
"Lagunya agak enerjik, sementara Za kurang bisa bergaya sambil bernyanyi. Mungkin yang lebih sesuai lagu yang sedikit melow," saranku.
"Melow? Emang mau nyanyi di radio? Gak asyik ah, Nek. Kita anak muda, harus terlihat enerjik. Jangan mewek kalau ada masalah," Adel mempertahankan pilihannya.
"Saran Adel menurutku bagus, lagu yang mencerminkan jiwa anak muda dan berisi pesan persatuan. Disaat negeri kita terancam dengan perpecahan, lebih baik kita memilih lagu yang sesuai untuk menyatukan hati kembali," Ferry mendukung pemikiran Adel.
"Kenapa tidak lagu Ibu Pertiwi aja? Itu lebih sesuai dengan kondisi yang bang Ferry katakan," aku menimpalinya.
"Hmmm, lagu itu juga bagus. Kita bawakan aja keduanya. Gimana?" tanya Rahmat.
"Apa gak ada lagu wajib dalam kompetisi itu?" tanya Adel.
"Kelihatannya tidak ada lagu wajib. Setiap peserta harus membawakan dua buah lagu," jawab Ferry. Ia lebih tau tentang syarat dan ketentuan yang diberlakukan sebab ia yang mengurus pendaftaran untuk mengikuti kompetisi tersebut.
"Okey, kita fokuskan latihan pada dua lagu itu. Bendera dulu. Kamu siap, Nek? Atau masih ada saran lain?" ujar Adel.
"Iya, baiklah. Kita fokuskan latihan pada dua lagu itu," aku menyetujuinya.
Latihan kali ini menitik-beratkan pada gaya panggungku. Berkali-kali Adel memberi pengarahan dan mencontohkan agar aku mengikutinya. Menyanyi sambil melakukan gerakan-gerakan yang beragam sangat menyulitkan aku mengatur suara. Satu lompatan kecil saja dapat membuat nada suaraku berubah drastis.
Akhirnya aku menyerah, tidak dapat melanjutkan nyanyianku. Pita suaraku mengalami kelelahan. Suaraku nyaris tidak keluar sama sekali. Aku sempat panik, tidak lama. Aku pernah mengalami hal seperti ini. Tindakan yang harus kuambil adalah diam dan benar-benar mengistirahatkan pita suara dulu.
Adel menatapku dengan cemas. Baru kali ini ia mendengar suaraku tercekik lalu hilang sama sekali. Ferry dan Rahmat pun segera menghentikan permainan mereka. Mereka bertiga mengerubungiku.
"Duh, Nek. Terlalu dipaksakan ya? Maaf banget. Gak nyadar kalau latihan kali ini terlalu keras buatmu," Adel berkata sambil merangkulku. Merangkulku memang sudah menjadi kebiasaannya.
Aku menganguk, lalu menggeleng. Tidak dapat mengeluarkan suara menyebabkan aku bingung untuk menggambarkan keadaanku. Aku teringat papan tulis yang tertempel di dinding ruangan. Aku mencari spidol dalam laci meja yang terletak tidak jauh dari papan tulis itu. Aku mengacak-acak isi laci dan akhirnya aku menemukan sebuah spidol. Aku segera menuju papan tulis.
'Jangan kuatir guys. Pita suara Za kelelahan dan harus diistirahatkan dulu. Besok nyanyi lagi. Hari ini latihan jingkrak-jingkraknya aja, khusus untuk lagu Bendera,' demikian aku menulis.
Latihan kami masih dilanjutkan beberapa waktu. Akhinya Adel puas dengan gaya pangungku. Tinggal aku menyesuaikan suara dengan gaya tersebut. Aku dapat latihan di rumah saat pita suara pulih. Latihan selesai dan Rahmat bersiap mengantarku pulang.
"Oriz, kita mampir di cafe Tong dulu ya. Mungkin ada jus yang sesuai untuk pita suaramu disana. Katanya jus nenas plus timun plus buah naga plus susu kambing dapat membantu," ajak Rahmat. Aku mengangguk menyetujui ajakannya.
Aku menggerakkan tangan, mengepalkan jari-jari lalu mengembangkan jari kelingking dan jempol dan mendekatkan ke telingaku. Lalu menunjuk dirinya dan berucap 'Ibu,' tanpa suara.
Rahmat mengerti. Ia menelepon ibu, mengabarkan bahwa aku bersamanya akan sedikit telat pulang sebab akan mampir ke sebuah cafe. Ibu memberi izin, asal pulangnya jangan terlalu sore.
Kami memasuki cafe. Suasana di cafe masih sepi. Baru kami berdua saja tamunya. Kami duduk di bangku yang berada di pojok. Suasana cafe cukup adem dengan pencahayaan yang temaram, masih mengandalkan cahaya dari luar. Warna dinding yang cenderung gelap menjadikan cahaya yang masuk tidak benderang. Lagu yang diputarkan membuatku heran. Lagu klasik? Aku kenal lagu ini, pasti Beethoven. Tumben sebuah cafe memutar lagu seperti ini. Aku tidak peduli alasannya, yang penting aku sangat suka menikmati lagu itu.
Rahmat memesan jus yang dimaksud. Ia menatapku dengan seksama. Aku jengah ditatap seperti itu. Aku menepukkan tanganku dan mengembangkannya dengan sedikit gerakan alis mata aku ingin bertanya, 'Ada apa? Mengapa menatapku seperti itu?'
Rahmat tertawa kecil. Aku menyadari kalau dia belum tentu mengerti maksudku. Aku pun ikut tertawa tanpa suara. Mencoba mengulangi beberapa gerakan untuk menanyakan mengapa ia memandangku. Rahmat menggeleng-geleng mengisyaratkan ia tidak mengerti.
"Hah," aku mendesah lalu memandangnya dengan cemberut. Ya sudah, kalau tidak mengerti aku diam saja.
"Hahaha…. Aku ngerti kok. Jangan cemberut. Kamu menanyakan mengapa aku memandangmu tadi?" tanya Rahmat sambil menatapku dengan tatapan menggoda.
"Ih…," aku mendengus kesal dan semakin manyun. Rahmat gemas dan mendekatkan jari telunjuk ke hidungku. Aku mengelak, lalu melotot padanya.
"Ada sesuatu di puncak hidung bangirmu itu. Seka aja sendiri kalau tidak boleh aku menyentuhnya," kata Rahmat sambil memegang hidungnya sendiri.
"Masa' sih ada sesuatu di puncak hidungku tanpa disadari?" aku meraba puncak hidungku dan tidak menemukan ada sesuatu disana. Aku menatapnya bertanya, "Mana? Tak ada apa-apa pun dipuncak hidungku."
Rahmat tertawa makin keras. Aku memandang heran. Dia tidak seperti biasanya. Wajah murungnya sama sekali tidak terlihat. Aku mengernyitkan hidung dan sedikit menyipitkan mata dengan tatapan menyelidik melihat ke arahnya.
"Memang tidak ada apa-apa di hidungmu, Oriz. Aku hanya bercanda. Lagi pula aku suka melihatmu cemberut. Bibirmu lebih manyun dari bibir Adel ketika cemberut, anehnya aku suka melihatnya," kata Rahmat disisa tawanya.
"Mau ngegombal ya? Gak mempaaaan," aku menggerakkan bibirku, walau tidak bersuara tapi aku cukup yakin Rahmat mengerti apa yang ku ucapkan.
"Tau aja," kata Rahmat, "Aku hanya ingin menghiburmu, agar kamu tidak mengkawatirkan suara yang tiba-tiba hilang."
"Owh," aku mengerti dan mengangguk, "Makasih bang,"
"Minum jusnya," Rahmat memintaku meminum jus yang sudah dihidangkan pelayan.
Aku menggeleng pelan. Aku ragu sebab lupa mengingatkan jangan mencampurkan susu ke dalam minuman itu, "Ada susunya. Aku tak suka susu."
"Percayalah, gak terasa susunya. Coba dulu. Kalau ternyata terasa, aku rela kamu sembur dengan jus itu," bujuk Rahmat.
Aku memandangnya sambil berpikir. Apa mungkin aku tega menyembur mukanya? Sebenarnya aku tidak percaya kalau rasa susu itu bisa hilang begitu saja dalam jus. Tapi melihat kesungguhan di wajahnya, aku mengalah. Aku harus bisa meminum jus itu walau aroma susu akan sangat menggangguku. Aku mulai menyedot jus dengan pipet yang disediakan. Pelan saja, tapi memang benar katanya, rasa dan aroma susu tidak kentara. Aku tersenyum dan mengangguk, tanda menyetujui katanya.
"Ayo habiskan, buktikan khasiatnya," bujuk Rahmat. Aku memegang perut, memberi tahu bahwa aku merasa kenyang.
"Sedikit lagi, Dek," ia kembali memujuk. Aku tidak tega menolak. Aku menghabiskan sisa jus tersebut. Benar saja, kerongkonganku mulai merasa lega, tidak perih seperti tadi. Aku meraba leher untuk memastikan rasa perih itu memang sudah hilang dan tidak menggangguku lagi. Aku belum berani mengeluarkan suara.
"Aku ingin menyanyi. Kami mau mendengarkannya?" tanya Rahmat. Aku segera mengangguk. Selama ini aku saja yang memperdengarkan suaraku. Aku belum pernah mendengarnya menyanyi. Mungkin suara Rahmat sedikit berat seperti suara bicaranya. Ia beranjak dari tempat duduk menuju tempat yang tersedia. Disana tersedia beberapa peralatan musik. Rahmat menjangkau gitar dan duduk di kursi yang ada.
Rahmat mulai memetik gitar. Aku takjub. Ternyata ia tidak hanya menguasai bass, permainkan gitarnya memukau ku. Ia menyanyikan lagu Kekasih Bayangan. Sepertinya ia benar-benar menghayati lagu itu. Aku suka mendengar lagu itu, tapi entah mengapa perasaannku menangkap sesuatu. Mengapa ia memilih lagu itu dan menyanyikan dengan penuh perasaan. Matanya hampir tidak terlepas dariku. Apakah ia bermaksud menyampaikan perasaannya? Aku segera menepis pertanyaan itu, tapi pertanyaan itu terus berputar di kepalaku. Aku mulai memahami. Tapi ini tidak boleh dilanjutkan.
Rahmat mengakhiri lagunya. Aku tersenyum dan memberi kode agar ia kembali ke tempat duduk di depanku. Aku ingin pulang. Lebih lama disini dapat menyebabkan kekacauan di hatiku dan hatinya.
"Gimana? Suka lagunya?" tanya Rahmat.
Aku menggeleng dan berbisik pelan, "Tidak suka."
"Kenapa?" tanyanya tidak mengerti.
"Za suka suaramu Bang, tapi tak suka syairnya. Perasaan seperti itu pasti sangat menyiksa. Jangan pernah lagu itu terjadi dalam hidupmu, Bang," kataku.
Rahmat terdiam. Ia berusaha mencerna kata-kataku. Ia berusaha mengelak, "Tapi itu hanya sebuah lagu. Bukan isi hatiku."
"Syukurlah, ayo kita pulang lagi Bang, sudah waktunya Za makan obat," ajakku.
"Obat? Kamu sakit, Oriz?" tanya Rahmat heran.
Aku sedikit gelagapan, "Kalau suara Za sudah seperti ini, sudah pasti Za perlu obat. Mudah-mudahan setelah makan obat, suara ini akan pulih lagi."
"Oh, iya. Baiklah. Kita pulang," Rahmat langsung bangkit dan ia mengantarku pulang ke rumah. Selama di perjalanan ia diam saja. Aku juga tidak ingin bertanya takut justru akan memancing hal yang tidak diinginkan. Aku berusaha mengerti apa yang sedang dirasakannya, namun aku bersikap seperti tidak mengerti, persis seperti lagu yang dibawakan tadi.
Rahmat mengantarkanku sampai ke depan pintu pagar. Aku mengucapkan terima kasih dan menatap wajahnya ragu-ragu. Kembali ku temukan kemurungan di wajah itu. Kali ini lebih murung dari sebelumnya. Hanya sebentar aku melihat kemurungan itu hilang dari wajahnya. Sekarang ia sudah murung kembali. Aku berusaha memahaminya.
"Mampir, Bang," bisikku.
"Gak ah. Kamu perlu istirahat. Kalau aku mampir, nanti malah ngobrol dan kamu jadi kurang istirahat. Aku pamit ya. Assalamu'alaikum," kata Rahmat dan ia berlalu dari hadapanku.
Aku masuk ke rumah dengan diam. Berharap ibu tidak sedang di ruang tamu. Aku tidak ingin ibu sampai tau kalau suaraku hilang. Ternyata ibu menyadari kepulanganku. Mungkin ia mendengar suara motor Rahmat tadi. Aku menyalami ibu dan memeluknya, seperti yang biasa kulakukan.
"Kok gak diajak mampir Rahmat nya, Za?" tanya ibu. Aku hanya menggeleng.
"Kamu kelihatan lelah. Istirahatlah dulu dan jangan lupa makan obat sebelum masuk kamar," kata ibu sambil berlalu dari hadapanku. Ibu bergegas ke dapur, mungkin ada yang sedang dimasaknya. Syukurlah ibu tidak sempat bertanya macam-macam padaku. Aku tidak ingin memperdengarkan suara yang hanya mampu berbisik. Jika ibu tau, maka ini dapat menjadi masalah besar. Aku bisa tidak diizinkan untuk latihan nyanyi lagi. Dan itu jelas akan mengecewakan teman-temanku.
Di kamar, pikiranku kembali pada saat aku dibawa Rahmat ke cafe. Sikap Rahmat tadi kurasakan berbeda dari biasa. Aku mencoba menganalisis. Bukan pertama kali aku dibawa ke cafe milik pamannya itu. Ia bebas di cafe itu. Apa yang menjadi perhatianku adalah lagu yang diputar ketika kami memasuki cafe. Instrumen klasik yang sangat jarang kudengar akhir-akhir ini. Aku sangat menyukai musik klasik itu. Musik seperti itu tidak pernah kudengar diputar di cafe. Baru kali ini aku mendengarnya. Itu yang membuatku heran.
Pilihan tempat duduk pun berbeda dari biasa. Biasanya kami memilih tempat di dekat jendela agar lebih terang. Kali ini pilihannya pada meja di pojok, agak terpisah dari meja-meja lain. Pencahayaan disana agak kurang sebab jauh dari jendela. Padahal Rahmat tau kalau aku kurang menyukai cahaya temaran dan gelap. Entah mengapa ia memilih tempat itu, sementara kursi lain masih kosong.
Ketidak-laziman yang lain adalah Rahmat menghadiahkan sebuah lagu untukku. Aku belum pernah mendengarnya menyanyi secara utuh. Itulah kali pertama aku mendengarnya menyanyi langsung di depanku. Bukan suara yang kupermasalahkan, tapi pilihan lagu dengan lirik yang membuat hati pencinta teriris.
"Aku tau engkau sebenarnya tau. Tapi kau memilih seolah engkau tak tau. Kau sembunyikan rasa cintaku, dibalik topeng persahabatanmu yang palsu….," kata-kata itu seperti ditujukan langsung padaku. Apakah ia ada rasa padaku? Tiba-tiba dadaku terasa sakit. Aku merasa tidak pantas menerima cinta siapa pun, selain cinta kedua orang tua dan saudaraku. Aku memahami betul kondisi kesehatanku. Bukan pesimis, namun kedua kelainan pada organku memposisikan diri seperti berada di tepi jurang, antara hidup dan mati sangat tipis bedanya.
Hatiku terkadang tidak dapat dikendalikan. Mengingat kondisiku sendiri aku menjadi gamang. Aku berusaha menggigit bibir agar jangan sampai menangis. Tapi kepiluan hati yang tidak bisa dimiliki membuat tangisku tumpah. Air mataku mengalir dengan deras tanpa mampu ku hentikan. Akhirnya aku tertidur dalam kepasrahan bahwa Sang Pemilik berkuasa atas diriku dan aku harus menerima semua ketentuanNya.
Minggu pagi kumanfaatkan dengan bergaya di depan cermin. Aku berusaha mengulangi gaya yang diajarkan Adel kemarin. Suaraku sudah kembali lagi, namun aku tidak mau menforsirnya lagi. Aku menyanyi sesekali, lebih banyak bersenandung tuk menyesuaikan gaya. Setelah aku puas dengan gaya sendiri, aku duduk melamun di depan cermin, memandang wajahku. Wajah yang oval kecil dengan semua serba kecil, mata yang agak sipit, hidung yang kecil bangir, bibir yang tipis, eh agak tebal kelihatannya sekarang, rasa tidak sesuai dengan suaraku yang…ah, entahlah.
HP ku berbunyi, tanda ada chat yang masuk. Aku bangkit dan dengan malas meraih HP yang tergeletak sejak tadi di atas tempat tidur. Ternyata Arya yang menghubungiku. Sudah beberapa bulan ini dia tidak menghubungiku, terakhir ia mengabarkan bahwa ia sudah sampai di Munchen. Aku membuka chatnya.
'Assalamu'alaikum. Pa kabar, Di?' pertanyaan yang paling umum sebagai pembuka percakapan.
'Wa'alaikumsalam. Alhamdulillah, baik, Babang,' jawabku.
'Kangen padaku gak.'
'Sedikit.'
'Sibuk dengan grup band ya, Di?'
'Lho, tau dari mana, Bang?'
'Ada deeeh.'
'Iya, Bang. Berempat dengan teman sekolah. awal bulan besok ikut kompetisi. Doain ya, Bang. Paling tidak, Za merasa ternyata suara ini masih dapat digunakan tuk bernyanyi. Andai Babang ada di sini saat kompetisi, Za pasti akan senang sekali.'
'Hmmm…sayangnya awal bulan ada laporan yang harus disiapkan. Doaku aja untuk dirimu, Di. Semoga apa yang diinginkan terwujud ketika itu.'
'Aamin. Terima kasih. Bang. Sedang sibuk ya? Sudah lama tidak berkabar."
'Iya. Maaf aku tidak dapat sering-sering menghubungimu.'
'Tak apa, Bang. Mudah-mudahan kuliahnya segera selesai.'
'Aamiin. Jaga kesehatanmu ya, Di. Jangan terlalu keras latihan. Ingat keterbatasan pita suaramu."
'Iya, Bang. Makasih perhatiannya. Za mau mandi dulu ya.'
'Oh, pantesan.'
'Kenapa?"
'Ada bau-bau acem tadi. Ternyata kamu belum mandi, kwkwwkw."
'Ish….'
'Ya udah, mandi sana, wassalamu'alaikum.'
'Wa'alaikumsalam,' dialog kami berakhir.
Aku masih merasa heran. Dari mana Arya tau kalau aku ikut grup band sekolah, padahal kami sudah lama tidak kontak dan aku yakin belum memberitahukannya sama sekali. Siapa yang menjadi informan Arya? Jangan-jangan ia memata-mataiku. Ah, aku menepis pikiran itu dari kepala. Tidak mungkin Arya kurang kerjaan sampai memata-mataiku, apalagi ia berada di belahan bumi lainnya. Bisa jadi ia tau dari mas Didi atau bang Bibi.
Sore hari, Adel, Ferry dan Rahmat ke rumahku. Mereka membawa parsel buah. Tumben.
"Kita mau latihan lagi?" tanyaku.
"Waduh, jangan latihan terus yang dipikirkan. Kami mau lihat teman yang sakit," jawab Adel.
"Siapa yang sakit?" tanyaku heran.
"Kamu, Nek. Kan kemarin kamu sakit. Jadi hari ini kami mau tau kabarmu. Tuh, buahnya aku yang pilihkan. Khusus buatmu," jawab Adel sambil menyerahkan keranjang buah yang dibawanya.
Aku menerimanya dan berkata, "Terima kasih ya, kak Del, bang Ferry dan bang Rahmat. Tapi Za gak sakit kok. Ini suaranya sudah kembali," ujarku sambil memegang leherku, "Kemaren dipinjam sebentar ama monyet."
"Iya. Aku sudah tau. Kamu kan memang berteman dengan monyet, Nek. Makanya buah yang ku bawa pisang, pisang dan pisang. Ada beberapa jenis pisang tuh," kata Adel sambil menunjuk parsel buah yang masih kupegang.
Aku baru menyadari kalau buah yang ada di dalam parsel memang hanya pisang. Ada beberapa jenis pisang disana, pisang barangan dengan kulit coklat penuh bintik, pisang muli kecil-kecil dan berwarna kuning terang, pisang buai berwarnya hijau dan lebih besar dari yang lainnya, pisang kepok juga ada di dalam parsel tersebut.
"Pisang kepok pun ada, ya? Itu pisang untuk digoreng," kataku.
"Ah, biasanya kan pisang kepok pun kamu makan langsung gitu, Nek. Mana mengupasnya selalu buru-buru, persis seperti teman yang meminjam suaramu," kata Adel sambil mempermainkan mata menggodaku.
"Iihhh," aku gemas, mencubit tangannya. "kan teman dekatku itu kak Del. Berarti….kwkwkw…kak Del monyetnya."
"Owalah, senjata makan tuan," kata Ferry tertawa melihat Adel melongo, "Jangan gede melongonya, Del. Nanti masuk laler."
Semua tertawa. Aku membuka plastik pembungkus parsel buah itu dan langsung menyuguhkan kepada mereka. Masing-masing mengambil satu dengan warna kulit yang berbeda. Aku menarik nafas panjang merasa dijebak. Kebiasaan kami adalah jika yang lain mengambil benda berbeda, maka aku harus mengambil yang berbeda pula. Dengan sedikit manyun aku mengambil pisang kepok dan mengupasnya. Walau agak sepet rasanya, aku tetap makan seolah itu pisang yang manis.
"Duh, duh, duh, sepet ya Nek? Kenapa juga ngambil pisang kepok yang harusnya digoreng dulu," kata Adel sambil ngakak.
"Enak kok," jawabku tidak ingin memperlihatkan bahwa aku merasa dipermainkan. Aku menjangkau pisang kepok itu, ingin mengambilnya lagi.
Rahmat menghalangi tanganku. "Sudah, jangan makan pisang itu lagi. Getahnya bisa saja mempengaruhi pita suaramu Oriz."
Aku tertawa, "Iya Bang. Za mengambilnya untuk diantar ke belakang, biar bisa langsung digoreng."
Selanjutnya kami membicarakan kostum panggung yang akan kami kenakan. Aku menginginkan pakaian yang modis namun tetap sopan dan tertutup sebab aku dan Adel berjilbab. Lama kami mendiskusikan kostum. Akhirnya kami sudah menetapkan kostum panggung untuk kompetisi tersebut.
Tiga hari menjelang kompetisi, kami meminta bapak Kepala Sekolah untuk melihat latihan terakhir kami. Sebagai pembina grup band kami, pendapatnya sangat dibutuhkan. Ia duduk tenang memperhatikan permainan kami. Begitu lagu Bendera berakhir, ia mengangkat tangan.
"Kenapa hanya vokalis saja yang kelihatan menonjol. Sebuah grup band harus mampu menonjolkan semua personil. Ini kompetisi, bukan nyanyi di kondangan," kata pak Amran, Kepala Sekolah kami.
"Maksudnya pak?" tanya Ferry.
Beri waktu pada masing-masing personil untuk menonjolkan diri. Coba, di awal lagi keyboard memulai sendiri dengan sedikit atraksi. Lalu vokalis mulai menyanyikan lagu dengan gaya panggungnya. Ketika intro, kasi kesempatan drummer menampilkan kepiawaian menabuh drum, selanjutnya giliran bass. Ketika salah seorang personil memperlihatkan kepiawaian, yang lain jangan terlalu banyak atraksi agar mata penonton fokus padanya," jelas pak Amran. Kami mulai mengerti. Dan kami mencoba mengikuti arahan tersebut.
Kami mengulang latihan beberapa kali. Akhirnya pak Amran puas dan memberi aplus yang meriah ketika aku mengakhiri lagu Ibu Pertiwi yang dibawakan dengan penuh perasaan. Aku nyaris menangis menyanyikan lagu itu. Aku begitu tersentuh dengan seluruh lirik lagu yang menggambarkan kondisi negeriku kini. Negeri yang indah, kaya, gemah ripah loh jinawi namun serasa bukan milik pribumi.
"Mantap! Tampillah sebaik ini. Kalau bisa lebih baik dari ini. Mudah-mudahan lagu ini mengantar kalian pada tingkat pemuncak. Saya yakin dengan kemampuan kalian. Saya pamit. Kalian dapat melanjutkan latihan," pak Amran menepuk-nepuk pundak Rahmat. Satu persatu kami menyalaminya dan mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungan selama ini. Pak Amran meninggalkan kami.
"Tak sangka ya, ternyata bapak itu mengerti juga soal band. Aku merasa kita sudah seperti band handal aja," kata Ferry tersenyum lebar. Kami menyetujui pendapat Ferry itu. Kami masih melanjutkan latihan beberapa waktu lagi hingga yakin dengan penampilan kami. Dua hari ke depan kami bawa untuk istirahat, terutama bagi diriku. Aku harus bisa menjaga pita suara yang rentan lelah.