Chereads / Bersamamu Kusempurna / Chapter 7 - Kompetisi (2)

Chapter 7 - Kompetisi (2)

Setelah mengenakan jilbab, aku kembali keluar menuju ruang makan. Arya telah duduk dan di depannya ada mangkok bubur ayam. Ia belum menyentuh makanannya. Aku melihat ia masih memegang sendok bersih. Aku kembali ke tempat dudukku.

"Maaf atas kekacauan tadi, Bang," kataku, "Za tidak menyangka kalau Babang datang pagi. Za kira menjelang masak makan siang datanganya."

"Oh, miskomunikasi. Tadinya ku kira sekalian masak untuk sarapan pagi. Ternyata telat juga sampai disini," jawabnya.

"Ayo dimakan dan habiskan sarapannya," ajak ibu. Kami semua mematuhinya dan percakapan ringan terus berlanjut sambil makan.

Laki-laki berolah raga di taman dekat rumahku. Mereka main badminton ganda. Bapak satu tim dengan Arya, lawan mereka mas Didi dan bang Bibi. Aku menonton mereka beberapa putaran. Ketika cahaya matahari terasa semakin menyengat, aku memutuskan masuk ke rumah. Bersiap membantu ibu memasak buat makan siang.

Hari ini ibu akan memasak rendang daging, gulai kapau, telur barendo dan beberapa makanan pelengkap lainnya. Menurut ibu, Arya pasti sudah lama tidak memakan makanan seperti itu. Rendang sudah terjerang. Untuk memasaknya butuh waktu yang agak lama sehingga itulah masakan pertama yang dikerjakan. Aku mulai merajang beberapa macam sayur untuk gulai kapau.

Arya mengucapkan salam dan memasuki dapur. Ia tersenyum pada ibu dan bertanya, "Apa yang dapat Arya bantu, Bu?"

"Waduh, Arya gabung sama bapak aja. Di sini ibu sudah dibantu Za," jawab ibu kelihatan sedikit sungkan bila Arya bergabung.

"Gak apa, Bu. Lagi pula Arya sudah janji ama Di Za untuk masak bareng. Katakan aja apa yang bisa Arya kerjakan untuk membantu," Arya mengambil sebilah pisau.

Aku memberikan sayur yang harus dirajang dan mencontohkan besar rajangannya. Arya mencontoh dengan cepat, sepertinya ia sudah biasa dengan pekerjaan dapur ini. Bahkan gayanya mengulek bumbu membuatku terkekeh. Persis gaya chef profesional dengan sedikit atraksi yang konyol.

Kami bercerita banyak hal dan tangan terus bergerak menyiapkan masakan. Arya menceritakan pengalaman bekerja lepas di negeri orang. Mulai menjadi tukang cuci piring, pelayan, ngamen dan pekerjaan ringan lain yang tidak mau dikerjakan oleh orang lokal. Arya menikmati peran saat itu walau ia menjadi seorang cleaning service, baginya yang penting memiliki pengalaman bekerja seperti itu agar kelak bisa membantu istri membereskan rumah. Aku ngakak mendengar kata-katanya yang menurutku terlalu muluk. Tapi heran juga ia mau melakukan hal tersebut sebab secara finansial, orang tuanya mampu.

Jam sebelas lebih sedikit makanan sudah terhidang di atas meja. Aku dan Arya menata meja dan ibu puas melihat hasil kerja kami berdua. Makan siang kali ini agak dipercepat, takut telat mengantar Arya ke Bandara. Makan berkumpul lengkap seperti ini sungguh nikmat yang luar biasa. Kami dapat saling berbicara, saling bercerita, tertawa bersama dan benar-benar merasa berada di sebuah keluarga yang bahagia.

Selesai sholat Zuhur, kami mengantar Arya ke bandara. Ia hanya membawa sebuah tas ransel saja, cukup untuk beberapa lembar baju. Tampilan yang ringkas dengan gaya jalan yang yakin dan dagu yang tegak lurus menjadi daya tarik sendiri. Aku mencoba menilai Arya mulai dari tampilan fisiknya.

Secara fisik dia memang sempurna seperti yang dikatakan Adel kemarin. Tubuhnya tinggi, mungkin hampir 180 cm. Badan sedikit berisi, tapi tidak gemuk. Kulitnya kuning langsat, bersih nyaris tanpa bercak. Rambutnya lurus selalu rapi. Alis matanya yang tebal menambah dalam tatapan mata yang sedikit tertekan oleh hidung yang mancung. Mata itu, aku rasa sukar bagi cewek-cewek untuk menghindari tatapannya tanpa rasa berdebar. Anehnya, aku merasa tatapan itu biasa saja. Mungkin karena aku sudah terbiasa melihatnya menatapku.

Suara Arya agak berat. Aku suka mendengarnya berbicara, apalagi saat ia bernyanyi. Suaranya bagus dan bulat. Aku pernah benar-benar terkesima melihatnya memetik gitar sambil bernyanyi. Mataku tidak berkedip hingga diakhir lagu. Ia tertawa, barisan gigi yang rapi terlihat sedikit. Aku bertepuk tangan tanda benar-benar menyukai suara dan lagunya.

Secara fisik, tidak ada celanya. Demikian juga dengan prilakunya, Arya sangat baik, sopan dan mengikuti aturan tata karma dalam pergaulan. Arya memang sosok ideal dengan karakter yang kuat. Kekurangannya hanya satu, yaitu terlalu cepat melamarku, saat aku belum siap bahkan belum terpikir sama sekali. Penolakanku semata-mata karena usia yang belum cukup dewasa untuk hubungan yang serius dangan lawan jenis, apa lagi diikat dengan suatu ikatan kuat yang bernama perkawinan, apa pun bentuknya.

Arya menyalamiku agak lama. Aku menatapnya. Ada bagian hatiku yang merasa berat melepaskannya. Tapi sebagian besar merasa itu memang harus terjadi sehingga aku dapat melepaskannya dengan senyum terindah yang kumiliki. Ia beranjak pelan dari hadapanku. Aku tau dia pun merasa berat meninggalkanku. Pertemuan yang singkat mungkin belum cukup baginya, berbeda dengan aku yang selalu merasa cukup, cukup melepaskan kangenku.

Arya berbalik sesaat untuk melambaikan tangan. Lagi-lagi aku fokus pada bibirnya. Aku menunggunya. Aku malu sendiri dengan harapan sendiri. Tapi seperti yang ku tunggu, ia mengucapkannya, tanpa suara. Aku tersenyum dan membalas lambaiannya.

Kami kembali ke rumah. Ternyata Adel sudah menunggu, duduk di kursi teras sendirian. Entah sudah berapa lama ia disana. Aku segera mendekatinya. Ia masih belum menyadari kehadiranku. Ternyata ia sedang melamun. Aku menepuk bahunya pelan. Ia menoleh sedikit kaget dan tersenyum begitu melihat aku sudah berada di sisinya.

"Sudah lama menunggu kak Del?" tanyaku.

"Lumayan. Darimana Nek?" Adel balik bertanya.

"Dari Bandara. Abis nganterin Babang Arya," jawabku tersenyum menggodanya. Aku tau Adel akan menagih janjiku.

"Duh, ngapa gak kasi tau? Kalo dikasi tau, aku pasti mau ikutan mengantarnya," kata Adel sambil merengut. Aku tertawa dan mengajaknya masuk langsung ke kamar agar bisa bercerita lebih leluasa.

Adel sudah terbiasa dengan kamarku, sebab setiap ke rumah ia memang langsung diajak ke kamar agar pembicaraan kami tidak diganggu oleh kedua saudaraku yang sering usil dan kepo. Adel langsung membaringkan tubuh di atas ranjang. Ia menelungkup dan menopangkan kedua tangan ke dagu, "Cerita donk, Nek."

"Arya itu dulu waktu SD adalah guru gitarku. Dia juga melatih suaraku dan menumbuhkan rasa percaya diri yang sempat down ketika pita suaraku bermasalah. Hubungan kami sudah demikian dekat hingga kami merasa ia adalah bagian dari keluarga ini," aku mulai menceritakannya. Lalu kisah itu mengalir seperti air sungai di pegunungan, dengan bunyi gemericik yang eksotis.

"What! Dia melamarmu?" tanya Adel terpekik kecil. Tangan kanannya segera menutup mulut agar tidak mengeluarkan suara yang lebih besar lagi. Matanya terbelalak, seperti tidak mempercayai yang didengar barusan.

"Iya. Ayah dan ibunya langsung datang kesini. Tapi Za menolak mengingat belum cukup umur dan ia pun belum selesai kuliah. Rasa dipaksa pernikahan dini saja," jelasku.

"Ampyuuun Neek. Kenapa menyia-nyiakan makhluk sempurna itu? Jadi sekarang gimana?" Adel semakin penasaran.

"Kembali seperti sebelumnya. Za belum bisa mengubah anggapan bahwa ia sama seperti mas Didi dan bang Bibi," jawabku sekenanya.

"Tapi aku melihat masih ada cinta untukmu dimatanya, Nek. Aku salut dengan pengendalian dirinya. Dia begitu berkarisma. Aku suka padanya pada pandangan pertama," kata-kata Adel membuatku ngakak.

"Kak Del, bang Ferry mau dikemanain?" tanyaku di disela tawa yang semakin berserak keluar dari mulutku.

"Bang Ferry? Kami gak ada hubungan apa-apa kok. Sama saja seperti hubungan kita semua," Adel ikut tertawa menjelaskan hubunganya dengan Ferry.

"Tapi…," keningku berkerut, "Za kira kak Del dan bang Ferry saling menyukai."

Adel ngakak, "Gak lah, Nek. Kami memang sering berdua sebab kamu kan lebih sering dengan bang Rahmat."

"Berarti Za salah kira, ya?" tanyaku. Aku memandangnya menyelidik. Aku yakin mereka saling menyukai, lebih dari sebagai teman.

"Yap!" jawab Adel, "Trus gimana kelanjutan kisahmu dengan bang Arya, Nek?"

"Kita tidak pernah tau gimana akhirnya, yang jelas kami tetap berteman, saling memperhatikan dan saling mengingatkan," jawabku tegas.

"Perasaanmu sendiri gimana terhadapnya?" tanya Adel lagi.

"Seperti Za katakan tadi, Za masih menganggapnya sama seperti mas Didi dan bang Bibi," jawabku singkat.

"Gak ada yang spesial?" Adel berusaha menyelidiki hatiku.

"Entahlah. Rasanya tidak ada," jawabku sambil menaikkan bahuku sedikit.

"Berarti aku ada peluang donk," mata Adel berbinar sekelebat, namun aku sempat menangkap kilasan mata itu.

"Peluang?" tanyaku pura-pura tidak mengerti,

"Iya. Peluang mendekatinya," jawab Adel yakin.

"Oh, iya. Silahkan aja kak Del," kataku tersenyum melihat reaksi Adel yang sedikit berlebihan.

"Minta nomor WA nya donk Nek," Adel memohon.

"Nanti ya. Za tanyakan dulu ke Babang, apa boleh ngasi nomor WA nya pada kak Del. Kalau sudah diizinkan, akan Za kasi," janjiku. Adel menatap lekat-lekat wajahku. Ia berusaha membaca ekspresi wajahku. Ia tak akan menemukan kecemburuan disana sebab aku bukan orang yang mudah cemburu. Andai pun ada rasa itu, aku paling pandai menyembunyikannya.

"Kamu sama sekali tidak keberatan kan, Nek?" tanya Adel untuk lebih meyakinkan penilaiannya terhadap perasaanku.

"Tidak. Teman Za adalah teman kak Del juga. Za rasa bang Arya juga tidak akan keberatan berteman dengan kak Del, sebab dia orangnya humble," jawabku meyakinkannya.

Adel memeluk boneka beruang yang ku dapat sebagai hadiah dari bapak Kepala Sekolah. Matanya menerawang jauh. Mungkin ia sedang berkhayal tentang Arya. Aku membiarkan Adel dengan pikirannya sendiri. Aku meninggalkannya sebentar untuk ke dapur.

Aku menyeduh teh dan mencari cemilan di rak penyimpanan. Adel pasti sudah haus, sejak tadi banyak bertanya padaku. Aku menyeduh teh dalam mug agar lebih banyak. Brondong jagung kuletakkan di dalam cambung besar agar kami puas memakannya berdua. Aku membawa suguhan ke kamar dan meletakkan di atas meja rias.

Adel masih memandang langit-langit kamar. Ia tersenyum-tersenyum sendiri. Aku menggeleng-geleng. Lalu menepuk kakinya.

"Udah, jangan kelamaan menghayalnya kak Del. Lihat tu, sayap sudah mulai tumbuh di punggungmu, sebentar lagi bisa terbang sampai ke Munchen tu," kataku sambil tertawa lepas.

"Iiihh… mengganggu khayalanku aja," kata Adel sambil bangkit dari tidurnya.

"Minum dulu. Ini ada brondong jagung. Ayo kita makan sambil membaca buku biologi. Besok kita ulangan harian," kataku sambil mendekatkan baki kepada nya.

"Cius? Besok kita ulangan? Mati aku! Asli lupa. Ayo, kita belajar sebentar, sudah tu aku pulang," kata Adel mengambil mug teh dan segenggam brondong jagung masuk ke mulutnya.

Setelah membaca buku yang ku berikan, tiba-tiba Adel menatapku. Alisku terangkat dan bertanya, "Ada apa kak Del?"

"Wait wait wait…Bukankah kita baru selesai ujian semester? Kok ada ulangan harian?" Adel baru menyadari bahwa aku sengaja mempermainkannya.

"Iya. Kita memang baru siap ujian semester. Seminggu besok hanya ada classmeeting. Hari Jumat kita terima raport," jawabku serius

"Neeek….ih, sengaja kamu mempermainkanku, ya?" tanya Adel memandangku gemas.

Aku tertawa keras lalu setelah tawaku mereda aku bicara, "Abis Kak Del sibuk berkhayal, sampai lupa segalanya."

Adel pun ikut tertawa dan kami tertawa bersama. Kami masih membahas Arya. Adel begitu ingin tau semua tentang Arya. Aku menjawab apa pun yang ditanya sesuai pengetahuanku tentang Arya. Begitu banyak yang ditanyakan hingga tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Akhirnya Adel pamit pulang.

Hari Senin di sekolah, kami menjadi trending topik. Pak Amran begitu bangga dengan prestasi kami. Ia menginstruksilkan beberapa siswa untuk membuat pentas darurat di lapangan dan memajang alat musik disana. Kami didaulat untuk membawakan lagu yang sama seperti waktu kompetisi kemarin. Kami dengan perasaan bangga naik ke atas panggung dan menyanyikan dua buah lagu yang kami bawakan kemarin. Ketika lagu kedua berakhir, terdengar sorak sorai teman-teman dan para guru.

"Lagi…lagi…lagi…," teriakan yang seragam dan berirama dari mereka semua. Aku memandang Ferry dan Adel menunggu mereka memutuskan lagu yang akan dibawakan.

Adel mulai memainkan keybord, ia memilih lagu Biar Semua Hilang. Rahmat dan Ferry mengikutinya dan aku bersiap menyanyikan lagu itu. Kepalaku mulai pusing. Aku menahannya dan terus bernyanyi. Sesekali aku menyipitkan mata untuk mengurangi rasa pusing itu.

"Ya allah, jangan sampai aku pingsan di atas panggung ini," pintaku dalam hati. Keringat dingin mulai membasahi pakaian seragamku. Aku berusaha tetap tenang menyanyi hingga akhir lagu.

Tepuk gemuruh hampir membuatku ambruk. Dalam keadaan pusing begini, suara yang gaduh membuat keseimbangan ku terganggu. Aku berpegang pada ujung keyboard. Adel menyadari aku mulai limbung. Ia segera berdiri dan memeluk pinggangku. Lalu Adel menarikku turun panggung sambil melambaikan tangan kepada penonton.

Kesigapan Adel menyelamatkanku dari terkapar di panggung. aku dipapah menuju UKS. Rahmat dan Ferry turun dari panggung kemudian menyusul. Aku dibaringkan Adel di ranjang UKS. Dengan sigap ia mengambil air putih dan menyuruhku minum. Aku mengikuti perintahnya setelah berusaha duduk dengan susah payah.

"Wajahmu pucat sekali, Nek? Tadi belum sarapan ya?" tanya Adel. Aku menggangguk untuk memuaskannya agar ia tidak bertanya lebih banyak. Aku memejamkan mata dan berusaha tetap sadar dan terus berdoa agar pusing kepala ini segera hilang. Aku mendengar Rahmat bertanya pada Adel tentang kondisiku. Adel menerangkan bahwa aku belum sarapan sehingga pusing, lalu ia mengajak mereka ke luar agar aku dapat beristirahat.

Pak Amran memasuki ruang UKS dengan beberapa orang guru. Mereka memeriksa keadaanku dan membawakan secangkir teh manis dan dua potong roti. Mereka percaya keterangan Adel dan benar-benar mengira aku belum sarapan. Mereka mengajukan beberapa pertanyaan seputar kondisiku. Aku menjawab seperlunya, tidak mampu berbicara banyak. Pandanganku terasa berpendar sehingga aku lebih banyak memejamkan mata. Akhirnya mereka juga meninggalkanku, memintaku agar beristirahat hingga kondisiku membaik.

Aku mencoba untuk tidur. Menurutku, tidur dapat memperbaiki kondisiku. Akhirnya aku benar-benar tertidur dan entah sudah berapa lama merasa pundakku disentuh seseorang. Dengan pelan aku membuka mata. Aku melihat ibu sudah berada di sisiku. Mungkin mereka mengabari ibu sehingga ibu merasa perlu untuk menjemputku di sekolah.

"Bangun, Yang. Kita pulang ya. Lebih baik beristirahat di rumah," ajak ibu sambil membantuku duduk. Aku berusaha duduk namun tubuhku benar-benar merasa lemah.

Ibu memapahku turun dan berjalan menuju parkiran. Adel membantu ku berjalan. Tanganku dilingkar ke pundaknya dan ia memegang pinggangku. Aku mengikuti langkahnya. Kepalaku masih terasa berat dan aku tidak berani membuka lebar mata sebab semua yang dipandang rasa berputar mengitariku.

Ibu membukakan pintu mobil dan aku dituntun untuk duduk. Sabuk pengaman pun ibu yang memasangkan. Aku benar-benar pasrah kali ini. Dalam ketidak-berdayaan, aku teringat penyakitku. Inikah rasa penyakitku itu? sungguh tidak enak, padahal selama ini aku merasa baik-baik saja.

Aku mendengar ibu berpamitan pada guru yang mengantar. Aku diberi izin untuk tidak datang ke sekolah sampai kondisiku benar-benar pulih. Ibuku mengucapkan terima kasih. Ia membuka pintu dan membawaku ke rumah sakit.

Dokter mengecek kondisiku. Perawat mengambil sedikit darahku untuk diperiksa. Aku diminta untuk beristirahat sebentar menjelang hasil pemeriksaan darah keluar. Dokter menerangkan beberapa hal pada ibu. Aku tidak terlalu menyimaknya. Menunggu di ruang gawat darurat, walau sambil berbaring tetap saja tidak nyaman. Tapi aku lebih memilih menunggu disini dari pada langsung di masukkan ke kamar inap. Jika masuk ke kamar inap, sekurang-kurangnya aku harus tidur semalam di rumah sakit ini. Aku sangat tidak suka tidur di ruang yang bau kloroform.

Satu jam kemudian dokter datang kembali membawa hasil pemeriksaan labor darah ku. Ia menerangkan hasil pemeriksaan tersebut kepada ibu. Aku berusaha mencerna keterangan dokter itu. Haemoglobinku kembali turun. Tapi masih pada batas toleransi. Hal tersebut dapat disebabkan aku tidak rutin memakan obat atau kurang beristirahat. Aku disarankan untuk beristirahat yang cukup, memperhatikan makanan dan rutin mengkonsumsi obat yang diberikan. Syukurlah aku tidak dipaksa beristirahat di rumah sakit ini.

Ibu menggandengku keluar dari ruang Gawat Darurat setelah meyelesaikan urusan administrasi. Aku berjalan dengan sempoyongan dan berpegangan pada ibu agar dapat membuatku berjalan lurus.

"Setelah ini. kurangi latihan nyanyinya ya, Yang. Kamu dengar tadikan, kamu kelalahan. Minggu depan sudah libur sekolah. Lebih baik kita pergi liburan agar badanmu bisa lebih fresh. Kamu mau liburan kemana?" Ibu memandangku sekilas lalu kembali fokus ke jalanan.

Aku berpikir sejenak. Sebenarnya aku sangat menyukai liburan. Dengan kondisi badan yang terasa lemah ini aku lebih memilih tempat tidur dari pada tempat lainnya.

"Badan Za kurang enak, Bu. Apa tak sebaiknya kita di rumah aja?' kataku lemah.

"Liburannya bukan sekarang Yang. Beberapa hari lagi, setelah badanmu baikan. Ibu juga butuh liburan," kata ibu lagi.

"Baik Bu. Tapi kita libunya jangan jauh-jauh ya. Ke Sumbar aja," akhirnya aku menyetujui untuk pergi liburan, menimbang ibu yang katanya membutuhkan liburan.

Ibu masih memapahku ke kamar. Ia takut kalau aku sampai jatuh. Jalannya pelan dan sangat hati-hati. Aku menurut saja ketika ibu membukakan baju seragam dan menggantikan dengan pakaian rumah. Kemudian ibu membaringkanku di atas tempat tidur. Ibu meninggalkanku sendiri, tetapi beberapa menit kemudian kembali masuk membawakan makan siang.

"Mau disuapkan atau makan sendiri, Yang? tanya ibu.

"Letakkan aja di sana dulu, Bu," aku menunjuk meja rias, "Nanti Za makan sendiri."