"Benar ya. Makan sendiri. Jangan sampai tidak makan. Obatnya juga, jangan lupa dimakan. Sekarang ibu tinggal dulu," kata ibu sambil meletakkan nampan berisi makan siang dan obat di atas meja rias. Kemudian ibu meninggalkanku sendiri.
Beberapa saat aku masih termangu di atas tempat tidur, tidak ingin melakukan apa-apa. Aku harus segera sehat, begitu tekadku. Aku mengambil makanan yang diletakkan ibu dan mulai menyuap ke mulutku. Entah apa rasa makanan itu, aku tidak peduli. Aku harus menghabiskan jika ingin cepat pulih.
HP ku berbunyi. Chat dari Arya. Tanpa semangat aku membukanya, 'Assalamu'alaikum. Aku baru sampai di Munich dengan selamat.'
Aku mengangguk tanda aku sudah membaca pesannya. Ketika aku menyadari anggukanku tidakkan ada artinya bagi Arya maka aku membalas chat dengan singkat, 'Wa'alaikumsalam. Alhamdulillah.'
'Singkat amat. Kamu baik-baik aja kan?' Arya menanggapi chatku yang singkat.
'Y,' lebih singkat lagi.
Arya langsung menelepon. Aku mengangkatnya.
"Di, kamu baik-baik aja? Kenapa hatiku tiba-tiba merasa gak enak," tanya Arya.
"Iya, Bang. Za baik-baik aja, hanya sedikit lelah, jadi disuruh istirahat," jawabku tidak ingin membuatnya khawatir.
"Syukurlah, ternyata aku terlalu parno, istirahatlah. Jaga kesehatanmu, ya," kata-kata yang penuh perhatian. Ingin aku menangis dan mengadu padanya tentang perasaan yang galau dengan kondisi kesehatanku. Tapi hal itu tidak mungkin ku lakukan. Lebih baik ia tidak tau.
"Iya bang, eh, tunggu dulu. Bang, nomor WA Babang boleh Za berikan pada kak Del? Soalnya dia meminta kemarin. Katanya teman Za, kan teman dia juga," untung aku masih ingat janjiku pada Adel.
"Boleh, kalau Di Za mengizinkan," jawaban yang aneh.
Aku tertawa, "Sudah tentu Za mengizinkan. Nanti Za kasi ya."
"Iya. Sekarang istirahatlah. Boci. Sudah zuhuran kan?" tanya Arya lagi.
"Sudah. Bang. Iya. Za akan boci," jawabku.
"Wassalamu'alaikum," Arya mengakhiri percakapan di telpon.
"Wa'alaikum salam," jawabku, menajamkan kuping. Samar masih ku dengar ia mengucapkannya. Aku tersenyum.
Aku langsung mengirim nomor WA Arya pada Adel. Aku tidak mau menundanya, takut lupa. Tanpa menunggu balasan dari Adel, aku menghabiskan suapan terakhir makan ku dan melanjutkan makan obat yang sudah disediakan ibu. Kemudian membaringkan diri di tempat tidur dan memejamkan mataku. Tidak lama kemudian aku terlelap.
Aku terbangun ketika mendengar suara ibu memanggilku. Perlahan kubuka mata. Ibu membuka pintu kamarku dan melongokkan kepalanya, "Teman-temanmu datang."
Aku melihat jam dinding, pukul empat sore. "Iya, bentar Bu. Za sholat dulu, setelah itu keluar menemui mereka."
Sebelum keluar, aku menyempatkan diri melihat wajah di cermin. Wajah kecilku masih pucat. Aku menepuk-nepuk pipi agar kelihatan memerah. Usahaku tidak berhasil, wajah ini tetap pucat.
"Hai!" sapaku dengan nada ceria. Mudah-mudahan ini dapat menyamarkan pias di wajahku.
"Gimana keadaanmu, Oriz?" tanya Rahmat. Matanya meneliti wajahku. Aku hanya tersenyum.
"Tadi kami ngobrol dengan ibu. Katanya mau liburan ke Sumbar ya, Nek?" tanya Adel, ia pindah duduk ke sebelahku, "Pasti asyik tuh. Apalagi kalau kita liburan bareng."
"Iya. Mungkin abis menerima raport, kami sekeluarga akan pulang kampung. Kak Del dan abang-abang mau ikut?" tanyaku, tiba-tiba terbersit sebuah rencana. Sudah tentu liburan dengan teman-teman akan lebih seru.
"Aku harus menanyakan dulu dengan ortuku," jawab Adel.
"Emang ibumu mengizinkan kami ikut?" tanya Ferry.
Saat itu, ibu masuk ke ruang tamu membawa teh dan cemilan buat kami. Ia tersenyum pada Ferry dan mendengar apa yang sedang kami bicarakan.
"Boleh saja. Kenapa tidak? Rumah Gadang di kampung cukup luas, dapat menampung banyak orang," ibu langsung menjawab pertanyaan Ferry.
"Tu, dengar. Ibu mengizinkan kak Del dan abang-abang ikut liburan dengan kami," kataku dengan wajah berseri.
Aku melirik parsel buah yang terletak di atas meja tamu. Adel melihat gerakan mataku. Ia meraih keranjang buah itu sambil berkata, "Ini untukmu. Nek. Jangan kuatir, bukan pisang kepok kok."
Aku nyengir, jadi teringat waktu mereka membawakanku parsel yang berisi empat macam pisang. Apesnya, pas giliranku, aku terpaksa mengambil pisang kepok dan langsung memakannya. Rasa sepet membuat kerongkonganku gatal. Lain kali akan kubalas mereka dengan kekonyolan juga.
"Oya, Nek. Makasih nomor Arya nya ya. Ini aku sedang WA-an dengannya. Ternyata orangnya asyik," kata Adel sambil memperlihatkan HP berisi chat dengan Arya. Aku mengangguk tanpa memperhatikan papan chat yang diperlihatkannya. Adel memang kelihatan sibuk membalas chat. Aku memakluminya.
Aku, Rahmat dan Ferry membicarakan tentang kompetisi band. Kami akan dikirim sebagai utusan daerah untuk mengikuti kompetisi yang lebih besar di Jakarta. Sesekali Adel menimpali, namun lebih sering tak nyambung sebab ia terlalu sibuk chat di HP.
Beberapa kali ku lihat Ferry melirik Adel yang cekikikan sendiri. Raut kurang senang terlukis samar di wajah Ferry. Ia mencoba untuk tidak peduli, namun akhirnya gemas sendiri melihat tingkah Adel yang tidak seperti biasa.
"Adel, kamu bisa ikutan terlibat gak dalam pembicaraan ini?" tanya Ferry.
"Dari tadi aku mendengarkan kok, Bang. Nyimak nih!" jawab Adel agak ketus. Ia merasa terganggu dengan teguran Ferry.
"Kamu terlalu sibuk dengan HP itu disaat sedang membahas kelanjutan perjuangan grup band kita," nada jengkel terdengar dari suara Ferry yang sedikit meninggi.
"Lagian, kita melihat teman yang sakit, kok malah bahas soal itu?" kata Adel memasang wajah cemberut dan mengomel sendiri. Entah apa yang diomelkan, aku tidak terlalu jelas mendengarkannya.
"Sudah, sudah," aku mencoba menengahi mereka, "Bang Ferry, mungkin pembahasan ini lebih baik kita lanjutkan setelah liburan besok. Sekarang lebih baik kita bahas tentang rencana liburan aja."
Selanjutnya pembahasan beralih pada rencana liburan kami. Selain pakaian, kami juga perlu beberapa peralatan yang mungkin akan dibutuhkan saat menikmati liburan. Semua sepakat berangkat hari Minggu pagi. Mereka berkumpul di rumahku dan selanjutnya kami akan berangkat bersama-sama dengan mobil bapak.
Hari Sabtu saat pembagian raport aku datang ke sekolah. beberapa orang tua hadir di sekolah. Biasanya orang tua diundang bila nilai anaknya kurang bagus. Aku menuju kelas. Duduk menunggu bel untuk berkumpul di lapangan. Adel belum nampak. Tapi memang Adel biasa datang pas menjelang waktu bel berbunyi. Benar saja, bel berbunyi dan kulihat Adel berlari menuju kelas meletakkan bawaannya di bangku.
Aku menunggunya dan kami bersama menuju barisan. Adel selalu berbaris di depanku sebab ia memang sedikit lebih rendah dariku. Aku melihat kegelisahan dimatanya. Aku ingin bertanya tapi niat itu kuurungkan sebab kepala sekolah sudah mulai berbicara di podium. Pembicaraannya tidak panjang, hanya menyampaikan pesan agar kami belajar lebih rajin pada tingkatan kelas berikutnya. Diakhir pembicaraan, pak Amran mempersilahkan salah seorang guru untuk membacakan nama-nama juara kelas dari kelas X dan XI, dimulai dari kelas XI.6 dan berakhir di kelas ku X.1.
Aku maju ke depan ketika namaku dipanggil. Sudah banyak yang berbaris di depan. Nama ku yang terakhir dipanggil. Sebagai penghargaan, rapor kami dibagi duluan di lapangan tersebut dan masing-masing kami diberi souvenir khusus. Siswa dan guru-guru bertepuk tangan. Kami dipersilahkan kembali ke dalam barisan.
"Ada satu yang spesial tahun ini," kata pak Kepala Sekolah. "Seorang siswa mampu memperoleh nilai ujian tertinggi nyaris sempurna. Dari 10 mata pelajaran yang diujiankan hanya satu nilai ujiannya 97, selebihnya ia memperoleh nilai 100. Nilai sempurna belum pernah kita berikan pada siswa selama ini sehingga nilai rapornya menyesuaikan agar tidak terlalu menyolok dari yang lain."
Pengumuman itu menyebabkan siswa sedikit berisik, bertanya-tanya siapa yang dimaksud. Ada yang berdecak kagum, ada yang menggeleng-geleng seperti tidak percaya. Mereka mengira-ngira siapa diantara yang terpanggil namanya tadi memperoleh nilai ujian setinggi itu. Nilai raport tertinggi yang diumumkan tadi 96 koma sekian dan itu ada beberapa orang memperoleh nilai tersebut. Mereka kembali tenang, menunggu lanjutan pengumuman tersebut.
"Selain nilai ujian yang tinggi, ia juga sangat berbakat. Mungkin kalian sudah tau siapa orangnya," lanjut pak Amran, tetapi kembali memenggal kalimat dan menunggu reaksi para siswa dihadapannya. Siswa mulai berisik, ada yang saling bertukar pandang lalu mengangkat bahu, ada yang berbisik-bisik, ada juga yang clingak-clinguk mencari tau siapa orang yang dimaksud.
"Bapak minta, Oriza untuk segera ke depan kembali," kata pak Amran akhirnya. Lapangan tiba-tiba menjadi sunyi selama beberapa saat. Aduh! Aku sangat tidak menyukai hal ini. Mengapa harus maju ke depan lagi? Aku tidak suka terlihat menonjol. Ragu-ragu aku melangkah. Pak Amran menyusulku di barisan dan menarik tanganku. Aku dibawa ke samping podium.
Tidakkah mereka mengerti bahwa aku merasa tidak nyaman dan ada ketakutan dalam hatiku. Mereka mungkin tidak mengerti. Iya, tidak ada yang mau mengerti kalau aku dikategorikan sebagai anak yang luar biasa. Ibu adalah satu-satunya orang di dunia yang mengerti tentang aku. Sungguh, aku ingin hidupku berjalan seperti orang yang lain. Aku kembali merasa terperangkap di dalam tubuh kecil dan kurus ini.
Perkembanganku tidak seperti anak lainnya. Ketika berusia setahun aku sudah lancar berbicara. Usia empat tahun aku sudah bisa membaca lancar. Usia lima tahun bacaanku sudah berat, buku-buku teks milik bapak ku baca dan aku memahaminya.
Awalnya ibu tidak menyadari hal itu. Ia mengira aku hanya suka membolak balik buku. Aku tenang bila diberi buku bacaan, sehingga ibu dapat melakukan pekerjaan rumah dengan tenang. Pada usia tujuh tahun aku sudah dapat memberikan analisis terhadap suatu persoalan, termasuk bidang yang hanya dikuasai oleh orang dewasa. Kelas satu SD aku sudah mampu mengerjakan soal-soal persamaan aljabar untuk tingkat yang cukup sulit. Ketika itulah ibu mulai menyadari perbedaanku dengan anak lain sebayaku. Ibu membawaku ke psikiater untuk mengetahui kondisi kognitifku. Entah apa hasilnya, tapi membuat ibu kaget.
Apakah ini suatu anugerah? Mungkin jawabnya iya, tapi tidak untukku. Teman-teman menjauh dariku, menganggap aku aneh dan bahkan sebagian dari mereka membenci karena guru-guru begitu mengistimewakanku. Tidak jarang aku menjadi sasaran perundungan dari anak-anak yang lebih besar.
Bukan hanya perundungan atau pengucilan yang harus ku hadapi. Aku juga harus menghadapi gangguan dari dalam diriku akibat dari otak yang selalu bekerja, waktu tidur menjadi sangat kurang. Bahkan, sedang tidur pun aku masih bisa berpikir. Hal ini jelas menganggu kesehatanku sebab tubuh kurang beristirahat. Mungkin itu salah satu penyebab badanku selalu masuk ke dalam kategori kurus.
Banyak peristiwa yang tidak enak seputar kelebihan sekali gus kekuranganku itu. Disaat anak lain bermain bersama, aku lebih memilih meneliti sendiri. Ternyata hasil penelitianku justru mengancam jiwaku. Aku berhasil membuat alat yang dapat menyimpan daya dari solar sel dengan kapasitas besar dan tahan lama. Catatan penelitian itu aku share ke internet. Hal itu tidak disukai oleh pengusaha. Mereka mengancamku dan ketika ancaman itu diabaikan, mereka berusaha menculikku. Ibu yang membaca situasi tersebut langsung membakar alat dan catatan hasil penelitianku. Saat itu aku protes dan tidak mengerti.
Aku sempat 'disembunyikan' selama satu tahun di kampung ibu. Dengan adanya peristiwa yang mengancam jiwa, jelas bahwa kepintaranku bukan merupakan anugerah, melainkan menjadi musibah saat itu. Antara anugerah dan musibah tipis bedanya.
"Nyawamu jauh lebih berharga dari hasil penelitian ini. jika masih memungkinkan, ketika kamu dewasa, kamu dapat membuatnya lagi," begitu ibu menjelaskan. Meskipun tidak sepenuhnya mengerti, namun aku percaya pada ibu. Aku tidak lagi protes dengan dibuangnya hasil penelitianku. Bahkan hasil penelitian ringan lainnya pun aku sendiri yang memusnahkan. Bagiku, cukup aku tahu dengan pembuktian yang ingin diperoleh dari penelitian-penelitian itu.
Ibu selalu mengingatkanku agar bersikap sama dengan teman-teman sebaya, ikut bermain dengan mereka. Aku mengerti keinginan ibu yang lebih memprioritasakan keselamatanku. Sejak itu aku berusaha untuk hidup 'normal' yang ternyata lebih membutuhkan kerja keras. Aku selalu mengamati prilaku teman dan berusaha menirukan. Mungkin bagi orang lain itu konyol, tapi justru kekonyolan seperti itu yang harus kulakukan.
Tepuk tangan yang gemuruh menyadarkanku dari ingatan masa lalu. Bapak Kepala Sekolah dan guru-guru menyalamiku. Aku menyambut uluran tangan mereka dan mengucapkan terima kasih seperti yang lazim dilakukan orang.
Semua dipersilahkan masuk ke kelas masing-masing untuk menerima raport. Adel berlari menghampiriku. Ia memelukku erat dan berkata, "Aku bangga padamu, Nek!"
Aku membalas pelukannya dan mengucapkan terima kasih. Beberapa teman menghampiri dan bergantian mereka mengucapkan selamat serta menyalamiku. Terakhir, Rahmat dan Ferry mendekatiku dan serentak mengulurkan tangan. Aku menyambut tangan mereka dengan kedua tangan, lalu mengangkatnya agak ke atas. Aku melonjak kegirangan, "Yeeiii …, kita liburaaannn," kami tertawa bersama dan setelah acara pembagian raport selesai segera pulang ke rumah masing-masing untuk berkemas mempersiapkan bekal dan barang-barang yang harus dibawa.