Chereads / Bersamamu Kusempurna / Chapter 9 - Liburan Bersama (1)

Chapter 9 - Liburan Bersama (1)

Pagi Minggu yang sibuk. Semua barang keperluan sudah dimuat di bagasi mobil. Adel masih belum terlihat. Pasti ia rempong dengan bawaannya. Sebuah taksi berhenti di depan. Kami keluar melihat siapa yang datang. Adel turun dan supir taksi menurunkan barang dari bagasi.

"Ya Allah, Adel…ini mau liburan apa mau pindahan?" tanya Ferry setelah melihat koper besar yang dibawa Adel.

"Dua minggu itu kan lama, Bang. Itu aja sudah banyak yang gak jadi dibawa. Perabotan perempuan itu banyak, banyak, banyak. Tolong angkatin donk," kata Adel sambil ngomel.

Rahmat melirik ku. Aku tersenyum. Aku memang tidak seperti Adel. Bawaanku hanya satu tas ransel biasa berisi empat stel pakaian. Walau liburan dua minggu, namun pakaian dapat dicuci dan dipakai kembali sehingga aku tidak memerlukan pakaian yang banyak.

Setelah selesai dengan segala keribetan ketika hendak berangkat, akhirnya mobil kami bergerak meninggalkan rumah. Satu jam pertama perjalanan, Adel masih menyanyi atau mengaji sesukanya. Ia kelihatan sangat riang. Terkadang kami bernyanyi bersama. Bapak dan ibu hanya tersenyum-senyum melihat tingkah kami. Masuk jam kedua suara-suara riuh sudah mulai hilang. Bahkan kepala Adel terkulai tanda ia sudah tertidur. Aku menyandarkan kepalanya ke bahuku agar ia merasa nyaman.

Bang Bibi melirikku. Ia duduk di sebelahku. Aku membalas lirikannya dan kulihat ia menunjuk bahuku. Aku memasang wajah cemberut. Ia pasti bermaksud meminjam bahuku untuk meletakkan kepala. Selalu begitu. Kalau naik mobil, aku harus mengalah dengannya sebab ia tidak dapat menahan mual di atas mobil. Dari pada bau muntahan mempengaruhi kami, lebih baik aku meminjamkan bahu agar ia dapat tidur dengan sedikit nyaman. Aku mengangguk. Bang Bibi langsung merebahkan kepala ke bahuku.

Tiga jam kemudian kami sampai di tempat tujuan. Sebuah Rumah Gadang berupa rumah panggung terbuat dari kayu dangan ukiran khas berdiri kokoh di depan kami. Walau rumah ini jarang ditempati, namun masih terawat. Keluarga pamanku yang merawatnya. Halaman cukup luas ditanami rumput. Bagian pojok depan tumbuh serumpun bambu kuning. Bagian belakang ditanami beberapa macam pohon buah. Pohon durian muntong sedang berbuah. Adel terkagum-kagum melihat buah durian yang besar namun rendah, hanya semeteran dari tanah.

"Masukkan bawaan ke kamar masing-masing dulu," kata mas Didi setelah ia mengeluarkan semua barang bawaan dari mobil. "Silahkan naik dan masuk ke kamar ya. Adel dan Za di kamar paling kanan aja. Sebelahnya kamar mas Didi dan bang Bibi. Yang di tengah kamar buat Rahmat dan Ferry."

Kami segera membawa tas masing-masing ke kamar. Adel kesulitan membawa tas ketika naik tangga. Rahmat menahan tawa melihat Adel hampir terjungkal ketika baru saja melangkah naik tangga. Rahmat membantu Adel mengangkatkan tas. Ternyata memang berat.

"Apa isinya ni, Del? Kok berat begini?" tanya Rahmat.

"Bukan batu kok Bang. Itu perabotan perempuan semua," jawab Adel melenggang menaiki tangga.

Rahmat menggaruk kepala yang tidak gatal. Ferry ngakak melewati Rahmat yang kebingungan dengan tas besar dan berat itu.

"Perlu dibantu?" tanya Ferry menggoda Rahmat.

"Oohh, tidaaakk," jawab Rahmat sambil tertawa. Meskipun berat, ia masih bisa mengangkat tas itu dan mengantarkan ke kamarku dan Adel.

"Makasih Bang," kata Adel sambil tersenyum-senyum melihat keringat menetes dari wajah Rahmat, "berat sekali ya Bang?"

"Iya. Lumayan berat," jawab Rahmat sambil menyeka keringat, "Tapi ini bukan karena mengangkat tas. Memang hari terasa panas."

Aku dan Adel tertawa setelah punggung Rahmat hilang dari pintu. Kami yakin keringat itu memang karena Rahmat kesulitan mengangkat tas Adel yang besar dan berat. Aku jadi penasaran dengan isi tas tersebut. Seingatku, waktu turun taksi Adel bisa membawa tasnya sendiri.

"Apa sih isi tasmu kak Del?" tanyaku ingin tau.

"Sssttt… sini, lihat!" Adel mengajakku mendekati tas yang dibukanya. Aku terbelalak. Ada empat buah batu yang lumayan besar di dalam tas itu. Batu apa itu?

"Tadi waktu kita berhenti istirahat, kan ada sungai tu. Aku melihat batu kali yang bulat-bulat cantik ini. ku angkut satu persatu dan ku masukkan ke tas. Kalau diangkat satu persatu gak begitu berat, Nek. Kalau digabungkan pasti patah bahuku membawanya, kwkwkw…," Adel tertawa keras. Aku pun ikut tertawa.

"Tapi buat apa batu itu?" tanyaku heran.

"Pertama karena aku suka. Buat koleksi tamanku. Kedua aku memang mau ngerjain bang Ferry atau bang Rahmat. Ternyata bang Rahmat aja yang lagi apes," kata Adel memegang perut sebab belum bisa menghentikan tawanya.

Adel mengeluarkan batu-batu itu dan menyembunyikan di bawah tempat tidur. Ternyata ia tidak membawa baju yang banyak seperti yang kami bayangkan tadi. Hanya kopernya saja yang besar.

"Gak ada tas yang lebih kecil di rumah. Makanya koper ini yang ku bawa," Adel menjelaskan alasan membawa koper besar itu. Kami menyusun pakaian di dalam lemari yang ada dan merapikan tas serta beberapa peralatan yang kami bawa. Kamar ini sebenarnya sudah tertata rapi, namun ada beberapa perabotan yang kami pindahkan sebab kurang suka dengan posisinya.

Pintu kamar diketuk. Terdengat suara ibu memanggil, "Ayo kita makan. Cepat ya. Ditunggu di ruang makan."

Kami bergegas ke luar kamar, perut kami sejak tadi sudah memberontak. Ternyata yang lain sudah duduk bersila dengan posisi melingkar di karpet lantai. Makanan sudah terhidang di bagian tengah karpet yang dibentangkan taplak berwarna putih. Aku duduk di samping ibu dan Adel mengikutiku.

Seorang gadis membawa nampan berisi jus jeruk dingin. Ia tersenyum kepada kami lalu meletakkan jus di samping piring kami masing-masing. Aku rasa mengenalnya, tapi aku lupa. Aku menyikut ibu sedikit dan melihat ke arah gadis manis itu.

"Oh, ini Sinta. Dia anak paman Za," kata ibu menjawab keingin-tahuanku sekali gus memperkenalkannya pada yang lain.

"Oh, uni Sinta. Za pangling. Sekarang jadi berbeda. Cantik," kataku sambil mengulurkan tangan padanya untuk bersalaman. Ia menyambut tanganku dan tersenyum. Setelah itu ia menyalami Adel. Pada Rahmat, Ferry dan kedua saudaraku ia hanya mengatupkan kedua telapak tangan dan merapatkan ke dada sebagai pengganti salam.

"Semua ini Sinta yang masak," kata bapak.

"Waahh, benarkah? Pasti enak ni, melihatnya saja sudah gak tahan rasanya. Rasa mau dimakan semua," kata Adel sudah tidak sabar ingin segera makan.

Ibu segera menyendok nasi untuk bapak, selanjutnya Sinta menyendok nasi dan bergiliran meletakkan di atas piring kami. Ia akan berhenti menyendokkan nasi bila pemilik piring mengatakan 'cukup'.

"Silahkan mengambil sendiri hidangannya. Maaf kalau rasa masakannya kurang sesuai dengan selera," kata Sinta mempersilahkan kami untuk makan.

Ternyata semua sudah lapar. Tanpa malu-malu memilih lauk dan melahap makanan yang terhidang. Aku juga tidak mau kalah, kali ini sampai nambah. Udara kampung yang adem memang membuat selera makan meningkat. Masakan yang dihidangkan memang lezat. Hampir semua piring ludes isinya. Sambel dalam mangkok yang cukup besar pun licin tidak bersisa.

Sinta dengan sigap membereskan piring-piring setelah kami selesai makan. Aku membantu mencuci piring. Ia meminta untuk membiarkannya mengerjakan sendiri dan aku dipersilahkan beristirahat. Aku tersenyum dan meneruskan kegiatanku mencuci peralatan makan yang sudah kami gunakan tadi, tidak mengikuti saran tersebut. Akhirnya ia membantuku membereskan piring yang sudah selesai dicuci dengan menempatkan peralatan makan tersebut ke dalam rak. Kami bercakap-cakap dan saling tukar cerita.

"Jadi Uni sekarang kelas XII ya. Rencana akan kemana setelah tamat besok?" tanyaku. Uni adalah sebutan khusus di kampung ibu untuk memanggil kakak perempuan.

"Iya, Za. Kalau nilai bagus, rencana uni mau kuliah di Unand, jurusan peternakan," jawab Sinta. Unand adalah singkatan Universitas Andalas, salah satu perguruan tinggi negeri yang terkenal di Sumatera Barat.

"Peternakan?" tanyaku lagi.

"Iya. Uni ingin mengelola peternakan ayah dengan baik. Ayah masih mengelola secara tradisional. Uni ingin lebih maju dari itu," Sinta memberikan alasan terhadap pilihannya. Aku mengangguk tanda mengerti dengan alasan itu.

Selesai berkemas aku kembali ke kamar untuk beristirahat sejenak. Adel sudah tertidur di atas ranjang dengan posisi melintang. Posisinya membuatku susah untuk membaringkan diri disana. Aku mengambil bantal dan merebahkan diri di lantai yang beralaskan karpet lembut. Bahuku terasa pegal sebab menahan beban kepala Adel dan bang Bibi ketika diperjalanan tadi. Aku memijit-mijitnya pelan untuk mengurangi rasa pegal.

Aku menjangkau HP yang diletakkan di atas meja kecil tidak jauh dari tempatku berbaring. Tidak ada pesan masuk sejak terakhir dilihat ketika dalam perjalan tadi. Aku teringat bahwa di kampung ini memang tidak ada sinyal internet. Kalau jaringan telepon masih bisa, itupun sinyalnya lemah. Kampung ini dikelilingi oleh bukit dan agak jauh dari keramaian. Sehingga provider merasa tidak perlu memasang tower untuk keperluan internet.

Aku sangat ingin tidur, namun mataku tak bisa terpejam lebih lama. Aku berbaring dengan gelisah. Tiba-tiba aku teringat Arya. Sudah seminggu ini dia belum menghubungiku. Mungkin ia terlalu sibuk membalas chat Adel, atau memang sedang sibuk dengan penyelesaian S1 nya. Mudah-mudahan ia dapat menyelesaikan kuliah dengan baik dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi seperti yang dicita-citakannya.

Aku mendengar suara azan yang sangat merdu. Pasti dari surau yang tidak jauh dari Rumah Gadang. Siapa yang azan? Begitu merdu. Aku membangunkan Adel dan mengajaknya sholat ke surau. Aku dan Adel bersiap ke surau dengan membawa peralatan sholat masing-masing. Ternyata bapak juga sudah bersiap-siap ke surau. Bapak memanggil mas Didi dan bang Bibi untuk ikut ke surau. Kami berangkat bersama ke surau yang dimaksud.

Selesai sholat berjemaah, aku ke barisan terdepan menyalami bapak yang menjadi imam. Lalu berbalik dan menyalami mas Didi dan bang Bibi. Muazin berdiri di samping bang Bibi. Aku hanya mengangguk ke arahnya. Aku belum mengenalnya. Ingin langsung bertanya aku segan. Aku memandang bang Bibi dengan harapan ia akan memperkenalkan kami. Benar saja. Bang Bibi langsung menyebut nama muazin tersebut.

"Ini Ardian. Dia yang bantu-bantu paman mengurus kandang ayam," kata bang Bibi. Aku mengangguk ke arah Ardian, "Ini adikku, Di. Namanya Oriza. Dan ini temannya, Adel."

Ardian tersenyum dan mengulurkan tangannya. Aku dan Adel menautkan telapak tangan kami dan membawanya ke dada sebagai ganti jabat tangan. Ardian mengerti dan menarik tangannya kembali.

"Suara azanmu bagus, Uda," pujiku.

"Biasa saja. Suara azan orang kampung," jawabnya agak malu-malu.

"Apakah Uda sore ini akan ke kandang?" tanyaku. Ia mengangguk. "Boleh kami ikut?"

"Boleh. Uda menyapu halaman surau dulu. Nanti Uda jemput kalian di rumah. Kalian tunggu saja ya. Tidak akan lama," jawab Ardian. Aku mengangguk dan mengajak Adel pulang.

Rahmat dan Ferry menunggu kami di rumah. Mereka baru bangun tidur dan heran mendapati rumah lengang. Mereka duduk melamun di anak tangga teratas. Tampang kusut baru bangun dari tidur dan gaya duduk mereka seperti orang melamun terlihat lucu.

"Lho, kalian dari mana?" tanya Ferry.

"Dari surau bang," jawab Adel.

"Kenapa kami tidak dibangunkan? Yang lain kemana?" Ferry heran melihat hanya kami berdua yang pulang.

"Di tempat paman. Kami juga sebentar lagi akan kesana. Mau melihat kandang," jawabku, "mau ikut?"

"Kandang? Buat apa melihat kandang?" tanya Rahmat kurang mengerti.

"Kandang ayam. Setiap kandang ada ribuan ekor ayam. Trus ayamnya kalau kita datang pandai memperdengarkan musik seperti orkestra gitu," jawabku menjelaskan.

"Ah, masa' sih? Becanda ya?" tanya Ferry.

"Makanya ikut dulu bang. Nanti abang akan mengerti. Pasti belum sholat kan? Lihat wajah kusut itu. Untung gak ada sisa ences di sudut bibir. Sholatlah cepat. Sebentar lagi kita dijemput," ujarku.

Aku dan Adel meletakkan peralatan sholat kami di dalam kamar, lalu menunggu di ruang depan. Rahmat dan Ferry menyusul kami. Tak lama kemudian Ardian datang, mengucapkan salam. Aku memperkenalkan Ardian pada Rahmat dan Ferry.

Kami berangkat dengan berjalan kaki. Peternakan ayam paman di bawah bukit sekitar 500 meter dari rumah gadang. Kami menelusuri jalan setapak agar lebih cepat sampai kesana. Jika lewat jalan aspal, perjalanan menjadi lebih panjang. Begitu masuk areal kandang, aroma khas mulai tercium. Sebenarnya aroma yang kurang sedap itu berasal dari makanan dan kotoran ayam. Hidung akan terbiasa setelah beberapa waktu kita berada disana.

Kandang ayam merupakan bangunan panggung memanjang dengan ukuran 10 m x 25 m, terbuat dari kayu. Tiang-tiang memposisikan lantai 1 – 1,5 m dari tanah. Bagian tengah memanjang sepanjang bangunan adalah lantai tempat berjalan untuk aktifitas penjaga memberi makan ayam-ayam dan mengumpulkan telur-telur.

Sisi kiri dan kanan dibuat tiga trap berbahan kayu seperti anak tangga yang lebih tinggi dari lantai bangunan. Masing-masing trap diletakkan kandang-kandang kecil yang terbuat dari kawat. Bagian depan dilebihkan dari ukuran kandang kawat dan diberi batas pada bagian luar sebagai tempat telur menggelinding. Agak ke atas sedikit ditempatkan paralon besar yang dibelah dua sebagai tempat makanan ayam dan disebelahnya ada paralon kecil dengan banyak klep untuk pasokan air minum bagi ayam-ayam tersebut.

Pertama masuk ke dalam kandang, kami disambut dengan suara berisik ayam-ayam yang berirama namun tidak memiliki keteraturan. Ini yang ku sebut sebagai orkestra. Butuh beberapa saat bagi telinga untuk menyesuaikan. Suara ayam itu bersahut-sahutan tidak pernah berhenti, seperti tidak mengenal lelah untuk bersuara. Memang calon penyanyi rock yang hebat tanpa rasa gatal ditenggorokan.

Beberapa butir telur menggelinding keluar dari kandang-kandang kecil itu. Satu kandang diisi oleh dua ekor ayam. Adel bersorak dan dengan antusias ia memungut telur tersebut dan memindahkan ke kertas khusus tempat mengumpul telur. Sebenarnya telur-telur ayam itu sudah dikutip saat dhuha. Pada waktu itu telur paling banyak diproduksi. Namun tetap saja pada waktu lainnya ayam masih bertelur. Rahmat dan Ferry pun ikut memungut telur yang masih tergeletak di tempatnya. Aku hanya memandang kegembiraan mereka dan mengabadikan dalam HP ku.

Setelah beberapa bangunan kandang kami masuki untuk mengumpulkan telur, akhirnya Adel menyerah. Ternyata memungut telur itu pun dapat menyebabkan kelelahan. Adel mengajakku keluar dan mengisyaratkan bahwa ia merasa haus. Aku mengajak mereka untuk mampir ke bedeng pekerja. Ternyata keluargaku dan paman berada dalam sebuah bedeng sedang menikmati penganan sore.

Aku dan teman-teman menyalami paman, lalu ikut bergabung menikmati teh dan goreng pisang yang dihidangkan. Meskipun aroma kandang masih tercium, namun hal itu tidak menghalangi kami untuk menghabiskan hidangan sore, padahal Sinta sudah menambahkan goreng pisang hangat yang baru selesai di goreng beberapa kali.

Paman mengajak kami makan malam di rumahnya. Rumah paman agak jauh dari lokasi kandang. Menjelang magrib kami mengikuti paman dengan menumpang mobilnya dan mobil kandang. Rumah paman berbeda dengan Rumah Gadang ibu. Rumah paman memiliki arsitektur modern dengan desain minimalis. Meski tinggal di pedesaan, ternyata selera paman lebih cenderung pada selera orang kota. Perabotan di rumahnya pun menyesuaikan dengan desain rumah, sehingga di rumah paman aku merasa seperti berada di rumah sendiri.

Sehabis sholat magrib kami langsung diajak ke meja makan. Meja makan yang panjang dengan kapasitas 12 orang cukup menampung kami semua. Bermacam-macam hidangan tersaji di atas meja. Sungguh penyambutan tamu yang luar biasa. Tidak hanya masakan tradisional saja yang tersaji, hidangan western juga tersedia dengan penataan yang apik. Melihat semua itu, kami merasa akan mencicipi semuanya.

Aku memilih salad buah sebagai pembuka. Aku melihat Adel dan Rahmat mengikuti menu yang kupilih. Mungkin mereka masih bingung memilih setelah melihat beragam masakan terhidang. Ferry juga terlihat bingung. Dia menunggu piringnya diisi nasi seperti tadi siang waktu makan di Rumah Gadang. Sinta tersenyum mengerti. Ia berdiri dan mengambil cambung nasi kemudian menyendokkan nasi ke atas piring Ferry.

"Makasih," ujar Ferry. Sinta hanya tersenyum.

"Apa yang lain mau langsung makan nasi?" tanya Sinta kepada kami. Kami menggangguk. Sinta mulai menyendokkan nasi dan meletakkan ke atas piring kami. Dibagian orang tua, kulihat ibu Sinta yang meladeni mereka menyendokkan nasi dan mendekatkan lauk yang diinginkan.

Aku mengingatkan teman-teman agar tidak terlalu banyak minta nasi. Cukup sesendok saja. Jika berlebih, maka mereka pasti akan merasa rugi. Rahmat ingin bertanya maksud perkataanku, tapi ia merasa segan untuk menanyakan di depan orang ramai. Aku mengedipkan sebelah mata kepadanya. Nanti ia akan mengerti dengan sendiri mengapa aku menyarankan mereka agar meminta sedikit nasi saja. Adel yang merasa benar-benar lapar tidak mengindahkan saranku. Aku membiarkan Adel mengambil beberapa lauk dan piringnya penuh.

Setelah piring bekas makan disingkirkan, demikian juga dengan piring hidangan sudah di bawa ke belakang, kami masih bercakap-cakap di meja makan. Kali ini aku duduk dengan tenang dan tidak membantu Sinta mengemaskan meja makan. Sebab ada beberapa orang yang membantu membereskan semua.

Ardian mengucapkan salam dan masuk membawa sekarung durian. Durian-durian tersebut dibelah lalu diletakkan di atas piring-piring yang sudah disediakan oleh Sinta. Mata Adel membulat. Ia mengelus perut yang sudah kepenuhan. Aku meliriknya dan tertawa.

"Ini hidangan penutup kita hari ini. Kebetulan sedang musim durian di sini. Itu musang king. Ayo dilanjutkan makan dissert-nya," kata paman mempersilahkan kami.

"Menyesal aku tidak mendengarmu, Nek," bisik Adel. Aku menutup mulut menahan tawa, "aku tak sanggup makan lagi. Bisa muntah kalau dipaksa."

Aroma durian yang benar-benar membuat selera tercium nyata. Adel ragu-ragu, walau sudah kekenyangan ia tidak dapat menahan selera melihat durian yang telah terbelah di depannya. Ia mencomot sebuah dan mulai memakan buah durian itu. Satu ruang telah habis. Ia masih ingin membuka ruang lainnya. Aku mencegahnya. Aku yakin perutnya tidak akan mampu menampung makanan lagi. Adel cemberut. Rahmat mencoba memanasi dengan berdehem dan memakan pelan penuh nikmat durian yang ada di tangannya. Adel melotot dan mengepal tangan, mengacung telunjuk dan menggerakkan ke leher seperti orang menyembelih. Rahmat tertawa kecil dan pura-pura melihat ke arah lain.

"Nyesel gue, nyesel gueeee," bisik Adel. Akhirnya aku tidak bisa menahan tawa dan menyepak kaki Rahmat. Rahmat memandangku dan aku segera melirik Adel. Rahmat pun akhirnya ikut tertawa. Ferry heran, melihat ke arah kami. Ia tidak mengerti mengapa kami tertawa. Rahmat memegang perutnya, lalu menunjuk Adel. Ferry berusaha menangkap maksudnya. Akhirnya ia mengerti dan ikut tertawa. Adel yang sudah kekenyangan tak mampu makan durian yang sangat disukainya. Ia hanya bisa melongo melihat kami makan dengan nikmat.