Kompetisi diadakan di lapangan kampus Universitas Negeri. Lapangan tersebut luas, dapat menampung penonton ribuan orang. Sebuah panggung tinggi ditempatkan pada salah satu sisi lapangan, mengarah pada bagian depan kampus. Sejak pagi orang berdatangan memadati lapangan. Kebanyakan penonton adalah teman, kerabat dan kenalan dari peserta. Acara dimulai pukul 9.00 pagi.
Ferry yang kami tunjuk jadi ketua grup, mengurus segala keperluan administrasi hingga pencabutan nomor untuk tampil. Urutan peserta yang tampil sudah ditentukan sesuai undian yang dicabut ketika mendaftar ulang jam delapan pagi. Kami mendapat giliran ke 25 dari 27 grup peserta. Perkiraan kami baru dapat tampil menjelang sore hari. Kami masih punya cukup waktu untuk mempersiapkan diri, melengkapi apa yang dirasa belum lengkap.
Kami memasuki lapangan ketika hari sudah siang. Kami berbaur dengan penonton untuk melihat kekuatan lawan. Grup-grup yang tampil kelihatannya bagus semua, terutama grup dari beberapa kampus yang terkenal. Mereka memperlihatkan kematangan dalam aransemen dan penguasaan panggung. Grup band sekolah seperti kami masih belum berpengalaman dan suguhannya tidak sebagus kakak-kakak kuliahan. Kami mendiskusikan keunggulan dan kekurangan dari grup yang sudah tampil untuk kami jadikan evaluasi kilat atas potensi yang kami miliki.
Peserta urutan nomor 23 sudah dipanggil untuk tampil. Ferry memberi kode agar kami memasuki ruang tunggu. Tenda yang disediakan sebagai ruang tunggu di belakang panggung cukup luas. Peserta kompetisi yang menanti giliran sudah berkumpul di dalam tenda tersebut guna menunggu waktu masing-masing untuk tampil. Tinggal empat grup lagi yang belum tampil.
Persiapan kami sudah matang, mulai dari fisik, mental, peralatan, pakaian dan dukungan dari teman serta keluarga. Makin dekat waktu, debaran jantung ini semakin keras. Ternyata bukan aku saja yang merasa gelisah. Adel, Rahmat dan Ferry pun tak luput dari ketegangan itu. Kami berusaha untuk lebih santai dengan bercakap-cakap sambil menunggu giliran tampil. Ketika nomor kami dipanggil, kami sempat terdiam beberapa saat merasa sangat tegang.
"Ayo kita berdoa sebentar agar Allah memberi kekuatan, keberanian dan kesuksesan pada kita," tiba-tiba Rahmat berinisiatif untuk mrngurangi ketegangan yang kami rasakan. Kami menunduk beberapa saat dan berdoa masing-masing.
"Ayo!" ajak Ferry mendahului langkah kami naik ke atas panggung. Entah dari mana datang keberanian itu. Kami melangkah dengan yakin mengikuti langkah Ferry, tanpa ragu lagi.
Pembukaan yang manis, kami berbaris dan melambaikan tangan pada penonton, lalu menempati posisi masing-masing. Adel mulai memainkan keyboard dan aku menarik nafas panjang untuk menghilangkan keraguan yang masih tersisa di hati. Aku mulai menyanyikan lagu Bendera dengan bersemangat, "Merah putih teruslah kau berkibar..."
Kesempatan menonjolkan kemampuan masing-masing personil kami gunakan sebaik-baiknya. Setiap kesempatan tersebut kami mendengar teriakan dan tepuk tangan dari penonton. Lagu itu berakhir dengan tepuk tangan yang gemuruh dari para penonton. Sesaat aku merasa menjadi artis terkenal. Aku melambaikan tangan kepada para penonton, merasa berterima kasih dengan antusiasme mereka. Nafasku sedikit tersengal. Aku berusaha mengatur nafas kembali. Masih ada satu lagu lagi yang harus kubawakan.
"Saat persatuan kita goyah, ingatlah kembali bahwa kita semua bersaudara. Kita satu bangsa, satu kesatuan di bawah NKRI. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Hidup pemuda, jagalah negeri demi ibu pertiwi," kata Rahmat lantang sebagai pengantar lagu selanjutnya.
Awalnya, aku menyanyikan lagu ibu pertiwi tanpa iringan musik, tujuannya agar syair lagu sampai dengan jelas ke telinga penonton.
Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matanya berlinang
Emas intan yang kau kenang
Hutan, gunung, sawah, lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang lara
Merintih dan berdoa.
Musik mulai mengiringi.
Kulihat ibu pertiwi
Kami datang berbakti
Lihatlah putra-putrimu
Mengembirakan ibu
Oh ibu, kami tetap cinta
Putramu yang setia
Menjaga harta pusaka
Untuk nusa dan bangsa
Aku tidak mampu menahan perasaan mengingat kondisi negariku yang sedang tidak baik-baik saja sama seperti kondisi kesehatanku sekarang. Air mata mengalir di pipi tanpa mampu kucegah. Aku tidak ingin menyekanya. Biarlah air mata itu turun sebagai cerminan hatiku.
Pada bait-bait terakhir lagu tersebut, penonton beramai-ramai ikut bernyanyi, dan rasa haru itu sungguh luar biasa menguasai hatiku. Aku melambaikan tangan dan mengucapkan terima kasih. Sebelum turun panggung kami kembali berbaris dan melambaikan tangan. Tepukan yang benar-benar gemuruh kami dengar dengan jelas. Rasanya ini tepukan yang paling riuh hari ini.
Kami kembali ke dalam tenda yang disediakan sebagai ruang tunggu. Adel memelukku erat, kulihat matanya pun basah karena air mata yang juga tidak dapat ditahan. Aku membalas pelukan Adel dan menepuk lembut bahunya.
"Kamu hebat, Nek. Aku tak menyangka penonton begitu antusias dan larut dalam lagu yang dibawakan. Padahal itu lagu yang biasa, tapi kata menjadi luar biasa keluar dari mulutmu," kata Adel sambil menyeka air matanya. Aku tersenyum, tidak dapat berkata apa-apa.
Setelah Adel melepaskan pelukan, aku menyalami Ferry dan Rahmat sambil berkata, "Selamat ya. Kerja sama yang sangat baik. Penampilan kalian sangat bagus. Za dapat mendengar aplaus dari penonton dengan jelas."
Selanjutnya, mereka saling bersalaman dan Ferry memeluk Rahmat dengan hangat sebagai tanda persahabatan.
Karangan bunga berdatangan satu demi satu. Entah dari siapa saja. Aku tidak sempat membaca kartu yang tertempel disana. Aroma mawar tercium dengan jelas. Mataku tertaut pada seikat gladiol merah dalam jambangan Kristal, sangat berbeda dari buket bunga lainnya. Gladiol adalah bunga yang paling kusuka, tapi sangat jarang tersedia disini.
Aku meraih kartu yang tertempel dijambangan cantik itu. Tulisan itu, aku mengenalnya, 'Penampilan yang sangat memukau. Selamat ya, Di. With L' aku mengedarkan pandangan ke seluruh isi tenda. Aku tidak melihat si pengirim.
"Siapa yang menerima bunga ini?" tanyaku.
"Aku. Ada apa Oriz?" Rahmat bersuara.
"Mana orang yang memberikannya?" tanyaku lagi.
"Tadi ada di luar tenda. Setelah kamu masuk tenda, seorang cowok menghampiriku dan memberikan bunga beserta jambangan cantik itu. Ia tidak mengatakan untuk siapa," jawab Rahmat lagi.
"Apa orangnya seperti kurir?" tanyaku kurang sabar.
"Gak perhatikan tuh. Tapi mungkin bukan kurir sebab tidak minta tanda tangan," jawab Rahmat.
Aku bergegas ke luar tenda. Aku yakin bunga itu dari Arya, langsung dari tangannya. Tulisan tangan itu tidak mungkin dikirim dari Munchen. Tapi kenapa ia tidak langsung menemuiku? Aku mengitari penonton dan dengan teliti ku lihat satu persatu. Aku tidak menemukannya disana. Dimana dia? Aku berusaha mengingat dan memperkirakan tempat yang mungkin dia datangi. Aku masih belum bisa menemukannya, tapi aku sangat yakin ia masih disini.
Saat pengumuman, aku menunggu dengan gelisah. Bukan gelisah memikirkan apakah grup kami dapat memenangkan kompetisi ini. Aku gelisah karena aku belum bisa menemukan Arya diantara orang-orang yang masih antusias menunggu pengumuman. Jika ia memang datang mengapa ia tidak menemuiku?
"Sebagai pemuncak dengan nilai 675, berpenampilan sangat baik, penguasaan panggung juga sangat baik, pilihan lagu yang baik, dan respon penonton yang luar biasa jatuh pada grup…..," presenter acara sengaja memenggal kalimatnya, "The Faro's!"
Adel langsung melompat dan memelukku. Ia menarikku ke atas panggung. Rahmat dan Ferry mengikuti kami. Di atas panggung telah berdiri empat grup lainnya yang juga bernilai baik dan menjuarai kompetisi kali ini. Ferry mewakili kami menerima tropi dan hadiah lainnya telah memenuhi tangan kami, baik hadiah dari sponsor, maupun hadiah dari panitia dan penonton yang ikut naik memberikan buah tangan atau apalah namanya.
Penonton mendaulat kami untuk menyanyi lagi. Kami menyerahkan semua hadiah yang diterima kepada pak Amran yang berdiri di barisan paling depan penonton, lalu naik kembali ke atas panggung. Kami telah mempersiapkan lagu cadangan jika sewaktu-waktu ada perubahan atau ada permintaan mendadak seperti ini. Lagu yang kami bawakan adalah lagu yang hits akhir-akhir ini sehingga sebagian penonton dapat ikut menyanyikan lagu tersebut.
Di bawah sebuah pohon angsana merah, aku melihatnya. Mataku tidak ingin melepaskannya lagi. Aku tidak dapat segera turun panggung untuk menyusul, sebab lagu yang kubawakan belum berakhir. Tapi aku yakin ia pasti menunggu lagu ini berakhir. Ia tidak mungkin meninggalkanku begitu saja.
Aku segera bergegas turun panggung, tidak mempedulikan panggilan Adel. Aku berlari menuju pohon angsana itu, berharap ia masih disana. Jaraknya cukup jauh dari panggung. Aku berlari sekencang yang ku mampu. Melewati banyak orang dan kadang aku tidak sengaja menyenggol mereka. Aku hanya meminta maaf sambil terus berlari.
"Babang," panggilku keras.
Ternyata ia masih berdiri di tampatnya. Ia tersenyum lebar dan melambaikan tangan padaku. Nafasku tersengal-sengal. Aku berusaha mengatur nafas begitu sampai di depannya. Butuh waktu cukup lama bagiku untuk bisa bernafas dengan teratur kembali.
"Babang sengaja datang melihat, Za? Katanya ada ujian," akhirnya aku bisa berbicara dengan lancar.
Ia mengulurkan tangan. Aku menyambutnya dan kami berjabat tangan, "Selamat ya, Di. Tak nyangka kalo ternyata kamu hebat nyanyinya."
"Terima kasih, Bang. Tapi pertanyaan Za belum Babang jawab," kataku merajuk.
"Oh, hanya tugas besar dan sudah kuselesaikan secepatnya begitu mendengar kamu mau ikut kompetisi ini," Arya menjelaskan dan ia masih memegang tanganku. Aku menyadarinya dan segera menarik tanganku.
"Jadi Babang kemari hanya mau melihat Za ikut kompetisi ini? Waahh, tersanjung rasanya. Ayo, Za mau kenalkan Babang dengan teman-teman Za," kataku sambil mengajaknya ke tempat teman-teman berkumpul.
Selain teman, bapak kepala sekolah, keluargaku pun sudah berkumpul di bawah panggung. Aku bergabung dengan mereka. Orang-orang menyalami kami dan mengucapkan selamat. Ferry paling banyak diberi bunga oleh penonton, mungkin karena penonton banyak perempuan dan kalau soal perhatian perempuan paling pandai.
Aku dan Adel masing-masing memegang teddy bear besar pemberian pak Amran. Aku dan Adel saling pandang ketika menerima boneka beruang besar itu sebab memang menyukai kelembutan bulunya dan sudah pasti kami mengucapkan terima kasih serta menyalami bapak Kepala Sekolah kami itu. Ternyata beliau begitu perhatian dan yang lebih terharu lagi, semua murid diserukan untuk menonton pada kompetisi perdana kami ini. Pantas saja dukungan buat kami begitu terasa dengan sorak sorai dan tepukan yang meriah.
Ibu dan bapak bergantian memelukku. Kebahagiaan terpancar dari wajah mereka, terutama ibu. Ibu yang beberapa bulan terakhir ini sering murung dan sesekali kudapati menangis sendiri. Ibu masih mengkhawatirkan kondisi kesehatanku. Padahal keseharianku tidak ada yang berubah, hanya ada tambahan rutinitas meminum obat. Melihat kebahagiaan ibu hari ini, aku benar-benar ikut merasa bahagia.
"Ternyata hebat juga adik abang menyanyi, ya. Tadinya abang sudah membayangkan kamu akan seperti tikus yang lari kesana kemari kebingungan karena kepergok mencuri ikan asin di dapur," kata bang Bibi sambil merangkulku.
"Ih, sepele. Apa sih yang adikmu tidak mampu lakukan, Bang?" aku cemberut mendengar kata-katanya.
"Kapan sampai Arya?" tanya bapak.
Arya menyalami bapak dan ibu, "Pagi tadi, Pak." Kemudian Arya menyalami semua orang yang disana.
"Kenalkan, ini babang Arya, orang yang telah melatih Za menjinakkan suara ini. Dia sudah seperti keluarga sendiri," kataku memperkenalkan Arya kepada teman-temanku, "Ini bang ferry, ketua kami. Ini bang Rahmat yang selalu mengawasi kami. Ini kak Del yang cerewetnya minta ampyun."
Adel menyikut pinggangku dan ia tersenyum pada Arya sambil mengulurkan tangan. Mata Adel seperti menempel di wajah Arya. Ia kelihatan sangat terpesona. Aku segera memegang wajahnya dan mengalihkan muka itu agar menghadap wajahku, "Hei, jangan terkesima begitu. Lihat reaksi bang Ferry. Raut wajahnya sedikit berubah tuh."
Adel tertawa, "Aku baru tau ada makhluk yang begitu sempurna seperti itu." Akupun ikut tertawa.
Pak Amran dan keluargaku pamit meninggalkan kami. Ibu memberi izin padaku untuk merayakan kemenangan kami. Kami berencana akan mampir ke kafe Tong. Aku mengajak Arya untuk ikut serta bersama kami. Arya mempertimbangkan permintaanku agak lama. Entah apa yang membuatnya berpikir selama itu untuk menyetujui permintaanku.
"Ayolah Babang. Ikut dengan kami. Babang pasti tidak lama disini kan. Ayo kita lewatkan waktu bersama," pintaku sedikit merajuk melihat ada sirat bimbang dimatanya.
"Aku takut mengganggu kalian," katanya.
"Oh, tidak mengganggu sama sekali. Kami malah senang kalau abang bisa bergabung. Bisa saling bertukar cerita," kata Ferry sambil menepuk-nepuk pundak Arya. Sikap bersahabat seperti itu menyebabkan Arya tidak bisa menolak lagi.
Azan magrib menyadarkan kami bahwa siang berlalu dan akan memasuki malam. Kami menuju masjid kampus dan ikut sholat berjemaah. Doaku panjang dari biasa kali ini. Aku sangat bersyukur dengan kesempatan yang diberikan Allah dan limpahan karunia yang sangat banyak. Aku bersyukur di tempatkan-Nya dekat orang-orang yang sangat menyayangiku. Aku tidak kekurangan limpahan kasih sayang dalam hidup ini. Aku hanya meminta Allah untuk menjaga mereka semua dan memberi kebahagian yang tidak pernah hilang dari hati.
Usai sholat kami kembali berkumpul dan bersiap menuju tempat nongkrong anak-anak muda, cafe Tong. Ferry meminta kami menunggu sebentar. Ia pergi ke tempat parkir. Mobil yang dipinjam Ferry dari pamannya terlihat lebih luas sebab hadiah-hadiah yang kami terima sudah dibawa oleh keluargaku pulang, tidak menumpuk di bagian belakang mobil itu.
Arya duduk di sebelahku. Kami duduk di bangku tengah dan aku berada di antara Arya dan Adel. Adel menyikutku. Aku meliriknya dan tersenyum mengerti kalau ia ingin duduk di dekat Arya. Posisiku tidak memungkinkan aku bergerak lagi. Aku mengedipkan sebelah mata pada Adel, sambil menggeleng sedikit untuk memberi tahu bahwa aku tidak mungkin bergeser saat ini.
"Jangan lupa nanti ceritakan tentang dia ya," bisik Adel. Aku mengangguk. Aku memang belum pernah bercerita tentang Arya pada teman-temanku ini. Hanya teman Hago yang pernah mendengar kisah kami, itu pun sudah ku hentikan menceritakan sejak ada yang merasa terbebani dengan kisahku. Akhirnya kebosanan membuat kami jarang membuka aplikasi itu.
Kami memilih tempat duduk yang agak terpisah dari meja lainnya. Cafe telah ramai pengunjung. Sudut musik sudah aktif sejak tadi. Pelayan sibuk melayani pesanan. Kami memesan makanan berat. Sudah waktunya makan malam. Perutku pun sudah memberontak sejak tadi dengan bunyi yang tidak terdengar karena suara musik cukup keras.
Arya cepat menyesuaikan diri. Kami ngobrol santai sambil makan. Ferry dan Adel banyak bertanya pada Arya. Rahmat agak pendiam malam ini, tapi ia masih cukup antusias mendengar keterangan Arya tentang kuliah.
"Munchen tu dimana, Bang?" tanya Adel. Arya tersenyum. Ternyata Munchen tidak seterkenal yang dikiranya, ada temanku yang tidak tau tempat itu.
"Itu di Jerman, Del," jawab Arya.
"Jadi bang Arya ambil jurusan apa?" tanya Ferry.
"Arsitektur, khususnya gedung tinggi (highers building). Belajar disana tidak seberat belajar disini. Beban pelajarannya tidak banyak. Berbeda sistem dan kurikulum sih," Arya mencoba menjelaskan. Selanjutnya ia menerangkan bagaimana sistem kuliah disana.
"Pasti mahal biaya kuliah disana, ya," ujar Rahmat.
"Biaya kuliah dan sekolah sebenarnya tidak mahal disana, beda dengan di Harvard yang terkenal bagus dan sangat mahal. Lagi pula kita dapat mengurus beasiswa. Mungkin yang terasa mahal itu kita harus menyediakan sejumlah uang untuk jaminan hidup selama di sana beberapa ratus juta, dimasukkan ke dalam rekening bank yang ditunjuk. Kamu ingin kuliah disana, Mat?" Arya bertanya pada Rahmat.
"Entahlah bang. Pesimis kalau memikirkan biayanya. Biaya kuliah murah, tapi biaya jaminan hidup yang mahal. Mungkin aku lebih baik kuliah disini saja sesuai kemampuan orang tua," jawab Rahmat.
"Di, kamu jadi ambil kedokteran besok?" tanya Arya padaku.
"Gak!" jawabku singkat.
"Kenapa? Otakmu yang encer, keterampilan tanganmu yang sangat baik, sesuai tuh tuk jadi dokter bedah. Kamu sudah bisa menjahit robekan menganga, kan?" Arya kembali bertanya.
"Iya. Za sudah latihan menjahit daging dan kulit hewan yang terluka. Belum pernah mencoba menjahit luka manusia," jawabku, "hmmm.. yang ada Za malah bisa membuat luka."
"Kamu ingin jadi dokter bedah?" tanya Rahmat seperti tidak percaya.
"Itu dulu, bang. Sekarang Za sudah tidak mau. Tapi Za belum menentukan pilihan," jawabku.
Pembicaraan kami berlanjut dari Sabang hingga Merauke. Tidak terasa waktu berlalu. Jam sudah menunjukkan jam 10 lebih. Arya mengajakku pulang. Kami pamit setelah taksi online yang dipesan sampai di depan cafe.
"Ingat ya. Nek. Besok ku tagih utangnya," kata Adel sebelum aku meninggalkannya.
"Siyaaap. Besok kalau kita ketemu lagi Za bayar lunas ya," jawabku sambil mengedipkan sebelah mata padanya.
Arya membuka pintu taksi untukku. Aku tersenyum dan memasuki taksi seperti seorang puteri memasuki kereta kencana sebab ia membungkukkan badan dan tangan kanan dilipat ke belakang badan. Ia mengitari belakang taksi lalu membuka pintu untuk dirinya sendiri. Ia duduk di sampingku.
"Kamu bahagia, Di?" tanya Arya setelah taksi mulai bergerak.
"Babang kan tau, Za selalu bahagia. Apapun yang terjadi, Za akan terus berbahagia," jawabku.
"Alhamdulillah, itulah pribadimu yang sangat berkesan bagiku. Selalu optimis," ujarnya lagi. Dia memandangku agak lama. Aku merasa terganggu dan melambaikan tangan ke mukanya.
"Jangan terlalu lama menatap, Bang. Nanti wajah Za bisa berubah menjadi nenek Lampir. Babang dengar kan, kak Del manggil Za dengan 'nek'? itu karena kak Del tau kalo Za bisa jadi keriput dengan cepat dan tertawa terkekeh-kekeh seperti suara nenek Lampir," kataku untuk mengalihkan tatapannya.
"Masa' sih? Nenek Lampir? Sejak kapan?" tanya Arya sambil memperlihatkan wajah bingungnya. Ia pasti pura-pura.
"Mau denger suara tawanya, nih?" tantang ku.
"Coba aja," katanya.
Aku menarik nafas panjang lalu mengeluarkan suara tawa jelekku yang melengking tinggi dan cukup memekakkan telinga, "Hihihihi… sini cuuuu."
Taksi yang kutumpangi agak tersendat tiba-tiba, sopirnya menekan rem sedikit secara mendadak lalu melepaskannya lagi. Pasti ia kaget mendengar suara tawaku yang sumpah, memang serem dan jelek sekali.
"Maaf, Neng," ujar sopir taksi. Aku tertawa, sudah tentu dengan tawa yang biasa.
"Maaf juga pak, sudah mengagetkan," kataku masih tertawa.
"Sumpeeehh… memang nyaris copot jantungku," kata Arya, "sejak kapan bisa tertawa seperti itu?"
"Sejak Za dipanggil 'Nenek' oleh kak Del," jawabku ringan.
"Mengapa Adel memanggilmu, 'nenek', Di?" tanya Arya lagi.
"Sebab pertama Za kenal dengannya, dia kaget mendengar suara Za yang begitu dewasa terdengar. Trus, ditambah lagi Za terkadang sok bijak dengan pemikiran dewasa. Makanya dia memanggil dengan sebutan itu karena karakter seperti orang tua dan dihormati katanya," aku menjelaskan asal panggilan tersebut.
"Oya, berapa hutangmu padanya, Di?" pertanyaan Arya membuatku heran.
"Hutang?" aku bertanya tidak mengerti.
"Iya, tadi kan Adel mengingatkan hutangmu padanya," kata Arya.
"Oooo…hihihi. Bukan hutang uang Babang, Za hutang cerita padanya. Itu yang diingatkannya," jawabku sambil tertawa kecil, "Jangan tanya cerita tentang apa ya, Bang."
Arya mengangguk dan berkata, "Iya. Hmm…aku tidak bisa lama disini. Besok sudah harus balik transit di Jakarta, Arya menatapku kemudian ia meraih tanganku. Aku menarik tanganku, tidak suka disentuh apa lagi dipegang yang bukan haknya. Arya mengerti pendirianku.
"Kok cepat sekali, Bang? Jadi Babang kemari hanya untuk melihat Za manggung?" tanyaku.
"Iya, Di Za. Bukankah kamu sendiri yang bilang ingin aku hadir?" Arya balik bertanya.
"Duh, keinginan Za jadi membebani Babang. Gak perlu juga Babang menanggapi keinginan seperti itu. Tapi, ya udah, Babang sudah sampai disini. Terima kasih ya, Bang. Za benar-benar merasa tersanjung. Besok pesawat jam berapa?" aku berpikir untuk mengantarnya ke bandara besok.
"Agak sorean, pukul dua harus cek in. Pesawat jam 15.15 jika tidak delay. Apa acaramu pagi besok?" tanya Arya.
"Belum ada rencana. Hari Minggu biasanya Za gunakan untuk membantu ibu di dapur. Tapi, khusus besok, Za akan sediakan waktu untuk Babang, itu pun jika Babang menginginkannya. Babang dapat bergabung di dapur, kita sama-sama masak besok. Atau bisa juga jalan-jalan keluar hingga siang. Terserah Babang, pokoknya Za siap menemani Babang," aku menawarkan diri untuk menemaninya. Arya berpikir sejenak.
"Kamu pasti lelah mempersiapkan diri mengikuti kompetisi tadi. Mungkin lebih baik aku gabung aja di dapur besok. Itupun kalau ibu mengizinkan," tanggapan Arya terhadap penawaranku. Aku mengangguk dan menyetujui pilihannya.
Taksi berhenti di depan pagar rumahku. Arya meminta supir taksi menunggu sebentar sebab ia akan segera pulang ke rumah bibinya. Ia keluar membukakan pintu untukku. Kami jalan bersisian menuju pintu rumah. Arya menekan bel dan menunggu beberapa saat. Bapak membukakan pintu dan ibu menyusul setelahnya.
"Bapak, Ibu, Arya mengantar Di Za pulang. Maaf agak telat," ujar Arya menyerahkanku pada orang tua. Kesannya sangat formal, namun memang begitu kebiasaannya.
"Iya. Terima kasih sudah mengantarkan anak gadis kami dengan selamat, tidak kurang satu apa pun," kata bapak ikut-ikutan formal, "Mampir dulu Arya?"
"Sudah malam pak. Arya langsung pulang aja. Jika diizinkan Arya besok kesini lagi," Arya mengajukan keinginannya.
"Kamu dapat kesini kapan aja, Ya. Mau nginap disini pun kami izinkan. Bisa gabung di kamar Didi atau Habibi," kata Bapak menawarkan Arya untuk menginap.
"Terima kasih, Pak. Arya pulang aja. Tadi tidak pamit untuk nginap disini. Bibi dan paman pasti sudah menunggu di rumah. Arya pamit ya, Pak, Bu," kata Arya sambil mengulurkan tangan untuk menyalami bapak dan ibu. Arya berbalik meninggalkan kami. Sebelum memasuki taksi kembali ia berpaling ke arahku dan melambaikan tangan. Aku fokus pada bibirnya. Ia masih menggerakkan bibirnya mengatakan 'I love you' tanpa suara. Aku tersenyum. Ternyata ia belum berubah. Masih seperti Arya yang pergi berbulan-bulan lalu walau membawa kekecewaan yang ku hadiahkan kepadanya.
Aku menghapus make up yang masih menempel di wajah, untung riasanku tidak terlalu tebal sehingga tidak memerlukan waktu lama membersihkannya. Aku melihat jam di dinding kamar, sudah hampir pukul sebelas malam. Sudah telat untuk mandi, namun aku tidak bisa tidur jika belum mandi. Mandi membuat badanku terasa segar. "Sesekali mandi malam, gak apalah," aku membenarkan keputusanku sendiri.
Benar saja, sehabis mandi aku merasa bersih dan mataku mulai mengantuk. Aku melihat segelas air putih di atas meja rias dan obat-obatan yang harus ku minum terletak dalam wadah di sebelah gelas. Pasti ibu yang telah meletakkan disana. Ibu memang sangat telaten menyediakan obatku. Sebuah kertas kecil diletakkan di bawah wadah obat bertulisan, 'jangan lupa makan obat'. Aku patuh. Setelah makan obat aku naik ke tempat tidur.
Sebelum tertidur, aku kembali mengingat kejadian tadi. Penonton gegap gempita memberi dukungan kepada grup kami. Mungkin perasaanku saja kalau sambutan penonton sangat luar biasa pada grup kami, apalagi teman-teman satu sekolah banyak yang hadir. Bisa jadi penampilan kami tidak sebagus tanggapan penonton, tapi kenyataan kami memenangkan kompetisi tersebut membuatku merasa senang sekali. Ini adalah pengalaman pertamaku mengikuti kompetisi yang ditontong orang banyak. Rasanya sungguh luar biasa. Ada rasa takut, cemas, ragu, senang, bersemangat, semuanya bercampur menjadi satu. Terakhir, rasa haru ikut sarat di dalamnya.
Arya yang hadir tanpa konfirmasi membuatku bahagia. Aku sama sekali tidak menyangka ia menyempatkan hadir pada acara lokal seperti itu. Rinduku terpuaskan, namun hanya itu. Aku kembali bertanya pada hati sendiri, apakah hati ini tidak menganggap Arya adalah hal yang istimewa? Lama aku merenung, tidak kutemukan jawabannya. Banyak hal yang istimewa di diri Arya, tapi aku belum menemukan rasa istimewa dalam hatiku. Aku menggali dan terus menggali tentang perasaan sendiri hingga aku tertidur dalam tanda tanya yang tidak terjawab.
Bangun pagi dengan rasa bahagia adalah hal yang selalu ku suka. Aku sangat bersemangat hari ini. Aku ikut membantu ibu menyiapkan sarapan. Sarapan hari minggu ini lebih lengkap. Ada nasi goreng, roti isi, bubur ayam, salad buah. Minumannya juga lengkap, susu, kopi, teh dan jus.
"Wah, rasa pesta sarapan.," kataku.
"Pesta sarapan? Sejak kapan sarapan ada pestanya?" tanya ibu sambil tersenyum melihat tingkahku yang manggut-manggut melihat semua hidangan yang disiapkan.
"Gak biasanya, Bu. Kaya' ada tamu agung aja," kataku.
"Kan memang akan ada tamu. Arya datang pagi ini kan?" tanya ibu.
Aku tertawa, "Tak mungkin sepagi ini, Bu. Palingan jam Sembilanan dia baru nyampe sini. Cieeee…ibu merasa didatangain calon mantu yaaa."
"Kalau iya, kenapa?" tanya ibu menjawil puncak hidungku.
"Masih jauh untuk yakin, Bu. Lebih baik ibu anggap aja dia sama seperti kami, anak-anak ibu," jawabku serius. Ibu mengangguk tanda setuju.
Ibu memangil bapak untuk sarapan bersama. Mas Didi dan bang Bibi sudah duduk di kursi meja makan. Aku berdiri di sisi meja makan siap untuk meladeni, begitu ibu mengajariku. Aku tidak pernah protes akan ketentuan ini. Aku selalu merasa senang meladenin keluargaku makan.
"Bapak mau sarapan apa?" tanyaku.
"Nasi goreng aja. Jangan terlalu banyak, ya. Abis ini mau main badminton melawan juara bertahan er te," jawab Bapak sambil melirik mas Didi. Mas Didi ngakak mendengar ia disebut juara bertahan tingkat RT.
Aku menyendok nasi goreng dan meletakan di atas piring. Hanya dua sendok, tidak banyak menurut ukuranku. Di atasnya kuletakkan telur mata sapi dan beberapa iris mentimun serta dua iris tomat. Aku mengantarkannya ke tempat bapak duduk.
"Terima kasih, Za," kata bapak menerima piringnya.
Setelah menyediakan sarapan mas Didi dan bang Bibi, aku duduk di samping ibu dan meletakkan sarapan sendiri di hadapanku. Aku memilih roti isi untuk sarapan kali ini. Aku baru saja akan memasukkan irisan roti ke mulut, terdengar bunyi bel. Aku melirik ibu ingin meminta persetujuannya untuk membuka pintu. Ibu tersenyum dan menyuruhku melanjutkan makan. Ibu bangkit meninggalkan kursinya.
Siapa yang datang sepagi ini? Tak mungkin Arya sebab dia berjanji akan membantu masak untuk makan siang. Mungkin tukang susu atau tukang taman yang kemarin dipesan untuk membersihkan dan merapikan tanaman. Aku melanjutkan makan roti di depanku.
"Lihat siapa yang datang," kata ibu, "Arya."
Aku gelagapan dan berteriak, "Jangan kesini dulu! Za belum tertutup."
Aku segera bangkit dari tempat duduk dan berlari menuju kamar untuk mengambil jilbab. Rambut panjangku lepas dari gelungannya dan terurai panjang hingga paha. Kebiasaanku di rumah tidak memakai jilbab, kecuali jika ada tamu lawan jenis. Sialnya kamar tidurku harus melewati tempat Arya berdiri, "Tutup matamu, Bang!"
Mungkin memang sedang apes, aku tersandung ujung karpet dan jatuh menabrak Arya. Kami berdua sama-sama terjatuh dan aku menimpa badannya, "Tetap tutup matamu, Bang," aku berkata sambil meringis menahan rasa sakit di lututku.
"Iya," jawab Arya yang sempat membuka mata sesaat. Ia kembali menutup mata dan mencoba berdiri.
"Hati-hati, Za," kata ibu. Aku mengangguk dan langsung masuk kamar.