Chereads / Bersamamu Kusempurna / Chapter 2 - Arya Prasetyo

Chapter 2 - Arya Prasetyo

Aku mengakhiri lagu wajib yang kunyanyikan. Kemudian aku mengedarkan pandangan pada teman-teman yang duduk di bangku masing-masing. Semua terdiam dan sorot mata mereka terlihat aneh bagiku. Tidak lama, kemudian tawa mereka meledak menimbulkan suara gemuruh sebab beberapa diantaranya memukul-mukul meja. Aku tercekat, kaget luar biasa. Badanku gemetar. Ku alihkan pandangan pada ibu guru yang berdiri tidak jauh dariku.

Ibu guru mengangkat tangan, berusaha menenangkan teman-teman yang masih tertawa dengan riuh.

"Diam semua!" bentak bu guru. Suara riuh berangsur hilang.

"Duduklah, Za," ibu guru mempersilahkanku untuk kembali ke tempat duduk. Dengan tertunduk aku berjalan ke bangku. Perasaanku menjadi tidak menentu dan tangis sudah sampai ditenggorokan.

"Kenapa kalian tertawa? Walaupun suara Iza sedang kurang bagus, dia masih mau menyanyi di depan kelas. Menertawakan teman adalah tindakan yang tidak terpuji," ibu guru menegur teman-temanku, "Ayo minta maaf !"

"Maaf ya, Za….," hampir serentak teman-temanku berucap. Tangisku tumpah dengan isak yang tidak dapat ditahan. Ada apa dengan suaraku? Selama ini aku merasa suaraku baik-baik saja. Tapi mengapa hari ini teman-teman semua menertawakanku.

Ibu guru mengelus punggungku dan berkata, "Za sedang sakit tenggorokan mungkin. Jangan terlalu dipikirkan. Cup cup cup… sudah ya. Jangan menangis lagi."

Tangisku mulai mereda. Pelajaran dilanjutkan. Kegalauan hatiku berlanjut. Hingga bel pulang berbunyi aku tidak mau berbicara, walau sekedar mengucapkan salam ketika akan keluar kelas.

Ibu memeluk dan mendapati mataku sembab. Ibu pasti tau kalau anaknya habis menangis. Ibu menuntun ke washtafel, lalu membasuh mukaku yang terlihat lusuh. Air yang membasahi wajah memberi efek positif. Perasaanku mulai tenang.

Setelah mengganti pakaian, ibu memberi makan. Ibu belum bertanya. Semua ibu lakukan dengan diam. Ketika aku tidak mau menghabiskan makanan di atas piring, barulah ibu bertanya, "Mengapa tidak dihabiskan makanannya, Yang?"

Aku menggeleng dan menggeser piring ke samping.

"Tidak boleh begitu. Ayo habiskan makanannya. Akan ibu tunggu. Ingat, di luar sana banyak orang yang tidak bisa makan. Jadi, jangan pernah membuang makanan," ibu berkata lembut namun tegas.

Aku menarik piring kembali dan mulai menyuap makanan dengan pelan. Ibu begitu sabar menungguku hingga selesai makan. Aku membawa peralatan makan yang kosong ke tempat cuci dan mencuci semuanya. Itu sudah menjadi kebiasaanku.

Ibu mengajakku ke ruang keluarga dan menyalakan TV dengan volume yang sengaja dikecilkan.

"Ada apa? Mengapa anak ibu pulang dengan bad mood?" ibu bertanya sambil merangkulku. Kunciran rambutku dipermainkannya.

"Bu, apa suara Za berubah?" tanyaku merajuk.

"Hmmm, kenapa ibu tidak menyadarinya, ya? Rasanya suara anak sayang ibu biasa aja. Siapa yang bilang berubah?" tanya ibu. Tangannya masih mempermainkan kuncir rambutku. Peristiwa tadi langsung keluar, mengalir lancar dari mulutku.

"Masa' sih?" tanya ibu tak percaya.

"Ibu dengarkan Za nyanyi, ya," pintaku. Ibu segera menanggapi permintaan itu dan mempersilahkanku berdiri.

"Ayo mulai menyanyi!" perintah ibu sambil menggerakkan jari-jarinya menandakan hitungan 1,2,3. Aku mulai menyanyi dengan serius dan masih belum menyadari keanehan suaraku.

Kulihat kening ibu berkerut, menandakan memang ada yang tidak biasa. Setelah berpikir beberapa saat ibu berkata, "Iya. Suaramu agak berubah. Mungkin efek batuk kemarin. Jangan kuatir. Besok atau lusa suara itu akan kembali normal." Penjelasan ibu membuatku tenang. Tidak ada yang harus ku khawatirkan.

Berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan kemudian suaraku makin kacau. Bukan hanya ketika menyanyi, bahkan pada saat berbicara pun suaraku berubah tinggi rendah tanpa dapat dikontrol. Ibu membawaku ke dokter. Diagnosa dokter adalah perubahan pada pita suara yang terjadi akibat otot-otot pita suara yang menegang. Saran dokter adalah mengurangi berbicara untuk mengistirahatkan pita suara.

Hari-hari selanjutnya, aku mengurangi berbicara. Khusus untuk pelajaran seni, aku memilih seni musik sebagai pengganti seni suara. Pilihanku jatuh pada gitar. Ibu mencarikan guru gitar untukku.

Arya datang menawarkan diri untuk menjadi guru gitar yang disiarkan ibu di koran. Dengan penampilan yang menarik dan tutur kata yang sopan, ibu menerima Arya. Kelihatannya, ibu langsung menyukai Arya. Menurut ibu, Arya adalah sosok anak muda ideal dengan semangat dan kemandiriannya. Ketika itu Arya berstatus sebagai pelajar di salah satu sekolah favorit di kotaku.

Perkenalanku dengan Arya sangat kaku. Aku takut menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Takut ia kaget mendengar suara monsterku. Arya tidak mendesak agar pertanyaannya dijawab. Mungkin ibu sudah menerangkan kondisiku.

"Bukan begitu posisi jarinya, Di Za," kata Arya sambil membetulkan posisi jari-jariku. Ujung jariku terasa sakit. Aku menarik tangan dan meniup-niup jari yang terasa sakit itu.

"Itu biasa kalau baru latihan memegang gitar, Di Za. Nanti lama-lama akan terbiasa. Jari-jari itu tidak akan sakit lagi. Ayo kita lanjutkan lagi latihannya, Di Za," bujuk Arya.

"Za! Kenapa namaku menjadi Diza?" tanyaku jengkel mendengarnya menyebut diriku. Ia mengganti namaku senaknya.

"Iya, Dik Za," jawabnya dengan penekanan pada kata 'dik'. Oh, ternyata maksudnya 'adik Za'. Aku tidak protes lagi.

Aku memanggilnya dengan sebutan 'babang', walau pada awalnya ia menyebut dirinya dengan 'Mas Arya'. Dia tidak protes dengan sebutan 'babang' yang kuberikan khusus buatnya.

Ternyata Arya orangnya asyik. Ia mengajariku dengan sabar dan berusaha membuat suasana nyaman. Suasana yang menyenangkan membuatku betah dan berusaha mengikuti arahannya. Ia tidak hanya mengajariku memetik gitar saja, namun memberi pelajaran musik ringan yang sebaiknya kuketahui. Ia mengajariku membaca partitur lagu-lagu ciptaan komposer terkenal. Belajar tidak melulu di ruangan. Ia lebih sering membawaku ke taman dekat rumah. Menurutnya, suasana taman lebih nyaman daripada di dalam ruangan.

Arya benar. Aku lebih suka belajar di taman. Ketika aku merasa jenuh karena tidak dapat menyerap pelajaran dengan baik, Arya akan memainkan gitar. Gitar klasik, begitu ia menyebutnya. Petikan seperti itu selalu membuatku hanyut dalam alunan yang lembut mendayu-dayu, tidak hanya bunyi jreng jreng jreng seperti kebisaanku.

Selain belajar gitar, Arya juga melatihku mengatur suara yang sudah terlanjut aneh. Dihadapannya, aku tidak malu mengeluarkan suara. Aku bercerita banyak hal yang tidak bisa kuungkapkan dengan orang lain. Sejak suaraku berubah, aku menjadi pendiam. Selain minder, saran dokter agar mengurangi berbicara membuatku semakin pendiam.

Lima bulan belajar memetik gitar, sedikit sekali kemajuanku. Aku hanya bisa membawakan lagu 'Balonku" dengan nada jreng jreng yang dominan. Ternyata aku tidak berbakat sama sekali memainkan gitar. Aku hanya menyukai bunyi petikan dawainya saja. Arya selalu memperdengarkan lagu-lagu klasik dengan kepiawaiannya memetik gitar. Aku mulai mengenal musik klasik dan komposer ternama dunia lewat keterangannya. Aku menyukai jenis musik tersebut.

Privat gitarku dihentikan. Aku tidak mau meneruskannya. Arya tetap datang dua kali seminggu. Ia masih melatihku mengatur suara. Lambat laun suaraku sudah mulai bisa diatur, walau tidak sempurna. Sesekali suaraku masih di luar kontrol. Aku sangat senang dengan perubahan suaraku setelah dilatih selama berbulan-bulan, bahkan lebih dari satu tahun.

Pertemuanku terakhir dengan Arya ketika aku duduk di kelas 7. Arya telah menyelesaikan SMA dan melanjutkan studi ke Munchen, Jerman. Pertemuan terakhir saat itu benar-benar membuatku sedih. Aku merasa kehilangan seorang teman yang sangat baik dan penuh perhatian. Ia telah mendampingiku disaat-saat sulit, saat kepercayaan diriku berantakan akibat kerusakan pada pita suara ini.

"Jaga diri baik-baik, Di. Tetaplah percaya diri dan terus optimis untuk maju. Kamu memiliki kecerdasan yang luar biasa. Jangan terlalu mempersoalkan satu kekurangan pada dirimu," kata Arya. Ia mengulurkan tangan dan aku menyambutnya. Kami bersalaman, salam perpisahan.

Arya menyalami bapak dan ibuku, kemudian ia pamit. Bapak memeluknya dan menepuk-nepuk pundak yang kurus itu. Arya berjalan meninggalkan kami. Kami mengantarnya hingga ke portal penjaga. Mataku berkaca-kaca, berat nian hati ini melepaskan kepergiannya. Ada yang hilang dari hatiku. Sangat kehilangan. Tiada lagi teman yang menemaniku belajar.

Mataku mengikuti langkahnya. Sebelum menghilang di balik pintu ia membalikkan badan, melambai padaku. Mulutnya bergerak seperti mengucapkan sesuatu. Aku hanya melihat bibirnya tanpa mengerti apa yang diucapkan. Kini aku tau apa yang diucapkan tanpa suara itu, 'I love you.'

Hampir dua tahun aku tidak mendengar kabar Arya. Selama duduk di bangku SMP aku tidak diperkenankan memiliki HP sendiri. Sekolah menerapkan peraturan tersebut. Itulah salah satu sebab kami putus kontak.

Tamat SMP dengan nilai yang bagus membuatku bebas memilih sekolah mana pun. Aku memilih sekolah tempat Arya pernah belajar. Saat pengumpulan berkas secara langsung ke sekolah aku kembali bertemu dangannya.

"Babang?!" jeritku tertahan. Mataku terbelalak karena kaget melihatnya tiba-tiba berada tepat di depan hidungku ketika aku baru membalikkan badan. Beberapa saat aku melongo menatapnya, tidak menyadari sejak kapan ia berada di belakangku.

"Hai, Di," sapanya ramah sambil tersenyum menggoda melihat mulutku yang ternganga. Ia menaikkan daguku agar mulut bisa tertutup, "nanti kemasukan lalat lho."

Arya terlihat berbeda dari beberapa tahun lalu saat aku terakhir melihatnya. Tubuhnya lebih berisi dengan warna kulit yang lebih terang. Rambutnya sudah tidak awut-awutan lagi, sekarang sangat klimis.

"Kenapa Babang disini?" tanyaku.

Arya tersenyum makin lebar dan mengedipkan sebelah mata, "Mencarimu!"

Keningku berkerut, "Ah, masa'?"

Arya tertawa dan menunjuk bangku panjang yang ada di koridor. Aku mengerti dan mengikuti langkahnya dengan tergesa-gesa. Kami duduk bersisian di bagian tempat yang tersisa sebab bangku tersebut telah diduduki oleh beberapa orang yang sedang menunggu panggilan.

"Sudah dimasukkan berkasnya?" tanya Arya.

"Belum, Bang. Ngantri. Nomer Za sudah dekat," jawabku sambil memperlihatkan nomor antrian padanya. Begitu nomor antrianku tertera di monitor, aku pamit meninggalkannya.

"Tunggu ya, Bang. Jangan kemana-mana. Za ke dalam dulu," pintaku. Ia mengangguk.

Ada kecemasan kalau ia tiba-tiba menghilang setelah urusanku selesai. Seperti kemunculannya yang tiba-tiba, bisa saja ia pun menghilang tiba-tiba. Aku tidak memungkiri, ada rindu di hati untuknya. Melihatnya muncul di hadapanku sekarang, aku merasa seperti memperoleh barang berharga yang telah lama hilang. Hatiku senang sekali.

Selesai urusan administrasi, aku kembali ke bangku panjang tadi untuk menemuinya dengan riang. Ia masih duduk di tempat yang sama seperti waktu aku meninggalkannya. Arya menyongsong dan mengajakku ke taman yang ada di belakang sekolah. Arya sangat mengenal tempat ini. Aku mengikut saja. Ia mengajakku duduk dihamparan rumput jarum di bawah naungan flamboyan yang sedang berbunga lebat, sangat cantik.

"Aaawww!" teriakku tertahan. Aku kaget, ternyata rumput jarum itu cukup tajam dan dapat menembus pakaianku, namun tidak melukai. Beberapa saat kemudian aku terbiasa.

Banyak pertanyaan ku ajukan. Begitu lama kami tidak bertemu, tidak saling kontak. Begitu banyak cerita yang dapat kami bagi dan kami tertawa bersama. Kadang aku mencubit lengannya karena gemas dengan lawakannya.

Arya mengeluarkan sesuatu dari tas ransel yang sejak tadi disandangnya. Sebuah kotak dengan bungkus kertas silver tanpa gambar. Ia menarik tangan kananku dan meletakkan kotak tersebut di atas telapak tangan. Tak sabar dan tanpa malu-malu aku langsung membuka bungkusan dari kotak yang diberikannya. Ini adalah kado pertama darinya. Sebuah HP.

"Aku membelinya dari hasil ngamen. Mohon diterima dan digunakan dengan bijak ya, Di," ujarnya.

"Ngamen?" tanyaku heran.

"Iya. Kan kamu tidak mau menerima pemberian yang bukan dari hasil jerih payahku. Jadi aku sempatkan ngamen di waktu luang. Lagi pula ngamen di luar negeri lebih keren. Mereka sangat menghargai skill orang lain," Arya menjelaskan, "HP itu akan berguna bagimu karena sekolah ini memanfaatkan fasilitas mutakhir dalam pembelajaran."

Aku manggut-manggut. Sesaat, aku sempat membayangkan ia menjadi pengamen. Aku tersenyum sendiri.

"Terima kasih, Babang. Za suka. Za akan memakainya dengan bijak," kataku sambil mencoba mengoperasikan HP tersebut. Arya membantu membuka dan memberi petunjuk untuk mengoperasikan beberapa aplikasi yang tersedia.

"Nomorku sudah ada di HP ini. Nomormu juga sudah kusimpan di HP ku. Nanti kita bisa saling kontak. Sekarang, mari kuantar kamu pulang. Ibumu pasti menunggu di rumah, Di," Arya bangkit dari duduk dan mengulurkan tangan pada ku. Aku menyambut uluran tangan itu dan dengan sekali sentakan pelan aku sudah berdiri.

"Eh…," aku menarik tangan dari genggamannya.

"Ngapa, Di?" tanya Arya heran.

"Bukan mahrom, Bang. Tak boleh bersentuhan tanpa unsur darurat," jawabku. Arya tertawa. Dia tidak mempermasalahkan reaksiku.

"Kamu benar, Di," Arya menanggapi dengan serius, "wanita harus mampu menjaga diri."

Hari itu aku habiskan bersama Arya. Kami ngobrol nyaris tanpa putus sepanjang hari hingga malam di rumahku. Orang tuaku sudah terbiasa dengan Arya dan mereka masih menganggapnya bagian dari keluarga ini. Mereka juga ikut nimbrung ngobrol di ruang tamu. Sehabis makan malam pun obrolan masih berlanjut. Pukul sembilan malam, Arya pamit. Besok ia harus kembali ke Jakarta dan lanjut ke Munchen sebab kuliahnya belum libur.

Komunikasi kami berlanjut di HP. Hampir setiap malam ia chat denganku. Ada saja yang kami obrolkan. Ketika akan mengakhiri obrolan ia selalu menuliskan salam dan setelahnya ia menuliskan huruf kapital I dan U yang diantarai simbol yang kurang jelas artinya yaitu simbol < dan angka 3. Semula aku mengira ia menyatakan 'see you'. Tapi kini aku mengerti arti simbol antara huruf I dan U itu. Sama sekali bukan simbol mata. Ia menuliskan singkatan 'I love you.' Bodohnya aku, tidak pernah memperhatikan hal itu.