Luna menatap kosong undangan pernikahan di tangannya. Satu lagi temannya akan menikah.
Setelah pernikahan Lalista, kakaknya. Luna tidak menyangka kalau Erin akan secepat ini memberinya undangan pernikahan. Padahal baru tiga bulan lalu Erin berpacaran dengan Tomas. Erin adalah sahabat Luna sejak di sekolah menengah atas.
Luna tersenyum kecut dalam lamunannya. Ia tentu senang dengan pernikahan temannya. Namun Luna tak bisa bohong kalau dirinya iri dengan temannya itu. Seandainya Luna terlahir cantik dan suka bersolek pasti mudah baginya menemukan pasangan.
Tapi sayangnya, Luna terlalu mencintai buku-buku tebal. Menghabiskan masa sekolahnya dengan belajar. Dia enggan bersosialisasi seperti anak muda pada umumnya. Luna hanya memiliki sahabat Erin dan Rosa. Selain mereka berdua,Luna tak begitu dekat. Bahkan keberadaannya di tengah-tengah para siswa seperti angin yang tak terlihat.
Luna, gadis yang dikenal culun dan kutu buku itu tidak pernah sekalipun merasakan indahnya pacaran. Bahkan ia tak sekalipun pernah menyukai seseorang. Luna kira ia harus fokus pada pendidikannya dan sukses dengan kemampuannya.
Namun tak pernah ia kira. Di usianya yang sudah menginjak 25 tahun. Ia belum juga merasakan indahnya memiliki pasangan. Apakah sebegitu buruknya dia hingga tak ada satupun pria yang ingin mengencaninya?
Luna menghela nafas kasar. Membuang selembar kertas merah itu ke nakas. Merebahkan tubuhnya ke ranjang. Luna memilih untuk terlelap dari pada pusing memikirkan takdirnya yang dirasa sial.
*
Drrrrt drrrrrt ...
Dering hanphone memecah lamunannya. Dengan segera Luna mengangkat telfonnya.
"Halo, ada apa Rose?"
"Kau sekarang dimana na?"
"Taman kota, kenapa?" Sahut Luna.
"Malam ini aku menginap di tempat Aj."
"Untuk apa kau mengatakan padaku? Biasanya juga begitu." Ketus Luna.
"Iri bilang bos!" Canda Rose.
Bip.
Luna memutar bola matanya malas dan langsung menutup telponnya.
"Dasar Rose menyebalkan! Mentang-mentang sudah bertunangan, teman sendiri dilupakan. Kalau dia tidak pulang kan tidak ada yang memasak." gerutu Luna lalu beranjak pulang karena hari sudah semakin gelap.
*
Luna sampai di apartemen sederhananya tepat saat jam makan malam. Sebelumnya, Luna mampir ke kedai seblak langganannya.
Luna sedang ingin makan makanan pedas. Kata orang, salah satu cara yang paling ampuh untuk melenyapkan kesedihan adalah dengan makan makanan pedas.
Luna sebenarnya tidak kuat pedas, tapi tidak apa jika sekali-sekali. Dia juga ingin merasakan bagaimana sensasi pedas yang meledak-ledak dalam mulutnya.
Luna merebahkan tubuhnya pada sofa di depan TV. Merasa sepi, Luna memilih berselancar di dunia maya. Luna membuka akun instagramnya dan langsung menyesal karena isi timelinenya penuh dengan postingan Erin dan Tomas.
"Hah... Kenapa timeline isinya orang nikahan semua?" Luna menggerutu seraya menggulir laman instagram tanpa minat. Hingga...
"Eh, ada club malam baru. Hm... Boleh juga nih kalau di coba. Tempatnya juga tidak begitu jauh dari sini." Luna tersenyum bahagia.
"Oke. Ayo kesana minggu depan setelah pesta Erin selesai." gumam Luna.
*
Hari pernikahan Erin dan Tomas akhirnya tiba. Luna mengenakan dress merah muda yang elegant. Rambut hitam kelamnya terulai indah. Dan kali ini, ia sedikit berdandan agar tak mempermalukan temannya. Luna nampak manis dengan dress soft pink yanh ia kenakan dan riasan tipis di wajahnya. Yang membuatnya semakin manis. Kaca mata tebalnya tak bertengger lagi di wajahnya.
"Kau cantik sekali Na." Puji Rose yang mengenakan dres biru muda dengan riasan mawar putih di sekitar dada hingga pinggul.
"Jangan mengejekku." Sangkal Luna malu-malu.
Pesta pernikahan yang diadakan di taman itu berlangsung lancar. Erin dan Tomas nampak bahagia.
Kini pengantin sedang berdansa di antara para undangan. Disusul pasangan-pasangan lain yang ikut berdansa dengan bahagia.
Luna sedikit risih melihat pemandangan ini. Suasana yang tak pernah ia sukai. Bagaimanapun, Luna tidak bisa membohongi dirinya. Dia iri melihat setiap pasangan. Sedangkan ia selalu sendirian.
Luna juga ingin merasakannya. Merasakan bagaimana dicintai oleh lelaki. Bagaimana rasanya diperhatikan, disayang, dimanja. Ah memikirkannya saja membuat hati Luna semakin teriris. Perih.
Tak kuat dengan adegan memuakkan. Luna memilih pergi dari sana, lalu mencicipi kudapan manis nan lezat yang dihidangkan diatas meja panjang.
Saat Luna mengambil jus di salah satu meja. Tiba-tiba seseorang menabraknya dari belakang.
BRUKKKK…..
"Maaf aku tidak sengaja. Kau tidak apa-apa?" sesal orang itu.
Luna tak menghiraukan lelaki yang tak sengaja menabraknya. Dia terlalu sibuk mengelap gaunnya yang basah karena tumpahan jus jeruk.
"Tolong maafkan aku? Aku tidak sengaja." ujar lelaki itu lagi.
Lelaki itu mengulurkan tangan dengan sapu tangan berwarna biru muda di tangannya.
"Sekali lagi maafkan aku. Ini pakailah sapu tangan untuk membersihkan noda di gaunmu. Maaf,gaunmu jadi basah karenaku, nona." ujar lelaki itu.
Luna masih sibuk mengusap gaunnya, hingga tak sempat memerhatikan wajah lelaki yang memberinya sapu tangan.
"Tidak apa-apa, terimakasih sapu tangannya." Luna mengambil sapu tangan dari lelaki itu lalu ia gunakan untuk mengelap gaunnya.
"Aku merasa tidak enak padamu, berikan saja nomor ponselmu. Biar aku bisa menghubungimu nanti. Aku akan mengganti rugi gaunmu karena telah membuatnya basah." usul lelaki itu.
Namun belum sempat Luna menjawab, ponsel lelaki itu berdering lagi. Lelaki itu mengangkat telfonnya dan seketika raut wajahnya berubah khawatir. Dengan cepat dia bangkit lalu pergi meninggalkan Luna tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Tidak usa--. Sialan! Belum juga aku jawab malah kabur! Ah sialan! Gaunku sangat basah. Sebaiknya aku pulang saja, lagi pula disini sangat membosankan!" gerutu Luna.
Luna pun memutuskan untuk pulang. Dia mengirim pesan pada Rose, mengabari kalau dia pulang duluan.
*
Luna berjalan seorang diri menyusuri gelapnya malam di kota Bangkok. Sebelumnya dia berangkat dengan Rose dan Aj. Sedangkan sekarang dia harus berjalan sendiri, tidak ada taksi yang melintas.
Langkah demi langkah Luna berjalan, menyusuri jalanan kota yang penuh dengan gedung-gedung menjulang tinggi. Sesekali Luna menoleh ke belakang, berharap ada taksi yang lewat. Namun nihil, jalanan tetap sepi.
"Aishhhh!!! Sungguh sial nasibku hari ini. Sudah datang ke pernikahan orang, sendirian, tidak ada pasangan, gaunku basah, dan sekarang aku harus pulang jalan kaki! Sial!!!" Luna merutuki nasibnya yang sangat malang.
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya Luna sampai di taman bermain anak-anak dekat kondonya. Luna terdiam sejenak di bawah lampu jalan diujung taman .
Dia menengadah ke atas. Menatap bulan purnama yang bersinar terang. Luna tersenyum.
"Hai bulan, bagaimana kabarmu? Kau masih setia bersinar di tengah malam. Apa kau tidak kesepian?" gumam Luna pelan.
Detik berikutnya, Luna terkekeh sendiri menyadari kebodohannya yang berbicara pada bulan.
"Bodohnya aku, tentu saja kau tidak kesepian. Kau ditemani banyak bintang di sekitarmu. Tidak sepertiku, aku tidak punya siapa-siapa.
Teman-temanku sibuk dengan pasangan mereka. Bulan, jawab aku. Kapan aku akan bertemu dengan pasanganku?"
Luna menunduk, air matanya mulai menetes membasahi pipinya. Luna terisak, dia menangis di bawah sinar rembulan seorang diri. Menangisi tentang kesialannya hari ini, menangisi tentang fakta bahwa dia adalah gadis yang kesepian.
Luna kesepian, sangat. Dia merindukan kasih sayang, dia juga ingin merasakan kebahagiaan seperti teman-temannya. Luna terus menangis, sampai seseorang datang dari belakangnya.
"Luna!" seseorang berteriak dari belakang.
Sontak Luna berbalik. "Kak Nevy?"
"Iya, ini aku. Tunggu, kenapa kau menangis? Apa kau putus cinta?" goda Nevy. Sontak Luna menyeka air matanya.
"Aku tidak menangis. Aku baik-baik saja. Kenapa kakak jalan sendiri? Ini sudah pukul 1 pagi. Kak Jay mana?" tanya Luna seraya menengok ke belakang Nevy mencari keberadaan Jay.
"Jay sudah pulang, dia mengantarku sampai di depan gang. Sepertinya dia buru-buru. Lalu kau? Kenapa kau disini sendirian?"
"Aku baru datang dari pesta pernikahan Erin, ayo kak sebaiknya kita pulang sekarang." ajak Luna.
"Ayo." Nevy merangkul bahu Luna lalu berjalan ke gedung apartemen mereka.
Apartemen mereka ada di gedung yang sama. Sudah hal biasa bagi Luna berjalan bersama Nevy seperti ini. Nevy dan Luna sering pulang malam. Mereka adalah tetangga.
"Enak ya jadi cantik?" gumam Luna.
"Apa yang kau bilang apa tadi?"
"Eh. Tidak kak. Sudah lupakan saja, tidak penting." Luna mengibaskan tangannya.
"Lun, kau kira aku tuli? Aku mendengar ucapmu tadi. Kau mengatakan enak jadi cantik bukan?"
"Tidak kak, aku tidak mengatakan apa-apa." Sanggah Luna panik sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah.
"Sudah, kau tidak usah berbohong lagi. Kau masih saja seperti ini. Selalu iri dengan orang lain. Sebegitu inginnya kau jadi menjadi cantik?"
"E..." Luna meragu.
"Dengar," Nevy mendekatkan tubuhnya ke arah Luna lalu merangkul pundaknya.
"Menjadi cantik itu tidak seindah yang kau bayangkan. Kau tidak tau bagaimana kekawatiran mereka ketika banyak orang-orang mencurigakan yang memandangnya penuh gairah. Orang cantik tak seindah yg kau pikirkan. Berhenti memikirkan yang tidak-tidak."
"Baiklah."
*
Sesampainya di dalam apartemen, ternyata Luna masih memikirkan hal tadi. Dia bahkan tidak bisa tidur. Bayangan Erin dan Tomas yang baru saja menikah masih terbayang di kepalanya. Senyuman lebar yang dipancarkan Erin saat memeluk suaminya begitu bahagia. Ditambah dengan perut buncitnya yang sedang mengandung anak mereka. Membuat Luna semakin iri.
Luna menghempaskan tubuhnya ke sofa. Dia lelah dengan kegiatannya hari ini, ditambah kesialan yang dia alami. Gaunnya ia lempar sembarang, lalu ia membuka semua pakaiannya. Sepertinya Rose tidak pulang malam ini. Luna pun mengunci pintu apartemennya lalu kembali duduk di sofa. Dengan malas Luna menghidupkan TV nya. Mencoba mencari hiburan untuk mengembalikan moodnya.
"Lelah sekali." TV yang ia nyalakan tidak dipedulikan oleh Luna.
Bersambung