Pukul 2 dini hari. Pria yang menolong Luna, akhirnya sampai di unit apartementnya. Ia membaringkan gadis itu diatas ranjangnya. Pria itu mengulas senyuman tipis, lalu tangannya mengelus surai kecoklatan gadis yang terlelap di bawahnya.
"Kau sangat cantik." gumamnya pelan.
Sekilas, pria itu menatap tubuh molek gadis yang terbaring di atas kasur king size nya. Tubuhnya sangat indah, wajahnya cantik, kulitnya putih, rambutnya halus, dan bibirnya berwarna merah begitu menggoda. Seketika hasrat ingin bercinta kembali muncul.
"Apa yang kupikirkan? Sadarlah, gadis ini begitu lemah. Jangan melakukan tindakan bodoh!" Batinnya berkecamuk. Ia pun memilih pergi dari sana, sebelum hasratnya semakin menggebu.
*
Luna mengerjapkan matanya, sinar mentari memaksa masuk hingga menariknya dari alam mimpi. Wangi citrus bercampur lavender menguar menusuk indra penciumannya. Luna merasa aneh, kamarnya tak memiliki aroma seperti ini. Luna terperanjat. Pandangannya menerawang, menelisik setiap sudut ruangan.
"Dimana aku?" Desisnya.
Luna melirik tubuhnya, lalu menghela nafas lega saat ia menyadari tubuhnya masih utuh berbalut dengan pakaian semalam. Tapi, dimana dia saat ini? Kamar ini begitu asing baginya.
Cklek..
Sontak Luna menoleh, mendapati seorang pria dewasa dengan tinggi sekitar 185cm, paras rupawan dengan rahang tegas, rambut hitam yang basah. Ia menggenakan handuk sepingang dan membiarkan perut sixpack-nya terpampang begitu menggoda.
"Astaga, apa yang kupikirkan?" Batin Luna.
"Kau sudah bangun?" Ujar Pria bertelanjang dada itu.
"Siapa kau?!" Ketus Luna,menarik selimutnya hingga menutup tubuh hingga seleher. Luna meringkuk ke kepala ranjang. Menjauh dari pria asing yang kini duduk di sisi ranjang.
"Katakan kau siapa! Kenapa aku ada disini? Apa yang sudah kita lakukan?" Tuntut Luna.
Pria itu sedikit terkekeh, kemudian menghela nafasnya.
"Kau ingin kita melakukan apa?"
"A-apa maksudmu? Cepat katakan! Apa yang sudah kau lakukan padaku?!"
"Jika aku mengatakan apa yang ada di pikiranmu. Apakah kau akan senang, gadis manis?" Godanya.
"Sial! Jangan menggodaku!" Luna kepalang marah, ia pun beranjak dari ranjang lalu mengambil tas selempang yang diletakkan diatas nakas.
"Tunggu. Kau mau kemana?" Cegah pria itu.
"Bukan urusanmu. Jangan pernah penampakkan batang hidungmu di depanku." Luna berlalu pergi tanpa peduli pria dibelakangnya mengejarnya atau tidak.
*
"Hoaaaheemm" gadis berambut hitam sebahu itu menguap di kursi kerjanya.
"Lun, kau begadang lagi?" Tanya gadis berambut pirang di sampingnya.
Luna menggeleng lemas. "Aku hanya bosan dengan tumpukan file ini. Bisakah kau membantuku Ran?"
Sontak gadis yang dipanggil Ran itu menggeleng cepat. "Tidak terimakasih. Jangan menambah sampah lagi di mejaku. Ini saja sudah membuatku muak."
Obrolan yang sudah biasa mereka keluhkan di tempat kerja. Dua gadis akuntan itu sudah biasa ditemani angka-angka yang membuat mereka hampir gila.
Drrrttt.....ddrrrttt...ddrrrrttt...
Luna mengangkat handphone-nya yang bergetar. Dalam hati ia berdoa agar panggilan itu bukan dari atasannya lagi. Karena dia begitu tidak mood untuk meladeni ocehan bosnya yang menjengkelkan.
"Dengan Luna disini, ada yang bisa dibantu?" Opening yang layaknya seperti call center.
"Mobilmu masih disini."
Luna mengerutkan keningnya, menatap ponsel yang menampilkan nomor asing tak dikenal.
"Maaf, ini dengan siapa? Apa anda salah sambung tuan?" Luna berusaha sesopan mungkin.
"Daniel Natael Pamungkas. Kau mengingat suaraku, gadis manis?"
Deg...
Deg...
Seketika jantungnya berdetak cepat. Suara itu, tentu saja Luna mengenalinya. Baru tadi pagi ia berbicara dengannya, bahkan membentaknya.
"K-kau?"
"Hai? Senang rasanya kau mengingatku."
"Apa maumu? Sudah kukatakan jangan menggangguku!"
"Kau tak pernah mengatakannya. Jika kau lupa, kau hanya menyuruhku tidak menampakkan batang hidungku di depanmu. Tapi sepertinya, kau sendiri yang akan menampakkan batang hidungmu ke hadapanku, gadis manis."
"Jangan harap!"
Pria itu terkekeh di seberang. "Kau yakin?"
Luna menggigit bibirnya gelisah.
"Kau masih muda, tapi sudah pelupa."
"Apa maksudmu?"
"Toyota Agya Silver 1512 dengan gantungan kunci kelinci berwarna merah muda. Mungkin sebentar lagi akan masuk pelelangan."
"Astaga! Mobilku!" Luna menepuk jidatnya, merasa bodoh karena melupakan mobil yang ia kendarai semalam saat berangkat ke klub itu.
"Sebutkan passwordnya, jika ingin mobilmu tak jadi dilelang."
"Jangan bermain-main denganku. Password apa?"
"Siapa namamu?"
"Kau mau menguntitku? Setelah mendapatkan nomorku entah dari mana, sekarang kau ingin tau namaku? Tak akan."
"Baiklah, maka mobilmu kuijinkan diangkut ke pelelangan."
"JANGAN!"
"Passwordnya, nona manis?"
"Luna. Namaku Luna, dan aku pemilik mobil agya silver itu. Juga wanita yang tidur di ranjangmu. Kau puas! Sekarang katakan dimana mobilku!"
Pria itu terkekeh di seberang seraya menyeringai puas.
"Tempat yang sama. Aku menunggumu, Luna. Dan akan kubantu kau mengingat kejadian semalam." Seringainya.
"Sialan!"
Luna memutus panggilannya dengan kasar. Tangannya mengepal dengan amarah yang kian meluap.
"Gila! Kau gila Luna. Kau menghabiskan malam dengan siapa? Daebak! Kau sudah tidak perawan lagi? Oh Tuhan, akhirnya gadis cupuku ini menemui pujaan hatinya juga. Aku akan bersujud di kuil Budha untuk merayakan ini." Rani rekan kerjanya berseru heboh di sampingnya.
"Brisik! Aku pulang duluan."
"Tapi kerjaanmu belum selesai."
"Kukerjakan dirumah."
Luna berlalu pergi, meninggalkan Rani yang tengah sibuk bergosip dengan rekan kerja yang lain di lantai itu.
*
"Bodoh! Bodoh! Bodoh! Bagaimana kau bisa melupakan mobilmu Luna ! Mana cicilan belum lunas. Bagaimana jika mobilmu benar-benar dijual? Mau bilang apa ke ayah ibu nanti." Luna menggerutu, dirinya sedang berjalan menuju klub malam yang semalam ia singgahi. Namun terdengar keributan di gang sempit dekat parkiran.
BRUKKKK
BUAGHHH
"BAJINGAN! MATI KAU!"
Luna melangkah pelan hendak mengintip dari balik mobil hitam di dekat Gang. Malam begitu gelap, gang itu tak ada pencahayaan. Luna harus melangkah lebih dekat agar bisa melihat apa yang terjadi.
Semakin ia mendekat, semakin jelas ia melihat. Lima pria bertubuh tinggi dan besar dengan pakaian serba hitam dan rambut panjang sedang mengeroyok satu pria yang telah terkapar lemah di tanah. Wajahnya penuh lebam dan darah yang mengucur deras.
"Astaga!" Luna memekik membuat pria bertubuh besar itu mengalihkan atensinya ke segala arah.
Luna menutup mulutnya, bersembunyi di balik gerobak sampah besar. Jantungnya berdetak semakin cepat. Tubuhnya gemetar ketakutan.
"Oke Luna. Jangan ikut campur. Oke jangan ikut campur. Selamatkan dirimu. Hidupmu saja sudah cukup sial. Tolong kali ini saja. Jangan ikut campur." Batinnya.
Namun suara tendangan, makian, hantaman semakin terdengar. Luna tak dapat menahan dirinya untuk tidak membantu. Ia memejamkan matanya, meneguk ludahnya kasar.
"Oke. Kali ini saja." Gumamnya.
Luna merogoh tasnya, mengambil ponsel dan membunyikan alarm polisi. Sontak kelima pria tadi lari terbirit-birit.
Dengan cepat Luna menghampiri pria yang setengah sekarat itu.
"Kau tak apa-apa?" Luna berujar panik. Namun seketika keping matanya melebar saat melihat siapa pria yang telah babak belur di bawahnya.
"Kau?" Sengit Luna.
"Lu-na..." dan detik berikutnya pria itu telah pingsan.
Bersambung