Chereads / Andai Kau Takdirku / Chapter 6 - Chapter 6 : Ketakutan Luna

Chapter 6 - Chapter 6 : Ketakutan Luna

"Aw... Jangan menekannya sayang. Sakit..." Luna merintih manja.

Ia berada dalam dekapan kekasihnya. Terbaring menyamping di atas tubuh sang kekasih yang tak berbusana sama seperti dirinya.

Daniel merengkuh pinggul kekasihnya yang bebas tak terbalut sutra. Merematnya lembut, hendak memberi pijitan agar nyeri itu sedikit reda. Namun justru pijatannya membuat sang kekasih merintih kesakitan.

"I'm sorry, honey. Aku hanya ingin membantumu. Maaf kalau aku terlalu kasar semalam. Kamu tau aku tak bisa menahan gairahku jika sudah bersamamu."

Luna membenamkan wajahnya di bahu sang kekasih. Jemarinya menari-nari diatas dada bidang yang sedikit lengket akan peluh yang mengering. Sesekali gadis itu mengecup lembut dada sang kekasih, kemudian bermain di salah satu pucuk dada sang kekasih. Menjilatnya, lalu menghisapnya lembut. Hingga menimbulkan rasa geli.

"Hei, honey. Hentikan. Itu geli."

"Lalu kamu mau yang gimana sayang?" Luna menjulurkan lidahnya. Bermain-main dengan nakal di area pucuk dada sang kekasih. Lalu bibir ranumnya meraup habis dan menghisapnya hingga sang empu mengerang kenikmatan.

Luna tersenyum puas, dan semakin dalam menghisap benda imut yang tengah berdiri di pucuk dada kekasihnya.

"S-stop honey, itu menggelikan."

"Tapi kamu menyukainya kan honey?" ujar Luna menggoda.

Daniel tak dapat menahan dirinya saat melihat bagaimana menggemaskannya wajah sang kekasih. Ia merengkuh pinggang kekasihnya erat, menariknya ke atas agar semakin dekat dengan wajahnya. Lalu kembali beradu cumbuan panas dan berlanjut dengan kegiatan yang membuat mereka mengerang, mendesah hingga peluh beradu satu dengan gairah yang semakin memuncak.

*

*

"Honey, aku pulang ya?" Luna berseru dari ruang tamu hendak pergi dari apartemen mewah kekasihnya.

Daniel melangkah ke arahnya, menarik lengan sang gadis lalu mengecup bibir sang kekasih.

"Honey? Bisakah kamu tetap tinggal? Aku tak bisa jauh darimu." Rengek Daniel seperti anak kecil.

Luna terkekeh ringan, melihat tingkah gemas kekasihnya yang adalah seorang CEO tegas dan cuek jika depan karyawannya.

"Maaf, Honey. Aku tak bisa tinggal. Kau tau besok aku harus berangkat ke kantor. Dan aku belum membawa pakaianku kesini. Besok ya aku menginap?" bujuk Luna seraya mengelus rahang tegas sang kekasih yang masih merengek padanya.

Daniel menggeleng, mengerucutkan bibirnya seperti bebek. Kedua lengannya merengkuh tubuh sang kekasih. Memeluknya erat seolah enggan melepasnya.

"Honey, tolong pikirkan lagi ucapanku. Tinggallah disini bersamaku. Berdua. Aku tak suka dengan perpisahan kita setiap malam. Aku tak suka ketika kamu hanya menginap semalam atau dua malam di sini. Aku ingin kita selalu bersama. Tidur di ranjang yang sama setiap malam. Dan melewati hari yang indah bersama. Kumohon, pindahlah kesini?" Daniel begitu tulus memohon pada kekasihnya.

Bukannya Luna menolak untuk tinggal disana. Hanya saja dia belum terbiasa. Lagipula dia belum meminta ijin pada orang tuanya yang tinggal di London. Juga ia merasa belum pantas untuk tinggal bersama sang CEO. Ia takut dicap matre, dan hanya menginginkan kekayaan dari seorang Daniel Natael Pamungkas.

Luna ingin hidupnya berjalan seperti biasa, tanpa ada perubahan. Walupun ia sudah memiliki kekasih.

"Honey?" Daniel menangkup pipi kekasihnya. Mendekatkan pada wajahnya hingga kening mereka bersentuhan.

"Please? Pikirkan lagi. Pikirkan bagaimana perasaanku. Aku begitu mencintaimu. Hingga aku selalu merindukanmu. Tiap jam, tiap menit bahkan tiap detik aku hanya memikirkanmu. Jadi please. Pindah ke rumahku, okay? Kita tinggal bersama. Menghabiskan pagi, siang dan malam berdua. Tanpa ada perpisahan. Tanpa aku yang harus menahan rindu tiap kau tak tidur di ranjangku."

"Tapi Honey?"

"Please? Pindah ya? Tinggal sama aku?" manik mata itu menatapnya sendu. Begitu memohon, begitu berharap. Hingag Luna tak dapat menolak lagi.

"Okay. Aku akan pindah." Jawabnya lembut.

*

*

Setelah Luna menyanggupi permintaan Daniel untuk tinggal di apartement kekasihnya. Akhirnya ia memutuskan untuk pindah dari apartement lamanya saat weekend. Luna telah mencicil barang-barang yang akan ia angkut ke dalam box-box berukuran besar dan meminta jasa angkut untuk mengangkut barangnya.

Hari itu, rupanya ia tak pindah sendiri. Tetangganya, yang sekaligus ia anggap kakak juga ikut pindah.

Nevy, wanita cantik bertubuh langsing itu juga pindah di hari yang sama. Ia akan pindah ke Paris bersama tunangannya. Ia akan melangsungkan pernikahan di sana, dan mungkin akan menetap di sana.

"Kak Nevy? Kau mau pindah juga dari apartemen ini?" Tanya Luna.

Nevy tersenyum, mendekat ke arah Luna lalu menepuk pundah gadis yang lebih muda.

"Hu'm. Aku pindah hari ini. Kau juga kan? Kulihat beberapa orang mengangkut barangmu."

"Iya, aku pindah hari ini ke apartement Daniel. Dia terus memintaku untuk tinggal bersamanya. Dan kau tau kak? Dia seperti bocah SD yang merengek padaku." Luna tertawa mengingat bagai mana tingkah kekasihnya saat merengek padanya.

"Oh benarkah? Aku tak bisa membayangkan CEO tampan itu merengek seperti anak kecil. Pasti wajahnya sangat menggemaskan." Sambung Nevy.

"Banget kak." Seru Luna antusias.

"Ngomong-ngomong, kakak mau pindah ke mana? Ke rumah kak Jay ya? Wah kayaknya sebentar lagi akan ada yang ngirim invitation wedding nih." Goda Luna seraya menaik turunkan alisnya.

Nevy terkekeh ringan menanggapi candaan tetangganya. "Ya begitulah."

"Wow? Benarkah? Kemana kakak pindah? Jangan lupa memberitauku alamatnya ya kak. Aku akan sering berkunjung."

"Sepertinya, ini lebih jauh dari dugaanmu Luna."

Luna mengernyitkan dahinya. "Benarkah? Memang kakak mau pindah kemana?"

"Paris." Sahut Nevy singkat.

"What? Jauh banget kak? Gimana aku bisa nyamperin kesana?" Rengek Luna.

"Ya mau bagaimana lagi. Keluarga Jay menginginkan kami menikah disana. Dan sepertinya aku dan Jay akan menetap disana bersama mertuaku."

"Huh? Apa? Tidak! Jadi kakak mau meninggalkanku di Bangkok?"

"Sorry to say. Tapi iya, aku harus pergi. Jaga dirimu baik-baik okay? Aku akan terus menghubungimu dari sana."

"Janji?" Luna menjulurkan jari kelingkingnya.

"Janji."

Tiba-tiba Nevy merasa tidak nyaman. Ada sesuatu yang ingin keluar dari mulutnya. Dia pun dengan cepat berlari ke toilet. Luna yang ikutan panik, menyusul di belakang sang kakak.

Nevy membuka closet duduk lalu memuntahkan isi perutnya. Luna menepuk-nepuk punggung kakaknya. Raut wajahnya begitu khawatir.

"Are you okay? Aku ambilin air ya? Ini handuk, kakak lap dulu." Luna memberikan handuk putih kepada Nevy yang masih menstabilkan nafasnya. Tenggorokannya terasa perih, dan rasa mual itu kembali datang.

"Ini kak minum dulu. Ayo duduk di sini."

Luna memapah kakaknya untuk duduk di sofa ruang tengah. Lalu membiarkan sang kakak meminum air putih dengan hati-hati.

"Kak Nevy, are you okay? Kita ke dokter ya?" ajak Luna yang begitu khawatir.

Nevy menggeleng, mengusap bibirnya yang basah akan sisa air putih.

"No. Gak perlu Lun. Aku baik-baik saja."

"Gak perlu apanya? Kakak udah muntah-muntah parah gitu masih bilang gak papa? Pokoknya kita ke dokter sekarang. Ayo aku antar."

"No Lun. I'm okay. Aku udah kayak gini sejak seminggu yang lalu. Dokter bilang ini wajar."

"Wajar?" Luna mengerutkan keningnya. "Jangan bilang kakak--?"

"Yup. Aku hamil. Sudah 3 minggu. Dan karenanya, Jay mempercepat pernikahan kami." Ujar nevy berseri-seri seraya mengelus perutnya yang masih datar.

"Oh My God! Congratulation kak. Akhirnya apa yang kamu mimpikan terwujud. Aku seneng banget dengernya kak." Luna memeluk erat kakaknya. Bahkan air matanya ikut tumpah, begitu bahagia mendengar kabar baik ini.

Luna melepas pelukannya. Dia begitu bahagia. Namun seketika raut wajahnya berubah sendu. Nevy yang menyadari itupun langsung bertanya pada sang adik.

"Hei Lun? Kamu baik-baik saja? Kenapa sedih begitu?"

"I'm good kak. Gak ada yang perlu dikhawatirin."

"Luna, jangan bohong sama kakak. Sini cerita."

Luna menggigit bibirnya, merasa gugup untuk menceritakan kegundahan hati yang selama ini ia simpan.

"Luna?" panggil Nevy lagi.

"Aku takut kak."

Nevy mengerutkan keningnya. "Takut kenapa Lun? Daniel?"

"Bukan tentang Daniel kak. Tapi tentang diriku. Aku takut, kalau aku tak bisa memberikan keturunan pada Daniel. Kau tau, kami sudah 6 bulan menjadi kekasih. Dan kau pasti paham. Dua orang dewasa yang berpacaran, akan selalu berakhir dengan percintaan di ranjang. Aku dan Daniel sering melakukannya. Bahkan tanpa pengaman. Daniel bahkan sering kelepasan di dalamku. Kupikir aku akan hamil. Tapi setiap bulan, haid ku selalu datang. Tanpa pernah absen sekalipun."

"Dan hal itu membuatmu berpikir bahwa rahimmu tidak sehat?"

Luna menatap sendu sang kakak. Perlahan ia mengangguk dengan linangan air mata yang mengalir di wajahnya.

Nevy mengelus pucuk rambut adiknya. Ia melayangkan senyuman yang begitu teduh.

"Luna sayang, please berhenti memikirkan hal yang tidak-tidak. Kamu percaya pada nasib dan takdir?"

Luna mengangguk.

"Maka itu belum takdirnya. Mungkin saat ini belum waktunya kamu untuk mengandung. Tapi nanti? Siapa yang tau. Aku yakin, suatu saat nanti, akan ada malaikat kecil yang lahir dari rahimmu. Dan dia akan sangat mencintai ibunya, dan melindungimu melebihi dirinya."

"Benarkah kak?"

"Tentu. Kau hanya perlu berdoa dan terus bersabar. Aku yakin, Tuhan maha adil. Ia tak akan melupakan umatnya yang begitu baik sepertimu."

Luna memeluk tubuh sang kakak. Membenamkan wajahnya di ceruk leher sang kakak seraya terisak.

"Terimakasih kak. Kau selalu menjadi yang terbaik. Bagaimana bisa aku jauh darimu kak?"

"Sstt.. jangan menangis. Nanti aku tak bisa meninggalkanmu dan batal menikah dengan Jay. Kau mau tanggung jawab?"

Luna menggeleng. Melepas pelukanbya, lalu mengusap sisa air mata yang mengalir di wajahnya.

"Happy Wedding kak. Semoga pernikahanmu lancar disana. Kau harus bahagia bersama kak Jay. Dan jangan pernah melupakanku. Aku akan terus menunggu kabar darimu."

"Pasti. Aku pasti akan mengbubungimu." Nevy berucap sendu. Mengelus pucuk rambut sang adik, lalu kembali berpelukan sebelum mereka berpisah.

*

*

Bersambung