Chereads / Andai Kau Takdirku / Chapter 11 - Chapter 11 : Penyakit Luna

Chapter 11 - Chapter 11 : Penyakit Luna

"Nghh..." terdengar lenguhan pelan dari seorang wanita yang masih terbaring di atas ranjang pasien.

Daniel segera menghampiri kekasihnya. "Luna? Kamu sudah bangun sayang?"

"Daniel..? Aku dimana?" Ringis Luna dengan suara serak bangun tidur.

"Akh...." pekiknya meremas perut yang kesakitan.

"Kau tak apa sayang? Aku panggilkan dokter ya?"

Luna menggeleng, sambil terus meringis kesakitan. "Enggak Dan,,, Jangan. Aku bisa.. akh... "

"Tunggu ya sayang, aku panggil dokter." Daniel bergegas pergi memanggil sang dokter. Selang beberapa menit, dokter dan perawat pun datang memeriksa keadaan Luna.

*

*

"Daniel!!"

Daniel menoleh, mendapati pria paruh baya dengan setelan jas hitam datang bersama seorang wanita cantik berusia 40 tahun an dengan raut wajah gelisah.

"Papa? Mama?" gumam Daniel dengan kening mengkerut.

"Bagaimana keadaan menantuku?" Tanya wanita paruh baya itu begitu khawatir.

"Mama, tenang dulu. Dokter sedang memeriksa keadaan Luna. Lagipula, kenapa kalian bisa berada disini?"

"Kami tak sengaja bertemu dengan Rosa, sahabat Luna di bandara. Dia mengatakan bahwa kau sedang menjaga Luna disini. Jadi dengan cepat, mama dan papa berangkat kemari. Sekarang katakan, apa keadaan Luna sangat parah?"

Daniel menggeleng lemas. "Aku tidak tau ma. Kita tunggu saja penjelasan dokter."

Mereka pun menunggu dengan sabar hingga dokter keluar dari kamar inap tempat Luna dirawat.

"Keluarga pasien?" Ujar sang dokter menghampiri Daniel.

"Ya saya dok."

"Bisa kita bicara sebentar? Ini tentang keadaan pasien."

Daniel melirik kedua orang tuanya dengan ragu.

"Katakan disini saja dokter. Kami berdua juga perlu tau bagaimana keadaan calon menantu kami." Ujar Papa Daniel yang tak kalah gelisah.

Dokter pun menghela nafas, seraya mengangguk. "Baiklah, akan saya katakan disini."

"Dugaan awal, pasien mengalami anemia dan dehidrasi yang parah. Sehingga membuatnya kekurangan banyak darah dan cairan dalam tubuhnya. Hal itu yang menyebabkan pasien kekurangan energi, sehingga daya tubuhnya melemah dan akhirnya jatuh pingsan. Tapi tadi, setelah kami periksa lagi kondisi tubuh pasien. Terdapat kejanggalan pada area reproduksi pasien."

"Maksud dokter?" sela Daniel.

"Kami menemukan benjolan pada area kemaluan pasien. Dan untuk mencegah hal yang lebih buruk terjadi. Kami akan melakukan rontgen besok pagi. Untuk mengetahui benjolan yang kami duga, adalah sel kangker."

"Apa?!" pekik Daniel dan kedua orang tuanya tak percaya.

"Saya sungguh minta maaf mengatakannya. Tapi itu hanya dugaan saya. Kita harus menunggu hasil rontgen untuk memastikan penyakit pada pasien."

Kedua kaki Daniel melemas. Ia terpesorot jatuh ke lantai. Jemarinya meremas kasar rambutnya. Lalu tetesan air, lolos dari pelupuk matanya.

"Tidak Luna. Dokter hanya bercanda. Kamu akan baik-baik saja sayang. Kamu akan sehat."

"Daniel, tenang sayang. Ini baru dugaan awal dari dokter. Mama yakin, Luna baik-baik saja." Sang mama, memeluk anaknya erat seraya terus mengusap punggungnya. Agar Daniel menjadi lebih tenang.

Padahal hati sang mama ikut terkoyak. Ia tak mau apa yang dikatakan dokter benar. Ia tak mau calon menantunya jatuh sakit karena penyakit mengerikan itu.

*

*

"Hei, honey? Gimana perasaan kamu sekarang? Sudah merasa baik?" Daniel menghampiri kekasihnya yang masih terbaring di ranjang.

"I'm good." Sahut Luna pelan.

Daniel menggengam tangan ramping kekasihnya yang begitu dingin. Mengusapnya pelan, sesekali memberi kecupan disana.

"Sayang, gimana keadaan kamu?"

Luna menoleh ke arah pintu, melihat sosok wanita paruh baya yang sangat cantik.

"Tante?" Guman Luna, ia berusaha bangkit namun di tahan Daniel.

"Hati-hati, honey. Jangan banyak bergerak."

"Jangan bergerak sayang," mama Daniel pun menghampiri Luna.

"Sudah mama bilang berapa kali? Panggil mama, bukan tante. Kamu sebentar lagi akan resmi menjadi menantu mama kan?"

"Tapi tan—"

"Sssttt... Mama."

"I-iya ma. Kenapa mama ada di sini? Bukannya Mama masih di Kanada?"

"Mama berencana memberi surprise pada kalian. Tapi malah mama yang dikejutkan dengan kabar bahwa kamu masuk ke rumah sakit, sayang."

"Maafkan Luna ma."

"Sstt! Jangan murung begitu. Kamu akan segera sembuh sayang. Dokter mengatakan semuanya baik-baik saja. Iya kan Daniel?"

"Ah.. I-iya sayang. Dokter mengatakan kondisi tubuhnya baik. Kamu hanya kelelahan, dan perlu banyak istirahat."

Cklek...

"Oh? Papa?"

Pria yang dipanggil papa itu melangkah menghampiri Luna. "Bagaimana kondisimu nak?"

"Aku baik-baik saja Om."

"Papa." Koreksi sang mama.

"Aku baik-baik saja Pa. Maaf membuat kalian repot-repot kesini."

"Tak apa nak. Kau sebentar lagi akan menjadi menantu kami. Jadi wajar jika kami kesini memastikan keadaanmu."

"Daniel, bisa kita bicara sebentar?"

"Bicara apa pa?"

"Maaf ya nak. Papa pinjam tunanganmu sebentar ya?"

Sang papa pun manarik lengan Daniel keluar, lalu sang mama menyusul mereka. Meninggalkan Luna sendirian di ruangan itu.

*

*

"Pa, ada apa?" Tanya Daniel.

"Begini Dan. Papa sudah memikirkannya sejak tadi. Karena kondisi Luna yang cukup mengkhawatirkan. Papa tidak mau membuatnya semakin tertekan dan membuatnya kelelahan."

"Maksud papa apa?"

"Ini tentang pernikahanmu sebulan lagi."

"Ada apa dengan pernikahan kami?"

"Papa sarankan untuk mengundurnya saja."

"Apa? Tidak! Kami sudah menyiapkan semuanya pa. Aku tidak akan mau mengundurkan lagi hari pernikahan kami."

"Dengarkan papamu dulu nak." Sergah sang mama.

"Daniel, lihatlah kondisi tunanganmu sekarang. Dia sakit, dan dokter mengatakan ada sesuatu pada alat kelaminnya. Papa hanya ingin membiarkan Luna untuk fokus pada penyembuhannya dulu. Ketika Luna sudah benar-benar sembuh. Barulah kalian menikah."

"Tapi pa?"

"Ini adalah keputusan terbaik nak. Papa dan mama hanya ingin yang terbaik untuk kalian berdua."

"Baiklah.." Daniel menggangguk lemah.

*

*

Hari ini Luna sudah diperbolehkan pulang setelah dua hari dirawat inap di rumah sakit. Dan ia telah melakukan rontgen. Mereka akan melihat hasilnya minggu depan.

Daniel membaringkan kekasihnya di ranjang. "Sayang, kamu istirahat ya. Jangan pikirkan hal lain. Pikirkan kesehatanmu."

"Tapi aku baik-baik saj—akh.." Luna kembali merintih kesakitan.

"Akan kuambilkan obat dan air hangat."

*

*

Daniel mengompres perut Luna agar lebih rileks dan tak sakit lagi. "Sayang, kondisimu belum pulih total. Dokter mengatakan kau kelelahan. Bagaimana jika kau berhenti saja dari pekerjaanmu. Dan fokus pada kesehatanmu. Kita sebentar lagi akan menikah. Dan kau, tak usah memiirkan pekerjaan lagi."

"Aku tidak mau Daniel. Aku baik-baik saja. Dan aku akan tetap bekerja."

"Tapi hon—"

"Sudahlah. Jika kau memaksaku berhenti bekerja. Lebih baik aku pergi dari sini."

"Tunggu! Jangan seperti itu honey. Aku hanya khawatir pada kondisimu."

"Tapi aku baik-baik saja Daniel."

"Oke, oke. Kau akan tetap bekerja. Aku tak akan memaksa. Tapi pernikahan kita terpaksa dimundurkan."

"Apa?! Bagaimana bisa kau melakukannya Daniel! Kita sudah menyiapkan semuanya. Bahkan kita begitu menantikan hari pernikahan kita."

"Maaf honey. Ini sudah menjadi keputusanku dan orang tuaku. Pernikahan kita akan diundur sampai kau benar-benar sembuh."

"Jadi orang tuamu yang menyuruh menunda pernikahan kita?"

"Maaf honey. Tapi ini demi dirimu. Kami memikirkan kesehatanmu."

"Tinggalkan aku sendiri!"

"Honey?"

"Pergi!" teriak Luna marah.

"Baiklah. Aku akan pergi. Panggil aku jika kau butuh sesuatu. I love you, honey."

Cup

Daniel mengecup kening Luna, lalu beranjak pergi sari kamar mereka.

Luna menangis tersedu-sedu. Meremas rambutnya kasar lalu menangis di balik selimut. Ia begitu kecewa karena pernikahan yang ia tunggu-tunggu harus ditunda karena penyakitnya. Penyakit yang ia tak ketahui. Penyakit aneh yang selalu membuat perutnya sakit dan tubuhnya lemah. Ia terlalu lelah dengan pekerjaannya.

Daniel yang selalu ada di sisinya, pergi selama seminggu ke Phuket. Membuatnya begitu merindu. Kemudian perutnya semakin hari kian sakit. Luna tertekan dengan kesendiriannya. Ditambah Daniel yang tak sulit dihubungi. Lalu puncaknya ketika Daniel tak jadi pulang dan sulit dihubungi. Kemudian esok harinya, rasa sakit itu semakin terasa dan begitu menyiksa. Tubuhnya panas, perutnya sakit, dan kepalanya pening. Luna berlari ke kamar mandi, ia memutar keran shower lalu membiarkan air mengguyur tubuhnya. Namun ia tak merasa membaik. Melainkan semakin kesakitan. Hingga pandangannya buram dan ia tak mengingat apapun lagi setelah itu.

*

*

Daniel merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Ia memijit pelipisnya yang berdenyut tegang. "Semuanya akan baik-baik saja. Ya semuanya akan baik-baik saja. Luna hanya marah sesaat." Begitu pikirnya.

Lalu ponselnya berdering. Ia pun mengambil ponselnya.

"Halo?"

"Baby? Kau kemana saja? Aku merindukanmu. Semalaman kau tak mengangkat telfonku. Aku khawatir."

"Ah, Clarissa. Maaf, aku begitu sibuk. Ada banyak hal yang harus kuurus disini."

"Benarkah? Atau kau melupaka ku, baby?" Rengek Clarissa.

"Tentu saja tidak, baby. Aku pun merindukanmu."

"Kalau begitu, bolehkan kita video call?"

Daniel mengernyit. Ia berpikir sejenak, lalu menoleh ke arah kamarnya yang sudah tertutup rapat. Mungkin Luna sudah tidur. Begitu pikirnya.

"Ah, tentu saja boleh baby. Tunggu sebentar, aku akan ke ruang kerjaku."

Daniel pun beranjak dari duduknya, ia berjalan menuju ruang kerjanya. Menutup rapat pintu ruangan itu agar tak ada yang bisa masuk terutama Luna.

"Aku sudah di ruanh kerjaku."

"Baik, terima pangilan videoku ya baby."

Daniel menekan tombol yang mengubah tampilan layar kini menjadi video call.

"Baby? Apa yang kau kenakan? Kau sangat..."

"Seksi?" tebak Clarissa. "Aku baru saja membeli lingering ini. Kupikir ini terlalu kecil di tubuhku. Bagaimana menurutmu, baby? Apa aku tak pantas mengenakannya?

"Tidak."

"Tidak?" tanya Clarissa.

"Bukan. Bukan begitu maksudku, baby. Justru kau terlihat sangat cantik mengenakannya. Dan lihat, kau nampak semakin seksi, baby."

"Benarkah?" Clarissa menggigit bibirnya, menggoda sang pria yang kini terbawa hasrat.

"Baby, kenapa wajahmu memerah?" tanya Clarissa.

"Ah, ini. Ini bukan apa-apa baby. Aku hanya kepanasan. AC disini sepertinya rusak." Sangkal daniel.

"Benarkah? Kau begitu kepanasan? Kalau begitu kenapa tak kau buka saja pakaianmu, baby?" ujar Clarissa sedikit mendesah. Jemari lentiknya, perlahan menarik tali lingering merah itu membawanya turun hingga menampilkan pundak rampingnya yang begitu mulus.

Perlahan Clarissa mengerayangi pundaknha, berlalih ke ceruk leher hingga ke tulang selangka yang begitu menggoda.

Clarissa tersenyum puas, menyaksikan wajah Daniel begitu menikmati aksinya. Bahkan air liur pria itu hampir saja menetes sebelum akhirnya tersadar.

"Ah maaf?" Gumam Daniel merasa tertangkap basah telah tergoda pada kemolekan tubuh Clarissa.

"Untuk apa minta maaf? Sebaiknya kau menanggalkan pakaianmu, baby. Aku tau, adikmu di bawah pasti sudah menegang."

"Ba-baby." Ujar daniel tergagap.

"Tak usah malu baby. Aku juga merindukanmu, dan membutuhkan klimaksku. Nona di bawahku sudah berkedut, ingin dimasuki oleh adikmu."

"Clarissa, kau sangat nakal."

"Sudah kubilang bukan, aku akan nakal hanya untukmu, baby. Ayo kita tuntaskan malam ini. Sebelum kita bisa bertemu lagi."

"Ya, tentu baby. Apapun untukmu."

Dan Daniel pun menanggalkan pakaiannya dengan tergesa. Hasratnya begitu membara. Melihat kemolekan tubuh Clarissa. Mereka pun saling memuaskan hanya dengan gerakan-gerakan tubuh sensual dan erangan nikmat hingga akhirnya mereka mencapai klimaks.

"Thank you, baby. Kau sangat mengetahui kebutuhanku." Puji Daniel, setelah mereka sama-sama mencapai puncak kenikmatan meski hanya melalui panggilan video.

"You're Welcome, honey. Besok boleh kutelfon lagi?"

"Any time. Kapanpun kamu mau, telfon saja aku. Bukankah kita sama-sama merindu, baby. I love you."

"I love you more, baby. Good night. Temani kekasihmu dulu." Ujar Clarissa tersenyum, lalu memutus panggilan telfon mereka.

Seketika Daniel teringat dengan kekasihnya yang sendirian di kamar mereka. Ia pun segera mengenakan pakaiannya lagi. Seolah tak terjadi kegiatan panas tadi. Lalu ia menghampiri kekasihnya di kamar.

Daniel membuka pintu dengan pelan, lalu mengendap-ngendap agar kekasihnya tak terbangun.

Perlahan Daniel menyibak selimut yang menutupi Luna. Lalu ia menyusup masuk dan berbaring di samping kekasihnya. Daniel menatap lekat wajah sendu kekasihnya yang terlelap. Ia mengecup kening Luna sembari berucap, "Maafkan aku?" Lalu Daniel memeluk kekasihnya, sembari memikirkan apa yang telah ia lakukan bersama wanita lain di belakang kekasihnya.

*

*

Bersambung