"Ada apa, sampai kau mengajakku bertemu disini na? Bukankah, seharusnya kau istirahat di rumah?" Ujar Rosa yang baru saja sampai di kedai kopi langganan mereka.
Tempat favorit dua sahabat ini, ketika mereka sedang senggang. Menikmati secangkir kopi ditemani obrolan ringan tentang keluh kesah dunia pekerjaan mereka yang begitu melelahkan.
"Aku merasa bosan di rumah." Keluh Luna sembari menyesap secangkir latte yang masih panas.
"Benarkah? Baru kali ini aku mendengarmu mengeluh bosan? Setelah kau berpacaran dengan Daniel."
"Entahlah, aku hanya ingin menghirup udara segar. Seharian di rumah membuatku pengap. Lagipula, ini sudah hari ketiga aku istirahat di rumah. Setelah aku minta ijin cuti sakit di kantor."
"Kau memang seharusnya istirahat Na. Bagaimana kondisimu sekarang? Apa sudah membaik? Maaf aku tak bisa menemanimu di rumah sakit sampai kau diperbolehkan pulang. Klien ku begitu rewel dan aku harus siap siaga untuknya."
Luna mengangguk paham. "Tak apa, lagi pula sudah ada Daniel dan orang tuanya yang menjagaku disana."
"Oh iya, kau benar. Aku bertemu dengan mereka di bandara."
"Hm.." Luna hanya bergumam sendu.
"Hei, kenapa wajahmu murung begitu. Aku yakin ada sesuatu yang kau pikirkan. Sampai-sampai menelfonku untuk bertemu disini. Di jam kerja. Syukurlah klien ku sedang menikmati Sauna. Jadi aku bisa ijin bertemu denganmu."
"Entahlah... Aku tak tau harus mengatakan ini atau tidak. Tapi, aku hanya merasa tak ingin berada di dekat Daniel."
Rosa menaruh cangkir kopinya di meja. Lalu menatap penuh tanya pada sahabatnya.
"Kenapa? Apa terjadi sesuatu pada kalian?"
"Pernikahan kami diundur."
"Apa?!" kaget Rosa. "Kenapa diundur? Bukankah kalian sangat menantikan pernikahan ini? Bahkan, kau sudah menyiapkan semuanya. Gaunmu pun, pasti sudah hampir selesai."
"Orang tua Daniel yang menyarankan untuk menunda pernikahan kami."
"Kenapa?"
"Mereka melihat kondisiku yang memburuk. Ditambah, hasil rontgen ku belum keluar. Mereka mungkin tidak mau menikahkan anak semata wayang mereka pada wanita penyakitan sepertiku." Ujarnya lirih.
Rosa melihat raut kesedihan di wajah sahabatnya. Bahkan, gadis di depannya itu tak dapat menyembunyikan raut kekecewaan. Mata gadis itu sembab, dan wajahnya lebih kurus dari biasanya. Rosa menggenggam lembut tangan sahabatnya.
"Hei, jangan berkata seperti itu. Kau itu sehat Na. Kau hanya kelelahan. Makanya kau sampai pingsan. Lagipula, itu hanya dugaan dokter tentang kondisi di alat kelaminmu. Kita tak tau pasti kan, kalau dugaan dokter itu benar."
"Tapi bagaimana jika itu memang sel kangker?!!!" tukas Luna dengan nada meninggi.
"Bagaimana jika yang dikatakan dokter itu benar? Bahwa ada kanker dalam tubuhku? Bagaimana jika orang tua Daniel membatalkan pernikahan kami. Dan menjodohkan anak mereka dengan wanita lain? Aku tidak mau! Aku tidak mau kehilangan Daniel. Aku tidak mau Ros!" teriak Luna terisak.
"Ssst... Tenang okay? Jangan menangis. Semuanya tak akan terjadi. Kau akan tetap menikah dengan Daniel. Jangan berpikir seperti itu lagi."
Luna menghapus air matanya. Setelah sekian menit mereka hening. Luna memilih menyesap kembali latte yang tinggal setengah cangkir. Lalu mencicip roti kering bertabur keju dan almond diatasnya.
"Aku disuruh berhenti kerja."
"Daniel yang menyuruhmu?" tebak Rosa. Luna mengangguk sebagai jawaban.
"Dia ingin aku di rumah, dan memulihkan kondisi tubuhku."
"Itu bagus dong? Daniel sangat khawatir padamu."
"Tapi aku tak ingin berhenti kerja. Aku ingin tetap bekerja Ros. Aku tak ingin dikatai sebagai wanita lintah darat, yang merayu CEO kaya agar mendapat hartanya. Aku ingin mandiri."
"Luna..." jeda Rosa. "Saat ini, kesehatanmu lebih penting dari apapun. Kau bisa mengambil cuti, atau kau bisa berhenti bekerja dan mencari lagi nanti. Tapi sekarang, pulihkan kesehatanmu dulu. Aku yakin, Daniel menyuruhmu seperti itu demi kebaikanmu juga. Dia juga ingin kalian segera menikah. Jika kesehatanmu sudah pulih total. Bukankah pernikahan kalian akan segera diadakan?"
Luna mengangguk pelan. Benar yang dikatakan sahabatnya. Semakin ia cepat sembuh, semakin cepat pernikahan mereka dilangsungkan.
"Bagus. Tapi kau yakin kan, kalau pernikahanmu ditunda karena permintaan orang tuanya Daniel?"
"Tentu, Daniel yang mengatakannya padaku."
"Ah begitu... Tapi, apa kau menanyakan juga pada calon mertuamu? Tentang penundaan pernikahan kalian?"
Luna menggeleng, keningnya mengkerut. Ia menatap penuh tanya pada sahabatnya. "Belum. Tapi, memangnya kenapa? Memangnya ada alasan lain, selain karena saran dari orang tuanya?"
Rosa mengendikkan bahu. "Entahlah... Barangkali ada alasan lain, yang membuat Daniel menunda pernikahan kalian."
"Maksudmu?"
"Ya seperti, ada tamu lain? Atau bosan? Atau rasa takut dan tidak siap untuk berumah tangga?"
"Tamu lain? Maksudmu apa, Ros?"
"Kau masih saja naif Luna. Sudah hampir setahun kau pacaran dengan Daniel. Apa kau hanya merasakan manisnya saja? Tidakkan pernah kau merasa bosan? Atau curiga dengannya? Seperti ada tamu lain? Atau lebih tepatnya, pengganggu hubungan kalian?"
Luna menekuk alisnya tajam, kedua tangannya menumpu dagunya. Ia seperti sedang berpikir.
"Pengganggu? Kurasa tak ada. Tapi kalau curiga..."
Rosa menarik sudut bibirnya. "Kau pernah curiga padanya?"
Luna menggigit bibirnya kasar. Seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ia ragu untuk mengatakan ini pada sahabatnya. Tapi karena mereka sedang membahas ini. Dan bisa saja, Rosa dapat memberinya saran. Luna pun akhirnya mengatakan pada Rosa.
"Sebenarnya, tiga hari lalu saat aku diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Saat itu aku sangat kecewa pada Daniel. Karena dia mengatakan tentang penundaan pernikahan kami. Dan aku mengusirnya keluar dari kamar. Aku menangis di kamar sendirian. Sampai akhirnya aku merasa menyesal telah membentak Daniel dan mengusirnya dari kamar."
Rosa mendengarkan curahan Luna dengan seksama.
"Aku memilih menurunkan egoku. Dan menghampiri Daniel ke ruang tamu. Kupikir dia akan tidur di sofa malam itu. Tapi ketika aku keluar, tak ada siapapun disana. Lalu aku berinisiatif ke ruang kerjanya. Saat kuketuk, tak ada yang menyahut. Lalu ku cari Daniel di tempat lain, tapi sama saja. Daniel tak ada dimanapun. Kupikir dia keluar. Tapi saat aku hendak kembali ke kamar. Aku mendengar suara erangan dari dalam ruang kerja Daniel. Aku kembali memanggil namanya, tapi Daniel tak menyahut. Justru suara erangan itu semakin keras kudengar. Karena aku memiliki kunci cadangan di semua ruangan. Aku menggunakan kunci itu untuk membuka pintu ruangan kerjanya. Karena aku merasa takut. Jadi kubuka pelan-pelan pintu itu. Berjaga-jaga, jika ada orang asing di dalam sana. Dan kau tau apa yang kulihat disana?" Luna menatap lekat manik mata sahabatnya.
Rosa yang mendengarnya dengan seksama pun begitu penasaran. "Apa?" tanyanya penasaran.
"Aku melihat Daniel bertelanjang dada,"
"What?!!" pekik Rosa dengan kedua mata membulat lebar. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Menahan suaranya agar tak terdengar kencang.
"Yang benar saja? Jangan katakan ia sedang melakukan sesu—"
"Ssstttt! Dengarkan aku dulu."
"Oke, silahkan lanjut." Ujar Rosa seraya merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.
"Daniel bertelanjang dada, dan celananya. Aku tak tau ia melepas celananya atau tidak. Yang jelas, kancing kemejanya terlepas semua. Aku mencoba untuk melihat lebih detail. Daniel sedang duduk di kursi kerjanya, dengan penampilan setelah telanjang. Kakinya kupastikan mengangkang. Dan ada ponsel di depannya. Daniel melihat ponselnya dengan penuh nafsu. Ia terus mengerang, mendesah seperti sedang melakukan kegiatan ranjang. Aku menutup mulutku, lalu beranjak pergi dari sana. Sebelum Daniel melihatku."
Rosa menunggu lanjutan dari cerita Luna.
"Dan ada satu hal yang mengganggu pikiranku, saat melihat tunanganku sedang memuaskan nafsunya sendiri."
"Apa?"
"Dia tidak mendesahkan namaku. Melainkan, baby."
"Baby? Memangnya itu bukan panggilan sayang dari Daniel untukmu?"
Luna menggeleng cepat. "Tidak. Daniel tak pernah memanggilku baby. Kami selalu memanggil dengan sebutan Honey atau sayang. Terkadang memanggil nama satu sama lain, jika suasana sedang serius. Dan hal itu sangat menggangguku."
"Apa kau sudah menanyakan hal itu pada Daniel?"
"Belum. Aku tak mau membuat suasana di rumah menjadi semakin tegang. Saat ini saja, hubungan kami sedikit renggang. Aku bersikap dingin padanya. Entahlah, aku hanya merasa tak ingin dekat dengannya dulu."
"Sebaiknya, kau tanyakan langsung padanya. Sebelum terjadi kesalah pahaman yang membuat hubungan kalian semakin buruk."
"Ya, nanti akan kutanyakan. Jika sudah waktunya."
"Tapi, mendengar kau mengatakan itu. Aku jadi teringat sesuatu."
"Tentang apa? Apa ada kaitannya dengan Daniel?"
Rosa mengangguk. "Ya, ini memanh tentang Daniel."
"Katakan apa itu?"
"Saat kau masuk ke rumah sakit dan kondisimu masih tak sadarkan diri. Daniel mendapat panggilan telfon. Dia mengatakan bahwa itu rekan kerjanya. Jadi Daniel meminta ijin keluar dari ruanganmu untuk menerima telfon itu. Tapi saat aku menyusulnya keluar. Kudengar ia tengah berbincang dengan seseorang di telfon. Dan mereka tidak sedang membicarakan pekerjaan. Aku tak mendengar begitu jelas percakapan mereka. Tapi yang jelas, Daniel memanggil Baby pada seseorang di seberang telfon."
Luna menatap lekat pada sahabatnya. "Jangan katakan, bahwa baby adalah panggilan sayangnya pada orang lain?"
Rosa menggeleng dengan ragu. "Entahlah. Tapi Na, kau harus lebih waspada sekarang. Jangan sampai, Daniel bermain nakal di belakangmu."
*
*
Bersambung