"Bagaimana dokter? Apakah hasilnya baik-baim saja?" Tanya Daniel pada sang dokter. Daniel dan Luna sedang berada di ruangan dokter yang menangani Luna satu minggu lalu.
Mereka hendak mengambil hasil lab, dari rontgen yang dilakukan Luna minggu lalu.
Dokter Erhan, yang duduk di depan pasangan kekasih itu menyerahkan selembar map coklat yang mana di dalamnya berisi hasil uji lab, dan rontgen tubuh Luna.
"Dari hasil yang saya lihat, kondisi Pasien baik-baik saja. Bagian yang saya duga adalah sel kanker. Ternyata hanya dinding rahim yang menebal. Tidak ada hal serius yang harus dikhawatirkan. Selamat, Tuan. Kekhawatiran kalian, akhirnya terjawab. Dan Nona Luna baik-baik saja."
Berita bahagia itu tentu membuat Luna dan Daniel begitu gembira. Mereka mengucapkan ribuan terimakasih pada Dokter Erhan.
"Namun tetap saja, Nona Luna tidak boleh terlalu lelah. Saya akan meresepkan vitamin tambahan untuk membantu perbaikan daya tahan tubuh anda."
"Terimakasih Dokter." Ujar Luna dengan sopan.
*
*
Berita bahagia itu segera Daniel sampaikan pada kedua orang tuanya. Tak lupa ia mengabari pada Rosa, sahabat Luna yang belakangan ini sedikit rewel menanyai keadaan Luna.
Akhirnya Luna bisa bernafas lega. Semua kekhawatiran dan bayangan buruk yang sempat ia pikirkan, kini terhempas jauh dengan adanya kabar bahagia ini.
Luna tak berhenti tersenyum di sepanjang jalan. Daniel pun begitu senang melihat kekasihnya bisa kembali ceria seperti sedia kala.
"Kau begitu senang, honey?" tanya Daniel seraya mengelus pucuk rambut kekasihnya. Luna mengangguk semangat, senyumnya begitu lebar.
"Mau merayakannya?" tanya Daniel. Membuat kekasihnya menoleh padanya.
"Merayakan?"
"Ya, merayakan berita bahagia ini. Ayo kita makan malam di restoran favoritmu." Ucap Daniel antusias.
*
*
"Aku pakai baju yang mana ya?" gumam Luna pada dirinya sendiri. Ia sedang sibuk memilih gaun yang tergantung rapi di lemari miliknya. Kesenjangan yang terjadi antara dirinya dan Daniel, membuatnya merasa bersalah. Maka Luna berinisiatif untuk tampil cantik malam ini.
Saat ia berbalik menatap ranjang, tiba-tiba ia teringat dengan kejadian malam sebelumnya. Saat Luna digagahi dengan paksa, lalu disetubuhi Daniel tanpa ijin darinya. Seketika Luna membuang gaunnya, dan memilih duduk di kursi riasnya. Ia kembali menatap ke cermin. Melihat wajahnya yang tadi berseri. Ia terkekeh, menertawakan dirinya sendiri yang begitu bodoh.
"Apakah kau begitu mencintainya, Luna?" ujarnya pada pantulan wajah di cermin.
"Bahkan dia telah menyakitimu. Merusak kepercayaanmu. Dan menodai harga dirimu. Lalu sekarang, kau bahkan sangat bersemangat untuk berkencan dengannya." Ia kembali terkekeh.
"Kau memang gadis bodoh."
PLAK!
Luna wajahnya sendiri. Hingga sudut bibirnya terasa perih. Bekas tamparan Daniel masij tercetak jelas disana. Dan kini ia kembali melukainya dengan tangannya sendiri.
"Luna? Apa yang kau lakukan?" Daniel segera menghampiri Luna. Menahan tangannya yang terus menampar wajahnya.
"Luna hentikan! Kau gila? Apa yang kau lakukan pada wajahmu!"
Daniel menampik tangan Luna. Ia segera menyeka cairan kental berwarna merah, yang keluar dari sudut bibirnya.
Bukannya menjawab kekasihnya. Luna justru terus terkekeh.
"Luna! Kau kenapa?"
"Aku? Tentu saja baik-baik saja. Aku bahkan sangat bersemangat untuk kau gagahi lagi." Luna beranjak dari duduknya, lalu memeluk Daniel dengan sensual. Jemarinya perlahan membuka kancing baju pada kemeja maroon yang dikenakan Daniel.
"Luna hentikan!"
"Kenapa honey? Bukankah kau sangat menyukai tubuhku? Bahkan kau tak segan memaksaku untuk memuaskan nafsumu—"
PLAK!
"CUKUP LUNA! KAU SUDAH KELEWATAN!" Daniel membentak Kekasihnya kasar, lalu beranjak pergi dari kamar itu. Daniel membantinh pintu dari luar, dan menguncinya.
"Diam disana, dana jangan coba-cpba untuk keluar!" teriak Daniel dari luar.
Pria itu memilih pergi dari apartemennya. Melupakan janji makan malam mereka. Daniel melajukan mobilnya dengan kencang. Pikirannya begitu kalut. Ia tak habis pikir, luna akan mengatakan hal itu padanya.
Drrrtt...drrrtt
Dering ponsel terdengar dari saku celananya. Daniel segera merogoh sakunya dan mendapati nama wanita lain yang akhir-akhir ini ikut mengganggu pikirannya.
"Hallo, Rissa kenapa?"
Daniel mendengar suara tangis dari seberang telfon. Dengan sepat ia menginjak rem, lalu menepikan mobilnya.
"Rissa? Kau kenapa?"
"Hiks...hiks... Daniel... A-aku tak tau harus mengatakan ini pda siapapun. Aku tak punya siapa-siapa disini. Maafkan aku menelfonmu malam-malam. Tapi sungguh Daniel. Aku tak ingin mengganggumu. Hanya saja aku tak tau harus bicara dengan siapa."
"Hei, baby? Tenang okay? Katakan padaku pelan-pelan. Kau kenapa? Jangan menangis."
"Daniel.... Aku kecelakaan."
"APA?" pekik Daniel.
"Kapan? Dimana? Bagaimana bisa? Lalu bagaimana keadaanmu sekarang? Kau sudah ke rumah sakit kan?"
Clarissa semakin menangis di seberang sana. "Aku ada di rumah sakit sekarang. Ini kesalahanku Daniel. Aku tak hati-hati saat menyeberang jalan tadi. Sampai aku tak sadar bahwa lampu telah berubah merah. Dan aku masih tetap berjalan dengan pelan. Hingga sebuah mobil menabrakku. Dan aku berakhir di rumah sakit sekarang. Daniel... Aku takut."
Daniel memijit pelipisnya. Keningnya berkedut, terasa nyeri dan pening. "Aku akan kesana. Katakan kau di rumah sakit mana?"
"Tapi Daniel. Kau jauh di Bangkok. Sedangkan aku di Phuket. Ini bukanlah perjalanan yang dekat."
"Tak apa. Yang penting kau bisa merasa lebih tenang. Jangan takut, aku akan segera kesana. Akan kucari penerbangan pertama besok pagi. Sekarang kau tidur okay? Besok aku sudah disana. Tunggu aku ya, baby?"
"Kau janji?'
"Aku berjanji, baby. Besok kau akan melihat pangeranmu."
"Lebih tepatnya, mate ku. Aku menunggumu, baby. I love you."
"I love you more, baby. Cepat sembuh. See you." Daniel memberi kecupan perpisahan mereka lalu menutup sambungan telefon.
Ia segera berputar arah, menuju apartemennya. Saat ia sampai di unit apartemennya. Daniel menghela nafas sejenak, lalu perjalan membuka pintu kamarnya. Dilihatnya Luna sudah terlelap dengan balutan selimut. Wanita itu pasti sangat sedih, karena pertengkaran mereka tadi.
Daniel lalu menghampiri kekasihnya, dan memberi kecupan singkat di keningnya. "Maafkan aku. Aku harus pergi."
Lalu Daniel segera berkemas. Memasukkan beberapa pakaian ke kopernya dan segala kebutuhannya. Ia menulis di atas secarik kertas.
"Honey, maafkan aku? Aku tak bermaksud bersikap kasar dan menyakitimu. Mungkin sekarang kau butuh waktu untuk menenangkan pikiranmu. Maka dari itu, aku memilih pergi sebentar meninggalkanmu. Aku tak akan lama honey. Ada pekerjaan mendadak di Phuket. Jadi aku harus pergi kesana untuk beberapa hari. Kuharap setelah aku kembali, kau sudah memaafkan aku. I love you, pemilik hatiku. Nanti aku akan mengabarimu."
Lalu Daniel pergi dari apartemennya, meninggalkan Luna yang masih terlelap.
*
*
"Baby?" Clarissa berseru riang, melihat Daniel telah berada di hadapannya dengan sebuket bunga mawar putih ditangannya.
"Hai baby? Bagaimana keadaanmu?" Daniel menghampiri Clarissa yang terduduk di ranjang pasien. Wajahnya pucat, tangannya ditusuk selang infus. Membuat wanita itu tak dapat beranjak dari ranjangnya.
"Tak pernah sebaik ini." Clarissa merentangkan tangannya, bersiap menerima pelukan dari Daniel.
Daniel tersenyum melihat tingkah Clarissa yang begitu semangat melihatnya. Daniel pun memeluk tubuh wanita itu. Merengkuhnya dalam dekapan.
"I miss you, baby. Aku sangat khawatir padamu." Daniel mengecup ceruk leher Clarissa. Lengannya begitu erat memeluk tubuh wanita itu.
"Aku lebih merindukanmu Daniel. Satu minggu kau susah dihubungi. Apa kau tak tau bagaimana tersiksanya aku disini tanpamu?" Clarissa memanyunkan bibirnya. Ia merengek seperti anak kecil.
"Maafkan aku, baby? Ada banyak hal yang harus kuurus. Sekarang aku sudah disini bukan? Jadi kau senang?"
"SANGAT AMAT SENANG! Jangan pergi lagi."
Daniel menghabiskan waktunya dengan menjaga Clarissa di rumah sakit hingga wanita itu diperbolehkan pulang setelah dua hari dirawat.
Clarissa mengajak Daniel untuk menginap di rumahnya. Dan tanpa ragu, Daniel mengiyakan ajakan Clarissa.
"Baby,,, Aku merindukanmu." Clarissa tiba-tiba memeluk Daniel dari belakang. Ia meraba-raba perut Daniel, lalu menyelipkan tangan rampingnya ke balik kaus yang dikenakan Daniel.
Sontak Daniel berbalik lalu menangkup wajah Clarissa.
"Baby, kau baru saja keluar dari rumah sakit. Tenagamu belum pulih total."
Clarissa menggeleng kecewa. "Tidak! Aku baik-baik saja honey. Aku merindukanmu. Please, jangan tahan aku. Aku menginginkanmu."
"Tapi baby?"
"Please, baby. Aku tak tahan lagi."
Daniel pun tak punya pilihan, selain membiarkan Clarissa menggerayangi tubuhnya. Menggagahi pakaian yang ia kenakan. Hingga akhirnya mereka berakhir di ranjang, tanpa ada yang berbusana.
Daniel pun tak mau menyiakan kesempatan untuk bercinta dengan Clarissa. Ia ingin menikmati harinya dengan bebas. Tanpa ada gangguan dari kekasihnya di Bangkok.
*
*
Bersambung