Drrrtttt.... Drrrtttt
Daniel melenguh pelan, suara dering ponsel membangunkannya dari tidur lelapnya.
Daniel meraba dengan malas meja nakas di dekatnya, lalu mengambil ponselnya yang tak henti-henti berdering.
"Hnggg,, Hal—"
"BRENGSEK! KENAPA BARU SEKARANG KAU MENJAWAB TELFONKU!"
Daniel menjauhkan ponsel dari telinga. Ia mengernyit ngilu, telinganya terasa bergetar mendengar umpatan kasar dari pria yang menelfonnya.
"Hei, chill bro. Tak usah berteriak sengit padaku. Katakan ada apa? Sampai kau menelfonku pagi-pagi buta?"
Daniel melirik jam di nakas. Ia melihat masih pukul 5 dini hari. Ia juga melirik kekasihnya yang masih terlelap di sebelahnya.
Daniel tak mau mengganggu tidur lelap kekasihnya. Setelah semalaman mereka bergulat panas di ranjang. Clarissa pasti kelelahan setelah meladeni Daniel sampai 10 ronde.
"Luna masuk rumah sakit!" Ujar Anji to the point.
"APA?!" Pekik Daniel terkejut.
Ia segera beranjak dari ranjangnya, lalu pergi ke balkon ruang tamu. Ia tak mau Clarissa terbangun dan mendengar percakapannya dengan Anji. Sekretarisnya yang sekarang ini menelfonnya.
"KAU BRENGSEK NAT!" Umpat Anji lagi pada sahabatnya.
Anji lebih akrab memanggil bosnya dengan panggilan Nat, atau Natael daripada Daniel. Sama seperti sahabatnya yang lain. Mereka lebih akrab memanggil Natael daripada Daniel.
"Oke. Berhenti mengumpat padaku. Sekarang katakan kenapa Luna masuk rumah sakit, lagi? Bukahkan dia sudah sehat? Dan sekarang dalam proses pemulihan?"
Anji terkekeh lirih di seberang sana. "Aku tak mengerti dengan pikiranmu Nat. Kali ini kau benar-benar keterlaluan! Bahkan sumpah serapah yang ku umpatkan padamu! Semuanya tak cukup untuk membalas kelakuanmu saat ini. Kau kelewatan Nat!"
"Bro, tenang oke? Nanti akan kuberikan kau waktu sepuasnya untuk mengumpat padaku. Sekarang katakan dengan jelas, kenapa Luna bisa masuk rumah sakit lagi? Katakan semuanya padaku."
"Apa kau sekarang khawatir?" tanya Anji sengit.
Daniel mengernyit. "Tentu saja aku khawatir. Kau mengatakan Luna masuk rumah sakit lagi. Bagaimana bisa aku tidak khawatir dengan kabar ini?"
"Rupanya kau masih punya hati, Nat. Kupikir hatimu telah berubah jadi batu. Dan otakmu telah disesatkan oleh setan!"
"Bro! Kenapa kenapa kau sangat marah padaku?"
"Kau harusnya malu bertanya seperti itu padaku."
Daniel menghela nafas kasar. Mencoba untuk bersabar mendengar umpatan sekretarisnya.
"Anji. Cepat katakan padaku. Kenapa Luna kembali masuk rumah sakit?"
"Oke. Sepertinya kau begitu tak sabar mendengar kabar TUNANGANMU." Anji sengaja menekankan kata tunangan pada Daniel.
"Wanita yang jelas-jelas adalah kekasihmu. Wanita yang sebentar lagi akan kau nikahi, yang akan menjadi pendamping hidupmu. Tapi sekarang, justru kau tega menyakitinya." Anji menjeda kalimatnya, ia memejamkan mata dengan tangan mengepal kuat. Ia berusaha menahan amarahnya.
"Lima hari." Lanjut anji.
"Lima hari, Luna dirawat di rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa Luna mengalami anemia parah dan stres berlebih. Dan kau tau, apa yang menyebabkan dia mengalami hal itu?"
"No! Jangan katakan," Daniel menggeleng cemas, berharap dugaannya salah.
"Tepat! Kau cukup pintar tuan Daniel Natael. Tunanganmu stres karena ulahmu sendiri!"
Daniel memijit pelipisnya kuat. Seketika tubuhnya terasa lemas. Hatinya terenyuh, perih. Lalu bayangan-bayangan saat ia melakukan hubungan gelap dengan Clarissa. Membuatnya membenci dirinya sendiri. Daniel merasa bodoh!
"Bagaimana rasanya Nat? Mendengar orang yang kau cintai, sakit karena ulahmu sendiri. Sekarang terserah padamu. Aku benar-benar tak mau berurusan lagi denganmu. Kau keterlaluan Nat! Kau brengsek! Kau bajingan! Cukup sampai disini pertemanan kita. Aku tak sudi memiliki teman brengsek sepertimu!"
"Dan lagi, aku akan mengundurkan diri dari perusahaanmu. Semoga kau menpadat sekretaris baru yang lebih baik. Dan lebih pintar menjaga kebohonganmu!"
"Please, jangan lakukan itu Nji. Kita bicarakan tentang dirimu setelah aku sampai di Bangkok. Oke? Jangan begitu cepat mengambil keputusan."
"Cepat kau bilang?" Anji tak dapat menahan kekehannya lagi. "Heh bajingan! Dengar aku. Aku bahkan sudah memikirkan ini dari jauh hari. Setelah kau memberiku demua tanggung jawab perusahaan. Dan kau menghilang begitu saja. Disana aku sudah berpikit untuk keluar dari perusahaanmu. Aku tak ingin menjadi budak orang bodoh! Dan tidak bertanggung jawab. Lalu, kekasihmu menelfonku. Dan dia menceritakan semua kegelisahannya, kecurigaannya tentangmu. Awalnya aku tak percaya kau akan melakukan tindakan brengsek seperti itu. Tapi sekarang, aku benar-benar muak denganmu."
"Kau tau Nat? Luna bahkan rela mengundurkan diri dari kantornya. Dia memilih meninggalkan pekerjaannya dan pergi mencarimu yang menghilang lebih dari dua pekan. Dia terbang ke Phuket dengan temannya. Karena Luna yakin, bahwa kau sedang berada disana bersama WANITA JALANG yang kau sembunyikan itu."
"JANGAN MENYEBUTNYA JALANG!" bentak Daniel marah.
Anji terkekeh di seberang. "Oh wow? Kau bahkan tak mengelak aku menuduhmu tinggal disana bersama Jalang? Jadi benar rupanya. Kau sedang bersama wanita lain di Phuket? Maksudku, JALANG."
"Jaga ucapanmu!" geram Daniel.
"Nat, kuperingatkan satu hal padamu. Jika kau tak segera kembali ke Bangkok, dan meninggalkan JALANG-mu itu. Maka jangan menyesal. Jika Luna memilih pergi meninggalkanmu dan hidup bersama pria lain yang jauh lebih baik darimu! Bahkan Aku rela untuk membantunya pergi jauh darimu! Camkan itu!"
"Bajingan! Jangan pernah berpikir membawa Luna pergi dariku!"
"Ha...ha..ha..." Anji tertawa lirih.
"Kuberi satu saran untukmu. Lepaskan Luna, dan biarkan dia bahagia dengan pilihannya sendiri. Luna berhak bahagia, bersama pria yang JAUH lebih BAIK darimu! Kau hanyalah batu kerikil, yang menghalangi jalan seorang dewi menuju bahagianya. Maka saat kau terasa mengganggu. Luna hanya perlu menyingkirkanmu dengan mudah."
"Sialan! CUKUP OMONG KOSONGMU! Luna tak akan pergi dariku. Dia hanya milikku. Dan tak akan kubiarkan ada orang lain memilikinya."
"Maaf Daniel. Kau harusnya sadar diri. Luna adalah mutiara berharga yang terjebak dalam lautan lumpur kotor dan menjijikan. Sudah saatnya, mutiara itu pergi meninggalkan lumpur. Dan mencari permata berharga lainnya, yang pantas bersanding dengannya."
"Sialan kau! Tunggu saja! Jika aku melihatmu. Jangan harap kau bisa hidup dengan tenang lagi!"
"Oh maaf tuan? Ancamanmu tak berpengaruh padaku. Ingat, rahasiamu dan rahasia perusahaan. Semuanya ada di tanganku. Sampai jumpa. Ingat saranku, tinggalkan Luna."
Bip
"Bajingan, Anji! Lihat saja nanti. Kubuat kau tak bisa bicara lagi!" Daniel meremas kuat ponsel dalam genggamannya. Kedua matanua memerah dengan urat yang menegang.
"Baby?"
DEG.
Daniel tersentak, merasakan sentuhan tangan di lengannya. Dengan cepat ia menjauj, hingga ia dapat melihat bahwa Clarissa telah berdiri di hadapannya.
"Astaga Rissa. Kau mengagetkanku."
"Kenapa kau begitu terkejut, baby? Dan hei? Lihat wajahmu? Kenapa kau terlihat tegang? Dan siapa yang menelfon tadi? Tunanganmu?" tebak Clarissa yang sangat hafal dengan nama-nama yang selalu muncul pada panggilan masuk di ponsel kekasihnya.
"Soal itu..." Daniel menyibak rambutnya lalu merebahkan punggungnya ke pagar besi pada balkon. Pria itu nampak gelisah.
"Katakan, kali ini Tunanganmu minta apa?"
"Bukan. Ini bukan panggilan dari Luna. Tapi, ini panggilan dari sekretarisku, Anji. Dia mengatakan Luna masuk ke rumah sakit lagi. Dan aku harus kembali ke Bamgkok."
Clarissa seketika kesal. Ia meremat kuat tangannya.
"Dia pasti sudah mendapat perawatan dokter. Lagipula, ada banyak orang yang bisa menjaganya disana kan? Kau tak harus kembali ke sana." Clarissa mencoba membujuk Daniel agar tak pergi meninggalkannya.
"Maaf Rissa. Tapi Anji benar. Aku keterlaluan. Aku terlalu lama meninggalkan Luna. Dan aku sangat khawatir padanya."
Daniel melangkah maju mendekati Clarissa. Lalu ia meremas kedua bahu Clarissa. Daniel menatap lekat netra coklat kekasihnya.
"Aku janji. Aku akan segera kembali menemuimu. Tapi kali ini, aku benar-benar harus pergi. Luna membutuhkanku."
"Tapi aku juga membutuhkanmu Daniel!" Jerit Clarissa bersamaan dengan air mata yang lolos dari matanya.
"Maafkan aku Ris? Tapi aku benar-benar harus kembali."
Daniel berlalu begitu saja. Melewati Clarissa yang masih berdiri di tempatnya dengan isakan tangis yang kian deras.
*
*
"Bawalah ini." Clarissa menyerahkan satu kotak buah Strawberry yang terlihat sangat cantik dan segar.
Daniel menerima kotak itu, sembari menatap Clarissa penuh tanya.
"Tadi aku delivery buah itu dari supermarket. Kau boleh memakannya saat di pesawat. Atau kau berikan pada tunanganmu itu. Setidaknya, kau membawa sesuatu untuknya."
Daniel tersenyum senang. Ia meraih lengan Clarissa, membawa tubuh wanita itu dalam pelukannya. Daniel mengecup kening Clarissa seraya mengusap lembut rambutnya yang tergerai indah.
"Terimakasih, Baby. Kau sangat pengertian. I love you."
Clarissa membalas pelukan kekasihnya. Ia membenamkan wajahnya pada dada bidang kekasihnya sembari menghirup aroma kesukaannya pada tubuh sang kekasih.
"Urwell, baby. I love you more and more. Selesaikan urusanmu disana. Lalu cepat kembali kesini. Kau tau aku sangat cepat merindukanmu."
"Aku sangat tau, baby. Terimakasih telah mengerti. Aku janji akan segera kembali."
Mereka perlahan melepas pelukan. "Tapi Rissa. Kenapa kau tak mau ikut bersamaku ke Bangkok? Bukankah itu akan memudahkan kita untuk bertemu. Kita tak harus tersiksa rindu begitu lama. Karena aku pasti dengan mudah menemuimu."
Clarissa menggeleng sedih. "Aku tak bisa Daniel. Ada sesuatu yang harus kuurus disini. Tapi aku janji, suatu saat nanti aku akan ke Bangkok menemuimu. Dan kita akan tinggal bersama disana. Kau dan aku. Tanpa ada orang lain diantara kita." Clarissa lalu menarik tengkuk Daniel, menautkan bibir mereka dan melumatnya dalam.
*
*
Clarisaa baru saja datang dari Bandara. Ia mengantar Daniel kesana.
Namun saat ia berjalan menuju ruang tamu. Ada suara pintu menutup. Sontak Clarissa berbalik, dan ternyata ada seorang pria yang tak asing berjalan dari arah dapurnya.
"Rendy?" ucap Clarissa lirih.
*
*
Bersambung