"Daniel," panggil Clarissa setengah merintih. Tubuhnya terasa remuk, terutama bagian pinggangnya yang berdenyut nyeri. Clarissa berusaha bangkit, namun segera dicegah Daniel.
"Jangan bangun dulu, kau harus berbaring, kondisi tubuhmu belum stabil." Ujar Daniel khawatir.
Mendengar Daniel yang mengkhawatirkan dirinya, membuat Clarissa bersemu merah. Ia tersenyum malu-malu lalu mengangguk pelan. Ia pun menurut untuk kembali berbaring. Membiarkan Daniel menyelimutinya hingga menutupi lehernya.
"Daniel, maaf aku kemari tanpa memberitaumu. Aku berniat memberi kejutan untukmu. Tapi tak kusangka, kalau Luna,"
"Sudah jangan bicarakan tentang kejadian itu. Sekarang fokuslah pada kesehatanmu, Sa. Dan juga,," Daniel menjeda kalimatnya. Matanya menatap Clarissa penuh tanya.
"Ada apa Daniel? Kenapa raut wajahmu berubah aneh?"
Daniel menggeleng, ia menggenggam tangan Clarissa yang begitu lembut. "Tidak, Sa. Aku hanya ingin bertanya padamu."
"Tentang apa itu Daniel? Apa tentang Luna?"
Daniel menggeleng lemah. "Bukan Sa. Tapi ini tentang dirimu." Daniel mengelus perut rata Clarissa. Tentu saja perutnya masih rata, karena usia kandungannya masih sangat muda.
"Kenapa Daniel? Ada apa dengan perutku? Apa dokter mengatakan ada penyakit dalam perutku?"
"Bukan Sa, Bukan penyakit, tetapi anugrah." Daniel menatap dalam manik mata Clarissa yang gelisah.
"Tapia pa Daniel? Katakan! Jangan membuatku gelisah."
Daniel kembali mengelus perut Clarissa, lalu perlahan ia mengecup kening Clarissa. Meskipun ia tau, bahwa tak seharusnya ia melakukan hal itu saat ini. Tak seharusnya ia berbahagia disaat ada wanita lain yang tersakiti akan kebahagiaannya. Namun Daniel tak bisa menahan kebahagiaannya. Anak yang selama ini ia impikan. Sebentar lagi akan benar-benar hadir di hidupnya. Meskipun anaknya itu tidak lahir dari rahim wanita yang memimpikan anak itu bersamanya selama ini. Namun dia tetaplah anaknya. Anak kandungnya, yang akan lahir dari rahim wanita yang juga ia cintai.
"Daniel? Katakan?" Daniel tersentak, mendengar bentakan Clarissa yang tak sabar akan penjelasannya. Karena Daniel terlalu larut dalam pikirannya.
"Clarissa,,," Ucap Daniel dengan pelan.
"Kenapa kau tak pernah mengatakan padaku tentang kandunganmu? Kenapa kau merahasiakannya dariku? Bahkan dia telah berusia 3 minggu di dalam perutmu." Daniel menatap Clarissa lagi. "Apakah begitu sulit bagimu? Sampai aku harus mendengarnya dari orang lain tentang anak yang sedang kau kandung."
Clarissa tertegun, dia bahkan diam tak berkutik. Pikirannya berusaha mencerna ucapan Daniel yang mengejutkan baginya.
"Tunggu. Apa kau bilang tadi? Kandungan? Siapa yang mengandung? Aku tak mengerti tentang apa yang kau bicarakan Daniel."
Daniel mengernyit, ia menatap Clarissa sama tegangnya. "Kau, Sa. Kau yang tengah hamil saat ini. Kenapa kau bertanya? Seolah kau tak tau hal itu?"
"APA?! Aku hamil? Sejak kapan?"
Daniel semakin bingung, dia pikir Clarissa mengetahui kehamilannya dan merahasiakannya dari Daniel.
"Jangan bilang bahwa kau sendiri tidak tau tentang kehamilanmu?"
Dan dengan polos, Clarissa menggeleng. "Ya, aku baru mendengarnya darimu. Dan itu sangat mengejutkanku."
**
"Nyonya Clarissa, lihat. Titik hitam di layar, itu adalah janin yang tengah anda kandung. Usianya baru 3 minggu. Dan ukurannya masih seukuran kacang polong." jelas sang dokter yang saat ini tengah melakukan USG pada perut Clarissa.
Clarissa yang tak percaya bahwa dirinya tengah hamil. Membuat Daniel memanggil dokter kandungan. Dan disinilah mereka berada, di ruangan dokter kandungan yang tengah melakukan USG pada perutnya.
"A-apa dia benar-benar anakku?"
Dokter terkekeh mendengar pertanyaan Clarissa yang masih tak percaya. "Tentu saja, karena ia tengah tumbuh di dalam rahim anda, Nyonya."
Seketika Clarissa menumpahkan air matanya. Ia terharu akan anugrah yang diberikan Tuhan padanya. Ia menatap Daniel, yang juga sama emosionalnya seperti dirinya.
"Daniel,," Panggil Clarissa pelan.
Daniel menoleh kea rah Clarissa. Ia paham, bagaimana perasaan Clarissa saat ini. Mereka tengah dilanda emosional yang tinggi. Mereka begitu terharu, melihat calon anak mereka yang tumbuh di dalam rahim Clarissa. Bahkan mereka dapat mendengar detak jantung dari janin yang tengah Clarissa kandung.
"Saya harap anda lebih berhati-hati lagi mulai sekarang. Baik dalam beraktivitas, maupun dalam berpikir. Hindari melakukan kegiatan yang berlebihan, istirahat yang cukup dan atur pola makan juga pola olahraga dengan baik. Anda bisa kembali kesini sebulan sekali. Saya akan memberikan buku panduan ibu hamil, yang mana disana berisikan jadwal check up, aturan pola makan dan olahraga yang baik dan apa saja yang baik dilakukan di masa kehamilan."
"Terimakasih dokter." Ucap Daniel dan Clarissa bersamaan.
**
Keesokan harinya, Clarissa diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Setelah semalaman mereka menginap disana. Daniel begitu bahagia dengan kabar kehamilan Clarissa belum lagi setelah mendengar penerangan dari dokter kandungan yang memeriksa Clarissa semalam. Hal itu membuat sepasang kekasih yang sebentar lagi akan mendapatkan buah hati pertama mereka begitu bahagia. Daniel bahkan melupakan tunangannya yang telah ia sakiti karena kebahagiaanya bersama wanita lain.
"Hati-hati." Daniel memapah Clarissa keluar dari mobilnya. Mereka kini berada di gedung apartemen Daniel. Dengan hati-hati, ia berjalan seraya memapah Clarissa yang terus memegangi pinggannya yang masih terasa nyeri.
Saat mereka telah sampai di dalam unit apartemen Daniel. Barulah Daniel menyadari sesuatu.
"Luna," gumamnya parau.
Clarissa tak senang mendengar nama wanita itu disebut. Sudah bagus Daniel fokus padanya tanpa mengingat wanita itu. Tapi baru saja mereka sampai di apartemen, Daniel langsung menyebut namanya.
"Clarissa, duduk dulu di sini ya? Aku harus memeriksa sesuatu."
"Tapi pinggangku sakit. Aku mau tiduran di kamar." Rengek Clarissa.
"Maaf, Sa? Tunggu di sini sebentar ya? Sebentar saja?" Clarissa pun dengan berat hati menuruti Daniel. Ia dengan susah payah duduk di atas sofa, setengah berbaring karena sungguh pinggangnya terasa patah.
Clarissa dengan jelas melihat Daniel berlarian kesana kemari, memasuki seluruh ruangan di apartemennya. Dan tentu saja Clarissa tau, apa yang dicari Daniel. "Luna," batinnya.
**
"Luna? LUNAAAAA? Kau dimana sayang? Luna kau disana?" Daniel terus meneriakkan nama Luna. Dia baru saja teringat dengan tunangannya itu. Daniel dengan gelisah mencari Luna ke semua ruangan, namun nihil. Ia tak menemukan siapapun disana kecuali Clarissa yang masih terduduk di atas sofa.
Daniel merogoh sakunya, mengambil ponsel lalu menelfon Luna. Namun panggilannya gagal. Luna menonaktifkan ponselnya.
"Sial. Kau sengaja mematikan ponselmu agar aku tak bisa menelfonmu, Na?" monolognya geram.
Daniel tak kehilangan akal, ia menelfon Rosa. Namun sama saja, Rosa menolak panggilannya. Lalu pilihan terakhir. Daniel terpaksa harus menelfon orang ini. Dia satu-satunya orang yang dekat dengan Luna belakangan ini, selain Rosa.
'Anji?"
Terdengar decakan kesal di seberang sana.
"Anji, aku tau kau masih marah padaku. Tapi kali ini, tolong aku? Aku perlu bantuanmu."
"Bukan sesuatu yang aneh, jika kau begitu bergantung padaku Tuan Daniel Natael Pamungkas. Kali ini masalah apa lagi yang kau perbuat? Bahkan kau begitu terdesak hingga membiaran harga dirimu jatuh untuk menghubungiku." Sarkas Anji yang membuat Daniel hampir tersulut amarah. Jika saja ini bukan tentang Luna, ia aka langsung mendepak Anji ebagai sekretarisnya saat itu juga. Meskipun Anji mengatakan akan mengundurkan diri terlebih dulu.
"Baik, kita bicarakan masalah kita nanti. Sekarang tolong jawab pertanyaanku. Apa Luna ada disana? Bersamamu?"
Anji terkekeh lirih di sana. "Kau yakin menanyakan itu padaku?"
"Kumohon, ini bukan waktunya untuk berbasa-basi. Aku perlu jawabanmu secepatnya. Apa Luna ada di sana? Kau dekat dengannya belakangan ini, saat aku tak ada."
"Dan kau pikir, aku memanfaatkan kesempatan itu untuk mengambil Luna darimu Tuan? Kau sangat bodoh."
"Sialan! Jangan memancing amarahku! Ingat kau sekretarisku! Jaga ucapanmu pada atasanmu Anji!"
"Oh, apa kau melupakan sesuatu Tuan? Aku sudah mengirim surat resignku dua hari yang lalu padamu. Ah iya aku lupa. Kau bahkan tak melirik surat itu dan membuangnya. Tapi aku menganggapnya kau telah menyetujui pengunduran diriku tuan. Dan saat ini, aku bukan lagi sekretarismu. Daniel Natael Bajingan!"
"Sialan! Berani sekali kau mengataiku bajingan! Katakan dimana Luna sekarang? Kau membawanya pergi kan? Kau mempengaruhinya agar dia meninggalkanku."
"Aku bukanlah seorang pengecut yang harus melakukan tindakan licik itu untuk membuat Luna sadar dan meninggalkanmu. Tapi mendengar kau mengatakan tentang itu. Sepertinya saat ini Luna sudah pergi meninggalkanmu. Ah, senang sekali mendengarnya."
"Sialan! Kau akan menyesal telah memancing amarahku!"
Bip.
"ARGGHHHHHH!!!!!"
Daniel membanting ponselnya ke lantai hingga hancur. Sontak Clarissa tersentak mendengar suara keributan dari dalam kamar Daniel.
Clarissa pun dengan susah payah melangkah menghampiri Daniel ke kamarnya.
"Daniel, ada apa?"
Daniel terduduk pasrah diatas ranjang dengan kedua tangan meremat kasar rambutnya.
"Ini salahku. Ini semua karena kebodohanku. Luna… Luna.." Daniel terisak dengan tangan yang samakin kuat meremat rambutnya.
Clarissa tertegun, ia tak jadi menghampiri Daniel. Hatinya terenyuh, pedih, sakit mendengar Daniel menyebut wanita lain. Yang begitu ia benci.
"Tunggu saja. Akan kubuat kau melupakannya, bahkan kau tak akan pernah bisa melihatnya lagi." Geram Clarissa mengepalkan tangannya.
Bersambung