"Kau terlihat sangat bahagia,"
Luna menoleh pada sumber suara. Ia tersenyum malu pada sahabatnya yang telah menunggunya pulang.
Rosa mendekat ke arahnya, seraya memperhatikan wajah Luna yang masih tersipu malu.
"Sepertinya ada sesuatu yang baik terjadi. Katakan, siapa dia?"
"Huh?" Luna tertegun, bagaimana sahabatnya bisa tau dia menghabiskan harinya dengan orang lain?
"Aku tau kau melebihi orang lain Na. Aku tau, wajah tersipumu itu bukanlah sesuatu yang buruk. Pasti telah terjadi sesuatu yang membuatmu bahagia. Katakan apa pria itu tampan?" goda Rosa dengan kikihan kecil.
"Bagaimana kau tau Ros? Kau mengikutiku?"
Rosa menghela nafas kasar, ia berjalan kea rah sofa lalu memilih untuk merebahkan tubuhnya disana. "Sungguh berfaedah hidupku jika harus mengikuti kegiatanmu, Na. Kau lupa aku ini wanita yang sibuk."
"Ya,,, Ya,, Ya,,, Maafkan aku Nona si super sibuk. Aku lupa bahwa kau seorang manager pemasaran sekarang." ujar Luna seraya ikut duduk di sebelah sahabatnya.
"Jadi, mau cerita?" tanya Rosa.
"Tentang apa?" Luna masih saja berkelit.
"Tentu saja tentang hari ini. Alasan yang membuat sahabatku begitu merona."
Luna kembali tersipu. "Baiklah, aku memang tak bisa berbohong darimu Ros." Luna lalu kembali ke luar pintu dan mengambil dua bucket bunga yang dibeli tadi di toko bunga. Ia lalu menaruhnya diatas meja. Membuat Rosa terperangah.
"Wow? Jangan bilang bahwa kau tengah berkencan dengan dua pria sekaligus hari ini? Kau sungguh luar biasa Na."
"Ngaco! Aku tidak semurahan itu! Kau pikir aku apa berkencan dengan dua pria sekaligus? Lagipula ini bukan kencan."
"Lalu apa?"
"Aku tak sengaja bertemu dengannya. Kau ingat dokter yang menanganiku di rumah sakit saat pertama kali aku pingsan?"
"Tentu, dokter tampan yang bahkan dalam mimpiku pun. Aku tak dapat memilikinya."
Sontak Luna menjitak dahi sahabatnya itu yang terlalu banyak berfantasi. "Hei, ingat kau sebentar lagi akan menikah dengan Aj. Bisa-bisanya kau memikirkan pria lain." Luna berdecak heran seraya menggelengkan kepalanya.
"Hehe." Rosa hanya menyengir kuda seraya mengelus dahinya yang perih karena jitakan Luna.
"Namanya Altheo, dia tak mengijinkanku untuk memanggilnya dokter. Katanya terlalu formal." Tutur Luna yang membuat Rosa semakin penasaran.
"Tadi kami tak sengaja bertemu di toko bunga. Aku ingin membeli bucket mawar putih, kau tau sendiri kan kalau aku sangat menyukai mawar putih?"
"Tentu saja. Kau bahkan ingin membeli kebun bunga mawar agar tak susah membelinya setiap hari."
"Nah itu dia. Tapi tak kusangka aku akan bertemu dengannya di sana. Lalu dia memintaku untuk memilihkan bunga untuknya. Katanya dia ada kencan dengan wanita special. Kupikir dia sedang dekat denagn seseorang."
"Apa kau kecewa?" sergah Rosa.
"Kau gila? Untuk apa aku kecewa? Lagipula sangat wajar jika dia tengah dekat dengan seorang wanita. Dia cukup tampan.'
"Eyyy,, Rupanya kau juga terpesona dengan ketampanannya." Goda Rosa.
"Aku hanya kagum padanya. Itu saja. Dan saat aku selesai memilih bunga untuknya. Dia membayar bunga mawar ini dan juga miliknya. Setelah itu kupikir kita akan menuju tujuan masing-masing. Tak kusangka dia memberikan bunganya kepadaku."
"Wow? Lalu?"
"Dia bilang, aku adalah wanita special di hatinya. Dan dia menyerahkan bucket bunga ini kepadaku." Ujar Luna seraya menunjuk bucket bunga yang diberika Altheo kepadanya.
"Dia mengajakku jalan-jalan. Awalnya aku ingin menolak. Tapi aku merasa tidak enak padanya. Jadilah kami jalan-jalan sebentar di taman kota."
"Sebentar sampai kau harus pulang jam 10 malam?" Goda Rosa.
"Apasih."
Rosa terkekeh melihat sahabatnya kembali tersipu.
"Na," Rosa meraih bahu Luna lalu memutarnya agar mereka saling berhadapan. "Aku senang kau kembali tersenyum. Aku senang melihatmu seperti ini. Bahagia, tersenyum dan tertawa. Luna sahabatku sudah kembali." Rosa langsung memeluk Luna dengan erat.
"Tetaplah seperti ini Na. Aku tak ingin melihat air matamu lagi. Kau sudah cukup tersakiti. Sekarang temukanlah bahagiamu lagi. Jika kau bisa menemukan bahagiamu dengan Altheo. Maka kumohon jangan sia-siakan kesempatan ini. Aku hanya ingin kau bahagia."
"Terimakasih Ros. Tapi aku belum ingin memikirkannya."
"Ya, nikmati waktumu Na. Aku akan mendukung apapun asalkan itu membuatmu bahagia."
**
"Baby, kepalaku pusing. Bisakah kau mengambil air untukku?"
Clarissa mengeluh manja, seperti hari-hari sebelumnya. Setelah Clarissa keluar dari rumah sakit. Sejak saat itulah Clarissa tinggal di apartemen Daniel. Kehamilannya membuat Clarissa begitu manja pada pria yang ia anggap kekasihnya.
"Ini, minumlah." Ujar Daniel dengan segelas air yang ia berikan pada Clarissa.
"Istirahatlah, aku akan harus pergi ke kantor."
"Tapi aku ingin kau disini." Clarissa merengek manja. Ia mengelus perutnya yang masih rata.
"Dia ingin ayahnya menemaninya disini. Bisakah kau tidak bekerja Daniel?"
"Maafkan aku. Tapi pekerjaanku menumpuk. Aku harus segera mengerjakannya. Kau istirahatlah disini. Jika kau perlu sesuatu telfon saja aku. Aku pergi."
Daniel berlalu begitu saja, tanpa memberikan pelukan maupun kecupan pada Clarissa. Clarissa sangat menyadari perubahan sikap Daniel setelah mengetahui Luna pergi dari apartemennya. Daniel menjadi sangat dingin kepadanya. Namun Clarissa tak mau menyerah. Dengan adanya bayi dalam kandungannya. Ia akan mendapatkan Daniel, Mate nya. Takdir yang telah disiapkan untuknya. Clarissa tak akan pernah melepaskan Daniel dari hidupnya. Meskipun ia harus menyingkirkan Luna, dengan cara apapun.
**
"Kau menemukan Luna?" tanya Daniel di telfon.
"Tidak, kupikir dia tidak berada di Bangkok." Sahut Raka, sahabat Daniel.
"Sial. Kemana perginya dia? Kenapa susah sekali menemukannya."
"Yang kutakutkan dia pergi ke rumah keluarganya. Kau belum menghubungi keluarganya Luna?"
"Belum,," Sahut Daniel dengan suara rendah.
"Kau harus menelfon mereka. Tapi jangan langsung bertanya soal Luna. Cukup pastikan Luna ada disana atau tidak."
"Baiklah, akan kucoba. Tapi kau tetap bantu aku mencarinya."
"Siap Bos. Tenang saja, meskipun ini kesalahanmu. Tapi aku akan tetap membantumu."
"Kumohon jangan memancingku seperti Anji." Gerutu Daniel yang dibalas gelak tawa dari seberang sana.
"Kau tak tau bagaimana bimbangnya aku harus mendengarkanmu atau Anji. Kalian berdua sama-sama keras kepala."
"Sudahlah, aku sedang malas membahasnya. Tolong bergerak cepat dan kabari aku jika kau menemukan petunjuk tentang keberadaan Luna."
"Siap bos."
Bip.
"Luna, kau dimana sayang?"
**
Di tengah keresahannya karena Luna tak kunjung pulang. Daniel juga harus tetap menjalani harinya dengan segudang pekerjaan. Seperti mala mini, ia harus bertemu dengan kolega bisnisnya di sebuah restoran mewah di tengah Kota Bangkok. Dengan malas iapun kesana. Setelah menghabiskan dua jam dengan perbincangan bisnis yang menguras energy dan pikiran, akhirnya ia bisa lepas dari perbincangan yang menguras pikirannya.
Namun saat dia hendak keluar dari restoran itu. Ada sosok wanita yang taka sing. Daniel pun melangkah mendekat, hingga kedua iris matanya menangkap dengan jelas sosok wanita berambut sepinggang berwarna hitam legam. Tubuhnya ramping dan mungil. Wanita itu mengenakan gaun berwarna merah dan ia tengah berbincang dengan seorang pria yang taka sing juga di matanya.
"Bukankah dia dokter yang dekat dengan Luna?" gumam Daniel. Ia pun semakin mendekat kea rah mereka hingga wanita itu menoleh kea rah lain dan membuat Daniel dengan jelas melihat wajahnya.
"Luna?"
Bersambung