Siang itu, Daniel akhirnya sampai di Phuket setelah menempuh 2 jam perjalanan di udara. Sesampainya ia di hotel yang telah dipesan oleh Anji sekretarisnya. Daniel pun beristirahat sejenak, sebelum memulai kegiatan padatnya disana. Ia menikmati semilir angin yang berhempus dari celah jendela, seraya menikmati hamparan pasir putih di pantai itu.
Hari demi hari berlalu. Daniel menjalani harinya di Phuket dengan segudang aktivitas yang telah dikadwalkan oleh Anji. Karena jadwal yang begitu padat, membuatnya tak bisa mengabari sang kekasih yang menunggunya di Bangkok.
Satu minggu telah berlalu, dan akhirnya Daniel dapat beristirahat tenang di kamar hotelnya. Satu minggu penuh ia melewati hari dengan meeting, meeting dan meeting. Bahkan untuk membalas pesan kekasihnya pun, Daniel tak sempat. Ia terlalu lelah ketika harus pulang larut tiap malam.
Rencananya, besok ia akan kembali ke Bangkok. Daniel begitu merindukan Lunanya. Gadis itu pasti sangat marah karena tak pernah menerima kabar darinya. Daniel berencana untuk memberikan kejutan pada kekasihnya. Ia pun berjalan-jalan keluar hotel sembari mencari hadiah yang bagus untuk diberikan kepada kekasihnya.
Malam begitu indah, ditemani semilir angin malam yang menerpa tubuhnya. Daniel berjalan di pinggir pantai, mencari-cari toko maupun butik yang masih buka malam itu. Namun sepertinya ia tak beruntung. Karena tak satupun butik yang berada di dekat pantai itu buka. Rupanya toko di dekat pantai telah tutup lebih awal karena ada festival di tengah kota.
Dan akhirnya, disinilah Daniel. Duduk diatas batu besar, sembari menikmati angin malam di tepi pantai. Ia mendongak ke langit, menatap ribuan cahaya bintang yang berkilau indah diatas sana. Bersama dengan bulan purnama yang begitu cantik. Seketika ia teringat dengan kekasihnya.
"Luna.." gumamnya.
"Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Kau sedang apa disana, honey? Apakah kau begitu marah padaku? Kuharap kau mau segera memaafkanku?" Daniel bergumam seorang diri. Perasaan rindu bercampur rasa bersalah menjadi satu. Ia hendak menghubungi sang kekasih.
Namun, nampaknya Luna masih marah padanya. Maka ia memutuskan untuk meminta maaf pada kekasihnya secara langsung. Bersamaan dengan hadiah yang akan ia berikan besok.
Ketika Daniel memejamkan matanya, tiba-tiba ponselnya berdering. Sontak Daniel merogoh sakunya. Mengambil ponsel lalu melihat siapa yang menelfonnya selarut ini.
"Luna?" gumamnya. Kemudian Daniel menerima panggilan itu.
"Halo honey?" Daniel menyapa dengan sangat lembut.
"Sudah lupa denganku?" Daniel mendengar jelas nada ketus dari kekasihnya di seberang sana.
"I'm sorry honey? Aku tak bermaksud seperti itu. Aku sangat sibuk disini, hingga tak sempat mengabarimu."
"Bohong!" potong Luna kesal.
"Aku berkata yang sejujurnya, honey. Kamu bisa bertanya pada Anji. Dia yang mengatur jadwalku. Kamu boleh menyalahkannya, karena begitu padat membuat jadwal untukku. Sampai aku tak bisa mengabarimu."
"hm...." Luna hanya bergumam.
"Honey, jangan marah oke? Akan kuberikan apapun yang kamu mau. Asal kamu tak lagi marah padaku."
"Aku hanya menginginkanmu."
Daniel tak dapat menahan senyumnya, mendengar keluhan sang kekasih yang menggemaskan di telinganya.
"Ekhem..." Daniel berdehem. "Sepertinya, ada yang merindukanku?" goda Daniel pada kekasihnya.
"Apasih! Yasudah kututup!"
Bip.
"Eh tungg—" Daniel tak dapat menahan kekasihnya. Sambungan telepon mereka diputus secara sepihak oleh Luna. Nampaknya, Luna begitu kesal padanya. Seharusnya Daniel tak menggodanya saat ini.
Daniel kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Lalu ia berjalan menuju hotel tempatnya menginap. Namun baru dua langkah ia berjalan. Daniel melihat ada sosok wanita yang berjalan ke arah ombak. Daniel segera mendekat ke arah wanita itu.
"Hei! Tunggu! Jangan kesana!" teriak Daniel dari kejauhan. Namun wanita itu tak peduli. Ia terus berjalan melawan ombak, hingga seluruh tubuhnya tenggelam dalam air.
"Berhenti!!!" teriak Daniel. Ia berlari dengan kencang, kemudian melompat ke dalam air. Daniel berenang sekuat tenaga menahan rasa dingin. Ia berusaha menggapai tubuh wanita itu lalu merengkuhnya. Dengan susah payah, Daniel membawa wanita yang telah kehilangan kesadarannya itu ke pesisir pantai.
Daniel merebahkan tubuh wanita itu di atas pasir putih. Lalu Daniel menekan-nekan dada sang wanita agar air yang masuk ke dalam tenggorokannya keluar.
"Ayo bangun! Kumohon sadarlah!" seru Daniel seraya terus menekan dada gadis itu bahkan sesekali memukulnya. Wanita itu tak kunjung bangun. Daniel pun terpaksa melakukan ini. Ia menekan rahang wanita itu hingga bibirnya mengerucut. Lalu Daniel menarik nafas panjang dan...
Ia memberi nafas buatan pada wanita itu. Berkali-kali lalu kembali menekan dada sang wanita.
"Haaaaaahhh."
Wanita itu terbangun, "uhuk..uhuk...uhuk..." lalu terbatuk. Ia mengeluarkan air dari mulutnya.
Daniel bernafas lega.
"Akhirnya kau bangun nona." Ujarnya bahagia.
"K-kau siapa?" wanita itu mengerutkan keningnya. Sembari terbatuk, ia berusaha bangkit.
Sontak Daniel menahan tubuh wanita itu. "Hati-hati nona. Tubuhmu masih lemas."
"Lepas!" wanita itu menepis dengan kasar tangan Daniel. Ia melayangkan tatapan benci pada Daniel. Pria yang telah menolong wanita itu.
"Jangan ikut campur! Harusnya kau biarkan aku mati!" jerit wanita itu dengan isakan pilu.
"Hei nona tenanglah." Daniel menahan kedua pundak wanita itu.
"Jangan melakukan tindakan bodoh. Aku tak tau apa masalahmu, sampai kau nekat melakukan hal tadi. Tapi percayalah Nona. Semua masalah akan ada solusinya. Kau tak harus menyerah dan membiarkan nyawamu sia-sia begitu saja. Percayalah, bahwa kau sangat berarti nona."
Wanita itu terkekeh sinis, ia melirik tajam manik mata Daniel yang begitu khawatir. "Solusi? Solusi apa yang aku miliki. Ketika bajingan itu membuangku begitu saja. Setelah apa yang dia dapatkan dariku. Dia dengan mudah membuangku begitu saja, seperti sampah yang tak berarti. Aku MEMBENCINYA! AKU BENCI HIDUPKU!" jerit wanita itu lalu berlari ke arah ombak.
Sontak Daniel berlari menahannya. Ia menarik wanita itu lalu merengkuhnya erat. "Kumohon berhenti! Jangan lakukan tindakan bodoh itu! Kau berharga nona. Kau sangat berharga." Daniel mengelus rambut basah wanita itu. Menahannya agar tak melakukan hal nekat itu lagi.
"Sekarang ikutlah denganku. Aku tak mau kau melakukan hal nekat itu lagi." Wanita itu hanya menangis dalam pelukan Daniel.
Dengan perlahan, Daniel melepas pelukannya lalu menggenggam tangan wanita itu. Berjaga-jaga agar ia tak lari lagi menuju air. Wanita itu terisak, wajahnya menunduk lemah. Ia tak bergeming dan terus mengikuti langkah Daniel yang entah kemana akan membawanya.
Daniel memutuskan membawa wanita itu ke kamar hotelnya. Sebelum wanita itu kembali menceburkan diri ke dalam ombak. Ia tak mau ada berita bunuh diri di dekat hotelnya. Selain itu, ia adalah seorang manusia dan mahkluk sosial. Yang tentu menjungjung tinggi rasa kemanusiaan. Ia tak mau orang lain mati bunuh diri dan menyia-nyiakan hidupnya hanya demi masalah yang seharusnya masih bisa diatasi.
Mereka akhirnya sampai di kamar Daniel. "Duduklah."
Daniel mempersilahkan wanita itu duduk diatas sofa depan TV. Lalu Daniel mengambil handuk untuk untuk membasuh wanita itu yang telah basah kuyup, sama seperti dirinya.
"Ini, basuhlah tubuhmu. Aku akan meminta pelayan hotel membawakan baju wanita untukmu."
"Terimakasih." Ucap wanita itu menerima handuk dari Daniel. Dengan pelan ia mengusap tubuhnya dengan handuk. Lalu beralih ke rambutnya yang basah.
Daniel pun ikut mengusap tubuhnya dengan handuk. Namun saat ia menoleh. Ia tak sengaja melihat ceruk leher wanita itu yang begitu mulus. Bahkan tulang selangkanya pun begitu indah.
"Astaga Daniel! Apa yang kau pikirkan!" batinnya meracau.
"Ada apa?" tanya wanita itu.
Namuan Daniel menggeleng. "Tidak. Bukan apa-apa. Lanjutkan saja." Sahutnya seraya tersenyum kikuk.
Daniel memilih bangkit dari duduknya. Sebelum ia lebih jauh melihat tubuh wanita itu. Daniel merogoh saku celananya hendak menelfon reseptionist. Namun tiba-tiba ia mendengar rintihan dari wanita yang ia tolong.
"Hei? Kau kenapa? Apanya yang sakit?" Daniel dengan cepat menghampiri wanita itu. Ia begitu khawatir.
Wanita itu menggeleng, seraya meremas perutnya.
"Ada apa? Perutmu sakit? Kupanggilkan dokter ya?"
"T-tidak! Jangan! Jangan panggilkan siapapun!" rintih wanita itu yang terus meremas perutnya.
Daniel semakin panik. Wajah wanita itu kian pucat. Nampaknya perut wanita itu sangat menyakitinya.
"Kupanggilkan dokter ya?"
"Jangan!" wanita itu meremas kuat lengan Daniel.
Sontak Daniel membelalak.
Wanita itu kemudian menarik lengannya. Hingga wajah mereka begitu dekat. "To-tolong aku." Rintihnya parau.
"Tentu. Tentu saja. Aku akan menolongmu. Katakan apa yang harus kulakuka—" seketika tubuh Daniel membeku.
Wanita itu menyatukan bibir mereka. Lalu perlahan, bibir wanita itu bergerak memangut bibir sang pria.
Daniel mendorong wanita itu, lalu mengusap bibirnya dengan kasar.
"Apa yang kau lakukan! Aku sudah punya tunangan! Kau jangan macam-macam!"
Namun wanita itu tak menghiraukan seruan Daniel. Ia terus meringis, merintih meminta tolong.
"Kumohon tolong aku?"
*
*
Bersambung