"Aku harus pulang." Gumam Daniel seraya mengelus pundak Clarissa yang telanjang.
Clarissa seketika murung, raut wajahnya mengkerut dengan bibir yang mengerucut. "Tak bisakah kau tinggal lebih lama?"
Daniel menggeleng pelan. Ia mengecup kening Clarissa lalu beralih ke bibirnya.
"Tidak bisa, baby. Pekerjaanku menunggu disana."
"Benarkah? Atau kekasihmu yang sudah menunggu?" Tuduh Clarissa dengan alis menukik.
"Ekhem..." Daniel berdehem untuk menghilangkan kegugupannya. Namun Clarissa bukanlah wanita yang mudah ditipu.
"Jangan berpura-pura. Aku mendengar percakapanmu tadi di telfon. Dia kekasihmu bukan?"
Daniel menggigit bibirnya kasar. Merasa terpojok karena tak bisa mengelak tuduhan Clarissa.
"Dia... Dia hanya rekan kerjaku." Bohongnya dengan tergagap.
Clarissa menggeleng, tersenyum sinis menatp Daniel. Ia pun beranjak dari ranjang, menyibak selimut yang menutupi tubuh moleknya. Clarissa menjauh dari ranjang, kemudian mengambil pakaiannya yang tergeletak di atas sofa. Ia menggenakan pakaian itu dengan terburu.
"Kau mau kemana?" tanya Daniel yang beranjak dari ranjangnya. Ia menghampiri Clarissa lalu memeluknya dari belakang.
"Jangan menyentuhku!" ketus Clarissa. "Pergi saja kau sana! Temui kekasih tercintamu. Biarkan saja aku mati di telan ombak. Lagipula tak ada yang peduli padaku!"
"Hei! Apa yang kau katakan? Jangan pernah berpikir untuk bunuh diri lagi! Aku tak akan membiarkanmu melakukan hal bodoh itu lagi!" bentak Daniel membuat sekujur tubuh wanita itu menegang.
"Hiks...hiks...hiks..." Clarissa seketika menangis. Sontak membuat Daniel panik.
"Baby? Kenapa menangis? Please, jangan menangis. Kemarilah." Daniel merengkuh tubuh ringkih wanita itu. Memeluknya erat seraya memberikan usapan lembut pada punggung Clarissa, agar wanita itu sedikit lebih tenang.
"Aku tak mau berpisah denganmu, Daniel. Baru saja aku mengalami patah hati terhebat. Lalu kau datang menyelamatkanku. Dan dengan bodohnya aku jatuh cinta padamu. Hanya karena kita telah melewati malam bersama. Aku tak mau ditinggalkan lagi. Aku tak ingin sendirian. Tolong jangan pergi Daniel. Tinggallah disini bersamaku. Kumohon..." Clarissa terisak dalam pelukan Daniel.
"Maafkan aku Clarissa? Tapi aku harus pulang."
Clarissa tak menjawab. Dia menangis semakin kencang, bahkan tubuhnya ikut bergetar bersama dana suara yang sesenggukan.
"Bagaimana jika kau ikut denganku ke Bangkok?"
Clarissnya mengernyit. Ia melepas pelukan mereka, lalu menatap penuh tanya pada Pria bermata hitam itu.
"Aku tak bisa." Sahutnya parau.
"Kenapa? Apa kau masih mengharapkan kekasihmu itu? Orang yang tega meninggalkan permata indah secantik diirmu."
Clarissa menggeleng lemah. Ia menunduk dengan raut wajah sayu. "Bukan begitu. Aku tak berharap padanya lagi. Dia telah membuangku. Dan memilih pergi, mengejar takdirnya yang tak pasti. Aku bahkan tak mau bertemu dengannya. Tapi,"
"Tapi apa Clarissa?"
Clarissa menoleh, "Tapi aku tak bisa meninggalkan pulau ini. Ada sesuatu yang belum bisa kuceritakan padamu. Dan aku juga masih memiliki urusan yang harus kuselesaikan disini."
"Baiklah kalau begitu. Aku akan tetap pulang ke Bangkok."
Clarissa menatap tak suka pada Daniel.
"Tenanglah, baby." Daniel segera mendekati Clarissa, lalu menangkup kedua pipi tirusnya yang runcing.
"Aku akan meluangkan waktuku tiap akhir pekan untuk mengunjungimu ke Phuket. Kau mau kan menungguku?"
"Benarkah?" Ujar Clarissa sumringah.
"Ya tentu saja. Aku berjanji. Kita akan bertemu di tempat ini. Di kamar yang sama. Aku akan menghubungimu nanti."
Clarissa mengangguk senang. Nampak jelas air mata yang menbendung ingin segera lolos dari balik kelopak matanya yang indah.
"Baik, aku akan menunggumu, baby." Lalu Clarissa mengecup bibir kekasih barunya.
*
*
"Jadi sekarang kita kekasih?" tanya Clarissa saat mereka sedang sibuk memasukkan pakaian Daniel ke dalam koper.
"Hm.. Kau ingin seperti itu?" Daniel balik bertanya seraya mengelus lembut pipi Clarissa.
Tanpa ragu, Clarissa mengangguk begitu antusias. "Ya! Tentu saja aku ingin menjadi kekasihmu. Aku mencintaimu. Bahkan saat pertama kali kita bercumbu, aku sudah jatuh hati padamu."
Cup
Daniel mengecup ringan bibir Clarissa. "Aku juga telah jatuh hati pada permata indahku." Gumamnya lembut.
"Jadi, kita resmi menjadi kekasih?"
"Ya, baby. Kau adalah pacarku sekarang." Dan mereka kembali beradu lumatan penuh hasrat, sebelum akhirnya Daniel tersadar bahwa jam keberangkatan pesawatnya tinggal 30 menit lagi.
"Aku harus segera pergi."
Mereka pun bergegas menuju lobby hotel. Clarissa mengantar Daniel sampai di Airport, lalu mereka dengan berat hati berpisah disana.
"Jangan lupa hubungi aku!!" teriak Clarissa.
"Tentu saja, Baby. Tunggu aku ya... I love you..." seru Daniel dari pintu keberangkatan.
Clarissa melambaikan tangan, hingga kekasihnya itu hilang di balik pintu keberangkatan.
*
*
"I'm home...." Seru Daniel yang baru saja menginjakkan kaki di apartemennya. Ia menyeret kopernya, seraya melangkah ke dalam apartemen yang nampak sepi.
"Honey?" Panggil Daniel seraya mencari kekasihnya ke setiap ruangan.
"Luna...? Sayang kamu dimana? Honey ? Kamu di rumah kan ? Sayang....?" Daniel membuka pelan pintu kamarnya, dan tak melihat siapapun disana.
Daniel menaruh kopernya di dekat meja rias. Lalu kembali mencari kekasihnya. Hingga Daniel mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Iapun segera melangkah kesana.
"Honey...? Kau disana sayang?" panggil Daniel lagi. Perlahan ia melangkah ke dalam kamar mandi, lalu...
"LUNA!!!!" Daniel berteriak histeris. Ia berlari menghampiri Luna, yang tergeletak lemas di lantai.
Sekujur tubuh wanita itu basah, akibat air shower yang mengguyurnya. Daniel segera mematikan keran shower lalu mengangkat tubuh kekasihnya keluar dari sana.
"Luna? Luna bangun sayang!" Daniel menepuk-nepuk pipi Luna yang ia baringkan di atas ranjang.
"Kamu kenapa sayang? Apa yang terjadi padamu? Kumohon sadarlah!" Daniel terus menepuk wajah kekasihnya. Memeriksa denyut nadi dan detak jantungnya.
Daniel merogoh saku celananya, menarik ponselnya disana. Ia segera menelfon ambulans.
"Sayang, tunggulah sebentar lagi. Ambulan akan segera datang." Ujarnya panik.
Daniel mengangkat tubuh kekasihnya, membawanya keluar dari apartement mereka. Ia masuk ke elevator dan menekan tombol lantai dasar. Ia hendak menuju lobby sembari menunggu ambulans datang.
Saat mereka sampai di lobby. Sirine ambulans terdengar mendekat. Dengan buru-buru Daniel berlari menuju pintu lobby lalu tim medis segera menghampiri mereka. Luna dibaringkan diatas ranjang pasien, lalu didorong masuk ke dalam mobil ambulans.
Daniel buru-buru naik menyusul para tim medis. Dia duduk di samping dokter yang tengah memeriksa kondisi Luna.
"Dokter, tolong selamatkan dia. Selamatkan tunanganku." Daniel memohon dengan terus terisak. Ia menggenggam erat tangan kekasihnya. Dalam hati, ia berdoa agar Luna baik-baik saja.
*
*
"Bagaimana keadaan Luna?" Rosa tergesa menghampiri Daniel yang tengah duduk diatas kursi di ruang tunggu IGD. Wajahnya kusut, pikirannya kalut. Terlihat jelas kantung mata yang tebal. Mata pria itu begitu sembab. Rosa berani menebak, bahwa kekasih sahabatnya itu telah menangis cukup lama.
"Daniel! Katakan bagaimana keadaan Luna?"
Daniel masih menunduk lemah. Ia meremat rambutnya kasar. Isakannya semakin terdengar.
Rosa menghela nafas kasar. Ia pun ikut duduk di samping Daniel. Tangannya menepuk pelan bahu pria itu.
"Tenanglah. Luna akan baik-baik saja. Tidak akan terjadi apapun padanya. Luna adalah wanita yang kuat." Ujar Rosa menguatkan.
Namun Daniel, justru semakin terisak. "Ini semua kesalahanku!" geramnya.
"Hei! Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Kita tak pernah tau apa yang akan terjadi. "
"Tapi ini semua salahku!" Daniel menoleh dengan tatapan penuh amarah. Ia marah pada dirinya sendiri yang telah lalai menjaga kekasihnya. Bahkan ia tak tau, apa yang menyebabkan Luna pingsan di dalam kamar mandinya.
"Daniel! Ini bukan salahmu!" bentak Rosa.
"Tidak Ros! Ini semua salahku. Harusnya aku pulang lebih awal. Harusnya aku tak menunda kepulanganku. Jika aku pulang lebih awal. Luna tak akan seperti ini. Dia pasti baik-baik saja."
"Daniel. Tak ada yang tau apa yang akan terjadi. Mungkin Luna kelelahan karena pekerjaannya. Jangan berpikir berlebihan. Luna pasti baik-baik saja."
"Keluarga Nona Luna Calista?" seorang dokter muda datang menghampiri mereka.
Sontak Daniel dan Rosa bangkit menghampiri sang doktwr.
"Iya dokter, saya tunangannya." Sahut Daniel tergesa.
"Pasien mengalami anemia dan dehidrasi yang cukup parah. Kami telah melakukan tindakan sebelum sel darah merah pada pasien terkuras habis. Tolong lebih diperhatikan pola makan dan olahraga pasien. Nanti akan saya resepkan obat, beserta makanan yang bagus di konsumsi untuk meningkatkan sel darah merah pada tubuh pasien. Dan satu lagi, tolong pastikan agar pasien tidak memiliki beban pikiran dan beban kerja yang berlebihan. Karena kondisi fisik pasien sangat lemah. Sehingga mudah baginya kehilangan kesadaran dan pingsan seperti tadi. Saya harap, anda lebih memperhatikan kesehatan tunangan anda."
"Baik dokter. Saya akan lebih memperhatikan tunangan saya. Terimakasih untuk sarannya dokter. Lalu bagaimana keadaan tunangan saya sekarang? Apa dia sudah sadar? Apa saya boleh menemuinya?"
"Saat ini pasien masih belum sadarkan diri. Namun jangan khawatir. Karena sebentar lagi pasien akan segera sadar. Tapi karena kondisi tubuhnya yang masih lemah. Maka pasien harus dirawat inap satu malam di sini."
"Baik dokter. Tolong lakukan yang terbaik untuk tunangan saya."
"Tentu tuan. Sekarang silahkan tuan menemui tunangan anda. Saya permisi."
"Terimakasih banyak dokter."
Daniel segera menghampiri Luna yang masih terbaring, tak sadarkan diri di atas ranjang pasien. Rose pun mengikuti Daniel.
"Sayang maafkan aku? Ini semua salahku. Aku tak berguna."
Drrrtttt....drrrrttt....drrrtttt..
Ponsel Daniel tiba-tiba bergetar. Ia pun segera mengambil ponselnya di dalam saku.
Daniel tertegun melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Ia melirik ke arah Rosa yang menatapnya tak bersahabat.
"Siapa Daniel?" tanya Rosa.
"Ah... I-ini sekretarisku. Iya ini sekretarisku. Dia pasti bingung karena aku tak berangkat ke kantor setelah sampai di Bangkok. Aku harus menerima panggilannya dulu. Kutitip Luna padamu sebentar."
"Hu'm baiklah. Kau tenang saja. Sana cepat angkat telfonnya. Sepertinya sangat penting." Ujar Rosa.
Daniel pun bergegas pergi dari ruangan itu. Lalu mengangkat telfonnya.
"Baby? Kenapa menelfonku?" bisik Daniel menerima telfon.
"Babyyyy... Aku merindukanmu. Kau sudah sampai di Bangkok? Kenapa tak mengabariku?" rengek seorang wanita di seberang sana.
"Clarissa. Aku sedang dalam masalah saat ini. Nanti akan ku telfon lagi ya."
Rupanya wanita yang menelfonnya adalah Clarissa. Wanita yanh telah menghabiskan malam yang panas bersamanya di Phuket.
Wanita yang membuat Daniel melupakan kekasihnya sejenak dan menunda keberangkatannya untuk pulang ke Bangkok. Wanita cantik nan seksi. Yang telah membutakan mata dan pikirannya.
"Jadi begini? Setelah kau sampai di Bangkok. Kau langsung melupakanku? Apa kekasihmu marah karena kau tidur dengan wanita lain di Phuket?"
"Clarissa! Stop! Jangan bahas ini sekarang. Aku harus pergi. Nanti ku telfon lagi."
"Tap—"
Bip.
Daniel memutus panggilan telfon dengan kasar.
"Siapa Daniel?"
Daniel tersentak, hingga hampir terjungkal jika tak ada dinding yang menahan tubuhnya.
"Oh, Ros? Kenapa? Apa Luna sudah bangun?'
Daniel tersentak melihat Rosa sudah berada di belakangnya. Daniel bertanya-tanya, apakah Rosa mendengar percakapannya di telfon bersama wanita lain.
"Belum, Luna masih belum sadar. Aku harus bertemu klient sekarang. Jadi aku pamit sebentar. Nanti aku kesini lagi."
"Oke, tidak apa-apa. Pergilah, aku akan menjaga Luna disini."
"Oke. Titip Luna ya." Ros menepuk pundak Daniel pelan. Namun tatapan Ros menyiratkan kejanggalan. Ia tersenyum sinis, lalu perlahan melangkah mundur. Hingga akhirnya Rose pergi di balik elevator.
"Apakah dia mendengar semuanya?" Batin Daniel gelisah.
*
*
Bersambung