Pagi itu, Luna sedang sibuk di dapur bersama dengan sayuran dan bahan mentah lainnya. Ini adalah hari minggu. Dimana ia akan menikmati hari liburnya dengan membuat masakan spesial untuk kekasihnya. Sudah 2 bulan lebih ia tinggal di apartemen Daniel. Menjalani hidup seperti suami istri.
Hari-hari yang ia jalani dengan kekasihnya begitu sempurna. Begitupun dengan rasa cintanya yang tumbuh semakin besar. Luna begitu mensyukuri hidupnya yang sempurna, bersama sang kekasih pujaan hati.
Lamunannya terganggu, saat ia merasakan ada sepasang lengan melingkar di pinggangnya. Luna tersenyum mendapati sang kekasih yang merengkuh tubuhnya dari belakang. Lalu membenamkan wajahnya di ceruk leher Luna dengan brewok tipis di sekitar rahang. Pria itu sepertinya baru bangun dari tidurnya yang panjang. Setelah semalam penuh mereka habisnya dengan bercinta di ranjang.
"Honey, aku lagi masak." Gerutu Luna seraya mengaduk adonan tepung di wadah berwarna jingga.
"Kekasihku sedang masak apanih? Aku tak sabar untuk mencicipinya. Pasti rasanya sangat enak, seperti yang membuatnya." Daniel dengan nakal menjilati leher kekasihnya, lalu perlahan menghisapnya.
"Ngghh.... Honey, aku lagi masak. Jangan nakal ih." Seru Luna mencubit lengan Daniel, hingga pria itu memekik kesakitan dan melepaskan pelukannya.
"Honey, sakittt." Rengek Daniel seraya mengerucutkan bibirnya seperti bebek.
"Jangan mulai deh. Duduk disana. Tunggu sampai aku selesai masak. Atau kamu harus makan diluar tanpa aku." Ancam Luna.
Alih-alih pergi. Daniel justru memeluk erat kekasihnya. Bergelendotan manja seperti anak kecil.
"Gak mau. Aku mau makan disini. Sama kamu, honey." Gerutu Daniel di ceruk leher sang kekasih. Membuat Luna tersenyum dengan tingkah kekasihnya.
"Yasudah, terserah padamu saja." Ujar Luna final. Ia terus melakukan kegiatannya dengan Daniel yang masih memeluknya erat dan mengikuti kemanapun Luna melangkah.
Rupanya Daniel belum puas dengan kegiatan mereka semalam. Aroma Luna begitu memikat. Ia kembali terbawa suasana, hingga gairahnya terpancing. Daniel mengendus ceruk leher kekasihnya, membubuhkan kecupan ringan yang berakhir pada hisapan dalam.
Luna melenguh, merasakan nikmat dan geli menjadi satu. Tangan yang memegang piring itu bergetar, meremat kuat agar piring itu tak jatuh. Ia tak mau tergoda, namun Daniel begitu pintar. Iya meraba pinggul kekasihnya begitu lembut. Menggerayangi tubuhnya hingga ke bagian dada dengan sepasang buah kembar yang kenyal dan mungil. Kedua pucuk dadanya menegang, dan Daniel dapat merasakan tubuh kekasihnya bergerak gelisah.
Daniel tak mau melewatkan kesempatan ini. Ia menempelkan bagian bawahnya di bokong kekasihnya yang terbalut kain tipis. Menggesekkannya pelan hingga Luna melenguh lagi.
"Ho-ney..." lenguh Luna memanggil kekasihnya.
"Call my name, honey." Bisik Daniel bergairah.
"Dan-daniel...nghh.." Luna menggesekkan bagian belakangnya pada selangkangan Daniel. Merasakan benda besar yang hendak menusuk tubuhnya.
Luna tak dapat manahan hasrat yang menggebu. Daniel benar-benar membuatnya hilang akal. Luna berbalik, meraup habis bibir Daniel. Menyesapnya kasar, membiarkan lidah mereka beradu panas.
Daniel menanggalkan semua pakaiannya, begitu juga dengan kekasihnya. Lalu merebahkan tubuh Luna diatas meja makan. Untung saja meja itu belum berisi hidangan makanan.
Daniel membuka kedua kaki Luna, dan mempersiapkan tubuh kekasihnya untuk menerima hentakan dari miliknya yang telah menegang.
Lalu kegiatan panas itu berlangsung lama di dapur. Mereka bahkan tak peduli masakan yang telah matang mulai dingin, menunggu mereka berdua yang masih asik beradu lumatan dan hentakan panas yang menguras tenaga
.
Dua jam telah berlalu. Kini dapur mereka telah kotor, berantakan seperti kapal pecah. Luna dan Daniel hanya terkekeh melihat keadaan di dapur karena ulah mereka berdua yang tak dapat menahan gairah panas yang menggebu.
*
*
Satu Tahun telah berlalu. Daniel dan Luna menjalani hari-hari mereka sebagai sepasang kekasih yang bahagia. Hingga akhirnya Daniel memutuskan untuk melamar Luna. Pernikahan mereka akan segera dilangsungkan bulan depan. Namun kendalanya adalah, Daniel dan Luna belum bertemu dengan kedua keluarga mereka yang tinggal di Luar Negeri.
*
*
"Honey, ada yang mau kubicarakan." Ujar Daniel yang kini duduk di samping kekasihnya. Keduanya tengah menonton film barat ditemani popcorn dan cola.
"Tentang apa, honey?" tanya Luna sambil sibuk mengunyah popcorn rasa caramel itu.
"Besok aku akan berangkat ke Phuket. Project disana sedikit mermasalah. Dan aku harus datang untuk mengatasinya."
Raut wajah Luna berubah masam. "Kenapa begitu mendadak, Daniel?"
Jika Luna sudah menyebut namanya. Itu artinya Daniel harus bersiap menerima amukan, ataupun bersiap merayu Luna yang akan ngambek dengannya.
"Sekretarisku juga mendadak memberitahuku Honey. Please jangan marah ya?" Daniel menggenggam tangan kekasihnya lembut. Binar matanya yang sendu berusaha meluluhkan hati kekasihnya yang nampak sedih.
"Berapa lama?" tanya Luna.
"Aku belum yakin untuk itu. Nanti akan kukabari lagi. Aku janji tidak akan lama disana."
"Janji gak lama?"
"Janji sayang."
"Kalau begitu sehari saja."
"Tidak bisa sayang. Masalahnya lumayan serius. Dan melibatkan banyak pihak. Aku harus bernegosiasi dengan para insvestor. Menjadwalnya rencana ulang agar project disana bisa dilaksanakan. Kumohon mengertilah sayang?"
"Aku kurang mengerti apalagi Daniel?"
"Honey, please? Aku janji tidak akan lama. Aku tak akan macam-macam disana. Aku akan terus menghubungimu. Kita gak akan lost contact okay?"
"Hm.. terserah." Luna melepas genggaman kekasihnya lalu pergi ke kamar. Bukan ke kamar mereka berdua. Melainkan kamar lain yang biasa Luna pakai ketika ia bertengkar dengan Daniel.
Luna membanting pintu begitu kasar hingga membuat Daniel terperanjat.Daniel berlari menyusul Luna, namun ia telat karena pintu telah dikunci.
Daniel harus meratapi malamnya sendiri, tanpa kekasihnya di ranjang.
*
*
Pagi itu Daniel tetap pergi. Meninggalkan Luna yang masih marah padanya. Ia akan menghubungi kekasihnya dari Phuket. Berharap agar Luna bisa memaafkannya.
"Honey, aku berangkat ya?" panggil Daniel dari luar pintu. Namun gadis itu tetap tak menyahut.
Karena dikejar waktu. Akhirnya Daniel berangkat. Meski hatinya berkata tidak dan langkahnya begitu berat meninggalkan Luna.
Daniel membuka knop pintu, lalu...
"Daniel...." panggil Luna dari belakang.
Daniel sontak berbalik, mendapati Luna berlari ke arahnya. Luna menerjang tubuh Daniel, memeluknya erat.
"Honey, hiks...hiks..." Luna terisak di dalam rengkuhan Daniel.
"Honey, hei? Don't cry..." Daniel mengelus surai panjang kekasihnya.
Luna mendongak, dengan linangan air mata yang terus mengalir.
"Daniel, jangan pergi." Rengek Luna.
"Aku juga gak mau pergi, honey. Tapi aku harus."
Luna mengeratkan pelukannya.
"Honey, maafkan aku. Aku harus pergi. Aku janji akan menghubungimu disana okay?"
Luna mengangguk lemah. Ia pun melepas pelukannya.
"Hm... Baiklah. Jaga dirimu disana. Jangan lupa hubungi aku."
Luna berjinjit, mengecup bibir sang kekasih.
"Aku mencintaimu. Cepat pulang, Honey."
Daniel pun membalas ciuman kekasihnya. "Tentu sayang. Aku akan segera pulang."
Lalu mereka berpisah.
Luna menatap kepergian Daniel, lalu menghilang di balik elevator. Entah kenapa rasa cemas menghampirinya. Luna memang tak bisa jauh dari Daniel. Namun lebih dari itu, ada firasat buruk yang menghantuinya. Entah hanya kebetulan atau bagaimana. Luna benar-benar merasa cemas dengan lepergian kekasihnya. Mungkinkah ini sebuah pertanda? Namun Luna berusaha mengabaikannya.
"Jaga dirimu, honey." Gumamnya sendu.
*
*
Bersambung