"A-aku belum...mmphhh... me-nyetujuinya."
"Tapi lenguhanmu telah menjawabnya, baby. Kau juga sama menginginkanku."
Luna meneguk ludahnya kasar. Benar saja apa yang pria itu katakan. Bahwa dia juga menginginkannya. 25 tahun hidup tanpa cinta dari seorang kekasih. Tak pernah merasakan dicintai. Apalagi hingga bercinta. Maka malam ini, ketika pria tampan ini begitu mendamba tubuhnya. Batinnya pun goyah.
"Jangan terlalu banyak berpikir. Cukup nikmati saja. Aku berjanji tak akan kasar."
Dan tanpa disadari, Luna mengangguk pelan. Ia pun ingin merasakannya. Kenikmatan dunia, yang katanya seperti surga.
"Good girl."
"Emmphhhh...."
*
*
Sinar mentari mengintip dari celah jendela. Mengusik tidur lelap sepasang insan yang masih bergelung di balik selimut putih nan tebal. Seolah enggan untuk menyapa sang mentari.
Pria dengan lengan berotot yang dipahat begitu indah, mengeratkan pelukannya pada pinggul gadis yang terlelap dengan nyaman diatas dada sang pria.
"Nghhh.." lenguh sang gadis.
Pria bernama Daniel itu mengulas senyuman tipis. Tangannya mengelus surai kecoklatan itu begitu lembut. Mengecup kening sang gadis begitu tulus.
Merasa terusik dengan sentuhan di dahinya. Luna mengerjap perlahan. Meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Lalu ia meringis pelan, merasakan bagian pinggul hingga selangkangannya yang terasa nyeri.
Saat ia mendongak, sepasang irisnya melebar. Mendapati sosok pria menatapnya lekat dengan senyuman menawan yang menghiasi wajahnya.
"D-daniel—"
Cup.
Satu kecupan menyambut paginya. Daniel, pria bermata hitam pekat itu mengecup bibir ranum yang semalam ia cumbu hingga bibirnya sedikit membengkak.
"Morning," sapa pria itu begitu tenang.
Luna meringkuk mundur, namun segera ditahan oleh Daniel. Lengannya yang kokoh dengan mudah menarik pinggul gadisnya. Lalu mempererat pelukannya, hingga sang gadis hampir kehabisan nafas di pelukan Daniel.
"Daniel, aku kehabisan nafas." Ringisnya pelan.
Sontak Daniel melepas pelukannya. "Oh Sorry? Maafkan aku cantik? Apa kau baik-baik saja?" Daniel begitu khawatir, raut wajahnya berubah gelisah.
Luna sedikit terbatuk, kemudian menggeleng. Bibirnya yang tipis dengan warna merah ranum mengulas senyuman manis. Wajahnya kian merona, dan ia menunduk enggan menatap iris sang pria yang kini ikut tersenyum menatapnya.
"Apa kau sedang tersipu?" Daniel mengelus pipi sang gadis. Menarik perlahan dagu tipisnya yang sedikit runcing.
Iris gadis itu begitu indah, bahkan bulu matanya begitu lentik.
Luna tersenyum malu, sedikit melirik manik mata sang Pria sebelum akhirnya Daniel menarik dagunya lalu menyatukan bibir mereka.
Luna sedikit tersentak, tatkala bibir tebal yang begitu lembut itu memangut bibirnya, menggigit lalu menghisapnya. Luna melenguh, jemarinya meremat kasar bahu sang pria.
Lalu saat ia lengah. Daniel melesakkan lidahnya, beradu di dalam sana, membiarkan saliva yang saling tertukar dan merasakan kecap rasa manis dari bibir keduanya.
Daniel kembali bergulat panas dengan gadis pujaan hatinya. Lenguhan nikmat, desahan panas mengudara memenuhi seisi ruangan, mengubah atmosfer kamar yang ikut menjadi panas.
*
*
"Sayang...." Daniel berbisik di sebelah telinga sang gadis yang masih sibuk mengeringkan rambutnya.
Luna tersentak kaget, ia menoleh hingga pipinya berhasil dikecup lagi oleh pria yang begitu mendambanya.
"Daniel! Apasih!" gerutunya manja.
Daniel tak peduli, ia mendudukan dirinya di atas kursi putih lalu mengangkat tubuh Luna dengan mudah. Membiarkan gadis itu kini duduk diantara kedua pahanya.
Kedua lengannya melingkar erat di pinggul sang gadis. Lalu wajahnya ia benamkan di ceruk leher Luna. Daniel menghirup aroma vanila bercampur mawar dari ceruk leher sang gadis. Lalu membubuhi kecupan kupu-kupu disana.
"Daniel, geli.." ringis Luna.
"Kau sangat harum sayang... Aku tak bisa menahan diriku untuk tak menyentuhmu."
Luna terkekeh, menatap cermin besar di depannya. Melihat bagaimana Daniel begitu menempel dan manja padanya.
Jemari lentik Luna, bergerak turun. Mengelus lembut lengan Daniel yang melingkar erat di pinggulnya.
"Tapi..." ucapanya tertahan.
"Tapi apa sayang? Ada sesuatu yang mengganggumu?" ujar Daniel risau.
Luna menggeleng. "Bukan begitu. Hanya saja," Luna melirik Daniel dengan ekor matanya.
"Hanya saja, aku belum terbiasa dipanggil sayang." Jemarinya menyisir rambut, menyelipkan ke sela telinganya yang merah padam.
"Kau akan terbiasa sayang. Karena kita, telah resmi menjadi kekasih. Aku begitu mencintaimu. Bahkan sejak kali pertama kita bertemu. Saat bibir ranummu merintih begitu sensual. Memohon padaku untuk menolongmu. Dan sejak pertama bibir kita beradu. Aku telah jatuh padamu."
Daniel menangkup pipi Luna, menolehkan wajahnya agar tatapan mereka beradu. "Sayang..." panggilnha lembut. "Apa kau juga mencintaiku?" tanya Daniel dengan sorot mata yang menelisik begitu dalam.
Luna tak bergeming, bibirnya mengulas senyuman manis. Lalu perlahan wajahnya bergerak mendekat. Menyatukan bibir mereka, mengecupnya lembut.
"Apa kau masih butuh jawaban?" gumamnya lembut. Lalu detik berikutnya Daniel menangkup pipi tirus nan lancip kekasihnya. Menyatukan bibir mereka. Kembali menyesap dengan begitu mendamba.
Daniel membopong kekasihnya, membawanya ke atas ranjang. Lalu pergulatan panas itu kembali terulang. Bahkan mereka tak tau sudah berapa kali mencapai puncak kenikmatan. Hari itu begitu indah untuk sepasang sejoli yang baru saja mengikat statusnya menjadi sepasang kekasih yang saling mencintai.
*
*
*
Luna tersenyum dalam lamunannya. Bahkan tumpukan berkas di mejanya, seolah rongsokan bekas yang tak berguna. Kenangan tadi pagi dan malam yang panas terbayang-bayqng di benaknya.
"Lun? Hei? Kau mendengarku?"
Luna mengerjap, berdecak kesal pada seseorang yang mengganggu dunianya.
"Apasih?" gerutunya kesal.
Rani menggeleng keheranan. "Apa yang ada di pikiranmu? Kau seperti orang gila yang terus menerus tersenyum. Bahkan penjelasanku tadi tak kau hiraukan."
Rani mendekat ke arah Luna. "Katakan, apa terjadi sesuatu padamu?" bisiknya menyelidik.
Seketika Luna menjadi gagap. "Huh? Enggak ada yang terjadi. Kau terlalu banyak berpikir." Luna melirik arloginya, sudah menunjukkan pukul 6 lewat 15 menit.
"Aku harus pulang." Luna beranjak lalu mengambil tas selempangnya yang berwarna coklat.
"Hei tunggu! Kerjaanmu masih banyak. Kita harus lembur."
"Besok kukerjakan. Sampai jumpa." Luna berjalan tergesa, sebelum rekan kerjanya bertanya lebih banyak padanya dan meciptakan gosip berlebihan di kantor.
Luna membuka pintu loby, lantai itu begitu sepi karena jam pulang sudah lewat dari 1 jam lalu.
"Sayang?"
"Astaga dragon! Daniel?" Luna terperanjat, hampir saja terjungkal sebelum lengan kokoh kekasihnya menahan tubuhnya hingga tak terjatuh.
"Sayang, hati-hati. Kau hampir saja terjatuh." Ujar Daniel khawatir.
Pria itu merapikan helaian rambut sang kekasih yang sedikit berantakan. Raut wajahnya kusut, Luna nampak kelelahan.
"Bagaimana kau bisa ada disini?" tanya Luna.
"Tentu saja bisa. Aku punya mobil, sayang."
"Bukan itu maksudku."
"Lalu apa yang kamu maksud sayangku?" Daniel mengusap lembut surai kecoklatan kekasihnya yang sedikit lengket akan keringat.
"Kenapa kau ada disini Daniel? Bukankah kau sibuk?"
Daniel terkekeh. "Aku memang sibuk. Terlalu sibuk memikirkanmu, hingga aku tak dapat menahan diriku untuk segera bertemu." Bibirnya mengulas senyuman. Membuat sang gadis seketika merona.
"Dan satu lagi." Intonasinya sedikit meninggi. Luna mendongak dengan was-was.
"Jangan memanggilku Daniel. Karena aku adalah kekasihmu."
Luna meneguk ludahnya kasar. "T-tapi aku belum—"
"Ssstt." Daniel menahan bibir sang kekasih dengan telunjuknya.
"Sayang. Panggil aku dengan sebutan itu."
"Tapu aku malu." Rengeknya.
"Sayang... Panggil aku atau kucium."
Iris mata Luna membulat lebar. "Jangan gila. Ini kantor. Bagaimana jika ada yang melihat kita?"
Daniel hanya mengendikkan bahu acuh.
Luna menarik nafas pelan, keping matanya terpejam. Ia menormalkan gerak nafasnya,lalu perlahan berucap.
"S-sayang?"
Daniel tersenyum puas. Seketika lengannya menarik pinggul Luna, lalu menarik rahangnya. Mempertemukan bibir mereka lalu melumatnya kasar.
Luna meronta, "Daniel, apaansih. Jangan menciumku disini."
"Jadi kalau di rumah boleh?"
Dan gadis itu tak dapat menahan rona di wajahnya yang kini sudah semerah tomat.
*
*
*
Bersambung