"Oke. Kali ini saja." Gumamnya.
Luna merogoh tasnya, mengambil ponsel dan membunyikan alarm polisi. Sontak kelima pria tadi lari terbirit-birit.
Dengan cepat Luna menghampiri pria yang setengah sekarat itu.
"Kau tak apa-apa?" Luna berujar panik. Namun seketika keping matanya melebar saat melihat siapa pria yang telah babak belur di bawahnya.
"Kau?" Sengit Luna.
"Lu-na..." dan detik berikutnya pria itu telah pingsan.
*
Dengan bantuan para penjaga dan pemilil klub. Luna membawa Pria yang ia ketahui bernama Daniel Natael itu ke rumah sakit.
Daniel pingsan dengan luka lebam di sekujur tubuhnya. Luna bersama Raka, pemilik Klub malam itu menunggu disana hingga Daniel siuman.
"Kau sudah bangun?" Raka menghampiri Daniel yang merintih kesakitan.
"Dimana ini?" ringisnya.
"Pelan-pelan. Lukamu belum kering." Dengan sigap Luna menahan lengan Daniel yang hendak bangun.
"Luna?"
"Kau mengenal nona ini Nat?" ujar Raka.
Daniel yang sering dipanggil Nata oleh teman-temannya itu mengangguk.
"Dia gadis pemilik mobil yang kumaksud."
"Oooohhh..." Raka hanya bisa ber Oh ria.
"Apa kau baik-baik saja Mr.Daniel?" ujar Luna hati-hati.
Daniel mengulas senyuman tipis di wajahnya. "Panggil saja aku Nata."
"Tap-"
"Ssttt."
"Baiklah, Nata? Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa begitu sakit?" ujar Luna gelisah.
Daniel menggeleng. "Tidak. Melihatmu ada di sampingku. Itu sudah cukup menjadi obatku."
"mmbwwekkk." Raka yang mual dengan gombalan basi temannya itu berlagak seperti ingin muntah.
Luna pun terkekeh melihatnya. Ia tersenum simpul seraya menyembunyikan rona di wajahnya yang kian memerah.
"Kau tersipu?" goda Daniel.
"Apa? Tidak! Tentu saja tidak. Mana mungkin aku tersipu." Luna berlalu meninggalkan dua pria itu yang terkekeh pelan.
"Sudah jangan lama-lama disini. Aku mual dengan bau obat-obatan ini." Raka meracau.
"Aku juga. Antar aku ke pulang." Titah Daniel.
"Bagaimana dengan gadis itu?"
"Dia juga ikut dengan kita."
Pikiran Raka mulai menjelajah ke mana-mana. Ia melirik Daniel yang sedang susah payah turun dari ranjang.
"Pastikan jangan bermain kasar malam ini, Mr. Natael." Goda Raka.
Daniel mengendikkan bahu acuh. "Kita lihat nanti." Seringainya.
*
"Maaf Tuan Raka. Sepertinya kita salah arah. Klub malam milikmu bukan kesini."
Raka menaikkan satu alisnya, melirik dari spion kaca di dalam mobil.
"Siapa yang mau ke klub malam?"
"Loh? Bukannya kita akan ke Burning Town? Mobilku masih disana. Makanya aku ikut menumpang denganmu."
Daniel menggenggam tangan Luna hingga gadis itu terkesiap.
"Apa yang kau lakukan? Jangan macam-macam ya. Kau masih sakit!"
Daniel menyeringai. "Jadi kalau aku tidak sakit. Aku boleh melakukan apa yang ada di pikiranmu sekarang?"
"Bu-bukan begitu. Aish!"
Raka hanya terkekeh di kursi kemudi melihat kepolosan gadis yang didambakan oleh sahabatnya.
"Tenanglah Luna. Mobilmu aman. Raka akan mengurus dan membawanya ke rumahmu. Sekarang kita akan ke rumahku dulu." Ujar Daniel tenang.
"Hah? Apa? Rumah? Kita akan ke rumahmu?"
Daniel mengangguk, seraya mengulum senyumnya.
"Lalu kenapa mengajakku ke rumahmu?"
Daniel tak menjawab. Ia memilih memejamkan mata hingga mobil sampai di basement gedung menjulang langit yang mana adalah apartemen tempatnya tinggal.
"Sudah sampai tuan. Cepatlah turun sebelum kutarik paksa kakimu yang lecet itu." Ujar Raka.
"Ayo turun." Ajak Daniel pada Luna yang masih merajuk di sampingnya.
"Biar kuberi tau. Aku jauh lebih baik hati daripada pria yang mengemudi di depanmu. Setidaknya aku tidak akan menjual tubuh gadis muda sepertimu pada tua bangka berduit yang haus akan seks." Daniel berbisik di telingan Luna.
Luna mengernyit, menoleh dengan sanksi. "M-maksudmu?"
"Raka, bukankah kau ada pertemuan dengan kolega bisnismu? Apa kau perlu oleh-oleh untuk menyenangkan mereka?"
Bukannya menjawab Luna. Daniel justru bertanya pada sahabatnya yang meliriknya dari tadi.
"Tumben kau peduli?" ketus Raka.
"Apa yang mau kau lakukan!" ujar Luna.
"Hanya memberi pilihan. Sebelum akhirnya kau menjadi oleh-oleh untuk para kolega mesum itu."
"Cepatlah! Aku sudah terlambat! Para tua bangka itu pasti sudah memaki-ku disana." Gerutu Raka.
"Sepertinya aku punya solusi untuk menghadapi para tua bangka itu." Daniel melirik ke arah Luna dengan seringai licik.
"Oke! Aku ikut denganmu!" Luna beranjak dari duduknya. Keluar dari mobil lalu mengikuti Daniel menuju Lift.
Daniel tak dapat menahan senyumnya. Ia terkekeh dalam hati.
"Kena kau."
*
*
*
"Duduklah." Suruh Daniel.
Luna mendengus kesal, kemudian duduk mengikuti perintah Daniel.
"Sekarang apa?" ujar Luna ketus.
"Ini." Daniel datang membawa wadah berisi es batu dengan handuk kecil berwarna putih.
"Apa ini?"
"Kau tak bisa melihatnya? Ini es batu. Kompres aku."
"Tidak mau."
Daniel menghela nafas, ikut duduk di samping Luna.
"Kumohon? Bantu kompres aku ya? Rasanya sangat sakit. Sepertinya aku tidak akan bisa tidur malam ini."
Luna menatap pria itu dengan ragu.
"Kumohon?" pinta pria itu dengan nada merengek.
"Baiklah. Kemarikan handuknya."
Daniel dengan senang hati menyodorkan es batu yang dibalut handuk kepada Luna.
"Di sini... aw sakit. Pelan-pelan... aw.. disana. Bukan. Disini. Aw."
Jika bukan karena kasihan, Luna tak akan mau melayani Tuan CEO ini.
Saat di perjalanan menuju klub malam untuk mencari mobilnya. Luna sempat berselancar di dunia maya. Mencari nama Daniel Datael Pamungkas dan betapa terkejutnya dia saat melihat banyaknya artikel tentangnya. Seorang CEO, businessman muda yang telah sukses mendirikan perusahaan agensi ketiga terbesar di Bangkok. Betapa terkejutnya Luna mengetahui pria yang menelfonya tadi adalah konglomerat berpengaruh di Thailand.
"Jangan ngelamun."
"Siapa yang melamun! Sudah selesai. Sekarang aku harus pulang."
Luna menaruh handuk di dalam wadah yang penuh dengan es mencair. Lalu beranjak dari sofa.
"Tunggu." Cegah Daniel.
Luna menoleh dengan malas. "Apalagi."
"Jangan pergi?"
"Kau bukan anak kecil tuan. Jangan merengek. Jangan menipuku dengan wajah memelasmu itu. Aku tak akan percaya. Aku pulang---aw! Apa yang kau lakukan?"
Daniel menarik tangan Luna, hingga gadis itu jatuh tersungkur diatas tubuh Daniel yang telanjang dada.
"Apa yang kau lakukan! Lepaskan aku!" rengek Luna. Dia mencoba melepaskan diri dari rengkuhan pria tampan dengan perut sixpack nya.
"Tidak akan."
Dalam sekejap mata, Daniel membalik posisi mereka hingga gadis berambut sebahu itu terhimpit di bawah tubuh sang CEO.
"A-apa yang kau lakukan?"
"Sstttt... jangan takut. Aku tak akan berbuat macam-macam." Suara baritonnya membuat jantungnya berdebar.
Perlahan Daniel menurunkan wajahnya, hingga bibirnya menempel pada daun telinga gadis berkemeja coklat itu.
"Tapi aku tak bisa berjanji, karena adikku di bawah sudah meronta ingin dihangatkan."
"A-apa maksudmu?"
"Temani aku."
"Huh?"
"Temani aku. Dan kupastikan kau tak akan menyesalinya."
Tak sempat menolak, Daniel telah meraup bibir merah ranum itu. Melumatnya dalam.
"Mpphhhh...Na-ta.."
"Yes baby? Ada yang kau inginkan?"
"A-aku belum...mmphhh... me-nyetujuinya."
"Tapi lenguhanmu telah menjawabnya, baby. Kau juga sama menginginkanku."
Luna meneguk ludahnya kasar. Benar saja apa yang pria itu katakan. Bahwa dia juga menginginkannya. 25 tahun hidup tanpa cinta dari seorang kekasih. Tak pernah merasakan dicintai. Apalagi hingga bercinta. Maka malam ini, ketika pria tampan ini begitu mendamba tubuhnya. Batinnya pun goyah.
"Jangan terlalu banyak berpikir. Cukup nikmati saja. Aku berjanji tak akan kasar."
Dan tanpa disadari, Luna mengangguk pelan. Ia pun ingin merasakannya. Kenikmatan dunia, yang katanya seperti surga.
"Good girl."
"Emmphhhh...."
Bersambung