"Apakah bos memberi perintah lagi?"
Seorang pria yang baru saja mengambil penutup wajah itu bertanya kepada temannya. Ia masuk ke dalam mobil dan melihat temannya itu sudah berada di kursi pengemudi sebuah mobil.
Pria yang memegang kemudi itu hanya mengangguk sambil menutup wajahnya dengan kain rajut yang sudah dirancang berlubang untuk kedua mata dan mulut.
"Apa mereka tidak bosan harus hidup seperti ini?" tanyanya lagi.
"Bagi mereka, ini adalah cara tercepat untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Toh, mereka memberikan uang kepada kita. Apa ada masalah?" jawab teman pengemudinya itu.
"Tapi ini sudah sangat larut malam," kata pria itu yang baru saja memakai penutup wajahnya.
"Karena sudah larut malam, kita harus segera eksekusi."
"Baiklah, siapa target kita saat ini?"
Pria pengemudi itu memberikan sebuah foto kepada temannya. "Kamu tahu formasi kita 'kan?" formasi yang ia maksud adalah pembagian tugas untuk mereka berdua ketika sedang 'eksekusi'.
"Tentu saja aku masih ingat," jawabnya.
"Bagus!"
"Sepertinya dia bukan orang kaya, ataupun keluarga orang terpandang?"
"Memang," kata salah satu pria itu yang kemudian menyalakan mesin mobil,"karena itulah, ini akan sangat mudah bagi kita."
**
Seorang gadis baru saja menyelesaikan tugasnya membersihkan piring dan gelas yang menumpuk di westafel. Kali ini, tidak hanya rasa lelah yang menderanya. Perasaan sedih juga datang menghampirinya.
"Sudahlah, tidak usah terlalu dipikir. Toh kamu hanya pelayan di sini. dengarkan keluhan mereka lalu lupakan!" saran yang dikatakan oleh temannya itu terdengar mudah dilakukan. Namun jika sakit hati lebih dulu dirasakan, apa yang bisa ia lakukan?
Gadis itu hanya tersenyum untuk menanggapi perkataan rekan kerjanya yang lebih senior. Ia tidak ingin dicap manja atau hal-hal semacam itu ketika bekerja. Ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan demi bertahan hidup. Ia membutuhkan uang, karena kini ia benar-benar sebatang kara.
Setelah membereskan semuanya, ia berpamitan kepada teman-temannya untuk pulang. Berhubung ini adalah shift terakhir, tidak banyak rekan kerjanya yang perlu ia beri salam.
Sebelum itu, ia menghitung uang yang tersisa di dompetnya. "Syukur, masih cukup untuk naik bus."
Ia berjalan dengan tenang karena sudah biasa pulang selarut ini. Meskipun ia merasa tidak adil dalam pembagian jam kerja, hal inilah yang bisa ia lakukan untuk menghindari konflik sebagai anak baru.
"Tapi, aku 'kan sudah enam bulan. Masa aku masih disebut anak baru?" keluhnya.
Ia melewati jembatan yang sepi untuk menuju halte bus. Melihat air yang tenang ketika malam membuatnya merasa sedikit damai. "Untung ada pak dokter itu. Apa yang terjadi kalau aku nggak ditolongin sama dia? Bisa kena semprot orang-orang kaya kayak gitu," katanya pada diri sendiri.
Di saat ia akan menyeberang melalui jalan zebra cross, sebuah mobil melaju dengan kecepatan penuh dan menabraknya tanpa ampun.
Bohong jika mereka tidak melihat gadis itu. Karena setelahnya, mereka mengambil tubuh yang tak berdaya itu dan membuangnya ke sungai.
Dua pria dengan penutup wajah itu merasa tugasnya selesai, kemudian mereka masuk ke dalam mobil.
"Tugas kita selesai 'kan?"
"Ya. Sekarang tinggal lapor ke bos," kata salah satu dari mereka yang memegang kemudi mobil.
***
Matahari bersinar cukup cerah, namun tidak membuat seorang laki-laki yang berusia hampir tiga puluhan itu terbangun.
Ia memang telah merencanakan untuk tidak bangun terlalu pagi, meskipun ia tidak pernah bangun di pagi hari pula. Ia selalu bangun jika matahari sudah cukup meninggi.
"Rayn, kamu nggak bangun?" tanya salah satu temannya sambil menggoyangkan tubuh yang terbaring lelap itu.
"Nggak lah. aku bangun nanti aja," jawabnya kemudian mengubah posisi tidurnya.
"Mentang-mentang kamu udah nggak nge-lab? Makanya tidur kayak gini?"
Rayn, lelaki yang sedang tidur tidak tahu waktu itu, hanya mengangguk sambil tersenyum dengan mata yang masih tertutup.
"Aku mau ke lab dulu, jaga rumah ya!" ujar temannya.
Rayn hanya mengangguk dan masih enggan membuka matanya.
"Dasar!" keluh temannya itu kemudian meninggalkan sebuah ruangan yang mereka sebut dengan apartemen.
Beberapa saat kemudian Rayn membuka matanya. Ia mengintip untuk memastikan bahwa temannya, Adam, sudah berangkat ke kampus. Setelah mengetahui bahwa ia seorang diri di dalam apartemen, ia beranjak dari tempat tidur.
"Huuh!" Rayn menghela napas. Ia berjalan menuju kamar mandi yang hanya berjarak sepuluh kaki dari tempat tidur. Ia membasuh wajahnya dengan air sekaligus menyikat giginya yang mungkin masih bersisa aroma alkohol.
Ia membuka baju dan memandangi dirinya di depan cermin. "Kok kayaknya aku gendutan?" katanya sambil mencubit bagian perut yang sebenarnya tidak terlihat terlalu buncit.
"Ya, nanti saja aku ke gym lagi. Setelah aku bersenang-senang, haha!" tukasnya kemudian membiarkan badannya terguyur air dari shower.
Baru beberapa minggu yang lalu Rayn menyelesaikan studi masternya di bidang teknik yang sudah lama ia usahakan. Baginya, menyelesaikan kuliah di negeri orang tidaklah mudah. Walaupun banyak orang yang bisa diajak diskusi untuk membantunya, terkadang ia merasa sangat lelah dan ingin menyerah untuk menyelesaikan tugas belajarnya di bidang ilmu material tersebut.
Rayn baru saja selesai mandi. Di saat yang sama, ponselnya berbunyi cukup nyaring. Ia bergegas berjalan menuju ponselnya yang lupa ia letakkan di mana. Ia mencari ke segala arah, meraba-raba di mana sumber suara itu berada.
"Di mana ya?" dengan rambut yang belum kering itu, Rayn masih mencari ponselnya yang terdengar tidak jauh dari ruang makan.
Sesaat setelah sampai di ruang makan, Rayn tidak mendengar dering ponselnya lagi. "Waduh! Ke mana tuh HP?" Rayn memilih untuk menunda pencarian ponselnya. Toh, ia juga tidak memiliki orang yang akan menghubunginya. Dia masih lajang, dan enggan untuk berpasangan saat ini.
Tiba-tiba dering ponsel Rayn berbunyi lagi di saat Rayn baru saja akan memakai bajunya. "Ah, Sial!"
Rayn berlari kembali ke ruang makan dan mencari ponselnya dengan cepat. Ponsel yang ia cari ternyata berada di bawah lemari pendingin, pantas saja jika suaranya terdengar seperti diredam.
Ia melihat siapa yang sedang menghubunginya di layar ponsel. "Ayah?" ia menerka-nerka apa yang dikatakan oleh ayahnya kali ini? Rayn tidak ingin pagi harinya menjadi suram karena kesal dengan ayahnya. Ia membiarkan dering ponselnya berbunyi hingga berhenti dengan sendirinya. Sementara itu ia akan menyelesaikan apa yang akan dilakukannya, memakai baju.
Dering ponsel itu berbunyi kembali setelah sempat beberapa detik berhenti. Kali ini Rayn merasa geram. Ia pun menjawab panggilan itu dengan perasaan kesal.
"Ada apa, Ayah?" katanya dengan menekan rasa kesalnya.
"Rayn, kamu harus pulang," ujar ayahnya itu.
"Aku nggak mau, Yah. Aku 'kan sudah bilang sebelum aku berangkat ke Poland," imbuh Rayn.
"Ayah benar-benar memohon kepada kamu, Rayn."
"Aku juga benar-benar nggak mau, Yah. Maafkan Aku," jawab Rayn kemudian menutup panggilan tersebut