Chereads / Me and Your Soul / Chapter 9 - Chapter 9 – Tak Berbeda

Chapter 9 - Chapter 9 – Tak Berbeda

Rayn menatap Pak Bara dari cermin spion yang ada di atas. Dipandangnya lelaki itu dengan seksama. Kecurigaan mulai muncul. Apakah Pak Bara juga tengah menyembunyikan sesuatu? Memikirkan kemungkinan itu membuat Rayn sendiri merasa kesal. "Aku nggak sanggup kalau harus mikir seberat itu sekarang."

Mobil sedan yang dikendarai oleh Pak Bara masuk ke dalam kawasan bisnis yang cukup terkenal di ibukota. Di dekat pintu masuk terdapat patung logo yang sangat besar dan memukau. Nama kawasan itu tertulis di kedua sisi, di mana setiap hurufnya terdapat lampu yang dapat menerangi dirinya sendiri. Walaupun ini masih siang, tapi masih terlihat samar cahaya dari dalam huruf tersebut.

Pak Bara menghentikan mobilnya setelah mengambil posisi parkir yang aman. Ia berhenti di depan salah satu bangunan yang berada di baris pertama kawasan tersebut. Kata orang, barisan pertama kawasan bisnis selalu yang paling strategis. Ya, Rayn setuju dengan hal itu. Kantor ataupun toko yang berada di barisan pertama akan selalu mudah diingat dan ditemukan.

"Sudah sampai, Mas Rayn." Pak Bara memberikan info setelah melihat Rayn tengah melamun dari spion kaca di atasnya.

"Mas Rayn?" panggilnya lagi. Pak Bara memanggil Rayn dengan sebutan yang tidak konsisten. Terkadang memanggilnya Tuan, Mas, Pak, bahkan Dik. Keluarganya tak mempermasalahkan hal itu.

Rayn terkesiap, ia baru sadar bahwa mobil yang dikendarainya telah sampai di kantor Pak Albert, pengacara keluarganya.

"Loh, sudah sampai?"

"Iya, Mas." Mengetahui bahwa majikannya sudah menanggapi mereka telah sampai, Pak Bara turun untuk membukakan pintu mobil di sisi Rayn.

"Makasih, Pak."

Pak Bara hanya mengangguk.

Rayn melangkah masuk menuju gedung dengan lantai yang lebih dari satu. Beberapa saat, ia merasa harus melakukan sesuatu. Ia menghentikan langkahnya, berbalik kembali menuju Pak Bara.

"Pak," Rayn memberikan sejumlah uang kepada sopirnya itu, "bapak bisa tunggu saya di kafe yang nyaman."

Pak Bara terkejut melihat apa yang dilakukan oleh tuan mudanya ini. Dengan ragu, ia mengulurkan tangan kanannya untuk menerima uang tersebut. "Terima kasih, Mas."

"Di sebelah sini ada kafe yang nyaman, kan? Bapak tunggu di sana saja supaya nggak bosen di mobil. Tapi, kalau Pak Bara ingin ke tempat lain, nggak masalah. Asal bapak bisa segera respon kalau saya telepon nanti."

Pak Bara mengangguk dan mengucapkan terima kasih untuk kedua kalinya.

Rayn tersenyum kemudian berjalan masuk ke dalam kantor Pak Albert yang cukup unik dibanding dengan bangunan lain di sekitarnya.

"Walaupun Mas Rayn nggak dekat sama Pak David, perilakunya nggak jauh beda dari bapaknya. Memang, buah tidak jauh dari pohonnya." Pak Bara bergumam kemudian berjalan menuju kafe yang berjarak dua bangunan dari kantor Pak Albert. Ia sendiri tengah merasa lapar. Hari ini adalah keberuntungannya untuk dapat menyantap makanan yang enak.

***

Dan, sekarang Rayn berada di tempat ini lagi.

Sebuah tempat yang membuat Rayn tidak ingin kembali lagi. Jika ia terpaksa menginjakkan kakinya di sini, ia berharap tidak berhubungan dengan ayah ataupun bisnisnya.

Sayangnya, takdir tidak mengatakan hal itu. Rayn tidak bisa melepaskan dirinya dari ayah dan segala hal yang berhubungan dengannya.

Rayn menata hati. Bangunan yang sekarang berada di depannya ini bukanlah bangunan yang jelek, atau tidak sedap dipandang. Justru sebaliknya, sangat indah. Rayn ingat saat itu, kantor Pak Albert dulu saat pertama kali ayahnya bekerja sama dengannya tidak sebagus ini.

"Apa kau sudah cukup lama tidak ke sini, Rayn?" tanya seorang dari belakangnya.

Rayn berbalik, memastikan siapa yang sedang berbicara kepadanya. "Pak Albert, selamat siang."

"Siang," jawabnya, "kamu mungkin beberapa kali ditelepon oleh orang-orangku ya?"

Rayn tersenyum, tidak benar-benar memedulikan hal itu.

Awalnya, Rayn hanya ingin diam terlebih dulu tanpa melakukan apa-apa. Kematian sang ayah yang mendadak membuat Rayn merasa perlu jeda yang cukup untuk memulai hidupnya kembali.

"Ayo masuk," pinta Pak Albert sambil memegang pundak Rayn.

Rayn mengangguk dan mengikuti langkah Pak Albert dari belakang. Ia sibuk mengamati interior kantor Pak Albert yang sepertinya—nyaman.

"Apa kamu suka dengan interior ini, Rayn?" tanya Pak Albert, "sebenarnya interior seperti ini adalah permintaan ayahmu."

"Apa? Ayahku? Mengapa dia ikut campur dengan urusan orang lain?" tanya Rayn yang tiba-tiba merasa kesal.

"Ya ampun, Rayn?" Pak Albert tertawa kecil, "sepertinya kamu masih kesal dengan ayahmu ya? bahkan setelah tiada?"

Rayn menghela napas, memandang ke seluruh arah untuk menjernihkan pikirannya. Bukan membenci sang ayah, hanya saja ia belum mampu menjelaskan apa yang dirasakannya sekarang.

"Rayn, walaupun kamu berjauhan dengan David, tetap saja seleramu sama dengan ayahmu."

Rayn memutar kedua matanya, kesal dengan perkataan Pak Albert yang menyamakan dirinya dengan ayahnya.

"Padahal, saya tidak terlalu suka dengan interior mirip kafe seperti ini. Redup dan remang. Harusnya, kantor hukum terang benderang bukan?" imbuh Pak Albert.

Entahlah, Rayn tidak memahami banyak tentang interior. Namun, ia tidak dapat menampik bahwa desain dan penataan ruang kantor Pak Albert ini sangat menarik baginya. Mungkin benar kata Pak Albert, seharusnya kantor hukum bercahaya terang. Tidak remang-remang seperti di kafe, bahkan temboknya ditempel kertas dinding bernuansa kayu yang membuat suasana menjadi lebih redup.

Jika itu nuansa kayu, pastinya saran dari ayahnya. David memang sangat suka dengan nuansa bahkan rumah kayu itu sendiri. Rayn ingat, ayahnya sempat ingin merenovasi rumahnya untuk berganti dengan rumah kayu. Namun, hal itu ditentang oleh ibunya.

"Ayah pasti menahan diri untuk membongkar rumah demi ibu," gumamnya dalam hati.

Mereka pun telah sampai di ruangan pribadi Pak Albert yang berada di lantai dua. Rayn mengamati rancangan ruang yang khusus meskipun masih satu tema dengan rancangan kantor secara keseluruhan.

Terdapat sofa minimalis di dekat pintu masuk. Meja kerja Pak Albert tepat berada di dekat jendela kaca yang menghadap ke jalan utama kawasan ini. namun, ada sesuatu yang menggelitik Rayn untuk bertanya.

"Kenapa ada alat kopi di sini, Pak Albert?"

"Alat kopi?" pandangan Pak Albert kini beralih ke beberapa alat kopi yang berjajar rapi di sudut ruangan dan bersebelahan dengan meja kerjanya. "Itu hadiah dari ayahmu."

"Apa? Ayahku?"

Pak Albert mengangguk. "Beberapa bulan terakhir, kami menikmati kopi bersama. Ia bahkan kini sudah bisa membedakan mana biji yang enak dan tidak."

"Apa ayah sangat tidak punya waktu sehingga harus bermain-main dengan kopi?" tanya Rayn dengan sedikit nada kesal.

Pak Albert hanya tertawa, "Kenapa kamu mikir kayak gitu? Kamu tahu 'kan ayahmu tidak seperti itu."

"Entahlah, aku tidak kenal ayah sejak kematian ibuku."

Pak Albert memandang Rayn dengan rasa iba, "Ada beberapa hal yang kamu mungkin tidak memahaminya. Termasuk ketika ayahmu harus kehilangan Amelia."

"Apa? Apa yang tidak aku kenal dari ayahku?" Rayn semakin kesal. Kepulangan ke Indonesia menjadi sangat menyebalkan baginya sekarang.

"Kamu tadi ngomong kalau nggak kenal ayahmu, kan?" kata Pak Albert, "sama. Ayahmu juga merasa tidak mengenalmu sejak kepergian Amelia."

Rayn menghembuskan napasnya perlahan, menenangkan dirinya yang masih kacau dan belum berbenah. "Memangnya, apa yang belum aku tahu tentang ayahku, Pak Albert?"