Rayn masih merasa bahwa ia dalam bahaya.
Hantu ini masih saja melihatnya dengan mata yang menyeramkan. Walaupun, sepertinya, menyeramkan adalah kata yang berlebihan.
"Kenapa kamu lihat aku seperti itu?" tanya Honey yang sebenarnya juga tidak cukup memiliki keberanian.
Honey merasa aneh dan cemas mengetahui dirinya dapat dilihat oleh manusia. "Kenapa aku harus selalu ada di sini?"
"Apa?" Rayn masih merasa sedikit takut tetapi berusaha untuk memunculkan keberaniaannya. "Apa? Kenapa kamu yang bertanya seperti itu? seharusnya aku yang menanyakan hal aneh ini. Kenapa kamu teror aku? Kenapa?" ungkapnya sembari melotot.
"Eh," Honey merasa risih, "kenapa kamu melotot? Apa manusia selalu seperti ini ketika takut?"
Rayn menyadari bahwa ia memang sedang melotot. Tapi, ia melakukan hal itu untuk tidak terlihat takut.
"Aku nggak takut, aku nggak takut." Rayn berusaha menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Lebih jelasnya, Ia sedang membohongi dirinya sendiri. Beberapa akun di media sosial yang sering dibacanya mengatakan bahwa memberikan sugesti yang berlawanan dari sebenarnya mungkin dapat memberikan efek yang sama dengan kebohongan itu. Contoh, ketika Rayn takut tapi berusaha meyakinkan diri bahwa ia sedang berani.
"Manusia selalu menyukai kegemaran untuk berbohong. Kenapa? ya ampun." Honey menggelengkan kepalanya.
"Apa? Kamu pasti manusia 'kan? Sekarang aja kamu jadi hantu!" Rayn tidak ingin manusia menjadi cacian hantu yang beberapa kali ia temui itu.
"Kamu memang aneh, ya. Apa kamu nggak tahu bedanya jiwa sama hantu? Kalau hantu memang benar dia dulu manusia. Aku? Aku adalah jiwa! Jiwa! Ngerti nggak sih?" Suara Honey menjadi sangat jelas terdengar oleh Rayn.
"Apa sih? Apa bedanya? Tetap saja kamu adalah hantu! No debat!" Rayn membuka pintu kemudian berjalan cepat meninggalkan Honey yang masih di sana.
Sialan, apa yang terjadi dengan hidupku?
Rayn ingin mengumpat, tetapi untuk apa? Ia sendiri baru saja pulih dari kecelakaan yang hampir membunuhnya. Kegelisahan hati akibat kehilangan sang ayah juga belum benar-benar pudar.
Rasanya, tak ada tenaga untuk mengumpat.
Ia tak pernah menyangka bahwa kehilangan seorang ayah juga membuatnya sedih, sama sedihnya ketika kehilangan sang bunda.
"Astaga! Koperku!" Rayn menjadi semakin kesal dengan dirinya sendiri. "Gara-gara hantu itu aku lupa bawa koper, 'kan? Sial!" walaupun tak benar-benar mengumpat, ia tetap saja mengucapkan kata-kata yang bernada umpatan.
Ketika Rayn telah memegang gagang pintu, keraguan muncul dalam benaknya. "Apakah hantu itu masih di dalam" perasaannya menjadi tidak enak, "apa aku nggak usah bawa baju aja? Beli aja di mall dekat apartemen?"
"Kamu lupa bawa koper, ya?" suara Honey sukses besar membuat Rayn tersentak hingga terjatuh.
"Ya ampun! Kamu! Lagi!" suara Rayn terdengar terbata-bata tetapi menekan. "Apa yang kamu lakukan di rumahku?"
"Aku juga berpikir sesuatu yang sama denganmu! Ngapain aku di sini? aku nggak ada urusan denganmu!" tukas Honey, nadanya menunjukkan bahwa ia tidak terima dengan perkataan dari Rayn.
"Kamu tuh aneh banget, sih? Kamu yang ke sini, sekarang kamu yang bingung kenapa ke sini? gimana sih? Nggak jelas jadi hantu!" Rayn kini menemukan keberaniannya yang utuh. Tidak terlalu utuh, tetapi setidaknya dapat membuat dirinya mampu berbicara tanpa terbata-bata.
"Dasar manusia!" olok Honey lagi yang semakin merasa kesal. "Kalian hidup di dunia, tetapi nggak tahu apa aja yang ada di dalamnya. Kalian pikir, dunia ini milik kalian semua?"
Rayn menatap Honey dengan lekat, "Apa? Kamu menghina kaumku?" ia mendekat tetapi tak berhasil membuat Honey berkutik, "kamu cuma hantu yang nggak jelas! Cuma bisa gangguin hidup manusia doang!"
"Ya ampun! Kamu manusia yang paling menyebalkan di dunia ini. Apa memang semua manusia seperti ini?" Honey mengangguk karena tengah menyimpulkan sesuatu, "pantas saja kami tidak boleh berurusan dengan manusia."
Rayn mengangguk sepakat, "Ya! memang seharusnya kamu dan kaummu tidak perlu berhubungan dengan kami! Buat apa? Nggak penting!"
Honey semakin kesal kemudian melihat guci yang ada di samping pintu kamar Rayn. PRANG!
Rayn menganga, terkejut. "Ya ampun! Guci itu!"
"Kamu nggak tahu, guci itu juga nggak penting!" kata Honey kemudian menghilang dari hadapan Rayn.
"SIALAAAAAAN!" teriaknya kesal hingga membuat salah satu pelayannya yang berada di lantai bawah terkejut dan takut.
"Dasar hantu aneh! Aneh! Aneh!" teriaknya lagi, dan juga didengar oleh pelayan sebelumnya.
Napas Rayn terengah-engah. Ia merasa kesal dan takut. "Astaga, kenapa ada hantu di rumah ini?" ia membuka kamarnya dan mengambil koper yang sudah ia siapkan sebelumnya.
"Kenapa hantunya bukan ayah atau ibu? Kenapa malah orang asing?" Rayn merasa tidak adil. "Kalau mereka 'kan, aku tidak perlu merasa setertekan ini."
Dengan sisa ketakutan yang ada, ia berjalan menuruni tangga. Gelengan kepala tak membuatnya dapat kabur dari pikiran yang menganggunya. "Mengapa harus seperti ini? mengapa?"
"Ah, aku ngomong apa sih? Nggak jelas!"
Rayn harus segera melupakan apa yang terjadi. Beberapa hari ke belakang memang sangat membuatnya kacau. Fakta yang harus dia terima, harta yang begitu banyak, dan hantu aneh yang beberapa kali ia temui.
"Kenapa dia di sini? ya ampun!" keluhnya lagi seraya mencari Pak Bara yang ternyata tidak ada di dalam mobil.
"Ke mana Pak Bara?" ia menoleh ke belakang, memastikan tidak ada lagi hal yang menakutkan. "Hantu itu nggak ngikutin aku 'kan?"
Rayn menghela napas, membiarkan udara masuk dan menenangkan detak jantungnya yang berpacu dengan cepat. "Tapi, kenapa ada hantu di rumah?" Rayn masih memikirkan itu walaupun matanya berusaha menemukan di mana sopirnya itu.
"Apa karena sesuatu yang ada di rumah ini? apakah ada hal-hal mistis yang ada di rumah? Apa ayah melakukan sesuatu sebelum ia meninggal?" Rayn menggelengkan kepala, tidak setuju dengan pikiran yang baru saja muncul dengan sendirinya.
"Ah, masa? Nggak lah! Ayah bukan orang yang suka dengan hal-hal mistis itu!" Rayn menyakini hal itu.
.. kamu tidak terlalu mengenal ayahmu.
Kalimat itu tiba-tiba saja datang di dalam kepalanya. "Apa? Apa ayah melakukan sesuatu dengan hal-hal mistis itu? apa dia menyewa penjaga supranatural untuk rumahnya?"
Rayn tiba-tiba saja merasa bergidik. "Semuanya benar-benar di luar kendali!"
Pak Bara datang dari belakang rumah. Ia menunduk dan merasa bersalah karena meninggalkan Rayn yang sudah bersiap di depan. "Maaf, Mas. Saya tadi ke belakang sebentar. Sekalian saya makan siang."
Rayn merasa tidak enak. Ia lupa bahwa mungkin Pak Bara belum makan siang karena mengantarnya ke kantor Pak Albert. "Nggak apa-apa, Pak. Santai saja."
"Baik, pak. Silakan masuk." Pak Bara membukakan pintu untuk Rayn kemudian meletakkan koper dan barang bawaan lainnya ke dalam bagasi.
Mereka keluar dari istana megah menuju apartemen yang belum pernah diketahui oleh Rayn. "Apakah lebih baik aku jual rumah itu saja? supaya aku tidak bertemu dengan hantu itu lagi? gumamnya lirih.
"Sebentar," Rayn mengingat sesuatu,"aku juga ketemu hantu itu di rumah sakit!"