"Jadi, aku benar-benar tidak menemukan apa-apa."
Rayn mulai menyadari bahwa tidak ada gunanya berada di apartemen kecil ini. ia pun tidak habis pikir dengan ayahnya, membeli sebuah apartemen di pinggir kota yang jelas tidak menampakkan dirinya sama sekali.
Tapi, Pak Bara mengatakan bahwa ayahnya sering berkunjung ke sini.
"Atau mungkin ayah memang tidak ingin menunjukkan sisi lain?" Rayn berpikir sejenak. "Apa? Memangnya ayah menyembunyikan apa selain sisi menyebalkannya? Tanpa dia menyembunyikan, wajahnya saja sudah sangat terlihat. Sangat terlihat menyebalkan!"
Rayn beranjak dari kursi menuju tempat tidur. Kasur ini bukanlah kasur yang biasa dibeli dari toko perkaka pada umumnya. "Ini bukan desain pada umumnya."
Sesuatu membuat Rayn menjadi lebih penasaran. Apakah kasur ini menunjukkan sesuatu yang lain? sisi lain ayahnya? Atau malah membuatnya merasakan sakit hati dengan sikap ayahnya yang tidak diketahui sebelumnya?
Rayn mengamati tempat tidur dengan seksama. Namun, ada sesuatu yang entah mengapa membuatnya merasa bahwa kasur ini tidak seperti umumnya. "Sepertinya, ukurannya nggak sepenuhnya seratus enam puluh."
Ia mencoba untuk tidur di atas sana. "Tidak terjadi apa-apa. Baiklah, aku hanya terbawa suasana film thriller."
Rayn mulai melihat langit-langit apartemen itu. Tidak ada sesuatu selain lampu kristal yang menyala. Rayn tahu, ayahnya memang senang dengan lampu yang berkilau seperti itu. Ibunya juga.
Ingatan akan masa kecilnya kembali lagi. ia teringat setiap kali ke toko perabotan, ibu dan ayahnya selalu kompak membeli lampu dengan ornamen yang berkilau seperti ini. Ibunya adalah seorang kimiawan. Katanya, sesuatu yang berkilau bisa saja benda yang memiliki struktur tidak beraturan.
"Apa maksudnya struktur yang tidak teratur dan teratur? Ibu selalu membicarakan apa yang aku tidak paham." Bahkan dengan gelarnya sebagai seorang master di ilmu material, Rayn tidak memahami apa yang dikatakan oleh ibunya.
"Lebih baik aku tidur saja," katanya kemudian menutup mata.
Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Kali ini, Rayn ingin tidak menjawabnya. Namun mengapa ada rasa penasaran yang menderu di saat ia juga ingin merebahkan diri?
Rayn akhirnya beranjak dan melihat siapa yang sedang meneleponnya. "Adam?"
"Halo?" kata Rayn menjawab telepon itu.
"Rayn! Astaga akhirnya kamu angkat teleponku!"
"Sinyal di sini nggak kenceng. Ada apa? Nggak usah pamer laboratorium barumu. Aku males dengernya." Rayn sudah membuang muka dan ingin menutup telepon setelah mengatakan hal itu. hanya saja, ia masih penasaran. Untuk apa Adam meneleponnya di saat seperti ini?
"Nggak, aku nggak mau pamer lab baruku. Lagian, buat apa? Toh, kamu nggak ada di sini. perasaan dengkimu kurang maksimal nanti. Haha," jawab Adam dari seberang.
"Sialan!"
"Eh, ngomong-ngomong. Aku mau cuti satu semester sebelum gabung ke prof Reed. Aku butuh tumpangan," kata Adam.
"Ah, sudah kuduga kamu telepon aku karena lagi butuh!"
"Heh! Sadar diri kamu numpang di apartemennya siapa selama nggembel di sini?"
"Sialan!" Rayn tertawa. Setelah beberapa hari merasa tak memiliki selera humor, suara Adam yang memang sudah lucu ditambah perkataannya yang menyakitkan menjadikan obrolan mereka cukup hangat.
"Aku numpang di rumahmu, ya? kamu tahu 'kan aku nggak punya keluarga di Indo." Suara Adam terdengar merendah. Jika masalah keluarga, Adam memang tidak banyak bicara. Apa yang terjadi dengan dia dan keluarganya terlalu menyakitkan.
"Nggak apa-apa. Kamu numpang aja di rumahku. Biar kamu juga merasa jadi seorang sultan waktu pulang ke Indo. Hahaha!" tawa Rayn terdengar cukup puas dan keras.
"Sialan! Dasar temen nggak tahu diri!"
"Nggak mau? Ya sudah!"
"Sialan! Udah, aku mau pulang ke Indo mungkin tiga hari lagi. Jemput aku loh, ya?" pinta Adam sedikit merayu.
"Aku pikir-pikir dulu dah. Udah numpang, ngerepotin lagi."
"Gile, Lu. Udah pokoknya jemput aku!"
Sambungan telepon tertutup. "Ya ampun. Udah minta tolong, maksa lagi!" walaupun terdengar mengeluh, Rayn cukup senang mengetahui bahwa Adam akan pulang ke Indonesia. Setidaknya, ia memiliki teman.
Rayn berbalik untuk berganti baju kemudian terdiam melihat hantu yang sama, Honey. Ia sempat terkejut tetapi dapat mengendalikan diri dengan cepat. "Astaga! Kenapa kamu masih di sini?"
Walaupun terlihat baik-baik saja, Rayn juga merasa sedikit takut. Honey memang bukan manusia, dan ia juga tidak mengaku sebagai hantu. Semua yang bukan manusia terasa menakutkan bagi Rayn.
"Kenapa kamu masih gangguin aku, sih?" kata Rayn membentak Honey.
"Andai aku tahu kenapa aku di sini, ini semua tidak akan terjadi." Honey menjawab dengan melipat tangannya.
"Terserah," kata Rayn membalikkan badannya lagi untuk tidak melihat atau peduli dengan keberadaan Honey.
"Sebentar," Rayn ingin menanyakan sesuatu, "kamu punya masalah sama ayahku? atau aku punya salah sama kamu? Kenapa kamu sering menggangguku?"
"Aku nggak mengganggumu." Honey menegaskan.
Beberapa saat kemudian mereka saling terdiam. Bukan karena ada yang telah memenangkan perdebatan itu.
"Seperti ada suara langkah ke sini." Rayn merasa seharusnya tidak ada seseorang yang mendekat karena apartemen ayahnya berada di bagian paling pojok.
"Kamu mendengarnya?" tanya Honey.
"Mendengar suara langkah itu?"
Honey mengangguk. "Itu bukan suara langkah manusia."
Suara langkah itu mungkin terdengar seperti langkah biasa pada umumnya. Namun membedakan langkah itu dengan langkah manusia adalah bahwa langkah manusia mengikuti benda yang dinjaknya. Suara langkah manusia di atas kayu akan berbeda dengan ketiak menginjak tanah berpasir.
"Seharusnya kamu tidak mendengarnya. Bagaimana kamu bisa?" Honey melangkah dengan suara yang sama dengan langkah yang didengar oleh Rayn. "Ya 'kan? Sama denganku?"
"Berarti ... langkah itu ... hantu?"
"Yang jelas bukan manusia." Honey berkernyit. Seharusnya, makhluk astral sepertinya tidak boleh berkeliaran sembarangan di dunia manusia. "Aku harus membuka pintu."
Honey mempersiapkan tangannya untuk menyentuh barang-barang duniawi. Karena, ia memang tidak mudah melakukannya tanpa mengeluarkan kekuatan.
Pintu itu akhirnya terbuka. Honey menoleh ke kanan dan melihat seorang wanita berjalan sangat pelan. "Tolong.."
"Astaga! Itu jiwa!"
"Apa? Jiwa apa?" Rayn yang penasaran menyusul Honey melihat apa yang sedang terjadi. "Loh, kenapa perempuan itu?"
Rayn langsung menyusul wanita yang tidak dikenal itu. ia berniat menggandengnya, tetapi wanita itu tidak bisa dipegang. "K-kamu hantu?"
Wanita itu menoleh pada Rayn. "Apa? Aku hantu?"
Honey merasa ada yang tidak beres di apartemen ini. "Siapapun kamu, bisakah kamu menelepon polisi? sepertinya ada yang tidak beres di apartemen ini," kata Honey kepada Rayn.
"Aku harus menelepon atas dasar apa? Kalian para hantu kenapa tidak bisa hidup tanpa mengganggu, sih?"
Honey berjalan mencari apa yang membuatnya merasa aneh. Seorang pria keluar dari salah atu unit apartemen yang berdekatan dengan milik ayah Rayn. Ia masuk ke dalam apartemen itu dan melihat seorang wanita terkapar dan bersimbah darah.
"Siapapun kamu, tolong ke sini!" teriak Honey pada Rayn.