Chereads / Me and Your Soul / Chapter 17 - Chapter 17 – Wanita yang Bersimbah Darah

Chapter 17 - Chapter 17 – Wanita yang Bersimbah Darah

"Apa maksudmu?" Rayn semakin tidak mengerti dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh Honey kepadanya.

Ekspresi panik sekaligus ketakutan.

Bagaimana bisa seorang hantu ketakutan seperti itu?

Mau tidak mau Rayn mengikuti lambaian tangan Honey yang menunjukkan di mana letak keresahannya.

Rayn sudah merasa aneh. Mengapa pintu unit apartemen ini tidak cukup tertutup?

"Kamu masih sempat berpikir kenapa pintu ini tidak tertutup rapat?" tanya Honey, wajahnya kini sedikit terlihat menantang.

"Kamu mau aku panggilkan polisi, 'kan?" giliran Rayn yang menjadi kesal.

"Kenapa kamu sewot? Kalian sebagai manusia tidak bisa, ya, melakukan sesuatu atas dasar kemanusiaan?"

"Kemanusiaan apa? Oh, kamu baru ingat kalau kamu pernah jadi manusia? Selama ini lupa, ya? Karena kamu sudah lama menjadi hantu?" Rayn pun akhirnya masuk ke dalam unit apartemen yang ada di belakangnya.

Mata Rayn membulat sempurna.

Darah segar mengalir pelan seperti aliran air yang tidak bersalah untuk keluar.

Rayn membeku, tidak dapat melakukan apa-apa selain diam. Ia selalu berpikir bahwa pembunuhan keji hanya terjadi di film-film aksi.

Namun, kali ini ia melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.

"Astaga!" Rayn yang sempat tak sanggup bergerak akhirnya dapat berucap juga.

Honey terdengar menghela napas. "Bagaimana? Apakah kamu masih tidak percaya padaku?"

Rayn masih tetap sama, bingung dan membeku. Walaupun sudah mampu mengucapkan sepatah kata, tetap saja ia tidak tahu harus melakukan apa.

"Aroma kematian belum sampai di sini, tetapi sudah hampir tercium. Hei, laki-laki yang tidak bisa melakukan apa-apa! Segera telepon polisi!" pinta Honey dengan teriakan tepat di sebelah telinga Rayn.

"Kamu benar-benar ya!" kata Rayn, dengan kekesalan yang digenggamnya kini ia menelepon polisi.

"Selamat malam, ada kecelakaan sepertinya di apartemen mini paradisa."

Rayn terdiam, mendengarkan jawaban dari polisi yang sedang ada di seberang sana.

"Ya, mini paradisa. Yang berada di pinggir kota. Tepat sekali."

"Baik, unit tujuh satu empat."

Rayn langsung menutup teleponnya.

"Loh? Kok sudah selesai?" protes Honey.

"Kamu maunya gimana? Aku harus gimana?" kini giliran Rayn yang ingin marah kepada Honey. "Kamu juga ngapain ngasih tahu aku tentang ini? Ngapain? Ini 'kan bukan urusanku."

"Kamu ini – dia 'kan sesama manusia seperti kamu. Kenapa kamu nggak menolong? Sebentar—" Honey mencium sesuatu. "Sepertinya malaikat maut akan datang."

"APA?" Rayn menjadi takut. Bulu kuduknya berdiri. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, apakah mungkin malaikat maut juga akan membawanya pergi? Padahal, dirinya sehat dan bugar seperti ini?

"Dia belum mati. Tolong kamu ambilkan kain atau semacamnya, sehingga pendarahan bisa berhenti!"

"Katamu malaikat maut sudah akan datang, berarti dia mau mati 'kan? Apa gunanya kita menolong kalau begitu," Rayn berkacak pinggang,"sebentar, kenapa aku harus menolongnya?"

Honey benar-benar menatap Rayn dengan sangat kesal. "Bagaimana bisa kamu hidup sebagai manusia tanpa saling mengasihani seperti ini?"

"Aku nggak peduli!"

"Malaikat maut akan datang di sebuah area yang ditakdirkan akan mati. Di area yang sama, bisa saja yang mati bukan orang yang sedang kesakitan seperti ini. Bisa jadi, yang dijemput mereka adalah orang-orang yang sehat dan bugar."

"APA?" Rayn semakin kesal. Sangat kesal. Ia pun mencari kain untuk menghentikan pendarahan yang ada di dahi dan leher wanita itu.

Beberapa saat kemudian, Rayn merasa sangat familiar dengan wajah wanita yang sedang tak sadarkan diri.

"Kenapa?" Honey melihat bagaimana Rayn menatap wanita itu berubah.

Rayn berusaha menggali ingatan. Di mana ia terakhir melihat wanita ini? Mengapa tidak asing baginya?"

Sekumpulan langkah terdengar mendekat. Ya, langkah-langkah itu tidak terdengar hanya satu orang yang berjalan. Terdengar pula perintah orang yang mungkin sedang memimpin, disusul suara sirine yang akhirnya membuat beberapa penghuni unit keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi.

Setelah terdengar sekumpulan langkah, kini sekumpulan polisi masuk ke dalam unit apartemen berdarah itu. Mereka tidak sadar melewati Honey, bahkan salah satu dari mereka berjalan menembus tubuh Honey.

Rayn melihat dengan jelas bagaimana itu terjadi, bagaimana wujud Honey memang bukan makhluk yang sama dengannya.

Entah mengapa, Rayn menatap Honey yang sedang melihat bagaimana para polisi menyusuri tempat kejadian. Kedua mata Honey terlihat sendu namun bersinar.

Pandangan itu, ada sesuatu yang membuat Rayn menjadi merasa sendu.

Pandangan itu seperti mengulik sesuatu yang ada di dalam dirinya.

"Ah, aku sedang apa?" Rayn menampar pipinya, berharap pikiran aneh itu segera pergi.

Seorang polisi yang mungkin adalah detektif mendatangi Rayn. "Selamat malam, saya Rodison Whitwood. Saya adalah detektif yang menangani kasus ini. Bisa diceritakan apa yang terjadi sehingga Anda menghubungi kami?"

Rayn terkesima dengan bagaimana Detektif Rodison ini berucap. "Oh, ya. Jadi—"

"Sebentar, nama Anda siapa?" tanya Detektif Rodison.

"Rayn, Rayn Hunter."

Detektif Rodison yang semula tertunduk untuk mencatat, kini mendongakkan kepalanya ke atas secara perlahan.

"Ka—kamu Rayn? Rayn Hunter?" tanya Detektif Rodison sekali lagi.

Rayn menjadi aneh karena ditanyakan kembali tentang namanya. Apa yang salah? Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi padaya. Walaupun timbul kecurigaan, Rayn tetap mengangguk.

"Berarti kamu adalah anaknya Amelia Hunter, bukan?"

Rayn terkejut ketika nama sang ibu disebutkan. Ia memandang Detektif Rodison dengan tatapan penuh tanda tanya.

Ada pertanyaan yang harus dijawab oleh Detektif Rodison.

Mengapa ia menanyakan ibunya, bukan sang ayah?

"Baiklah, bisa diceritakan apa yang terjadi?"

Rayn mengangguk. Untuk sementara, ia menunda rasa penasarannya terhadap detektif ini. Ia harus menyelesaikan apa yang telah dimulainya beberapa menit yang lalu.

"Apakah ada sesuatu yang mencurigakan?" tanya Detektif Rodison.

"Saya melihat ada seorang pria keluar dari unit apartemen ini," jawab Rayn.

"Seperti apa rupanya?"

Rayn terdiam. "Saya tidak melihatnya dengan sangat jelas. Semua berlalu begitu saja. Saya pun tidak tahu kalau ada wanita yang terluka jika tidak sengaja melihat aliran darah yang di dekat pintu," katanya sambil menunjukkan aliran yang dimaksud.

"Baiklah, saya akan menghubungi anda jika ada pertanyaan yang lain." Detektif Rodison pun meninggalkan Rayn yang masih terdiam.

Rayn memilih keluar dari unit itu dan mencari Honey.  "Di mana hantu wanita itu? Apakah dia hanya datang dalam waktu terbatas?" Rayn menghela napas dalam-dalam.

Ia pun berjalan menuju unit apartemennya sendiri untuk beristirahat. Meskipun telah mengalami hal yang menegangkan, Rayn harus segera menenangkan diri karena ada sesuatu yang juga perlu diselesaikan segera.

Langkahnya tiba-tiba terhenti.

Rayn menelan ludah untuk ke sekian kalinya.

Ia berjalan mundur perlahan sambil berbalik. Di saat yang sama, wanita yang tidak sadarkan diri tadi sudah dibawa dengan tandu.

Rayn yakin yang dilihatnya adalah sama, sosok yang kini ada di depannya dan yang juga ada di dalam tandu.

"Detektif, wanita ini sudah meninggal." Seseorang berkata dengan cukup keras hingga Rayn mendengarnya.

Jadi, siapa sosok di depannya ini?

Rayn menjadi takut.

Sosok ini berparas tidak sama dengan hantu yang tadi berbincang dengannya.

"Ss-siapa kamu?"