Jika memang pertemuan pertama Rayn dengan Hantu itu adalah di rumah sakit, maka Rumah milik keluarganya bukanlah masalah.
"Tapi, kenapa dia ngikut aku terus?" ungkapnya kesal seraya melipat tangan dan menyandarkan diri.
Pak Bara memerhatikan majikannya itu dari spion yang ada di atasnya. Mungkin ada rasa curiga, tetapi ia tidak ingin mengungkapkannya terlebih dahulu. Ia tahu Rayn mungkin masih terlalu kewalahan menerima kenyataan yang harus dihadapi setelah kematian orang tuanya.
"Mas, kita mau makan dulu atau bagaiamana? Ini sudah mau malam." Pak Bara tahu Rayn tidak terlalu suka makan malam setelah matahari terbenam.
Rayn baru sadar setelah Pak Bara berkata seperti itu. "Ya ampun. Saya belum makan." Ada jeda yang cukup lama sampai Rayn meneruskannya kembali, "kita makan di luar saja, Pak."
"Saya nggak apa-apa, Mas, kalau mau putar balik lagi ke rumah." Pak Bara menawarkan secara tulus. Majikannya ini sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi selain para pekerja dan pelayan di rumah. Jika bukan dia yang mengingatkan, mungkin Rayn akan melupakan kebutuhannya seperti makan malam.
"Nggak apa-apa, Pak. Kita makan di pinggir jalan saja." Rayn sudah memberikan titah yang pasti tidak akan dibantah oleh Sopirnya.
"Baik, Mas. Mau makan apa?" tanya Pak Bara lagi.
"Apa, ya?"Rayn masih berpikir. Lidahnya terasa sedang memberikan tanda akan sesuatu yang mungkin diinginkan Rayn. "Yang pedes-pedes apa, ya?"
"Bakso?" Pak Bara menjawab meskipun masih memegang kemudi mobil.
"Bukan, yang goreng-goreng." Rayn memberikan petunjuk lagi, padahal dirinya masih belum menemukan apa yang dimaksud oleh lidahnya.
Seolah lidahnya sudah merasakannya lebih dulu tetapi otaknya masih menggali kembali ingatan akan rasa itu.
"Yang goreng-goreng gimana sih, Mas? Gorengan?"
"Bukan, apa sih namanya?" lidahnya mengecap beberapa kali tetapi masih belum menemukan apa yang dimaksud.
"Sambel ta, Mas?"
"Hah, iya! Sambel! Tapi, apa yang dimakan sama sambel?" tanya Rayn yang mulai menemukan apa yang diinginkan.
"Semua makanan indonesia pakai sambel, Mas."
"Astaga. Aku kehilangan akal!" Rayn menepuk jidatnya. "Aku ingin makan itu, Pak. Aku udah lama nggak makan itu. Tempe apa tempe ya?"
"Tempe penyet?"
"Ya!" Rayn menunjuk-nunjuk Pak Bara yang berhasil menemukan nama makanan yang diinginkan Rayn.
"Owalah, Mas. Banyak itu. Mau yang dekat sama apartemennya Bapak?"
"Memang apartemennya bapak di mana?"
Pak Bara tidak menjawab, entah karena apa. Mungkin ia tidak menjawab karena tidak mendengar pertanyaan Rayn yang baru saja terucap. Kendaraan di sekitarnya banyak yang membunyikan klakson hingga terasa sangat gaduh. Hanya karena sebuah mobil terdepan terlambat sedetik untuk berjalan sejak lampu hijau menyala, semua mobil bahkan sepeda motor saling 'mengingatkan'.
Rayn tidak berniat untuk menanyakannya kembali. Pak Bara sudah pasti akan membawanya ke apartemen sang ayah.
"Mas, jadi beli tempe penyet di dekat apartemennya Bapak?" Pak Bara mencoba memastikannya kembali.
"Iya, Pak. Bagaimana?" Rayn menanyakan pendapat Pak Bara, mengingat dia sendiri belum benar-benar hafal tempat makan yang ada di sini.
"Nggak apa-apa, Mas. Lebih enak juga." Pak Bara menghentikan perkataannya sebentar. "Warungnya pas di depan gedung apartemen."
Rayn mengangguk saja. Sebelum matahari terbenam, memang lebih baik ia sudah makan malam. Tapi, ia sudah merasa mengantuk. Apakah lebih baik langsung ke apartemen saja tanpa makan malam?
Namun, perutnya terasa sangat kosong. Rayn menjadi bimbang.
Setelah empat puluh menit berada di perjalanan, mobil yang mereka tumpangi masuk ke dalam sebuah kompleks perumahan. Kawasan ini bukanlah kawasan bisnis yang memiliki harga tinggi, tetapi berada di pinggir kota yang cukup sepi.
"Pak, apartemen Ayah ada di sini?" Rayn tidak merasa yakin. Ayahnya adalah seseorang yang menginginkan sesuatu kembali dengan cepat, terlebih masalah aset. Ia tidak akan membeli sesuatu yang jelas tidak akan memberikan keuntungan.
Yah, walaupun di pinggir kota, Rayn yakin bahwa apartemen ayahnya ini pasti tetap menguntungkan. Toh, harga properi akan selalu naik setiap waktu. Jadi tidak ada alasan yang logis ayahnya membeli apartemen di kawasan seperti ini.
Perumahan ini memiliki gerbang yang cukup megah walaupun berada di pinggir kota. Tepat sepuluh meter setelah masuk, gedung apartemen terlihat menjulang. Tidak seperti gedung apartemen pada umumnya yang berada di dekat jalan raya, apartemen ini bahkam hanya memiliki jalan kembar yang dapat dilewati 1-2 mobil di setiap lajurnya.
Rayn berusaha menebak mengapa apartemen ini menjadi pilihan ayahnya. "Perasaan dari desain juga biasa aja. Kenapa ayah beli apartemen ini? dia bahkan punya apartemen di the Golden King yang super megah itu." Rayn nampaknya masih tidak percaya dengan apa yang ada di depannya.
Mungkinkah Pak Bara adalah seseorang yang berkhianat?
Rayn jadi ragu untuk membuka pintu mobil. Ia terdiam bukan untuk menunggu dibukakan oleh Pak Bara. Hanya saja, Ia mulai merasa tidak aman dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Mungkinkah?
Rayn menjadi semakin curiga.
Ya ampun, kenapa aku nggak ikutan Adam waktu masuk kelas bela diri sih?
"Silakan, Mas." Pak Bara membukakan pintu mobil dengan senyuman yang hangat. Namun, Rayn menjadi sangat takut.
"Pak? Mana yang jual tempe penyetnya?" tanya Rayn yang masih belum melupakan betapa perutnya meraung-raung.
"Di depan sana, Mas. Bisa pakai jalan kaki, kok. Makanya saya parkir dulu mobil ke Basemen."
Rayn mengangguk. alasannya terdengar masuk akal. "Oke, Pak. Ayo makan bareng sama saya."
Pak Bara mengangguk dan berjalan di depan untuk menunjukkan warung yang disarankan olehnya. Memang benar, warung itu tepat berada di depan gedung. Tidak hanya itu, bahkan sangat tepat di depan pintu lobi gedung apartemen. Siapapun yang keluar dari apartemen pasti akan melihat warung itu sebagai obyek pertama.
Warung makan yang hanya beratap tenda itu baru saja buka. Mereka terlihat sedang menata makanan di atas meja dan kursi untuk dijadikan tempat duduk. Lampu di dalam tenda itu baru saja dinyalakan. Hal itu adalah bukti bahwa langit mulai gelap dan matahari mulai tenggelam.
"Pak, kita bisa pesan dulu? sudah mulai malam soalnya." Rayn membisikkan itu kepada Pak Bara.
"Siap, Mas. Seharusnya bisa." Pak Bara mendekati penjual dan bertanya apakah mereka siap melayani pembeli. Mereka mengangguk dan menanyakan akan memesan apa. Rayn dan Pak Bara memesan makanan yang sama, satu porsi tempe penyet dan satu gelas es teh.
Rayn pasti merasa sangat senang dengan makanan ini. Sudah lama ia tidak memakannya sebagai makan malam. Biasanya memang warung tempe penyet seperti ini buka di malam hari, hanya beberapa yang mulai buka di waktu siang.
Setelah dua piring dan dua gelas Es teh datang Pak Bara tiba-tiba menampakkan wajah yang sedih. Mereka memang makan bersama, Rayn memintanya makan dalam satu meja.
"Pak? Kenapa?" tanya Rayn yang mencemaskan ekspresi Pak Bara.
"Nggak apa-apa, Mas. Cuma ingat sesuatu." Pak Bara menyunggingkan senyum.
Rayn hanya terdiam, mungkin saja Pak Bara tidak ingin menceritakan apa yang mengganggu hatinya.
"Sehari sebelum berangkat menjemput Mas Rayn, bapak makan di sini. Katanya, makanan di sini punya sambel yang mirip dengan buatan bu Amel." Pak Bara akhirnya bercerita.
Rayn terpaku. Ia mencicipi sambal yang telah disajikan di atas cobek itu. "Astaga, rasanya memang mirip." Kemudian kehampaan mulai menyelimuti hatinya.
"Apakah ayah merasa kesepian selama ini, Pak Bara?" tanya Rayn.