"Honey!"
Seorang wanita dengan identifikasi makhluk yang sama dengan Honey memanggil. Honey pun menoleh ke arah suara panggilan tersebut.
"Kamu dari mana aja?" tanyanya. Meskipun mereka mengaku bukan manusia, mereka terlihat berwujud seperti wanita pada umumnya.
"Aku juga nggak tahu," jawab Honey dengan wajah bingung. "Aku pikir, setiap kali aku membuka mata, aku akan selalu di hutan ini. Tapi, kenapa tadi aku membuka mata dan tidak di hutan?"
"Aku juga berpikir seperti itu. Tapi, bagaimana bisa? Bukankah kita memang seharusnya selalu di sini? di hutan ini?"
Honey menatap kawannya dengan kebingungan yang semakin bertambah. "Aku juga berpikir seperti itu, Wildy. Kenapa aku malah harus berada di bangunan yang berisi orang-orang yang sedang sakit."
Honey kemudian terdiam sejenak. Ia semakin merasa heran dengan dirinya sendiri. Mengapa ia bisa datang beberapa kali ke sebuah tempat yang sama, dan bertemu dengan orang yang sama pula? Honey menggeleng. Bayangan pria yang ia temui sebelumnya itu harus segera dihapus.
"Kenapa, Hon? Kamu nggak apa-apa?" tanya Wildy yang memegang pundak Honey.
"Entahlah. Apa aku akan ketahuan dan dikira kabur dari hutan? Aku nggak berkehendak untuk bisa berada di sana." Honey mulai merasa cemas.
Suara burung bersautan satu sama lain. Seakan-akan, mereka bersenandung menikmati hidup mereka yang damai. Padahal, mereka pun tahu, di hutan seperti ini kedamaian hidup tidak akan berlangsung lama. Hidup mereka berada di bawah hukum rimba, siapa yang bisa melahap terlebih dulu, dialah yang berkuasa.
Sepertinya, burung-burung yang bertengger di atas pohon-pohon yang tinggi ini tidak peduli dengan kemungkinan mereka akan dimangsa. Mereka tetap berkicau, membuat hutan yang hening dalam tudungan dedaunan menjadi lebih terasa ramai.
"Apakah kita perlu berkonsultasi pada King?" saran Wildy.
Honey menggeleng. "Nggak! kamu tahu 'kan? King selalu diam namun bertindak tanpa berkata apa-apa. Kamu ingat bahwa ada jiwa baru yang datang ke sini, dia malah membakarnya."
"Tentu saja, dia 'kan hantu. Dia bukan jiwa seperti kita!" jawab Wildy sambil menyilangkan tangannya.
"Apa bedanya, kita dengan hantu? Kita sama-sama bukan manusia!" Honey berkelakar, ia merasa bahwa dirinya mungkin juga hantu seperti apa yang dikatakan pria yang baru saja ditemuinya itu.
"Beda, Hon! Kamu kenapa nggak paham? Hantu itu manusia yang sudah mati." Wildy menjelaskan dengan singkat. Walaupun bagi Honey, itu belum terasa cukup.
"King bilang, hantu seharusnya tidak di dunia. Kita ini jiwa bukan hantu, hanya saja tidak memiliki tubuh seperti manusia." Wildy menambahkan.
Honey tidak terlalu tertartik dengan penjelasan dari Wildy. Ia sudah mendengarnya beberapa kali ketika perkumpulan jiwa hutan setiap bulan purnama. Ia hanya mengangguk, tetapi tidak menatap dengan benar kepada Wildy.
"Hon, kayaknya ada yang kamu pikirin ya?" Wildy tidak menyerah untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya. Dari awal, ia merasa bahwa Honey bersikap aneh karena ada sesuatu.
"Sebentar, apakah kamu bertemu dengan manusia?" tanya Wildy sekali lagi dengan mata terbelalak dan mulut yang terbuka.
Honey juga terkejut, bagaimana Wildy tahu apa yang ada di pikirannya?
"Kamu masih meragukan kalau aku tahu apa yang kamu pikirkan? Dari tadi aku juga sudah tahu, tapi nunggu kamu buat cerita. Kamu malah sok-sokan main rahasia sama aku."
Honey menoleh ke arah temannya. Kemudian, ia terlihat menghela napas. "Iya aku habis ketemu orang. Dan dia bisa lihat aku."
Kini, Wildy tidak mampu menahan rasa terkejutnya. Matanya terbelalak lagi, tangannya menutup mulutnya yang terbuka. "Hah? Bagaimana mungkin?"
Suara kicauan burung mendadak hilang, Wildy dan Honey menoleh ke atas. Ia melihat burung elang sedang menjelajah mencari mangsa.
***
Hujan gerimis mengguyur mobil Rayn yang baru sampai di depan rumah yang megah. Untuk ukuran rumah, ini adalah sebuah istana. Bagaimana mungkin ada orang yang terhitung tidak sampai satu tangan, hidup di rumah seluas ini? jelas ini semua bentuk penghabisan uang yang putus asa.
Rayn tidak ingin keluar dari mobil. Ia masih terdiam, tidak ingin bergerak sedikit pun. Rumah ini memiliki banyak kenangan. Ia tidak bisa melihatnya lagi. terlebih, ia tak mampu melihat kenangan bersama ibunya yang jelas tidak akan mungkin ia hilangkan dari rumah ini.
"Tuan, saya sudah masukkan barang-barang Tuan yang bisa diselamatkan dari kecelakaan sebelumnya."
Rayn mengangguk, ia tidak memberikan respon yang lain. "Biarkan saya di sini dulu, saya akan masuk ke rumah untuk beberapa menit ke depan."
Sang sopir hanya mengangguk. beberapa detik kemudian, ia berpamitan untuk keluar dari mobil terlebih dahulu.
"Ibu, bagaimana aku bisa menghadapi ini?" gumamnya lirih mengenang sang ibu.
Perasaannya semakin sendu karena suara gerimis yang terdengar seperti getaran yang halus. Seolah-olah, suara itu memberikan kesempatan bagi Rayn untuk menghayati perasaannya yang dalam. Sudah lama ia tidak menangis. Kali ini, ia menangis dengan perasaan yang teramat sedih.
Kehilangan seorang ayah, apakah Rayn perlu bersedih? Setiap kali ia sampai di rumah ini, ia merindukan ibunya. Dan sekarang, ia juga harus menghadapi kenyataan bahwa ayahnya juga tiada. Apakah ia juga harus bersedih?
Rayn bingung dengan perasaannya. Antara sedih karena mengenang sang ibu, atau malah ia tak sadar merasa kehilangan ayahnya.
Jika itu benar, sungguh kesedihan yang berat sedang dipikul oleh Rayn.
Air mata Rayn tidak berhenti dengan mudah ternyata. Di dalam hati, ia merasa bersalah atas kejadian yang menimpa sang ayah.
"Ini semua salahku, semua salahku."
Rayn mulai menyadari, sebenci apapun dirinya kepada sang ayah, dia tetaplah ayah baginya. Ia tidak sanggup harus menahan diri dengan rasa sedihnya yang teramat dalam. Ia belum siap.
"Seharusnya, aku menahan ayah untuk di sana beberapa hari terlebih dahulu."
Rayn menyandarkan punggungnya di kursi mobil yang nyaman. Ia tidak bisa seperti ini terus menerus. Dengan segera, ia mengambil ponsel dan berniat menelepon Jenni, sepupunya.
Beberapa detik Rayn menunggu, Jenni ternyata tidak menjawab panggilannya. "Mungkin dia lagi sibuk. Setelah ayah meninggal, mau tidak mau dia yang harus meneruskan."
Rayn memutuskan keluar dari mobil. Ia bertekad akan menghadapi kenangan manis yang belum membuatnya menerima akan kehilangan dua orang tuanya. Langkah kakinya mendekati pintu besar yang akan terbuka untuknya.
Hingga langkahnya terhenti, ia merasa bahwa ponselnya sedang berdering.
"Halo?"
Rayn menjawab telepon dari pengacara keluarganya. Ia pun berlari kecil menuju rumah agar dapat mendengar perkataan pengacara yang ada di telepon.
"Apa? Maksud bapak apa?"
Rayn menghentikan langkahnya sejenak. ia mendengar dengan jelas maksud dari kata-kata pengacara yang telah bekerja kepada keluarganya lebih dari umurnya tersebut dari seberang telepon.
Tak beberapa lama, ia terdiam sendiri namun menutup ponselnya.
"Apa? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Kebingungan semakin menghujam Rayn di saat akal sehatnya tertabrak dengan prasangkanya selama ini. Ia tidak mungkin memercayai apa yang baru saja ia dengar. Namun, ia sendiri merasa bahwa tidak mungkin kecelakaan yang menimpanya adalah kebetulan.
Di dalam hatinya, juga timbul kecurigaan.
"Apakah benar bahwa kami berdua sedang berusaha dibunuh?"
Rayn menghela napasnya, mengambil puing-puing akal sehatnya yang runtuh.