Chereads / Me and Your Soul / Chapter 8 - Chapter 8 – Wanita yang Lain

Chapter 8 - Chapter 8 – Wanita yang Lain

Rayn masuk ke dalam mobil. Ditemani oleh sang sopir pribadi, ia berniat menemui pengacara yang telah dipercaya oleh ayahnya cukup lama, Pak Albert.

"Pak, kita ke Pak Albert dulu sebelum ke kantor," pinta Rayn kepada sopirnya.

Pria yang memegang kemudi itu mengangguk dan mulai menyalakan mesin mobil. Hati Rayn merasakan gelisah yang cukup mengganggu. Sudah lama dirinya tidak merasa gugup seperti sekarang. Ini hanya pertemuan biasa, dengan Pak Albert. Ya, Rayn memang jarang bertemu bahkan berbincang serius dengan pria paruh baya itu.

Namun, kali ini, ia harus berbicara empat mata atau mungkin dengan banyak pasang mata untuk memutuskan sesuatu.

"Kenapa nggak sama Jenni aja sih?" keluhnya lirih. Ia sangat tidak suka berada di posisi yang menegangkan seperti ini.

Tidak, ia tidak boleh lengah seperti ini. mendengar perkataan dari Pak Albert sebelumnya, tidak boleh ada yang tahu tentang ini. bahkan, Jenni sekalipun.

Rayn menyandarkan diri, kepalanya terasa berat. "Pak, kita mampir di kafe sebentar ya?"

"Kafe mana Mas?" tanya Pak Bara, sopir keluarga Hunter.

"Kafe mana saja. saya butuh kopi," jawab Rayn.

"Kafe?" Pak Bara hanya terdiam, mungkin dirinya memiliki opsi kafe mana yang mungkin akan dilewati mereka. "Kalau kafe yang bapak biasanya datangi, Mas Rayn mau?"

"Ayah biasanya ke kafe?" Rayn kini yang terdiam. Untuk apa ayahnya ke kafe? Di rumah sudah ada mesin kopi yang harganya lebih mahal daripada sepeda motor pada umumnya. Dan, sejak kapan ayahnya ini menyukai kopi?

"Iya, Mas. Dekat kok dari sini," ungkap Pak Bara.

Rayn menarik napas. Ia baru menyadari bahwa banyak hal yang belum diketahui dari ayahnya. Sejak kapan? Astaga, Rayn bahkan masih ingat betapa ayahnya sangat membenci Rayn yang sedang minum kopi.

"Kopi itu pintu masuk rokok! Awas aja kalau kamu ngerokok!" kata David kepada anaknya, Rayn, ketika masih SMA. perkataan itu sangat diingat oleh Rayn. Dan, apa yang terjadi? mengapa ayahnya kini bahkan membeli mesin espresso yang harganya tidak main-main?

Mobil sedan dengan warna hitam yang dikemudikan oleh Pak Bara itu berbelok ke sebuah kedai kopi kecil yang terhimpit oleh gedung-gedung tinggi di ibukota.

"Di sini, Mas. Biasanya bapak kalau lagi nggak buru-buru ke sini dulu." Pak Bara berhenti tepat di samping kedai kopi tersebut.

Rayn mengamati sejenak, untuk apa ayahnya ke sini? di sebuah kedai kopi yang kecil? Rayn harus mencari tahu. Mungkin, ia akan menemukan sesuatu tentang ayahnya.

Pak Bara turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Rayn. "Pak, nggak usah. Saya bisa sendiri, kok."

Pak Bara hanya menggeleng, "Jangan begitu, Mas. Sudah sewajarnya saya melakukan ini."

Rayn pun turun dan memandang sebuah kedai yang ada di hadapannya. Diamatinya satu per satu inchi dari tempat yang sepertinya tidak terlalu menarik dipandang. Namun, Rayn sangat membutuhkan kopi. Ia harus segera meminumnya, atau akan tertidur saat mendiskusikan hal penting dengan pak Albert.

"Selamat siang ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang wanita yang menggunakan apron dan topi itu.

Untuk beberapa saat, mereka saling menatap. Tidak ada kata yang terucap di antara keduanya.

"Pak? Pak David?" tanya wanita itu.

Rayn terkejut mendengar orang yang ada di depannya ini menyebut dirinya dengan nama sang ayah. "Mbak? Mbak kenal ayah saya?"

Mulut wanita itu terbuka lebar, tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. "Ya ampun? Apakah Mas anaknya Pak David?"

Rayn mengangguk kemudian berkata, "Ya, saya anaknya."

Wanita itu menutup mulutnya, tidak percaya akan sesuatu. "Mas? Mas mirip sekali dengan Pak David. Saya sampai merasa Pak David operasi plastik agar terlihat lebih muda."

Rayn tersenyum tipis. Mengapa wanita ini berkata seolah-olah sangat dekat dengan ayahnya?

"Mari, Mas. Silakan duduk di sini," kata wanita yang mungkin hanya satu-satunya pelayan di sana, "ngomong-ngomong saya Sandara. Biasanya Pak David memanggil saya Dara. Kebetulan saya pemilik kedai ini."

Rayn mengangguk, mengerti apa yang dikatakan oleh Dara.

"Saya masih belum percaya kalau Pak David sudah meninggal." Dara berkata sambil membereskan beberapa gelas dan sampah yang ada di atas meja bar.

"Mbak, mohon maaf. Apakah ayah saya sering ke sini?" tanya Rayn dengan cepat.

Dara menoleh ke arah Rayn, menatap dengan lekat dua mata yang mirip dengan seseorang. "Ya, tentu saja. Pak David hampir setiap pekan mampi ke sini."

Rayn semakin merasa curiga. "Mohon maaf, apa hubungan Mbak dengan ayah saya?"

Wajah Dara yang semula terlihat sangat ramah, mendadak berubah. Ada kebingungan yang sangat jelas terlihat di raut wajah beningnya. Sesekali dirinya menunduk, tetapi tidak membuatnya mampu menjawab dengan gamblang apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.

"Mbak? Apakah Mbak simpanan ayah saya?" kini wajah Rayn menjadi tidak ramah. Siapa wanita ini? apakah dia yang akan menggantikan ibunya? Rayn menatap Dara seperti panah yang hendak dilepaskan.

Namun, semua itu berakhir dengan cepat ketika ponsel Rayn bergetar. Ia mengalihkan pandangannya dari Dara untuk sementara untuk memeriksa siapa yang tengah menghubunginya.

"Halo, Pak Albert?" suara berat Rayn menjawab panggilan dari ponselnya.

Ia masih melempar tatapan curiga yang belum ingin dilepaskannya dari Dara. Sedangkan wanita yang juga berusia hampir sama dengan dirinya itu masih terdiam canggung. Dirinya belum menemukan penjelasan yang tepat untuk menjelaskan hubungan yang dimaksud oleh Rayn.

"Saya akan kembali ke sini. Urusan kita belum selesai!" kata Rayn dengan menekan nada bicaranya. Sebenarnya, ia tidak ingin bersikap seperti ini kepada orang yang baru saja ia temui. Namun, melihat bagaimana wanita itu memanggil ayahnya, ada rasa jijik yang hinggap di dalam benaknya.

"Pak, kita ke Pak Albert saja!" perintah Rayn kepada Pak Bara.

"Nggak jadi beli kopi, Mas?" tanya Pak Bara yang keheranan dengan perubahan ekspresi majikannya.

"Saya sudah nggak ngantuk!" jawab Rayn dengan kesal.

Pak Bara hanya diam dan mengikuti perintah dari Rayn. Hatinya masih belum genap berduka, tetapi banyak hal yang terkuak di saat dirinya belum siap seperti ini. Mengapa semuanya terjadi tanpa memberikannya jeda untuk diam sejenak? apakah Tuhan begitu sulit memberikan waktu bagi Rayn untuk merenungi apa yang sedang terjadi?

Beberapa yang lalu Pak Albert berkata bahwa dirinya harus siap dengan apapun yang terjadi. ia pikir semua ini hanya masalah warisan dan perusahaan yang sebenarnya bisa saja diserahkan kepada keluarga Jenni.

Namun, ia menjadi gelisah. Semuanya terasa semakin rumit. Terlebih ketika dirinya bertemu dengan Dara, apakah ayahnya terlalu kesepian sampai harus mencari simpanan wanita yang mungkin seusia anaknya?

Astaga, memikirkan Dara saja sudah membuatnya mual. Pikirannya beradu dengan banyak prasangka. Apakah Rayn harus menemukan jawabannya segera mengenai Dara?

"Ya ampun," katanya sambil mengurut dahinya.

"Kenapa, Mas? Kopinya nggak enak?" tanya Pak Bara.

"Bukan, Pak." Rayn sudah lelah dengan kejutan-kejutan yang terjadi. lebih baik dirinya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. "Pak, hubungan ayah sama pemilik kedai itu apa?"

Pak Bara terdiam, tetapi tidak ada raut yang mencurigakan. "Tidak tahu, Mas. Memangnya kenapa? bapak Cuma sering ke sini dan nggak lama."

Rayn tidak percaya dengan perkataan Pak Bara.