Rayn memandang seisi ruang yang ada di sekitarnya. Seorang berwujud wanita juga ikut memerhatikan apa yang Rayn lakukan.
"Kamu lihat apa?"
Rayn tersentak, melihat makhluk yang bukan manusia berada di sekitarnya membuat Rayn merasa seperti gila. Ia berusaha untuk terlihat bahwa dirinya tidak melihat makhluk tersebut.
"Hei!" ujar makhluk tersebut.
Rayn enggan menoleh. Ia berpura-pura tidak mendengarkan panggilan tersebut.
"Kamu bisa lihat aku, hei! Jangan pura-pura hei!"
Rayn tetap tidak bergeming. Ia masih memandang ke arah lain untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak peduli akan keberadaan makhluk itu.
"Apa yang ingin kamu lakukan sekarang? Diam saja?" makhluk itu masih tidak menyerah untuk mengajak Rayn berbicara. "Ngomong-ngomong, ini adalah kali pertamanya aku berbicara dengan manusia."
"Pergi!" kata Rayn yang masih memunggungi makhluk terebut sambil melempar bantal yang ada di sebelahnya. Tidak ada suara bantahan atau tanggapan. Rayn melihat kembali ke belakang, dan makhluk itu menghilang.
"Wah? Wanita itu menghilang?" katanya tidak percaya. "Apa aku benar-benar sedang gila?" Rayn memegang kepalanya yang dipenuhi oleh perban. Ia pun mengucek kedua matanya, mungkin makhluk itu dapat ditemukan setelah matanya terasa bersih. Tetap saja, tidak ada.
"Apa aku sekarang jadi gila? Mengapa ada makhluk itu di sini?" tanyanya pada diri sendiri.
"Apakah karena ini di rumah sakit? Karena itulah ada makhluk yang bukan manusia?" Rayn merasa bahwa itulah penjelasan yang logis saat ini. Bulu kuduknya berdiri, ia mulai merasa merinding.
"Apa yang sedang terjadi? apakah kepalaku terbentur begitu keras?" Rayn memegang dahinya yang ternyata sakit ketika disentuh.
"Tapi, suara itu benar-benar nyata. Ia bahkan menanyakan kepadaku apakah aku melihatnya. Nggak mungkin kalau itu nggak nyata!"
Rayn menyandarkan punggungnya kembali pada tempat tidur yang sudah dimiringkan dengan posisi yang nyaman. Kini, ia meratapi dirinya sendiri di malam yang hendak berganti pagi. Ia ingin menanyakan keberadaan ayahnya. Namun, ia takut jika dirinya belum siap untuk mendengarkan berita buruk.
"Hantu itu bilang, akan ada hal yang buruk menimpaku. Apakah ini tentang ayah?"
***
Rayn terbangung dari tidurnya di saat matahari sudah meninggi. Sinar matahari tengah masuk dari celah-celah tirai jendela kaca yang ada di kamar rawatnya.
"Apakah kamu sudah bangun, Rayn?" tanya seorang pria yang duduk di sebelah tempat tidurnya.
Rayn menoleh kemudian tersenyum. "Apa kabar Pak? Sudah lama sejak kita terakhir bertemu."
"Baik. Bagaimana dengan studimu di Eropa? Kamu pasti merasa kesal karena tidak jadi meneruskan studi doktoralmu untuk menggantikan ayahmu di sini, bukan?"
Rayn tersenyum tipis. Selepas tidur tadi, ia merasa lebih lemah. Mungkin ini adalah salah satu efek obat yang sempat diberikan kepadanya dini hari tadi.
"Saya sangat berat mengatakan kepadamu tentang hal ini, Rayn. Saya dengar kamu sudah sadar tengah malam tadi."
"Ya. Tadi malam saya sempat terbangun. Tapi, rasanya, saya akan mengalami hari-hari yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya." Rayn melempar pandangannya ke arah lain. Ia tidak sanggup mengatakan apapun saat ini.
"Saya tahu. Kamu pasti masih sangat terkejut dengan kecelakaan yang terjadi. Apakah kamu tahu keadaan ayahmu?" tanya Pak Albert, pengacara keluarga Rayn.
"Apakah ayahku meninggal?" tanya Rayn tanpa basa-basi. ia tidak suka narasi yang menunjukkan bahwa dirinya mungkin akan terkejut dengan kabar yang akan diberikan. Ia tidak suka dengan permulaan obrolan yang menyenangkan untuk menyembunyikan kenyataan bahwa ia harus menerima kabar yang sangat menyedihkan.
Pak Albert tersenyum. "Kalian berdua memang memiliki ikatan yang cukup kuat. Sampai-sampai, saya tidak perlu memberitahukan apa yang terjadi."
Setidaknya, Rayn sudah mengetahuinya lebih dulu melalui perasaannya. Bahwa ayahnya sudah berada di dunia yang berbeda dengannya. Kedua matanya berkaca-kaca. Ia sendiri bingung, mengapa harus menangis? Bukankah ia membenci ayahnya? Mengapa harus bersedih ketika ayahnya benar-benar pergi dan meninggalkannya? Bukankah ini akan membuatnya dapat menjalani hidup dengan normal?
"Rayn, kita harus membahas sesuatu nanti. Saya senang kamu sudah pulih. Take your time." Pak Albert meninggalkan Rayn dan juga makhluk wanita yang ternyata berada di balik punggung Pak Albert dari tadi.
"HAH! KAMU!" teriak Rayn dengan mata terbelalak. "Ini siang hari! Ngapain kamu di sini?" Rayn menutup matanya. Ia tidak ingin melihat hantu berkeliaran di sekitarnya. "Tolonglah, aku ingin istirahat. Aku sedang ingin berduka."
Makhluk itu tidak menjawab apa-apa. Rayn merasa bahwa mungkin makhluk itu pergi seperti semalam. Ia memberanikan diri membuka mata.
"HAAAAAAAA!" suara Rayn terdengar kencang melihat makhluk itu justru berdiri tepat di sampingnya.
"Kamu bisa lihat aku 'kan? Kenapa semalam pura-pura?" tanya makhluk itu.
"HANTU!" teriak Rayn lagi kemudian menutup wajahnya dengan bantal.
"Hantu? Mana?" makhluk itu melihat ke sekelilingnya, "mana? Nggak ada!"
"KAMU HANTU!" jawab Rayn.
"Apa? Aku hantu? Ya nggaklah! Aku bukan hantu. Apa aku terlihat menyeramkan?"
"TERUS, KALAU KAMU BUKAN HANTU, KAMU APA?" Rayn merasa tidak terima dengan perkataan makhluk yang jelas bukan manusia itu. memangnya, ada hantu yang merasa dirinya hantu? Mungkin mereka tidak sadar bahwa dirinya sudah meninggal.
Makhluk itu terlihat menghela napas. "Aku bukan hantu. Kenalkan, namaku Honey."
Apa? Hantu bernama Honey? Madu? Mengapa namanya aneh? Rayn menggelengkan kepalanya. Apakah mungkin ia sedang tidak waras?
"Rayn!" seru seorang wanita yang membuka pintu kamarnya.
"Jenni?"
Jenni memeluk Rayn perlahan sambil membawa bunga dan beberapa makanan yang mungkin akan disukai oleh Rayn.
"Aku senang kamu sudah sadar, Rayn. Sungguh, aku tidak tahu kalau Om David akan memintamu pulang mendadak seperti ini."
"It's okay, Jen. Aku baik-baik saja."
"Kamu beneran baik-baik saja? bagiku, kamu tidak terlihat seperti itu." Jenni melihat dengan tatapan cemas kepada sepupunya itu.
"Tapi, aku tetap tampan, 'kan?" Rayn berusaha membuka kotak humornya untuk menyembunyikan kesenduan yang sebenarnya.
Jenni tertawa. Ia tidak menyangka bahwa Rayn akan berkata seperti itu di saat dirinya penuh luka seperti ini. "Kamu bisa ya, melawak seperti ini?"
"Bisa lah. By the way, gimana kantor? Apa ada masalah?" tanya Rayn.
"Kamu kenapa nanya tentang kantor? Sudah, kamu harus sembuh dulu!" pinta Jenni. "Aku nggak bisa lama-lama. Nanti malam aku ke sini lagi. Kamu mau titip makan apa? Bakso?"
"I will love it. Thanks, Jen."
"With pleasure, bye. Jangan mikir macam-macam dulu, kamu harus sembuh!" perkataan Jenni diulang kembali. Rayn tersenyum dan merasa bahwa dirinya ada yang dapat menganggapnya seperti keluarga.
"Itu siapa? Pacar?" Honey bertanya sambil melihat Jenni menutup pintu kamar rawat Rayn.
"Astaga! Kenapa kamu masih di sini?" tanya Rayn dengan tatapan kesal. "Kamu benar-benar menakutkan!"
"Menakutkan? Harusnya kamu takut sama perempuan yang memelukmu tadi!" jawab Honey dengan sedikit membentak.
Rayn menggelengkan kepalanya. Apa yang diketahui oleh hantu madu ini? mereka baru saja bertemu, dan mengapa sudah mampu membuat penilaian seperti itu?
"Apa pria ini tidak merasa bahwa ada sesuatu yang gelap pada perempuan itu?" tanya Honey dalam hatinya.