Dering ponsel milik Rayn berdering kembali. Rayn yang belum selesai membalut tubuh dengan bajunya merasa ada yang aneh. Tidak seperti biasa ayahnya bersikap seperti ini.
"Ayah," kata Rayn yang mulai merasa frustasi,"aku benar-benar tidak ingin pulang. Aku bahkan sudah mengajukan studi lanjutan untuk gelar doktor."
"Sudahlah, Rayn. Kamu tidak berbakat untuk hal seperti itu. Kenapa kamu tidak pulang dan meneruskan apa yang ayah sudah mulai?"
Rayn benar-benar ingin menutup ponsel seperti biasanya. Namun, ia merasa ada yang berbeda dengan suara yang ia dengar terakhir kali dari sang ayah.
Entah mengapa, ada perasaan untuk tidak tergoda dengan rayuan David Hunter. Rayn menunduk, mengapa tiba-tiba ia merindukan ayahnya seperti ini? padahal selama hidupnya, David selalu memperlakukan Rayn dengan cukup keras.
"Rayn, ayah mohon."
Rayn tidak menjawab perkataan ayahnya di telepon. Ia menutup panggilan sekaligus mematikan ponselnya. Ia menarik napasnya lebih dalam. Air matanya turun perlahan karena teringat ibunya yang telah meninggal.
"Ibu, Rayn kangen."
Rayn menyeka air matanya dan bergegas untuk berpakaian. Ia menjadi kesal karena dari tadi belum menyelesaikan sesuatu yang biasanya butuh waktu hanya beberapa detik.
Matahari sudah meninggi, waktu sudah masuk pada siang hari. Namun untuk meredakan kesedihannya, ia ingin berlari kecil memutari jalan di dekat gedung apartemennya. Rayn tidak biasa berlari kecil di siang hari, tapi kali ini ia benar-benar memutuskan akan melakukan hal itu.
Rayn turun menuju lobi apartemen dan melihat kembali bahwa memang sudah sangat siang untuk berlari. Ia teringat suara David saat di telepon, ia mulai terenyuh kembali.
Ia mengambil posisi untuk berlari kecil, tidak peduli matahari yang tidak ramah saat ini. Sebelum ia memutuskan untuk belajar ke luar negeri, ia sudah tidak memiliki hubungan yang baik dengan ayahnya. Terlebih setelah kematian ibunya sepuluh tahun yang lalu.
Hanya sang ibu yang dapat memahami keinginan Rayn. Hanya ibunya, Leona Hunter, yang mendukung Rayn untuk meraih pendidikan setinggi mungkin seperti dirinya yang merupakan ilmuwan.
Perasaannya kini bercampur aduk dengan kemarahan dan kesedihan. Ia merasa kecewa dengan David karena meminta untuk segera pulang hanya karena ingin ia menggantikannya memimpin perusahaan yang tak pernah menjadi rencananya.
Rayn berhenti di trotoar, ia berteduh di bawah pohon yang cukup besar untuk melindunginya dari sinar matahari. Nafasnya tersengal dan keringanya bercucuran. "Apakah ayah tidak merindukanku? Mengapa setiap kali meneleponku hanya untuk memintaku pulang dan menggantikannya di singgasana kekuasaan munafik itu?" katanya dalam hati.
Rayn memacu kembali langkahnya untuk berlari kecil di rute yang sudah ia hafal sebelumnya. kemudian ia terhenti lagi, ia teringat akan seseorang.
"Kenapa nggak Jennifer aja yang menggantikan ayah? Dia lebih mumpuni daripada aku. Jenni lulusan bisnis kampus ternama. Sedangkan aku hanya lulusan teknik?" katanya.
Namun, tidak mungkin ayahnya tidak memikirkan itu. Ia menjadi penasaran. Mengapa ayahnya begitu ingin dirinya menjadi ketua? Apakah karena Rayn adalah anaknya? Ataukah karena David sedang mempertahankan kekuasaan?
***
"Rayn, aku pulang."
Adam membuka pintu apartemen namun tidak mendapati siapapun berada di dalam. Ia masih belum menyimpulkan hal itu, karena ia belum menengok kamar Rayn.
"Rayn?" kata Adam sambil mengetuk pintun. Namun sekali lagi, ia tidak mendapatkan respon yang menunjukkan bahwa Rayn sedang ada di dalam.
"Kok tumben dia nggak bilang-bilang kalau mau pergi?" gumam Adam. Ia pun memilih untuk tidak mempermasalahkan hal itu. Karena sudah lapar, Adam pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Tanpa sengaja, Adam menemukan ponsel Rayn berada di atas meja dalam keadaan mati.
"Rayn kenapa ini? nggak biasa banget kalau sampai dia melupakan HP-nya."
Adam mulai merasa cemas. Rayn tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. pasti sesuatu telah terjadi. Adam menarik napas. Lapar yang semula sangat menyiksa, kini berangsur hilang.
Adam mendengar gerakan pintu yang terbuka. Ia bergegas menuju pintu untuk memastikan apakah Rayn benar-benar sudah pulang.
"Rayn!" kata Adam.
"Hm?" jawab Rayn dengan raut wajah yang malas.
"Kenapa? Ada apa?" tanya Adam.
"Nggak ada apa-apa," jawab Rayn.
"Kamu bohong, 'kan?"
"Tahu dari mana?"
"Dari pengalaman lah," jawab Adam dengan percaya diri. "Kamu lupa kita tinggal bareng udah berapa lama? Jangan remehkan aku!"
"Iya, aku nggak meremehkan kamu," kata Rayn dengan datar.
"Terus kenapa kamu ninggalin HP-mu di dapur? Kamu ditelepon sama ayahmu?" tanya Adam yang seperti penembak jitu.
Rayn menoleh, ia terkejut mendengar Adam yang dapat menebak dengan tepat. Namun, ia merasa sedih lagi jika harus menceritakan apa yang terjadi.
"Kenapa? Kamu masih disuruh nerusin RetroZ?" kata Adam lagi.
Astaga! Rayn membelalakkan matanya. Jika Adam menjadi penembak, ia tidak perlu berlatih dengan keras. Karena Rayn yakin, Adam sudah berbakat dalam menembak tepat sasaran.
"Kalau dari raut wajahmu sepertinya sih, iya."
"Sepertinya aku memang tidak bisa menyembunyikan apapun dari kamu, Dam." Rayn akhirnya mengakui apa yang menjadi beban pikirnya seharian ini.
Adam menepuk pundak sahabatnya. Meskipun ia tidak mengetahui secara pasti bagaimana rasanya menjadi pewaris orang kaya seperti Rayn, ia tahu bahwa menjalani hal yang tidak disukai adalah berat.
"Besok aja kita omongin lagi. Aku lapar, ayo kita makan."
Rayn mengangguk, ia juga merasakan hal yang sama. Mereka pun memilih untuk tidak memasak malam ini. Mereka ingin makan sekaligus meredakan perasaan Rayn yang sedang tidak enak seperti itu.
***
Adam melihat di ponselnya, ini sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Karena ini adalah hari sabtu, ia berniat untuk tidur lebih lama. Namun sesuatu menggangunya, hingga ia membatalkan niatnya untuk memejamkan matanya kembali.
"Itu siapa jam segini ketuk-ketuk pintu," keluh Adam sambil mengucek kedua matanya.
Saat ia membuka pintu, Adam terkejut dengan sosok yang ada di depannya. Karena sangat terkejut, ia tidak mampu berkata apa-apa.
Ia mempersilakan masuk. Tamu tersebut membalas sambutan Adam dengan senyuman yang hangat. "Halo Adam, ini untukmu."
Adam menerimanya dengan senang hati meskipun dalam hatinya berdebar hebat. Selama ini ia hanya mampu membayangkannya, namun tak pernah terpikir akan bertemu secara langsung. Dan yang lebih membuatnya membeku adalah, tamu itu tahu namanya.
Adam berusaha mengendalikan dirinya. ia pergi ke kamar Rayn untuk membangunkan temannya yang masih tertidur.
"Rayn, bangun!" kata Adam sambil berbisik.
"Hm?" Rayn terlihat enggan untuk bangun.
"Rayn, jangan kayak gini dong." Adam menggelitik pinggang Rayn namun malah mendapatkan pukulan.
"Aku masih ngantuk banget, Dam. Tadi malem kan kita pulangnya malem banget," kata Rayn dengan alasannya agar ia tidak dibangunkan lagi. "Toh ini juga hari sabtu," imbuh Rayn yang juga belum berniat membuka matanya.
"Rayn, ada yang dateng." Adam berbisik.
"Siapa? Bilang aja aku tidur," jawab Rayn dengan mata tertutup.
"Yang datang.. itu ayahmu.." Adam melirik tamu yang berdiri tidak jauh darinya.
Rayn membuka matanya dengan lebar. "Apa?"