Chereads / Me and Your Soul / Chapter 3 - Chapter 3 – Pulang?

Chapter 3 - Chapter 3 – Pulang?

Adam membantu Rayn untuk membereskan pakaian-pakaian yang ada di lemarinya. "Bro? Kamu langsung pulang gitu aja?"

Rayn enggan menjawab. Sebenarnya, ia pun tidak ingin untuk pulang saat ini. Ia masih ingin melakukan apa yang sudah ia rencanakan sebelumnya. Namun, ia tahu semua itu akan sia-sia. Buktinya, David dapat menemukan apartemennya yang tak pernah ia ceritakan sebelumnya.

Bahkan David sudah mengenal Adam, bagaimana ia bisa tahu jika ia tidak mencari tahu? Daripada ayahnya melakukan hal-hal nekat, Rayn memilih untuk mengikuti kemauannya saja.

Rayn menarik napasnya dalam, kemudian ia menatap Adam yang ikut melipat pakaiannya. "Kenapa? Kamu bakalan kangen sama aku?" kata Adam.

Rayn mengangguk. "Bisnis keluarga ini selalu penuh konflik, kamu tahu kan? Makanya aku nggak mau meneruskan pekerjaan ayahku. Tapi ternyata dia sangat nekat."

"Kamu juga nekat, Rayn. Sepertinya kama punya sifat keras kepala dari ayahmu, haha!" kata Adam yang kemudian melihat sekelilingnya untuk memastikan tidak ada David di kamar Rayn.

"Huh! Sialan!"

"Kamu itu kepala batu, nggak tahu?"

"Nggak, kepalaku kepala manusia!" jawab Rayn kemudian mengetuk kepala Adam dengan sedikit keras.

"AW! Apaan kamu?" ujar Adam sambil mengelus kepalanya.

"Aku pikir kepalamu yang batu, tapi kepalamu keras juga! Haha!" balas Rayn.

"Sialan!" Adam meninju pundak Rayn dengan wajah kesal. "Ngomong-ngomong, apa rencanamu setelah ini?"

Rayn terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia melakukan hal ini karena melihat ayahnya yang nekat menjemputnya. Bahkan, David sudah membelikan tiket dan hal-hal lainnya untuk pulang ke Indonesia. "Aku nggak tahu, mungkin ayahku yang punya rencana."

"Rayn," tiba-tiba David sudah berada di pintu kamarnya. "Ayo, kita harus segera berangkat."

***

Adam mengantar Rayn dan David menuju bandara. Awalnya, ia berniat untuk langsug pulang ke apartemen. Akan sangat aneh jika ia ikut dengan mereka masuk ke dalam bandara meskipun David cukup ramah dengannya.

"Kamu masuk aja gih, aku nggak enak sendirian." Rayn sedang berdiri di depan bandara sedang memohon kepada Adam.

"Nggaklah, kelarin urusanmu sama ayahmu. Sudah waktunya ini selesai! Kamu udah umur dua puluh sembilan tahun! Sudah waktunya nikah, eh?" kata Adam sedikit menggoda.

Rayn menyipitkan kedua matanya ketika mendengar Adam menyindir masalah pernikahan. Dia tidak ingin membahas hal itu karena Adam sendiri memiliki riwayat yang tidak terlalu baik masalah percintaan.

"By the way, kamu belum ngomong sama Andrea?" tanya Adam.

Rayn terkejut mendengar Adam menyebut nama Andrea. Astaga, Rayn benar-benar kacau hingga melupakan hal yang penting.

"Kamu bilang dong sama Andrea?" kata Rayn kemudian teringat sesuatu,"tapi 'kan aku bukan siapa-siapanya Andrea.."

Adam menahan tawanya. "Ya udah, mungkin Andrea nggak bakalan nyari."

"Sialan!"

"Eh, ayahmu udah datang tuh. Aku pergi dulu ya?" kata Adam kemudian mencium tangan David yang baru saja selesai membeli kopi.

"Saya tahu anak-anak zaman sekarang suka kopi. ini buat kamu, Adam. Saya dengar kamu suka cappucino hangat. Oh ya, di pemberian saya tadi ada lma ratus gram kopi arabika dari Flores. Kamu pasti suka 'kan?" kata David.

Adam hanya membelalakkan matanya mendengar hal itu. Bagaimana mungkin David mengetahui banyak hal tentang Adam yang baru saja ia temui hari ini? Adam merasa senang dan tersenyum kepada David. "Wah, makasih banyak ya, Om!" kata Adam kemudian membisikkan sesuatu kepada Rayn,"Ayahmu the best!"

Rayn memutar kedua bola matanya. Temannya satu ini memang sangat mudah disogok dengan hal-hal seperti ini. Ia melihat Adam berjalana meninggalkan mereka. Kini hanya ada Rayn dengan ayahnya, David.

"Ayah, nggak perlu seperti ini!" Rayn merasa tidak terima dengan perlakuan David kepada Adam. "Ayah pasti kirim mata-mata 'kan ke sini?"

"Tentu saja." David menjawab dengan senyuman, "Sudahlah, ayah tidak punya waktu cukup lama. Ayo kita pulang."

***

Enam belas jam bukanlah waktu yang sebentar bagi Rayn. Perjalanan ini sangatlah berat baginya. Bagaimana mungkin ia merasa tidak berat? Pagi hari, ia terbangun karena Adam memberitahukan bahwa ayahnya ada di apartemennya.

Itu sangat menjengkelkan. Ia tidak ingin bertengkar dengan ayahnya di depan Adam. Melihat ayahnya dapat melakukan banyak hal, Rayn tidak ingin jika Adam akan terkena masalah karenanya.

Selama enam belas jam itu pula, Rayn tidak banyak berbicara dengan ayahnya. Mungkin, David cukup lelah karena dalam sehari sudah harus menghadapi dua penerbangan. Namun, itu adalah hal biasa untuk David, mengapa Rayn merasa perlu memberikan belas kasihan kepadanya?

Rayn menggelengkan kepalanya. Di saat ia mendengar pengumuman bahwa pesawat akan mendarat, ia memandang ayahnya yang masih tertidur.

Ia teringat bahwa David selalu tidur di sandaran istrinya, ibu dari Rayn. Tak terasa, Rayn menitikkan air matanya. Ia kembali mengingat momen di mana David dan dirinya berebut untuk tidur di pundak wanita yang sama.

Kali ini, Rayn memberanikan diri untuk berbicara. "Ayah, pesawatnya udah mau turun."

Seketika, David terbangun. Ia memperhatikan di sekitar sambil mengerjapkan kedua matanya. "Kita sudah sampai?" tanya David.

"Ayah kok tumben nggak bawa jet pribadi?" tanya Rayn.

"Hmm.. ayah ingin pakai pesawat umum saja sih, kenapa? Kamu keberatan? Bukannya kamu berangkat ke Polandia juga pakai pesawat biasa seperti ini?"

Pesawat telah mendarat sepenuhnya. Mereka telah sampai di negara tujuan. Rayn melihat ayahnya sedang membereskan beberapa barang yang sempat ia keluarkan. Kemudian, mereka keluar dari pesawat dan bersiap menuju mobil yang telah menunggunya.

Ada yang mengganjal di dalam pikiran Rayn. David berubah. Ia masih ingat sepuluh tahun yang lalu, tidak mudah baginya untuk membangunkan sang ayah ketika tertidur di samping ibunya. Namun, mengapa kali ini begitu mudah? Apakah karena David tidak tidur dengan nyaman di pesawat?

Ah, terserah. Rayn tidak peduli. Ia mengikuti langkah ayahnya yang berada di depan. Mereka kemudian masuk ke dalam sebuah mobil sedan yang sudah menunggu di sana. Rayn tidak berkata apa-apa selain masuk ke dalam mobil seperti yang dilakukan oleh David.

"Rayn, ayah mau membicarakan sesuatu kepadamu. Ini penting, dan ini adalah sesuatu yang belum kamu dengar sebelumnya. kita akan pergi ke villa dulu," ujar David kepada anaknya yang masih memilih diam.

"Ayah sangat merindukan ibumu," imbuh David kemudian tersenyum.

Mobil sedan yang mereka tumpangi melaju dengan kecepatan sedang, mengingat sekarang masih dini hari. Sang sopir mengemudikan mobil tersebut dengan hati-hati. Namun, sebuah mobil terlihat sedang mengikuti mereka.

David mengetahui hal itu. Ia meminta Rio, sopir mereka, untuk tetap mengemudikan dengan hati-hati, terlebih mereka berjalan di dekat tebing. David melihat sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Ia memegang tangan Rayn yang juga mulai merasa gelisah.

Seperti dugaan David, seuatu yang tidak beres sedang terjadi.

BRAK!

Sebuah mobil menabrak mereka dari arah yang lain.