Hari yang sendu, burung-burung pun tak berkicau. Seolah negara ini adalah sebuah tanah kawasan yang tak berpenghuni. Jalanan tampak begitu sepi, seolah tak ada aktivitas apa pun yang terjadi. Namun, dapat terlihat dengan jelas sehelai kain suci yang bercorak warna biru, putih, merah itu melambai-lambai di udara, yang terikat di setiap pagar dan gerbang yang berada di kota megah ini.
Sebuah tanda dari rasa sedih dan kehilangan yang masih selalu terasa di negara indah ini, tradisi yang masih terus berjalan dalam kurun waktu genap dua tahun terakhir. Tidak, lebih tepatnya hal ini memang berlaku umum di setiap negara yang begitu membanggakan citra monarki yang mereka miliki.
"Kau harus segera bersiap Isabelle, ibu tak ingin melihat kau datang terlambat dan mempermalukan kita semua di hari yang bersejarah ini. Ingat bahwa kau juga merupakan seorang bangsawan," ujar sang ratu.
"Kenapa ibu terus memaksaku? Ibu tau dengan jelas bahwa aku sangat membenci dan mengutuk hari ini dan hal-hal konyol yang kalian rayakan setiap tahunnya," balas Isabelle.
Saat dirinya hendak meninggalkan ruang privasi keluarga inti ini, tangannya di tahan oleh sang ratu. Beliau berkata, "Aku tau seberapa besar emosi yang kau sembunyikan di dalam sana. Karena aku juga merasakannya, kau tahu betul akan hal itu. Apa kau berpikir diriku menikmati setiap detik dari udara yang aku hirup di luar sana? Terutama sambil melihat mereka, para kolega kerajaan yang hanya berpura-pura bersikap simpati."
Isabelle melepaskan tangan ibunya dengan paksa lalu menoleh sambil berkata, "Lelucon macam apa yang baru saja keluar dari mulut ibu? Jangan pernah menyamakan diriku denganmu karena kita jelaslah berbeda. Aku tau permainan kotor kecilmu yang sedang berusaha kau tutupi selama ini. Pasti satu dari hal itu yang menyebabkan semua penderitaan ini terjadi."
Tanpa berucap kata, sang ratu yang merupakan seorang ibu dari Isabelle itu langsung melambaikan tangannya ke udara dan mendaratkanya tepat di sudut bibir Isabelle. Tamparan yang cukup keras itu mengakibatkan bibir sang anak meneteskan air merah segar yang disebut darah.
Tak dapat dipungkiri sekeras apapun Isabelle bersikap, air matanya tetap menetes juga. Namun bedanya di saat seorang perempuan biasa tersakiti, mereka umumnya akan menangis dan bersikap lemah.
Hal ini berbanding terbalik dengan Isabelle, dirinya justru tertawa gelap dan kemudian dia segera menyapu air mata tersebut dengan telapak tangan kanannya sedangkan telapak tangan kirinya digunakan untuk menyapu darah yang sempat terciprat dari bibirnya.
Ditunjukan lah hal itu pada semua orang yang tengah berada di ruangan ini bersamanya. Ia juga tak henti-hentinya menatap saudaranya, yang dari tadi hanya menyaksikan segalanya sembari berpangku tangan.
Tak tahu apa yang dia harapkan, reaksi dari semua orang, pengakuan, atau mungkin dukungan. Hubungan saudara yang terikat, tapi sikap keduanya sungguh kontras berbeda.
"Wow lihatlah ini, sang ratu telah menunjukan posisinya, semua hal yang terjadi di kastil ini harus berdasarkan kemauan dari Yang Mulia ratu," ujar Isabelle kemudian menepukkan kedua telapak tangannya sebagai tanda applause.
"Sudahlah, hentikan drama yang terjadi disini, kalau kalian masih mau beradu akting, masih ada panggung sandiwara di luar sana yang harus kalian menangkan perhatian penontonnya. Tak perlu menunjukkan semuanya di sini," sahut dari salah satu orang yang juga berada dalam ruangan ini yang bernama Morgan.
"Dasar busuk, sembunyikan saja semuanya. Anggap saja ini sebagai hiburan lain, kuharap kalian semua bisa puas. Kita akan lihat sampai di mana semuanya akan berlanjut," hardik Isabelle pada sang paman lalu segera pergi menuju ke kamarnya.
"Isabelle!" panggil sang saudara.
Dengan satu tarikan nafas pertanda legah, Morgan pun juga segera meninggalkan ruangan ini yang menyisahkan sang ratu dengan satu orang anak lainnya. Apa pun yang baru saja terjadi, tampak seperti makanan harian baginya. Tak begitu asing, dan membuatnya terkejut. Cukup nikmati kesenangan yang ada, sebelum semuanya berakhir.
"Ibu tak habis pikir, mengapa saudarimu itu berubah sikap selama dua tahun terakhir? Padahal ibu selalu mencoba untuk merangkul dirinya tapi dia tak pernah mau memberikan kesempatan pada ibu sekali saja," kata sang ratu.
Adam, saudara Isabelle akhirnya segera berdiri lalu memegang kedua tangan ibundanya itu seraya berkata, "Ibu tau di antara kami bertiga, Isabelle yang selalu memiliki jiwa pemberontak yang frontal, terutama jika dia tahu atau menyadari sesuatu tidak pada tempatnya. Mungkin dirinya membutuhkan waktu yang lebih lama daripada kita semua."
Senyuman manis kini tampak di mata sang ratu yang menyadari bahwa ternyata masih ada anaknya yang lain yang juga masih mendukung dirinya.
Beliau pun juga tak lupa untuk memeluk sang anak, Adam lalu berkata, "Ibu akan terus mencoba sebaik mungkin, semoga saja yang kau katakan itu benar nak. Ingatlah kau putra ibu yang terbaik, hanya kau yang bisa mengerti perasaan ibu. Apa pun yang terjadi pastikan kita harus selalu bersama sebagai satu keluarga."
Melepaskan pelukan, Adam mengangguk sebagai tanda setuju dirinya dengan apa yang baru saja ibunya katakan.
"Oh iya, ibu juga minta tolong yah agar kau bicara dengan Isabelle. Minta dia untuk hadir kali ini. Ibu tau dengan benar satu-satunya orang yang masih mendapatkan rasa kepercayaan dari Isabelle hanya dirimu saja. Tak ada yang mampu memenangkan perhatian dari dirinya selain kamu, Adam. Usahakan agar kalian juga tak telat karena kita sudah membuang banyak waktu untuk perdebatan yang tak berarti ini," ucap sang ibunda.
***
(Empat Puluh Lima Menit Kemudian)
Semua orang dari kastil perlahan menuju ke tempat momentum perayaan yang sejak pagi buta tadi, sudah dipenuhi oleh masyarakat setempat yang tak peduli dan tak gentar untuk mundur walaupun satuan keamanan nasional sudah dikerahkan agar tak terjadi kerusuhan.
Namun walupun begitu, mereka semua tetap adalah seorang warga negara yang memiliki sikap patriotisme dan menjunjung rasa nasionalisme yang tinggi. Maka aksi dari mereka tentu saja dapat dimaklumi.
Mengingat pesan ibunda dan menyadari ada yang terasa kurang, Adam segera melangkahkan kakinya melewati lorong yang terdapat dalam kastil ini dan segera masuk ke dalam kamar sang saudari yakni, Isabelle.
Ia selalu menjadi penyangga dari keluarga ini, pria yang selalu berusaha menjaga keluarganya agar tetap utuh, walau setiap momen tampak berusaha memecah belah mereka. Masalah internal seperti ini, selalu dapat dia hadapi dengan baik.
"Wah lihat anak mami akhirnya datang juga. Selamat datang brother, kali ini apa Yang Mulia ratu inginkan lagi dariku?" sambutan kata dari Isabelle.
"Goddamn Isabelle, apa yang sedang kau lakukan? Ini sungguh gila, kemana sih akal sehatmu?" respon Adam balik.
**To Be Continued**