"Bagaimana dengan hari esok?" Ia bergumam saat memikirkan segalanya. Pria itu kini membenamkan kepalanya pada bantal miliknya.
'Isabelle benar, sungguh lucu kami terus merayakan momen ini, mengunjungi makam kosong. Tapi harus sampai kapan kami bergantung pada informasi yang tak kunjung menemui akhir? Alangkah lebih baik kalau kami semua menerima kemungkinan yang terburuk, lalu kembali melanjutkan hidup.'
Karena Adam mulai merasa gerah, ia memutuskan untuk bangkit setelah berbaring di sana. Dasi yang ia kenakan terasa mencekik lehernya saat ini, entah mengapa. Pria itu akhirnya mulai melepaskan kedua sepatunya, lalu merenggangkan dasi yang ia kenakan. Saat Adam berdiri, mengambil beberapa langkah dari kasur miliknya, penglihatannya tiba-tiba menangkap sesuatu.
Dia melangkah ke arah rak tersebut. Ia mengambil sebuah bingkisan yang tergeletak di sana. Itu adalah bingkai foto, potret keluarga kecil miliknya. Gambar yang di ambil sekitar lima tahun yang lalu ketika mereka berada di Skotlandia. Kastil Balmoral, salah satu tempat dimana keluarganya sering berlibur.
"Ayah, tidakkah kau berpikir bahwa semua ini terlalu cepat? Kau pergi membawa salah satu dari kita dan tidak pernah kembali sejak itu," ujarnya yang sekarang tampak rapuh.
"Mengapa kau meninggalkan begitu banyak tanggung jawab tanpa menjelaskan semuanya begitu detail? Apa yang harus dilakukan kita semua di sini? Bagaiama dirimu mempertahankan mahkota dan tahta yang kau emban? Andai saja aku memperhatikan dengan lebih detail. Andai aku bisa kembali pada hari-hari itu," sebut Adam saat menatap gambar keluarganya yang terlihat penuh senyum dan kebahagaiaan di sana.
Suara langkah kaki samar-samar terdengar dari luar ruangan sang ratu. Tanpa menunggu lama lagi, Camila memutuskan untuk segera keluar, ia mencari tahu asal bunyi suara tersebut. Dalam ruangan yang sengaja di set secara remang-remang, semua aula dan lorong yang ada sudah terlihat seperti itu saat waktu telah masuk tengah malam.
"Aww,, Ibu menabrak diriku. Apa ibu benar-benar tak bisa melihat dengan jelas?" sahut Isabelle.
"Maaf, ibu tidak sengaja. Tapi apa kau melihat seseorang di luar sini? Atau mungkin kau mendengar sesuatu?" tanya sang ratu pada putrinya dengan rasa penasaran yang tak karuan.
"IBU!" tegas Isabelle.
"Mengapa ibu sibuk menengok ke arah kanan dan kiri terus-terusan. Memangnya sedang mencari siapa?" lanjut Isabelle.
"Ah tidak, tadi sepertinya ibu mendengar suara sesuatu di luar. Jadi ibu pikir mungkin ada sesorang di luar sini," jawab sang ratu.
Isabelle justru tertawa kecil mendengar ucapan sang ibunda. Dirinya berkata, "Maaf tapi aku tak melihat ada sesorang dari tadi di sekitar sini. Jangan bilang ibu berpura-pura bersikap aneh, hanya agar supaya aku merasa cemas. Karena nyatanya hal itu takkan berpengaruh padaku."
"Isabelle, kau sungguh keterlaluan berucap seperti itu pada ibu yang telah melahirkanmu ke dunia ini," balas sang ratu.
"Mari kita buat semuanya clear di sini, semua hal ini pasti terjadi karena ibu, dirimulah yang suka bermain di dalam api. Rahasia-rahasia yang kau sembunyikan itu bagaikan bom waktu yang bisa meletup kapan saja. Berhati-hatilah!" tutur kata Isabelle.
"Mengapa kau selalu bersikap dingin seperti ini padaku? Apa salahku? Tak bisakah kau mendukung ibumu ini?" tanya sang ibunda yang mulai kehilangan rasa sabar miliknya.
Pertanyaan-pertanyaan itu justru membuat Isabelle kembali tertawa kecil. Dirinya berucap, "Mungkin jika ibu lebih fokus pada anak-anakmu sendiri ketimbang bermain dan mengejar karirmu selama ini serta juga berperan sebagai ibu pada umumnya, maka dinding yang ada di sini mungkin takkan pernah tercipta."
Sang ratu meraih tangan Isabelle dan menggenggamnya sembari mengatakan, "Aku tahu kau mungkin masih rentan, masih syok akan semua kejadian ini. Tapi seperti pidatomu tadi, bahwa kita tetap harus mulai untuk melihat hari esok."
"Andai saja perkataan ibu saat ini tulus, mungkin hal ini akan terbilang manis. Tapi aku tidaklah bodoh. Lagi pula ibu tak perlu mengingatkanku atau mencoba membujukku dengan ucapan yang diriku lontarkan di publik sendiri tadi. Karena kalau harus jujur, aku juga tak melakukan semuanya secara cuma-cuma," respon balik Isabelle yang menimbulkan ekpresi penuh heran di wajah sang ratu.
"Apa maksud dari ucapanmu nak?" tanya sang ibu.
Isabelle justru memeluk ibunya dengan pelukan yang terlihat sangat hangat namun nyatanya tidak. Ia berbisik di telinga sang ibu, "Aku mengatakan semua itu, memang untuk melepaskan semua duka dan melahirkan kedamaiaan untuk diriku, melonggarkan beban yang ada dipundakku. Namun aku tahu betul hal itu juga memberikan dampak baik dari dunia publik akan citra dirimu, Yang Mulia ratu. Tapi sebagai gantinya aku berharap ibu takkan mengusik dunia kecil milikku. Jangan mengacau lagi yah! Tapi sih terserah karena sepertinya mengacau merupakan salah satu hobi dan aktivitas ibu. Aku hanya minta saat ibu menciptakan masalah jangan berusaha untuk mencoba menarik diriku ke dalamnya."
Kata-kata itu tentu saja bagaikan tamparan halus ke wajah Camila, terlebih lagi Isabelle menutup kalimatnya dengan memberikan kecupan di pipi sang ibunda tersebut. Bagi dunia luar mungkin aksi mereka berdua akan terlihat sangat so sweet dan mother goals. Tapi yah begitulah, tak selamanya yang terlihat sama dengan yang ada didalamnya.
***
Di sisi lain kerajaan, seseorang berusaha menenangkan dirinya yang sedari tadi berlari menjauh.
"Aku benar-benar tak percaya apa yang baru saja telingaku tangkap. Mungkin hal ini terdengar lancang, tapi aku sama sekali tak berniat untuk melakukannya. Semuanya terjadi begitu saja, maafkan aku ayah, ibu. Aku sudah tak sengaja menodahi ajaran tata krama suci yang kalian ajarkan pada diriku. Yah aku cukup berpura-pura saja tak pernah mendengar hal ini karena pastinya ini bakal sangat awkward, tak mungkin aku akan menggunakan info ini untuk menyerang mereka. Diriku memiliki kode etik dan ciri khas tersendiri, memata-matai dalam bayangan bukan sifatku sama sekali," ucapnya dalam hati.
Secara perlahan tapi pasti, wanita itu segera menarik diri dari sana. Dia telah melangkahkan kaki cukup jauh dan orang-orang disekitarnya juga sudah memperingarkan dirinya. Ia segera bergegas meninggalkan kastil itu karena memang malam memang sudah sangat larut.
Pangeran Adam yang kebetulan keluar dari kamarnya melihat silhuet yang spontan melintas ke sudut ruangan. Matanya yang telah menangkap penglihatan seperti itu, tentu saja merasa penasaran dengan sosok tersebut.
Dia yang tadinya ingin pergi ke teras istana, langsung berubah haluan dan perlahan mengikuti jejak spintas yang ia lihat barusan. "Siapa yang berjalan begitu tergesa-gesa di kastil pada jam yang sudah larut malam?" pikirannya terus mempertanyakan sosok tersebut.
Semua aktivitas yang ada di istana selama waktu belakangan ini membuatnya tak bisa merasa nyaman. Fakta bahwa dunia luar sedang berjuang untuk menjatuhkan keluarganya membuat sang pangeran merasa sangat geram.
**To Be Continued**