a prima vista
[ ukp. It ] pada pandangan pertama
****
Tak ada yang kebetulan.
Semua hal tak terduga itu adalah takdir.
Aku dan kamu.
****
Setelah memarkir Si Upi—sepeda motor matic kesayanganku—di tempat parkir, aku melangkah mendekati bangunan dua lantai bergaya Eropa yang menjadi tujuanku. Lucida Bookshop. Begitu yang tertera pada papan kayu yang terpasang di sudut kanan atas pintu masuk. Dari kaca besar pada daun pintu, aku dapat melihat jejeran rak buku dan aktivitas di dalamnya.
Aku menarik napas dalam, sebelum kemudian mendorong pintunya dan melangkah masuk.
"Selamat pagi!"
Dengan senyuman lebar tersemat di bibir, aku menyapa riang dua orang yang tengah sibuk membersihkan rak dan menata kembali buku-buku di sana agar terlihat lebih rapi. Keduanya serempak menyahut dan menoleh padaku. Seperti dugaanku, mereka membelalakkan mata begitu melihatku dengan penampilan baru.
"Kean?"
Itu suara Lisna. Gadis dengan rambut hitam panjang yang selalu diikat itu adalah seseorang yang paling peka terhadap perasaanku. Dia memindaiku dari ujung kepala hingga kaki, sebelum kemudian membuang napas berat dan menggeleng tak percaya. Hal itu membuatku hanya mampu tersenyum kikuk seraya menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal sama sekali.
Lain Lisna, lain juga Arin. Sahabatku yang sedikit tomboi ini justru tertawa renyah dan bertepuk tangan, seolah apa yang dia lihat begitu spektakuler. Gadis berambut sebahu itu langsung membuang kemoceng di tangannya dan berlari menghampiriku dengan senyuman lebar.
"Wah, kau mengganti warna rambut lagi?" Begitu kalimat yang terlontar dari mulut Arin. Lebih terdengar seperti sebuah pernyataan dibandingkan dengan sebuah pertanyaan, menurutku.
Aku mengembuskan napas berat. "Kenapa? Jelek, ya?" tanyaku sembari mengamati helai rambut ikalku yang kini aku warnai biru pastel.
Arin menggeleng. "Lebih cantik warna ini, sih," ujarnya seraya mengacak rambutku, tetapi segera kutepis. "Tumben juga kamu pakai rok."
Aku mengikuti arah pandang Arin yang mengamati rok midi berbahan jin yang melekat di tubuhku. Ini memang pertama kalinya—setelah sekian lama—aku kembali memakai rok. Tidak heran, reaksi yang diberikan orang terdekatku jadi mirip. Seperti saat sarapan tadi, Ayah dan Ibu sangat kaget dengan penampilanku ini. Bahkan Klara sampai ternganga tak percaya. Lalu yang paling membuat mereka tidak habis pikir adalah fakta bahwa aku kembali mengecat rambutku untuk ketiga kalinya di minggu ini.
"Bukannya kamu baru tiga hari lalu mewarnai rambutmu dengan warna oranye?" Tatapan Lisna kali ini terlihat begitu khawatir.
Arin mengangguk, setuju dengan ucapan Lisna. "Apa ada sesuatu yang terjadi?"
Aku seketika tertawa mendengar kekhawatiran mereka berdua, membuat keduanya serempak mengangkat alis tak mengerti dengan reaksiku. Mereka memang sudah terlalu hafal dengan kebiasaanku yang satu ini, mengganti warna rambut ketika perasaanku kalut atau terjadi sesuatu. Aku memang tidak bisa menyangkal kalau yang mereka khawatirkan benar. Ada sesuatu. Namun, aku tidak ingin membuat mereka khawatir lagi.
"Tidak, aku hanya bosan dengan warna mencolok kemarin dan ingin nuansa baru. Lagi pula ini pewarna spray," jelasku yang sudah pasti mengandung kebohongan. "Ya sudah, aku juga akan bekerja. Sebentar lagi kita harus bersiap membuka tokonya, 'kan?"
Aku harus segera kabur dari percakapan ini, atau mereka akan dengan mudah mengendus kebohonganku, kemudian membuatku tersudut. Jadi tanpa bicara lagi, aku langsung berlari menyimpan tasku di loker yang berada di belakang meja kasir. Setelah melapisi kaus berwarna abu-abuku dengan apron cokelat berlogo tiga bintang dengan tulisan Lucida Bookshop, aku langsung mengambil tablet kerjaku yang tergeletak di dekat komputer kasir. Ini satu-satunya cara agar Lisna dan Arin tidak lagi bertanya tentangku, aku harus menenggelamkan diri dalam pekerjaanku sebagai owner sekaligus warehouse di toko buku ini.
Yup! Aku memiliki sebuah toko buku yang dirintis bersama dua sahabatku itu—Lisna dan Arin. Kecintaanku pada buku dan menulis, mengantarkan diriku untuk membuat toko buku sendiri. Meskipun belum terlalu besar, tetapi aku sangat bersyukur karena berhasil mewujudkan salah satu impian ini.
Menjadi seorang warehouse, aku harus selalu memastikan kesediaan buku di toko kami. Mulai dari menambah stok, mengurangi, mendapatkan judul baru, dan memastikan semua buku terjual di toko kami. Ada dua belas rak buku di sini, yang mana masing-masingnya memiliki jenis tersendiri. Dari bacaan anak-anak, fiksi, sampai buku non-fiksi berusaha kami sediakan di toko ini.
Selesai mencatat stok buku di lantai dua yang kami jadikan gudang, aku segera turun ke lantai utama dan mendapati toko sudah dibuka dan memiliki beberapa pengunjung. Tanpa sadar, aku sudah menghabiskan empat puluh menit di gudang sebab toko kami dibuka pukul 09.00 pagi.
Aku segera menuju meja kasir yang kosong, karena Lisna dan Arin sepertinya masih melebur di antara jajaran rak buku bersama beberapa pengunjung. Agar suasana tidak hening, aku menyalakan musik klasik untuk menemani Jumat pagi ini. Sembari menunggu pengunjung yang akan membayar, aku memilih untuk mengerjakan laporan keuangan toko bulan ini.
"Maaf."
Suara berat seseorang tiba-tiba menyapa indra pendengaranku. Ketika mendongak, aku mendapati seorang pria jangkung dengan setelan kemeja abu-abu dan bermata sipit, tengah menatapku datar. Di tangannya terdapat beberapa buku tebal yang salah satunya bergambar alat medis.
Aku tersenyum menyambutnya. "Ya, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku berusaha seramah mungkin.
Pria itu tidak langsung menyahut, dia diam untuk sepuluh detik sembari tetap menatapku. "Buku mana yang sebaiknya aku baca lebih dulu?" ujarnya tanpa ekspresi, lalu menyodorkan tiga buku medis ke hadapanku.
Ini adalah tipe pembeli yang tidak kusukai. Arogan.
Aku menarik napas pelan agar lebih tenang. Bagaimana pun customer service itu nomor satu. Berusaha menampilkan senyuman terbaikku, aku mengambil buku-buku tersebut dan membaca judulnya.
"Mohon maaf, untuk buku medis ini saya kurang tahu mana yang harus dibaca lebih dulu karena bukan bidang saya. Namun, penulis untuk judul ini, dari yang pernah saya dengar adalah penulis populer untuk jenis buku ini." Aku menyodorkan salah satu buku yang kumaksud padanya.
Pria itu mengangguk singkat, tetapi sama sekali tidak mengalihkan tatapannya dariku. Memang bukan jenis tatapan mesum, melainkan lebih seperti menganalisis ... aku?
"Aku membeli semua buku itu," ucapnya masih menggunakan ekspresi datar.
Tanpa ingin berpikir lebih jauh lagi dan mempercepat interaksi ini, aku segera mengemas buku-buku pria itu ke dalam paper bag dan menghitung total harganya. Setelah membayar, pria itu tanpa berkata apa pun lagi segera meninggalkan tempat ini.
Dia ... aneh, tetapi yang paling anehnya lagi, aku merasa seperti pernah bertemu dengan pria itu. Siapa, ya?
****
Sambil bersenandung kecil, aku melangkah riang menyusuri koridor rumah sakit. Tidak lupa, aku juga menyapa beberapa perawat ataupun petugas rumah sakit yang kukenal. Jangan heran kenapa aku bisa sampai mengenal mereka, karena aku memang sering berkunjung kemari untuk bertemu dengan sahabat baikku yang merupakan salah satu psikiater di Rumah Sakit Jiwa ini.
Namanya Reikhan Fatkhurrozi. Aku mengenalnya sejak kuliah. Dia merupakan salah satu kakak tingkatku. Meskipun pada akhirnya aku tidak menuntaskan studi karena alasan yang tidak bisa kuingat sama sekali, kami tetap berhubungan dekat hingga sekarang.
Setelah acara makan siang sekaligus nongkrong bersama Lisna dan Arin tadi, aku memutuskan untuk mengunjungi Reikhan. Kedatangan diriku ke sini sebenarnya ingin mengajak dia jalan-jalan untuk merayakan novelku yang akan segera diterbitkan. Bukan tanpa alasan, Reikhan bisa dibilang adalah support system-ku untuk semua hal termasuk menulis. Aku masih ingat kalimat yang Reikhan ucapkan sebelum aku berkecimpung di dunia ke penulisan, katanya, "Kalau kamu merasa gundah, menulis saja. Luapkan semua perasaanmu di sana. Menulis akan membantumu mengungkapkan apa yang tidak bisa disuarakan."
Ketika keluar dari lift di lantai empat, aku berpapasan dengan seorang perawat berseragam biru muda. Dia tampak membawa beberapa tumpuk berkas di tangannya.
"Selamat sore, perawat Nia!" seruku riang sembari melambaikan tangan.
"Oh! Kean, selamat sore!" sahutnya. Senyuman lebar terlukis di wajahnya, menepis raut lelah yang tadi sempat terlihat. "Mau menemui Dokter Reikhan?"
Aku tersenyum lebar dan mengangguk. "Dia belum pulang, 'kan?"
"Belum. Beliau masih berada di ruangannya. Sepertinya tadi baru saja selesai menangani pasien terakhir."
Aku mengangguk mengerti. "Kalau begitu, aku langsung ke ruangannya saja. Sampai jumpa perawat Nia!"
"Sudah aku bilang berkali-kali, panggil Nia saja!"
Aku hanya tertawa mendengar protes tersebut, kemudian melambaikan tangan dan berlari pergi menuju ruangan Reikhan. Aku sudah tidak sabar untuk segera menceritakan apa yang terjadi hari ini. Setelah berbelok di salah satu koridor, sebuah pintu kayu berwarna putih tampak berdiri kokoh di ujung ruangan. Aku segera mempercepat langkah, lalu tanpa perlu mengetuk lagi, aku melangkah masuk.
"Hai, Dokter Reikhan! Apa Anda masih sibuk?" seruku riang menyapa seorang pria yang masih mengenakan jas dokternya. Dia tampak sibuk menekuni berkas-berkas di meja, tetapi begitu menoleh ke arahku, raut seriusnya seketika berubah. Kedua sudut bibirnya terangkat hingga menunjukkan lesung di pipi kanannya. Mata cokelat di balik lensa bening itu juga menjadi lebih jenaka.
"Seperti yang Anda lihat, saya masih sibuk dengan beberapa pekerjaan. Lalu mengingat jam kerja saya sudah berakhir, saya tidak menerima pasien lagi," ujarnya.
Mendengar ejekan itu, senyuman lebar di wajahku langsung luntur berganti dengan bibir yang mengerucut. Apa maksudnya dengan pasien?
"Maaf, sepertinya saya salah ruangan!" ujarku sebal, lalu hendak keluar.
"Eh, tunggu! Aku hanya bercanda!" seru Reikhan cepat seraya berdiri dan tersenyum lebar.
Aku memutar bola mataku kesal dan memilih melanjutkan niatku keluar dari ruangan ini. Namun tidak kusangka, Reikhan bergerak cepat dan memenjarakan tubuh mungilku dalam dekapannya. Setelah memastikan aku tetap di tempat, dia segera menangkup wajahku dengan tangan besarnya.
"Maaf, ya? Aku hanya bercanda," ujarnya seraya tersenyum. Kali ini senyuman tulus, bukan lagi senyuman mengejek atau menyebalkan. "Jadi, apa yang membuat seorang Keandita Rasheena datang menemuiku sore ini?"
Aku membuang napas kasar dan menyingkirkan tangan Reikhan dari wajahku. "Tadinya aku ingin mengajakmu jalan-jalan, tapi sepertinya sedang sibuk dan tidak menerima pasien."
Reikhan mengangkat satu alurnya. "Jalan-jalan? Tumben sekali, apa ada hal istimewa hari ini?"
Mendengar itu aku tersenyum, dia memang paling bisa membuat diriku tidak jadi marah. "Novelku akan terbit!" seruku senang.
Reikhan membulatkan matanya takjub, sedetik kemudian dia langsung memelukku erat. "Wah! Selamat Bos Kecil!" serunya dan kubalas dengan sebuah cubitan di pinggangnya yang keras.
"Jangan memanggilku Bos Kecil!" Bukannya mengaduh kesakitan karena cubitanku, Reikhan terkekeh. Dia melepaskan pelukannya, lalu beralih mengacak rambutku gemas.
"You did well, Kean! I'm proud of you!"
Mendengar kalimat yang Reikhan berikan, hatiku menghangat. Entah sihir apa yang dia miliki, tetapi senyuman lebar langsung menghias wajahku. Aku bahagia.
"Lalu, kenapa ganti warna rambut lagi hari ini?"
****
Dita Xian
Banjarnegara, 22 September 2021